Setelah sarapan, semua berkumpul di ruang tengah, menunggu Eyang memulai percakapan. Selama beberapa saat, suasana hening.
“Hhh,” desah Jelita sebelum mulai bicara. “Eyang sudah pelajari semuanya semalam. Pasti kalian juga sudah paham situasinya. Riak-riak kecil ini, hanya untuk mengalihkan perhatian kita dari gelombang besar yang akan menghantam keluarga kita. Betul begitu?”
Galih dan Rangga kompak mengangguk.
“Baik, kita tunggu saja gelombang datang sambil kita siapkan diri. Maura, Reno, apapun yang terjadi nanti, jangan lupakan bahwa kalian sekarang adalah anggota keluarga Danutirta. Keluarga ini lebih penting dari urusan pribadi kalian. Mengerti?”
Reno segera mengangguk, beda dengan Maura yang masih mencerna kalimat Jelita.
“Maksud Eyang, kalaupun nanti gelombang besar yang datang itu berasal dari keluargamu, Eyang harap kamu bertindak layaknya Danutirta yang lain. Tidak memihak yang salah.”
Maura masih bergeming. ‘Apa mungkin papa
“Hai, Om!” sapa Damian girang. Pria itu balas melambai dan tersenyum melihat sekutunya telah datang. “Maaf, jalanan agak macet. Mau langsung ke hotel atau jalan-jalan dulu kita?” “Langsung ke hotel saja. Antisipasi kalau anak buah Rangga melihat kita bersama, bisa gagal rencana kita menghancurkannya,” jawab Damian seraya melemparkan tatapan tidak suka dengan usulan sekutunya. “Ya, ya, kamu benar. Kita ke hotel dulu mematangkan rencana, baru setelah itu kamu bisa langsung beraksi.” Pria itu menepuk bahu Damian dan mengajaknya berjalan bersama. Damian melepaskan bahunya dengan kasar. “Sikap ceroboh seperti ini yang akan menghancurkan rencanaku. Om jalan duluan, aku ikuti dari belakang!” sinis Damian tanpa berusaha menyembunyikannya. **** Kediaman Danutirta “Apa semua sudah siap?” tanya Rangga saat melihat Maura menuruni tangga seraya menggandeng tangan Yuki. “Ya, kami siap.” Yuki menjawab dengan antusias. “Al! Ren
“Hai, Rangga. Long time no see,” sapa Damian seraya mengulurkan tangannya.Rangga menyentuh tangan pria itu sekilas, sama sekali tidak berniat untuk berjabatan. “Untuk apa kamu datang?”“Well, i miss Yuki so much. Bisa saya ketemu dia?” tanya Damian dengan gaya menyebalkan.Reno maju melewati Rangga bermaksud memukul mulut tengil Damian, namun lengan Rangga dengan cepat mencekalnya.“Tahan! Ada Eyang dan Papa di dalam,” bisik Rangga lirih. “Maaf, kedatanganmu hari ini terpaksa harus menanggung kecewa. Yuki dan adikku sudah terbang ke Singapura pagi tadi. Kau bisa menyusulnya ke sana.”“Wah, sayang sekali. Kapan Yuki akan kembali? Kalian tidak akan mungkin membiarkannya tinggal lama bersama Vivian, bukan?”Damian tidak sedikit pun mengesankan bahwa dia kehilangan Yuki. Ekspresi dan nada bicaranya begitu tenang, tidak menunjukkan kesedihan karena telah di
Ruang Presdir GD GrupMereka berempat duduk saling berhadapan di ruangan presdir, tempat biasanya Rangga bekerja bila sedang berada di kantor. Damian mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, mencermati setiap detail yang ada. Tindakan itu tak lepas dari pengamatan Galih.Galih sengaja berdehem keras untuk membuat Damian melihat padanya. “Siapa Anda?” tanya Galih tanpa basa-basi.Damian terpaksa berpaling dari objek yang sedang diamatinya. “Saya Damian, ayah Yuki. Maaf, maksud saya, saya suami Vivian.”“Kenapa Anda ralat?” pancing Galih.“Karena nyatanya saya bukan ayah Yuki seperti yang saya kira selama ini,” sahut Damian seraya melirik Rangga sinis.“Jangan mengatakan hal yang akan Anda sesali. Saya bisa membuat gadis kecil itu menjadi bagian keluarga Danutirta dan tidak akan bisa dibatalkan oleh hukum manapun. Itu yang Anda mau?” tantang Galih tenang.Mimik Damian berub
Kediaman Danutirta Hanna membawa Maura ke ruang baca, tempat pertama kali Hanna bicara berdua dengan Maura tentang hubungannya dengan Rangga kala itu. “Mama minta, kamu rahasiakan dulu ini dari Yuki. Tadi yang datang adalah pria bernama Damian yang mengaku ayah yuki. Tapi Mama sendiri tidak tahu pasti kebenarannya karena terlanjur kecewa pada sikap Reno.” “Jadi benar, Reno memukul pria itu?” Hanna mengangguk menjawab pertanyaan Maura. “Mama tidak pernah ikut campur bagaimana Papa dan Rangga menyelkesaikan masalah pekerjaan, di luar rumah. Selama mereka masih di dalam kawasan rumah, mereka harus mengikutti aturan yang Mama buat. Tidak ada kekerasan.” Maura manggut-manggut mengerti. “Mama hanya membiasakan semua penghuni rumah ini untuk memberikan contoh baik bagi generasi penerus yang suatu hari nanti akan lahir dan hidup bersama kita di sini. Anakmu, anak Alina bahkan cucu-cucu kalian,” papar Hanna panjang lebar. “Terbukti hari
“Kenapa termenung?” Jelita tertarik dengan respon Maura pada ceritanya. Sejak tadi dilihatnya, gadis muda itu hanya mengangguk dan sesekali mengulum senyum, tapi matanya berkaca-kaca. “Merasa terbebani dengan cerita Eyang?”Maura buru-buru menggeleng. “Tidak, Eyang. Campur aduk rasanya. Kagum mendengar perjalanan hidup Eyang, merasa apa yang saya alami belum ada apa-apanya dan teringat mendiang Mama.”Hanna mengelus punggung menantunya itu perlahan, mengalirkan kehangatan yang merasuk ke dalam hati. “Sayang, semua sudah berlalu. Jangan terlalu larut dalam kenangan. Kamu bisa ciptakan sendiri kehangatan dan kenyamanan dalam keluargamu.”“Ya, Mama benar.” Maura berpaling menatap Hanna dan tersenyum. Ibu mertuanya ini juga memberikan banyak kejutan yang membuatnya kagum. Hanna wanita lembut dan pengertian di luar, bijak dalam menyelesaikan masalahnya dengan Rangga kala itu dan hari ini, Maura melihat keteg
Rumah Sakit Singapura“Apa yang terjadi padanya?” tanya Rangga saat duduk berhadapan dengan Allen di ruang kerjanya.“Seperti yang sudah pernah saya terangkan, tubuhnya tidak merespon kemo dan radiasi dengan baik. Ketahanan tubuhnya terus turun, begitu pula dengan kadar Hb (Haemoglobin) dalam darahnya.”“Kenapa baru sekarang Anda katakan ini?” pertanyaan yang sarat dengan tuntutan.“Saya sudah menghubungi Damian kemarin, tapi tidak ada respon. Saya juga berusaha menghubungi Anda lewat asisten Anda yang berjaga di sini. Kondisinya menurun dengan cepat.”“Bagaimana sekarang?”“Vivian sedang berada di ruang ICU. Anda bisa menemuinya, tapi tidak bisa lama.”“Apa putrinya juga bisa masuk?”Allen hanya bisa mengangguk karena mengingat kondisi pasiennya yang sedang meregang nyawa. “Bisa, putrinya terutama.”Rangga keluar ruangan sete
Allen sedang menyiapkan ruang kecil yang bebas dari alat medis seperti yang Reno minta. Pria itu datang menemuinya dan meminta izin mengadakan perayaan ulang tahun sederhana untuk Yuki. Ini melanggar aturan Rumah Sakit, tapi dia bisa memaklumi mengingat kondisi Vivian yang terus menurun.Dalam hati, Allen berharap dengan kedatangan Yuki dan lainnya bisa memberikan semangat hidup bagi Vivian. Wanita itu sempat menolak sesi kedua terapinya dan berkata ingin menyerah pada sakitnya.“Dok, aku sudah tidak sanggup lagi menahan ini semua. Tolong sampaikan pada Rangga bahwa aku ingin bertemu dengannya dan Yuki untuk terakhir kalinya.” Begitu yang Vivian katakan seminggu yang lalu, saat Allen melakukan kunjungan rutinnya.“Arrest! Ephi!” Allen berteriak memberikan instruksi. Wanita dengan kulit wajah dihiasi bintik kecokelatan itu, naik ke atas ranjang Vivian, menempatkan kedua lututnya mengungkung tubuh lemah Vivian.Jemari lentik
Maura duduk di salah satu bangku taman Rumah Sakit, mengamati beberapa pasien sedang duduk menikmati udara senja yang mulai dingin. Ada juga perawat dan dokter yang sibuk lalu lalang tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya.Maura menghela napas perlahan, mengisi paru-parunya dengan udara hingga penuh lalu mengembuskannya cepat, membuang sesak yang menghimpit dadanya. Namun, usahanya sia-sia. Dadanya masih saja sesak mengingat bagaimana Vivian tersenyum ke arahnya tadi.“Kenapa duduk di sini? Mana Yuki dan Rangga?”Maura menengok ke arah suara yang menyapanya. “Tidak ada, hanya mencari udara segar, di dalam terlalu menyesakkan.”Reno duduk di samping Maura. “Maaf,” ujarnya singkat.“Untuk?”“Rangga mengirim pesan padaku, menceritakan bagaimana Vivian berulah dengan memanfaatkan Yuki lagi.”Maura berdecih lirih. “Aku melakukan ini untuk Yuki. Tapi, apa kau tahu? Dadaku t