Dua pria suruhan Anggita, membawa Maura masuk ke sebuah kamar yang sudah disiapkan untuk menyekap menciptakan ‘Kartu As’ yang nantinya bisa digunakan dalam kondisi terjepit.
“Pelan-pelan, rebahkan di sana.” Asisten Anggi menunjuk ke sebuah ranjang besar. “Kalian bisa pergi sekarang. Uangnya sudah masuk ke rekening kalian masing-masing.”
Dua pria itu mengangguk sambil menyeringai puas saat mengintip isi dalam amplop. Hanya membius seorang wanita dan membawanya ke sebuah kamar yang sudah disiapkan, mereka mendapat upah masing-masing seratus juta. Klien mereka kali ini benar-benar kelas kakap.
“Mereka sudah mengantar Maura ke kamar. Aku juga sudah mengirim bayaran mereka,” lapor asisten wanita itu.
[Bodoh! Bukankah sudah aku katakan untuk memberi mereka uang tunai?!] teriak Anggi panik. [Rangga akan dengan mudah menangkap mereka. Sial! Goblok!] makinya berulang kali sebelum memutuskan sambungan.
“Astaga, masih saja salah melangkah.” Asisten wanit
Setelah menemui beberapa koleganya yang datang memenuhi undangan Galih Danutirta, Rangga berpamitan untuk melihat kondisi Maura bersama Yuki. Sejak Maura menghilang di balik pintu lift tadi, hatinya menjadi risau. Ia masuk ke lift yang sama seperti yang Maura naiki tadi.“Panda, ini apa?” Yuki berdiri sambil menunjukkan sebuah kartu.“Kamu dapat dari mana kartu ini?”“Aku baru saja memungutnya di lantai.” Yuki menunjuk pojok lift tempat ia memungut keycard.Hati Rangga makin was-was saat melihat bahwa kartu yang Yuki berikan padanya adalah kunci kamar yang tadi ia berikan pada Maura. Kecurigaannya benar, kamar itu kosong. Tidak ada Maura di dalam, bahkan mungkin Maura belum sempat masuk ke dalam kamar itu.Rangga meminta Yuki untuk menunggu di dalam kamar, sedang ia setengah berlari menuju kantor pusat keamanan. Tak butuh waktu lama, Rangga berhasil menemukan kamar yang digunakan untuk menyembunyikan ist
Hanna mengedarkan pandangan ke seluruh ruang resepsi. Sejak kedatangannya tadi, Hanna belum melihat sosok Maura. Kini, Rangga juga tidak terlihat. Galih yang duduk di sampingnya merasakan kegelisahan Hanna.“Ada apa? Sejak tadi Papa lihat Mama gelisah.”“Pa, Maura sama Rangga mana, ya? Mama belum sempat bilang ke mereka kalau Ibu juga datang.”“Mungkin di kamarnya. Maklumlah, Maura sedang mengandung keturunan Danutirta, jadi sedikit rewel.” Galih mengerling menghibur istrinya yang terlihat tidak nyaman. “Kalau masih tidak tenang juga, telfon saja Rangga, minta dia segera turun.”Hanna mengangguk setuju. Baru saja tangannya selesai mengembalikan ponsel ke dalam dompetnya, Sandra masuk ke ruangan sambil menggandeng tangan seorang wanita berpenampilan anggun khas wanita ningrat tanah Jawa, Jelita Danutirta. Wanita tegas dan berpendirian yang menduduki piramida tertinggi kerajaan Danutirta.“Mas, ad
Kamar Hotel“Da-dalang dibalik ini semua, Kak Anggi?” Maura menatap Rangga yang terus saja mengulas senyum sejak dua wanita itu masuk ke dalam“Picollo, tunjukkan pada Nyonya Ranggapati buktinya.”Pria muda dengan kulit kecokelatan yang menarik, maju menghampiri Maura dan menyerahkan gawainya. “Ini adalah rekaman CCTV hotel.”Evan mendekat, berdiri di sebelah Maura. Ia juga merasa penasaran dengan semua yang terjadi. Maura memicing dan melebarkan matanya bergantian saat melihat rekaman CCTV hingga akhirnya mendongak menatap Anggita.“Apa maksudmu melakukan tindakan sampai sejauh ini?”“Apa? Bukan aku yang terekam dalam CCTV. Coba kamu tanyakan saja pada Nurul. Mungkin dia juga punya dendam padamu,” jawab Anggita asal.Nurul terkejut mendengar jawaban Anggi yang memojokkannya. Namun, dia harus melanjutkan permainan sesuai kesepakatan awal.“Dendam? Baru hari ini a
“Oke, satu sudah selesai. Tersisa satu lagi yang paling susah dijauhkan.” Rangga menghampiri Evan dengan wajah dingin dan kaku khas miliknya. “Dengan sisa kesabaran yang aku punya, aku katakan padamu. Jauhi istriku!” ucap Rangga tegas.“Tapi—.”Telapak tangan Rangga terangkat ke atas. “Tidak ada tapi. Aku tidak akan segan—.”“Kak!” seruan Maura menghentikan ancaman Rangga. “Tolong, jangan lakukan apapun padanya.” Maura mengucap permintaan dengan sorot mata penuh ancaman.Rangga balas menatap Maura dengan tajam dan mengabaikan permintaannya. “Aku tidak akan segan mengurung Maura agar tidak dapat kau lihat sosoknya, bahkan bayangannya.”Ponsel di tangan kirinya kembali bergetar, memunculkan nama Hanna di layar. Pasti ibunya itu sudah cemas mencarinya. Rangga mengulurkan tangannya ke arah Maura dan mengisyaratkan wanita itu untuk segera ikut bersamanya.
Tempat Resepsi, Hall Hotel Rangga dan Maura berjalan beriringan menuju tempat resepsi. Ruangan luas itu hampir kosong. Tersisa beberapa orang tamu undangan yang masih bertahan di tempatnya sekedar untuk selfie bersama pengantin. Alina segera menekuk wajahnya saat matanya menangkap sosok dua orang yang sejak datang tadi tidak sekalipun menyapanya. Pengantin cantik itu berbisik sejenak pada tamunya dan berbalik cepat kembali ke samping suaminya. “Rangga.” Galih melambaikan tangannya, meminta Rangga mendekat. “Ya, Pa.” “Kamu tahu betul ini hari bahagia Alina, kenapa bisa mengecewakan begini, sih?!” “Maaf, Pa. Ada sedikit masalah di atas.” Rangga berusaha menutupi apa yang barusan terjadi. “Penculikan Maura? Siapa yang melakukannya kali ini?” tanya Galih pada putranya. Melihat Rangga tidak berniat memberinya jawaban, Galih pun berkata, “Kita bahas nanti di rumah. Sekarang kamu temui Eyang dulu, bawa Maura bersamamu. Dia ad
[Anak Haram Pebisnis Muda Ranggapati] Judul berita dari salah satu surat kabar elektronik itu membuat Rangga ingin melempar ponsel di tangannya. Namun, Rangga berusaha meredam amarahnya dan membaca keseluruhan berita karena terkadang, judul dan isi berita tidak sejalan. “Siapa yang berani menulis berita beginian?!” “Eyang yang seharusnya bertanya padamu. Bagaimana bisa muncul berita begituan?” Maura memegang pergelangan tangan Rangga yang memegang ponsel dan mengambil alih benda itu dari tangan Rangga sebelum pecah dan rusak. Fotonya sedang duduk di kursi roda sambil menggandengan tangan kecil Yuki menjadi pendukung judul berita. “Ini foto kita tadi pagi di teras hotel, Kak.” “Jadi ini yang Anggi maksud saat memintaku menunggu pembalasan darinya?” “Anggita? Apa hubungannya semua ini dengan Anggi?” tanya Jelita penasaran. “Wanita itu—.” Tap. Maura memegang tangan Rangga, menghentikannya bicara. “Boleh aku
“Apa sudah kamu persiapkan dengan matang? Aku tidak mau rencana kita gagal. Kerugian tidak hanya di pihakmu, tapi keluargaku juga jadi jaminannya.” [Tenang saja. Riak-riak kecil sudah berhasil mengalihkan perhatian Ranggapati dari gelombang besar yang akan menghantam perusahaannya.] “Kapan kita bisa mulai bergerak?” [Jangan gegabah. Vivian dan Anggita sudah membuktikan bahwa sikap tak sabar hanya membawa kegagalan.] “Baiklah, aku serahkan semuanya padamu. Sebaiknya kita tidak sering berhubungan. Aku khawatir anak buah Rangga bisa menemukan jejak kita.” [Oke. Selanjutnya kita komunikasi lewat surel.] Sambungan telepon diakhiri. **** Maura sedang sibuk menenangkan Yuki ketika Rangga kembali. “Sayang, ada apa dengannya?” Maura berpaling menatap Rangga. “Kak, Yuki mendengar percakapan kami tentang perceraian Vivian dan Damian,” lirih Maura penuh sesal. “Panda, apa benar yang dikatakan Bunda? Apa mere
Maura terus meronta dan berteriak histeris dalam pelukan Rangga. Dalam penglihatannya sekarang, dokter dan perawat sedang mengelilingi ranjang mamanya, bersiap melepaskan semua alat medis yang membantu mamanya tetap bernapas. “Maura, tenangkan dirimu. Itu hanya ilusi, tidak nyata. Ayo, sebaiknya kita pulang. Kamu butuh suasana yang tenang.” Rangga memapah Maura yang hampir tak sanggup melangkah. Rangga tahu, keputusannya mengantar Maura pulang akan membuat pengantin wanita marah besar. Namun, ini adalah keputusan yang terbaik untuk Maura dan calon bayinya saat ini. Sepanjang perjalanan, Rangga memikirkan cara yang tepat untuk mengatasi kemarahan Alina nanti malam. **** Kediaman Danutirta Malam ini, hanya tersisa keluarga inti Galih Danutirta dan Jelita yang di meja makan. Semua sudah selesai menghabiskan makanan dalam piringnya masing-masing, tapi belum ada yang beranjak dari meja makan. Alina yang pertama kali berdiri dan mendorong kursinya d
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s