“Lalu apa yang mereka katakan saat kau menanyakan Mama?” tanya Vivian takut-takut.
Hening. Tak ada jawaban dari Yuki.
“Sayang, apa kau masih mendengar Mama?”
[Aku katakan padanya untuk mendoakanmu agar segera sembuh dan berkumpul lagi bersamanya dan dia lakukan itu. Vivian, bukankah sangat keterlaluan berlaku begitu padanya? Dia hanya anak kecil polos usia lima tahun yang merindukan ibunya. Tega kau pakai dia sebagai alatmu!]
Tanpa Vivian sadari, sejak awal percakapannya dengan Yuki tadi, Maura selalu menemani dan mendengar semua pembicaraan mereka. Maura segera meminta Yuni membawa Yuki ke dapur agar dia dapat bicara bebas dengan Vivian.
[Fokus saja pada kesembuhanmu, jangan khawatir tentang Yuki. Kami semua menyayanginya karena dia anak yang pintar dan menggemaskan.]
Vivian masih diam.
[Oh ya, ada satu hal lagi yang perlu kamu tahu. Kami sudah melakukan tes DNA pada Yuki dan Rangga, hasilnya mengatakan bahwa DNA Rangga dan Yu
Klub Renang Kiddos“Miss Erika, Yuki mana, ya? Kok saya tidak melihatnya sejak tadi?” Maura memutuskan bertanya pada salah satu pelatih renang, setelah berkeringat mencari Yuki.“Oh ya, tadi sudah ada yang jemput Yuki. Katanya ibu kandung Yuki, Vivian Setiadi namanya. Apa tidak ada yang mengirim pesan, Mam?”Maura terhenyak mendengar jawaban Erika. ‘Vivian? Dia sudah kembali? Kenapa seenaknya membawa Yuki tanpa pamit?’ Maura meraih ponselnya, berusaha menghubungi jam pintar yang dipakai gadis itu.“Halo, Yuki. Kamu di mana, Sayang?”[Yuki sedang bermain boneka.]“Anda tidak seharusnya bersikap sesukanya begini. Anda bisa menunggu saya datang dan meminta izin baik-baik. Bukan main ambil bawa seenaknya.” Maura meluapkan kesalnya pada Vivian.[Maaf kalau membuat kamu panik. Tapi sekedar mengingatkan, Yuki adalah anak saya. Tidak perlu izin dari orang lain untuk mengajak anak say
Playground MickeyYuki tampak senang melompat di atas trampolin sambil sesekali berteriak histeris saat lompatannya terlalu tinggi dan menyebabkan dia terpental jatuh. Vivian berdiri di luar arena dengan mata basah. Hampir dua puluh hari berpisah dengan Yuki dan hanya mendengar suaranya tanpa melihat wajahnya karena Maura selalu menolak permintaan video call darinya. Rindunya membuncah.“Mama, kemarilah. Ayo, melompat bersamaku!” seru Yuki sambil melambaikan tangannya.Vivian hanya tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Selama menjalani pengobatan dua minggu ini, Vivian sering mengalami mual dan pening yang datang tanpa disangka, seperti saat ini.Matanya memicing, memastikan sosok gagah yang berjalan ke arahnya menyeberangi arena permainan adalah sosok yang dua minggu ini selalu datang dalam mimpinya, Ranggapati. Vivian mengulas senyumnya yang paling menawan saat Rangga makin mendekat.“Mana Yuki?” tanya pria it
Flashback on Rumah Sakit Kanker Singapura “Bagaimana hasil pemeriksaannya, Dok?” “Anda siapanya?” “Saya walinya, Reno Mahendra.” Allen memeriksa data pasien atas nama Vivian dan menemukan nama Reno sebagai wali sekaligus penanggung biaya pengobatan. Melihat keragu-raguan pada dokter wanita di depannya, Reno mengeluarkan semua identitasnya mulai dari SIM, KTP hingga paspor. “Baiklah, saya percaya. Kini kankernya sudah masuk stadium tiga, harus segera dilakukan tindakan. Saran saya, kita lakukan kemoterapi dan radiasi bersamaan untuk mempercepat membunuh sel kankernya. Bagaimana?” “Berapa persen kemungkinan dia sembuh, Dok?” “Di atas kertas, enam puluh persen. Tapi itu semua tergantung respon tubuhnya terhadap obat kemo dan ketahanannya, mengingat usianya dan jenis kanker.” Reno memejamkan mata seraya menarik napas dalam. “Tolong lakukan yang terbaik untuknya, Dok. Dia punya seorang putri yang mas
Hotel Pegasus “Mereka mengancamku. Memojokkanku. Bahkan mengambil Yuki dariku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak bisa kehilangan semuanya begitu mudah.” Vivian mencurahkan semua unek-uneknya. [Sayang, jangan emosi dulu. Ingat, kesehatanmu lebih penting. Kita pikirkan pelan-pelan sambil kau jalani pengobatanmu.] “Kau mudah saja bicara begitu. Karena bukan kau ibunya. Aku merindukan Yuki.” [Aku tahu, tapi ini demi dia juga. Kamu mundur dulu agar mereka tidak makin waspada terhadapmu. Mundur untuk menang. Emm, apa kau belum bisa mendapatkan uang dari sepupumu?] “Belum.” [Aku membutuhkannya dalam waktu dekat ini. Bisakah kau membantuku?] “Tidak, aku belum bisa membantumu.” Vivian memutus sambungan telepon dan melempar ponselnya ke ranjang tanpa menjawab pertanyaan dari lawan bicaranya. Tidak ada lagi yang bisa ia harapkan untuk membantunya selain dirinya sendiri. “Baiklah, aku akan menyembuhkan diri dan
Rangga berdiri di depan pintu kamarnya, berulang kali mengangkat tangan hendak mengetuk pintu, tapi diurungkannya. Diusapnya wajah dan rambutnya, tingkah canggung yang sudah lama tak dilakukannya. “Mau berapa lama berdiri di luar?” Rangga berjingkat kaget kala suara Maura menegurnya dari belakang. Pria itu berbalik cepat dan memasang senyum menawan yang biasa dia pakai untuk membujuk istrinya. “Sayang, aku kira kamu ada di dalam,” gumam Rangga hampir tak terdengar. “Kalau mengira aku di dalam, kenapa masih berdiri canggung di luar?” “Aku takut mengganggu tidurmu. Bukankah sore begini biasanya kamu sedang istirahat?” “Mengira aku sedang tidur, tapi masih berencana mengetuk pintu? Tidakkah itu akan mengganggu tidurku?” Maura mengeratkan tali bathrobe warna marun yang dikenakannya. “Habis berenang?” “Ya, aku harus berenang untuk meredakan isi kepalaku yang mendidih karena perbuatanmu. Kita perlu bicara, Kak.”
“Sayang, Mama memintamu untuk segera turun dan mulai berdandan. Acara pernikahan Alina akan dimulai tiga jam lagi,” ucap Rangga seraya menyentuh bahu Maura lembut.“Bolehkah aku tidak pergi? Aku baru saja mengeluarkan seluruh isi perutku. Tubuhku terasa lemas dan tak bertenaga,” rengek Maura manja.“Kamu tidak akan berani melakukannya, Amor. Sebaiknya kita turun dulu, biar Mama yang memikirkan solusi terbaik untukmu. Aku harus berangkat ke hotel dulu untuk menemani Reno. Nanti kamu berangkat bersama dengan rombongan mempelai wanita.”“Aku benar-benar tidak ingin turun dari ranjang, Kak.”“Oke, aku akan panggil bantuan.” Rangga melangkah pergi bersamaan dengan pintu kamar terbuka dari luar.“Bagaimana keadaan Maura? Apa memungkinkan untuk ikut acara?” Hanna masuk dengan wajah cemas.“Nah, ini yang ditunggu sudah datang. Ma, sepertinya Maura tidak akan tahan
Dari balik pintu kaca hotel, Anggita berdiri memperhatikan yang sedang terjadi di teras sambil berkacak pinggang dan mengulas senyum culas.“Tujuan utama kami sebenarnya untuk wawancara orang lain. Berhubung kami kebetulan melihat Bapak, jadi kami pikir bisa sekalian mendapat sedikit waktu untuk wawancara,” kilah salah satu wartawan wanita.“Anda baru di dunia jurnalis? Setiap foto dan berita yang didapat tanpa izin dan sampai terbit, bisa dipakai sebagai bahan menuntut pencari berita termasuk redaksinya. Anda ingin mencobanya?”Wanita itu tersenyum sinis. “Anda hanya perlu menolak permintaan wawancara kami, tidak perlu berceramah tentang kode etik mencari berita.” Seorang pria menyikut lengan wanita itu.“Hapus semua foto yang tadi kalian ambil. Kalian tahu dengan baik konsekuensinya bila sampai ada yang diterbitkan.”“Hohoho, tidak perlu terlalu serius, Rangga. Wartawan juga sahabat pengusaha,
Dua pria suruhan Anggita, membawa Maura masuk ke sebuah kamar yang sudah disiapkan untuk menyekap menciptakan ‘Kartu As’ yang nantinya bisa digunakan dalam kondisi terjepit. “Pelan-pelan, rebahkan di sana.” Asisten Anggi menunjuk ke sebuah ranjang besar. “Kalian bisa pergi sekarang. Uangnya sudah masuk ke rekening kalian masing-masing.” Dua pria itu mengangguk sambil menyeringai puas saat mengintip isi dalam amplop. Hanya membius seorang wanita dan membawanya ke sebuah kamar yang sudah disiapkan, mereka mendapat upah masing-masing seratus juta. Klien mereka kali ini benar-benar kelas kakap. “Mereka sudah mengantar Maura ke kamar. Aku juga sudah mengirim bayaran mereka,” lapor asisten wanita itu. [Bodoh! Bukankah sudah aku katakan untuk memberi mereka uang tunai?!] teriak Anggi panik. [Rangga akan dengan mudah menangkap mereka. Sial! Goblok!] makinya berulang kali sebelum memutuskan sambungan. “Astaga, masih saja salah melangkah.” Asisten wanit