Sore telah berganti senja, bertemankan semilirnya angin yang terasa begitu sepoi, membelai lembut dedaunan yang ada di depan halaman gedung Dirgantara Property yang sedang di penuhi oleh banyaknya pegawai.
Baru keluar dari pintu utama loby menuju parkiran secara bergantian, tepat di pukul lima sore, waktu dimana para pegawai harus pulang setelah seharian ini berkutat dengan banyaknya pekerjaan.
"Ayo Gam!" ajak Fahmi, sudah mencangklong tas kerjanya, mengalihkan sesaat pandangan Agam yang sedang duduk di atas kursi kebesaran tak kunjung berdiri dan bersiap untuk pulang.
"Sebentar Fa," jawab Agam, terlihat sibuk dengan layar ponselnya yang menyala, masih berkirim pesan dengan kekasihnya.
("Aku pulang dulu, nanti jam setengah tujuh malam siap-siap ya? aku jemput kamu. Kita ke rumah ketemu sama Mama,")
Pesan teks yang di ketik Agam, segera di kirimnya ke nomor ponsel Inez, s
"Mau kemana kamu Nez? kok sudah cantik begini?" tanya Mama Desi yang sedang duduk di atas sofa di ruang keluarga bersama dengan Papa Raimon.Beradu pandang dengan Inez yang tersenyum, masuk ke dalam ruangan mendekatinya."Mau keluar sama Pak Agam Ma," jawab Inez, seraya mendudukkan dirinya di samping Mamanya mengalihkan pandangan Papa Raimon."Agam?" kata Mama Desi."Iya,""Kok tumben?""Apanya yang tumben?""Itu keluar sama Agam, kalian dekat?" tebak Mama Desi, menciptakan seulas senyum di bibir Inez mengangguk pelan."Iya, aku sama Pak Agam sekarang kan... hahaha," jawab Inez tertawa, merasa malu sendiri, mengerutkan kening Mama Desi."Mereka pacaran Ma," sahut Abian, tiba tiba saja masuk ke dalam ruang keluarga, mengalihkan pandangan semua orang.Termasuk Papa Raimon yang s
"Kenapa Nez? kok nggak mau?" tanya Agam, dengan degup jantungnya yang tak karuan menuntut jawaban.Dari Inez yang terdiam, menundukkan kepala memejamkan matanya dalam."Inez? bisa jawab pertanyaanku? kamu nggak benar benar menyukaiku? atau... kamu nggak punya keyakinan sama aku? karena penyakitku?" tanya Agam, menelan salivanya pelan, masih menanti jawaban.Sebelum membuang pandangannya, menyandarkan kepalanya mencoba menerka apa yang ada di dalam hati dan pikiran kekasihnya, kembali menatap Inez yang bersuara."Aku yakin sama kamu Pak, aku suka sama kamu, aku juga nggak mempermasalahkan gangguan kecemasan yang kamu derita, aku hanya... ah sialan!" jawab Inez, merasa bingung sendiri dengan jawabannya menarik nafasnya panjang.Semakin membuat Agam penasaran, kembali menegakkan duduknya menyipitkan mata."Kamu kenapa?""Aku benci sama cara
"Terimakasih ya Bi," kata Aura, sudah membawa secangkir teh madu di tangan kanannya di dalam dapur, beradu pandang dengan asisten rumah tangga Agam yang tersenyum dan mengangguk ramah."Sama sama Mbak, kalau perlu apa apa langsung bilang saja ke saya,""Iya Bi makasih ya, saya ke kamar dulu, gerah mau mandi.""Silahkan Mbak," jawab asisten rumah tangga sopan.Kembali melakukan pekerjaannya, tak lagi memperhatikan Aura yang sudah mengayunkan langkah keluar dari dapur meninggalkannya.Hendak masuk ke dalam kamar tamu yang telah di persiapkan Mama Ratih untuknya, sebelum meletakkan segelas teh madunya di atas nakas.Segera bersiap untuk mandi, melepaskan baju yang di pakainya hingga meninggalkan tank top hitam ketat di tubuh langsingnya, hendak melepaskan tank topnya juga hingga ke bawah dada, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamar mandi yang tiba tiba saj
Malam semakin larut, bertaburkan bintang dan juga rembulan yang bersinar tampak begitu terang, menemani acara makan malam di kediaman Agam.Terlihat Agam, duduk bersebrangan dengan Inez yang terdiam, hanya menikmati makanan, memperhatikan Aura dengan lirikannya.Yang tampak ramah melayani calon Mama Mertuanya."Tante bisa ambil sendiri Ra, kamu ini tamu, kok malah kamu yang melayani Tante," kata Mama Ratih, sedang duduk di samping Aura dan juga Andien, melebarkan senyum Aura."Nggak papa Tante, tiap di rumah juga Saya yang melayani Papa dan Mama," jawab Aura, seraya mengangsurkan sepiring nasi yang telah di isinya."Terimakasih ya?" jawab Mama Ratih mengambil alih.Memperburuk rasa dongkol dan tak suka di hati Inez, mungkin karena kalimat Andien sebelumnya yang terus saja terngiang di kepalanya.Hingga mengontaminasi hati dan juga pikirannya, membuatnya sama sekali tak meny
Jalanan kota yang terlihat lenggang, karena waktu yang masih begitu pagi, belum menunjukkan hangatnya sinar dari sang mentari secara sempurna.Tepat di saat pukul 05:30, terlihat Agam, sedang mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, memakai earphone di telinga kirinya menunggu panggilannya tersambung."Halo...," suara Fahmi, terdengar lirih dan juga parau."Jam berapa ini Fa? masih tidur aja kamu, dasar pemalas!""Belum waktunya jam kerja Gam! jangan resek!"Menciptakan tawa di bibir Agam membenarkan earphonenya."Hari ini aku telat, selepas makan siang juga nggak bisa balik kantor, mau jalan sama Inez cari cincin lamaran," kata Agam.Semakin tergelak mendengar pekikan Fahmi yang terkejut tak percaya."Ngimpi ya kamu! atau nglindur?" seru Fahmi."Kamu itu yang ngimpi,""
Sinar mentari yang tadinya mengintip, kini telah menampakkan cahaya yang begitu hangat mencerahkan suasana taman yang terlihat tak begitu ramai oleh beberapa pengunjung.Salah satunya Agam dan juga Inez, yang sama sama sudah tersenggal, baru menyelesaikan dua putaran larinya mengitari taman.Saling melempar senyum, bersiap untuk mengakhiri lari paginya beradu pandang."Capek?" tanya Agam.Menganggukkan kepala Inez mengiyakan."Di sana ada tukang bubur, mau makan itu?" lanjut Agam, menunjuk gerobak bubur yang ada di tepi taman, tak jauh dari parkiran ikut mengalihkan pandangan Inez."Kita istirahat disana, minum yang banyak sekalian makan,""Boleh," sahut Inez.Segera mengayunkan langkahnya, mengikuti langkah Agam yang telah menggandeng tangannya berjalan beriringan."Bang makan sini dua ya? teh hangatnya empat," kata Agam,
Pagi berganti siang, Menambah teriknya sang Surya, tak lagi bersahabat menyengat kulit.Tepat di pukul 12:30, terlihat Inez dan juga Agam, baru saja menghabiskan menu makan siang yang telah mereka pesan, di salah satu restoran yang ada di dalam mall tempat mereka hendak mencari cincin dan juga perhiasan yang lainnya."Beli cincin saja ya Yang? nggak usah satu set," Kata Inez, duduk di seberang kekasihnya yang sedang menenggak minuman, menyeka sudut bibirnya dengan tisu."Kenapa?" tanya agam."Aku nggak suka,""Kamu sukanya apa?""Sukanya kamu," goda Inez, menciptakan tawa di bibir Agam dan tergelak."Aku nggak suka sama segala macam jenis perhiasan, ini aja cuma pakai anting." lanjut Inez, menunjukkan anting simpel yang di pakainya, mencondongkan kepala Agam memperhatikan."Mama yang memaksanya, sebagai tanda kalau ak
"Ada pesan atas nama Haikal. Aku nggak sengaja membacanya," jawab Inez, mempercepat degup jantung Agam, segera menggeser layar ponselnya membaca pesan dari psikiaternya."Ada janji apa jam tiga? ini sudah jam setengah tiga," tanya Inez akhirnya, sama sekali tak bisa bersabar, ingin segera mengetahui maksud dari pesan Haikal, menatap dalam Agam yang terdiam, menggosok kening perlahan tak kunjung memberikan jawaban."Nggak ada janji apa-apa," bohong Agam, menyipitkan kedua mata Inez tak percaya."Hanya untuk ngobrol,""Jawab jujur Yang, kasih aku jawaban yang masuk akal,""Aku nggak bohong,""Apa? dusta?" sahut Inez mengintimidasi."Apa dokter yang lagi sibuk dan banyak pasien akan membuat janji hanya untuk mengobrol? ayolah, kasih aku alasan yang bisa di terima oleh nalar," kata Inez, sama sekali tak bisa mempercayai jawaban kekasihnya, me