"Oh, atau mungkin dia sudah di bawah? Ya, ya. Mungkin saja," cetus Varra beranjak melewati Gretta yang membenarkan posisi handuk di kepala.
Belum sempat menginjakkan langkah di anak tangga pertama, Varra memutar tubuh. "Gretta, ikut Mom. Bantu Mom cari anak tidak tahu diri itu!" titahnya kemudian.
"Mom, aku belum mengeringkan rambut. Kenapa harus repot-repot mencarinya, sih? Dia tidak mungkin berani kabur dari rumah, Mom. Mungkin dia sedang jalan-jalan di luar," sahut Gretta meruncingkan bibir.
"Oh, jalan-jalan di luar, ya? Kalau begitu, sekarang cari dia di luar!" perintah Varra beringsut menuruni anak tangga.
"Apa, Mom? Mom tidak salah bicara, kan? Di luar sedang turun salju. Masa iya aku ke luar sekarang? Tidak, aku tidak mau," tolak Gretta menyusul langkah ibunya menyusuri lorong.
"Cari sekarang atau tidak ada sarapan!" ancam sang ibu terus melangkah cepat.
"Mom ...," rengek Gretta mencebik bibir.
Ia pun mengentakkan kaki s
Acasha menggigit bibir dan terus menatap boarding pass di tangan. Sebentar lagi dia akan meninggalkan Ispanika, tempat di mana ia tumbuh bersama keluarga Ignatius karena dia memilih untuk pergi bersama seorang pria yang baru dua kali ditemuinya bernama Demian, demi menghindari pernikahan yang tidak diinginkan. Ya. Acasha memang pengecut. Dia lebih memilih melarikan diri daripada menghadapi masa depan yang sudah ditentukan sepihak oleh ibunya. Tapi, bukankah hal itu wajar dilakukan untuk seseorang yang ingin memperjuangkan impian dan cita-cita yang belum tercapai, sementara pendapatnya tidak didengar? Tapi, apakah ini keputusan yang tepat? Apakah ini sepadan dengan kekecewaan yang harus diterima oleh keluarga dan calon suami yang sudah berharap penuh padanya? Bagaimana jika ibu dan saudarinya semakin membenci Acasha? Tapi, bukankah itu semua adalah konsekuensi yang sudah dipertimbangkan sebelumnya oleh Acasha? Lalu, mengapa baru sekarang ia khawatir? Mengapa sek
Tanpa membuang waktu, Demian meninggalkan toilet wanita dan menyusuri lorong, berharap menemukan jejak aroma Acasha yang tertinggal."Fokus, Demian. Fokus!" gumam Demian sembari terpejam beberapa sesaat.Tepat di ujung lorong, samar-samar perpaduan harum bunga Mawar dan Gardenia menyapa indra penciuman Demian. Secepat mungkin ia meninggalkan terminal dan menuju area parkir, kemudian mengikuti aroma tersebut sebelum benar-benar menguap dan diterbangkan angin."Ternyata kau berguna untuk hal semacam ini," gumamnya sembari terus memacu kecepatan mobil sport berwarna navy miliknya yang semakin menderu, membelah jalanan yang lengang.Hingga di suatu titik, tercium aroma khas bunga Anyelir Putih dari vampir Loyal Blood yang masih kental di udara. Terlebih, saat samar-samar harum bunga Mawar dan Gardenia juga bercampur di sana, otomatis berhasil membangkitkan kecurigaan dalam benak sekaligus mempermudah Demian untuk menelusuri dan menemukan keberadaan Acasha.
Sensasi dingin hingga menusuk tulang menggugah alam bawah sadar Acasha untuk segera kembali ke dunia nyata. Lambat-lambat kelopak mata si gadis albino terbuka. Acasha sontak terkesiap mendapati dirinya mengapung dan terbawa arus sungai yang dikelilingi lebatnya pepohonan pinus. Kedua tangannya bergerak-gerak cepat ke segala arah seolah ingin menggapai sesuatu. Pada saat itulah, genggaman kuat seorang pria memutar tubuh Acasha. Tampaklah wajah pria berambut cokelat karamel yang basah menatap lekat dengan iris biru jernihnya. "Syukurlah, Nona sudah sadar," ungkap Demian penuh rasa syukur. Belum habis keterkejutan Acasha, pelupuknya kembali terbuka lebar. "D-Demian?? Kenapa kita ada di tengah-tengah sungai?? Apa yang sudah terjadi??" panik Acasha balik mencengkeram kuat lengan Demian. Namun, bukannya menjawab, Demian justru memangkas jarak dengan Acasha. "Demian!" "Sstttt .... Tolong, jangan berteriak," bisik Demian merapatkan tubuh dan m
Aroma lezat daging yang baru saja di panggang membelai lembut indra penciuman Acasha, membangkitkan rasa lapar dan menggetarkan indra pengecapnya yang belum mendapatkan asupan sama sekali sejak kabur dari rumah. Melihat kerutan di pelupuk Acasha, Demian menyentuh kening sang gadis yang tak lagi demam. "Nona ...." Acasha mengerjap beberapa saat sebelum pandangannya tertuju pada selimut tebal yang membalut tubuhnya, kemudian piring berisi potongan daging dengan kepulan asap di atasnya. Ia pun menelan saliva. Demian tersenyum seraya mendekatkan piring dengan daging yang masih hangat itu pada gadis di sampingnya. "Nona mau saya suapi?" tanya Demian menawarkan. "Eum ...." Acasha menggeleng pelan. "Saya bisa sendiri," tolaknya lembut, seraya menyambut piring dari tangan Demian. "Pelan-pelan saja," ujar Demian mengambil piring lain di meja. Sambil meniup-niup daging yang mengepulkan asap, Acasha meneliti setiap sudut ruangan.
Brak! "Siapa kalian?!" Sontak sepasang lawan jenis yang semula terlelap kini terbangun dari tidurnya, menatap sesosok pria paruh baya bermantel tebal berdiri di ambang pintu yang baru saja dibanting dengan sangat keras. Cuaca yang begitu dingin melemahkan kewaspadaan mereka sampai tidak menyadari deruan snowmobile berhenti di depan pondok tua yang mereka singgahi. Demian beranjak dari sofa, sedangkan Acasha masih duduk sambil berkedip-kedip di atas ranjang, mengumpulkan seluruh kesadarannya. "Maafkan kami. Kami sudah lancang masuk ke pondok Anda tanpa izin. Kami hanya mencari tempat untuk beristirahat sejenak sampai besok pagi," jelas Demian tanpa diminta. Sang pria paruh baya bermantel menurunkan tudungnya. Putih ubannya sudah tampak di berbagai sisi. Pelupuk keriputnya menyipit ke arah Demian, lalu Acasha bergantian. "Sayangnya, hari ini sudah 'besok pagi'," sahutnya terdengar garang. Demian melirik cahaya di balik pu
Lagi-lagi, Acasha dibuat keheranan tentang fakta yang mengejutkan dari seorang Demian. Terlebih, fakta tersebut ia peroleh dari orang lain yang sama-sama tidak saling kenal. Tanda tanya besar semakin memenuhi pikiran Acasha. Yang ia tahu, Demian adalah utusan dari seseorang yang memiliki wewenang. Tapi, seberapa berkuasa pemilik wewenang tersebut sampai-sampai Demian saja mampu memberikan seribu dolar secara cuma-cuma pada orang asing? Belum lagi dengan biaya yang selama ini digunakan Demian untuk hidup dan membayar tiket pesawat mereka berdua? Mendadak, Acasha merasa bodoh dan hilang muka. Berani-beraninya ia kabur dan menghanguskan dua tiket pesawat kelas satu seharga tiga ribu empat ratus dolar tanpa merasa berdosa. Apalagi, hari ini, mereka akan melakukan penerbangan yang sempat tertunda. Bagaimana Acasha akan mengganti rugi uang yang terbuang percuma untuknya itu, sedangkan lima puluh dolar pun ia tak punya? "Aku harus membujuk Demian untuk membeli tiket
Manik merah pekat sang vampir tampak berkilat-kilat saat gadis yang menjadi tawanannya mengangguk patuh tanpa ekspresi. "Bagus. Sekarang, ambil pisau di sana dan isi gelas itu. Aku sangat haus," titah sang vampir menunjuk dengan lirikan mata. Tanpa membantah, Gretta melangkah mendekati meja. Ia mencabut pisau tajam yang tertancap di apel merah. Manik cokelat sang gadis menatap hampa mata pisau tajam mengilap yang terpantul cahaya temaram sesaat sebelum satu gerakan cepat. Clashh .... Deras cairan merah pekat membanjiri telapak tangan sang gadis dari goresan memanjang yang tercipta. Tanpa merasa perih, ditampungnya cairan merah itu ke dalam stem glass. Tetes demi tetes sangat menggiurkan dan menggugah hasrat sang vampir. Bukan hanya vampir Pure Blood di kamar itu saja yang tergoda, bahkan vampir Loyal Blood di sekitar hotel terbengkalai itu pun gelisah merasakan manisnya udara yang terkontaminasi dengan harum Sweet Pea dari kamar tuannya.
Pelupuk Gretta sontak membelalak."Tidak! Pergi! Pergi dariku!" pekik Gretta berusaha meronta, tapi tetap saja tidak bisa.Hampir seluruh bagian tubuh gadis malang itu seolah lumpuh, kecuali bagian leher ke kepala. Berbanding terbalik dengan sensor di kulitnya yang masih berfungsi dengan sangat baik. Ia masih bisa merasakan setiap sensasi sejuk dan dingin yang disalurkan oleh sang pemangsa di setiap titik di tubuhnya.Hal itu disebabkan oleh kemampuan khusus yang dimiliki Orion, sang vampir Pure Blood. Dengan kemampuan ajaibnya itu, ia dapat mengendalikan pikiran, kesadaran, maupun bagian tubuh dari mangsanya sesuka hati. Kemampuan yang sangat menguntungkan untuk menaklukkan manusia yang akan menjadi bahan mainan sebelum berakhir menjadi santapan."Hmm, kenapa aku harus pergi darimu? Bukankah kau yang ingin bersamaku?""Tidak! Tidak! Menyingkir! Pergi!!"Kepala Gretta menggeleng dan mengentak kepanikan."Bagaimana aku akan pergi? Kau sendiri 'kan yang mengingink
"Kurang ajar! Beraninya kau pada Tuan Orion!" teriak Gretta yang sejak tadi bersembunyi di balik bayangan Orion. Ia melesat cepat untuk melayangkan serangan kepada Acasha yang berdiri membelakanginya.Namun, dengan gesit, Acasha berpindah dari sana tanpa berhasil tersentuh barang seujung kuku. "Gretta, berhentilah! Aku tidak ingin menyakitimu."Mendengar ucapan Acasha, tubuh Gretta seketika menjadi kaku, kedua kakinya melekat erat dengan lantai dan anggota tubuhnya benar-benar tidak dapat digerakkan sama sekali."Ugh ... kenapa aku nggak bisa gerak? Apa yang kau lakukan padaku?! Lepaskan aku, jalang! Lepaskan aku!!" teriak Gretta sangat lantang."Gretta, apa tuanmu yang sudah mati itu tidak pernah mengajarimu sopan santun? Aku yakin dia sudah pernah mengajarimu, tapi sepertinya otakmu tidak sanggup menyerap pelajaran dengan baik," ucap Acasha dengan ekspresi dan suara bernada datar."Jaga bicaramu! Kau pikir, aku akan bersopan-santun padamu? Cih, jangan harap! Kau bukan Tuan Orion! Me
Deg ... deg ... DEGDEGDEGDEG ....Degup jantung pria yang tengah tertunduk, terkulai tak berdaya dalam cekalan rantai terkutuk pada kedua tangan dan kaki itu, mulanya sangatlah lemah akibat kehabisan darah. Namun, kini debaran di dada terasa semakin cepat, sangat cepat dan semakin intens seolah ingin meledak dan menghancurkan tulang rusuk menjadi berkeping-keping.Demian membuka mata. Ada kilatan merah di lensa birunya yang membelalak lebar. Keningnya berkerut dalam menahan sensasi sakit luar biasa tengah menggedor-gedor dada bidangnya. Peluh bercampur darah pun mengalir di pelipisnya."Khhh ...."Sesak! Paru-parunya terasa dihimpit batu besar dari dua arah berlawanan. Oksigen sama sekali tidak bisa masuk dengan benar memenuhi rongga-rongga udara seolah ia sedang tercekik dan tak sanggup pula untuk berteriak.Tubuhnya lantas memberontak. Bergerak-gerak dengan brutal dan tak terkendali akibat rasa sakit yang tak bisa didefinisikan lagi dengan kalimat apa pun. Tidak ada satu pun ungkapa
Angin berembus kencang menggoyangkan dahan dan ranting serta menerbangkan butiran salju berputar-putar di udara. Deburan ombak di laut tak kalah riuh menabrak batu karang juga dermaga seolah ingin melahapnya.Langit malam tampak cerah-berawan membawa kelam semakin mencekam saat rembulan perlahan kehilangan cahayanya dan berubah warna menjadi merah, semerah darah.Ialah Super Blood Moon. Fenomena yang terjadi setiap 195 tahun sekali, ketika matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus. Bulan akan masuk seluruhnya ke dalam bayangan inti atau umbra bumi, sehingga tidak ada sinar matahari yang bisa dipantulkan ke permukaan bulan.Dalam fenomena menakjubkan yang sedang berlangsung itulah, takdir baru sang vampir muda dimulai.Acasha terbangun dengan kedua warna mata berbeda. Iris ungunya telah berubah warna serupa merah darah, menatap lurus vampir berusia ratusan tahun yang tengah memangkunya."Acasha ...." bisik Athan tertegun melihat perubahan yang sudah pernah ia perkirakan s
"Dasar sinting!" umpat Chesy bersikeras memberontak dan mendorong tubuh Bedros ke depan. Namun, sang kaki tangan Orion yang setia itu justru mengunci tubuh Chesy semakin kuat dan menancapkan taring tajamnya di leher jenjang Chesy yang sudah sangat menggiurkan sejak tadi. Gluk ... Gluk ... Gluk .... Benar. Mirip tapi beda. Mirip dari rambut ginger-nya yang bersinar cerah bagai daun maple di musim gugur. Lalu, bedanya ... harum tubuhnya bak bunga gardenia yang bermekaran dan manis darahnya sangatlah nikmat, membuat siapa pun yang menghisapnya merasa tenang dan larut dalam kesejukan di setiap tegukan, tak terkecuali dengan Bedros. Aroma gardenia yang diterbangkan angin mencapai indra penciuman Gelsi. Ia pun menoleh. Tepat di depan mata, ia menyaksikan satu-satunya putri kesayangannya yang seorang Half Blood Klan Agathias tengah tak berkutik dalam rengkuhan Loyal Blood Klan Remo. Terpantiklah percikan api seketika mengobarkan kemurkaan di dalam diri seorang ayah vampir. "ENYAHK
Sang surya mulai menyembunyikan terang sinarnya, berganti dengan gulita yang siap menyongsong hamparan kristal beku, menambah suasana mencekam yang semakin menyelimuti Pegunungan Wolley.Udara dingin bukanlah masalah besar bagi para vampir, tetapi serangan dari makhluk yang diciptakan dari darah terlarang itu tak kunjung berakhir. Mereka datang dari berbagai penjuru, bagai muncul dari selang air yang menyemburkan Forbidden Blood nan menjijikkan, hingga membuat muak para Loyal Blood yang tengah membasmi mereka. Namun, ada satu hal positif yang bisa menjadi petunjuk. Dengan semakin rapatnya intensitas kemunculan Forbidden Blood, berarti mereka sudah semakin dekat dengan lokasi tujuan.Athan, sang Pure Blood Klan Agathias, ditemani Half Blood dan ketiga Loyal Blood terdekatnya, terus berlari dalam kecepatan yang sama—sangat cepat—demi mengejar detik yang terus bergulir."Waktu kita tidak banyak," gumam Athan setelah menatap langit sesaat.***Setelah menghadapi segala aral melintang, ak
"Jangan bilang ... dia belum kembali," ucap wanita itu, tercenung."Ha ...." Ela mendongakkan kepala, menghela napas kesal. "Nona, saya tahu, Anda tidak menyukai Nona Acasha, tapi saya tidak menyangka kalau Anda sejahat itu.""Nona Zelika, kenapa Anda tega meninggalkan Nona Acasha sendiri? Seharusnya Anda membawa dia kembali bersama kami!" imbuh Lieke tersulut emosi, entah ke mana perginya ketakutan dan kekhawatiran yang sempat menciutkan nyali.Zelika memejamkan pelupuk sambil memijat pangkal hidungnya pelan. "Nona-Nona Sekretaris, sebenarnya bukan saya yang meniggalkan, justru saya yang ditinggalkan. Lagi pula, saya sudah berbaikan dengan Nona Acasha. Sudah tidak ada lagi niat jahat padanya barang sedikit pun."Dengan alis yang masih bertaut, Lieke membalas, "Lalu, di mana dia sekarang?""Mungkinkah, dia sudah masuk ke sini sebelum kami?" celetuk Ela. "Atau berlindung di tempat lain?" lanjutnya.Zelika mendesah pelan. Parasnya tetap terlihat cantik dan menawan meski gurat keresahan
Brakk!!! Sebilah meja persegi panjang yang terbuat dari pahatan kayu pinus seketika terbelah dan hancur berkeping-keping setelah Athan menerima kabar buruk yang disampaikan oleh Chesy.Bukannya dia tak tahu, bahkan dia sudah memperkirakan bahwa peristiwa ini cepat atau lambat akan terjadi jua. Namun, ia tetap tak bisa menyangkal atas ketidaknyamanan yang sedang ia rasakan saat ini. Bagaimana pun dia telah gagal mengantisipasi."Dasar, ceroboh!" umpat Demian, menggeram. Alisnya menukik tajam, bak bara api menyala di merah matanya, rahangnya mengetat, pun tangannya mengepal erat.Tak berbeda jauh dengan Chesy, perasaannya sangat kalut. Sambil menahan emosi yang terus menggelegak, ia menunjukkan ponsel milik Demian dan Acasha yang sudah remuk."Kami menemukan ini ... sudah hancur tergeletak di trotoar."Tanpa berkomentar, Athan menatap tajam Gelsi yang tengah sibuk dengan laptop di lantai—sebab meja yang semula dijadikan alas sudah dihancurkan Athan dan dia membutuhkan kesepuluh jarinya
Tanpa mereka sadari, seorang pria dengan setelan jas formal tengah mengintai mereka sejak tadi. Dia terus memerhatikan dari kejauhan tanpa sedikit pun berpaling.Dialah Demian. Pria yang diam-diam mengikuti ke mana pun Acasha pergi hampir seminggu ini, tapi bersikap sok cuek ketika berhadapan langsung.Dia melakukan semua itu untuk menutupi rasa canggung yang terbentang sejak pengakuan bodohnya tempo hari.Namun, entah dasar apa, Demian tetap tidak bisa melepaskan Acasha menjauh dari pandangannya barang sedetik saja. Karena itulah dia melakukan cara ini di belakang. Sebuah tindakan pengecut dari seorang pria yang masih mencari-cari makna dari kata cinta.Demian yakin, gadis muda yang tengah menggandeng lengan Acasha itu memiliki hubungan yang tidak baik dengan Acasha. Tapi, apa yang telah terjadi sampai mereka bisa tampak sedekat itu?Namun, sebelum itu, bagaimana bisa gadis itu ada di sini? Sudah dipastikan sebelumnya, tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui ke mana perginya Aca
Setibanya di suatu restoran bernuansa kafe yang tak terlalu jauh dari kantor, Acasha dan Zelika duduk berhadapan dengan canggung."Ehm, soal tadi ... apa yang ingin Nona bicarakan?" tanya Acasha membuka percakapan setelah keheningan yang panjang.Zelika tampak ragu-ragu. Ia pun menyesap lemon tea yang sudah mereka pesan, lalu menatap Acasha lekat-lekat. "Saya ... maafkan saya, Nona ...." ucapnya dengan wajah tertunduk. Entah ke mana perginya kepercayaan diri dan keangkuhan yang selalu terpancar di wajahnya.Alis Acasha mengerut. "Maaf? Maaf untuk apa?" tanyanya masih tidak mengerti.Ingatan tentang kemurkaan sang pemimpin klan tempo hari seketika kembali terekam di benak Zelika. Tanpa perlu mengetahui latar belakang tentang status dari sang sekretaris itu, Zelika harus sadar diri dan tahu batasan bahwa Acasha bukanlah seorang manusia sembarangan. Pastilah dia punya pengaruh besar untuk klan Agathias."Saya melakukan kesalahan pada pertemuan terakhir kita. Saya tidak yakin Nona ingat a