Pelupuk Gretta sontak membelalak.
"Tidak! Pergi! Pergi dariku!" pekik Gretta berusaha meronta, tapi tetap saja tidak bisa.Hampir seluruh bagian tubuh gadis malang itu seolah lumpuh, kecuali bagian leher ke kepala. Berbanding terbalik dengan sensor di kulitnya yang masih berfungsi dengan sangat baik. Ia masih bisa merasakan setiap sensasi sejuk dan dingin yang disalurkan oleh sang pemangsa di setiap titik di tubuhnya.Hal itu disebabkan oleh kemampuan khusus yang dimiliki Orion, sang vampir Pure Blood. Dengan kemampuan ajaibnya itu, ia dapat mengendalikan pikiran, kesadaran, maupun bagian tubuh dari mangsanya sesuka hati. Kemampuan yang sangat menguntungkan untuk menaklukkan manusia yang akan menjadi bahan mainan sebelum berakhir menjadi santapan."Hmm, kenapa aku harus pergi darimu? Bukankah kau yang ingin bersamaku?""Tidak! Tidak! Menyingkir! Pergi!!"Kepala Gretta menggeleng dan mengentak kepanikan."Bagaimana aku akan pergi? Kau sendiri 'kan yang menginginkHai, Readers yang budiman! Bagaimana pendapat kalian dengan kisah Love Bite : Sleeping Vampire ini? Apakah ceritanya seru dan mendebarkan? Tolong tambahkan ke rak dan tinggalkan komentar kalian, ya! Qwindive akan dengan senang hati menerima saran dan masukan demi kemajuan kisah-kisah ke depan. Keep stay tune and thanks for reading ❤
Setelah tiga jam melalui perjalanan jalur udara, akhirnya Demian dan Acasha tiba di Ellinika. Negeri yang sangat makmur dan maju, terletak di sebelah Tenggara Benua Evropi. Negeri dengan indeks pembangunan pendapatan per kapita yang tinggi dan memiliki pengaruh besar dalam kegiatan ekspor barang produksi, berupa alat telekomunikasi, perangkat lunak dan keras, bahan makanan, dan bahan bakar.Demian dan Acasha dijemput oleh sedan mewah warna putih setibanya mereka di bandara."Demian, apa masih jauh?" bisik Acasha merasa sungkan di bangku penumpang."Tenanglah, Nona. Sebentar lagi kita akan segera sampai," sahut Demian tersenyum ringan."Jangan panggil aku dengan sebutan itu!" balas Acasha dengan penuh penekanan.Acasha pun melipat tangan dan memandang ke luar jendela mobil."Hah .... Aku masih tidak habis pikir bisa pergi sejauh ini dari rumah bersama Demian. Dad, doakan aku, semoga aku baik-baik saja di sini," ungkap Acasha dalam hati, penuh harap.Tak sampai sa
Dengan satu tarikan kilat, tubuh Acasha ambruk dalam dekapan Demian. Pupil violet Acasha sontak melebar maksimal beberapa detik, sebelum akhirnya mengerjap kaku mendengar detak dan embusan napas normal."Demian ....""Bisakah Nona berbaring dan istirahat saja?" bisik Demian di telinga Acasha.Beberapa saat kemudian, dekapan Demian merenggang. Cepat-cepat Acasha bangkit dan menyelipkan rambutnya yang menjuntai menutupi wajah ke belakang telinga."Kau menipuku?" Ekspresi wajah Acasha tampak bingung dan keheranan. "Tapi, jantungmu tadi—"Demian beranjak duduk sambil mendesahkan napas cepat."Silakan Nona beristirahat. Saya ada keperluan sebentar. Permisi," ujar Demian, bergegas bangkit dari ranjang, lalu menyeberangi kamar.Tepat saat Demian membuka pintu, terdengar celetukan Acasha."Bukankah sudah kukatakan, jangan memanggilku dengan sebutan nona?"Tanpa membalas, Demian tetap melanjutkan langkah dan meninggalkan Acasha di kamar itu seorang diri.Masih m
Dengan segenggam keberanian, Acasha menegakkan pandangan, menatap pria bermanik amber di sampingnya. Selang helaan napas panjang, ia kembali membuka suara."Tuan, saya tahu, Tuan-lah yang memiliki wewenang di sini. Sudikah kiranya Tuan menjawab pertanyaan saya?"Debar jantung di dada semakin tidak terkendali. Acasha meremas dress ungu yang dikenakannya sambil menggigit bibir, tanpa berpaling dari wajah memesona sang pria bermanik amber.Saat itulah Acasha tersadar, senyum ramah yang terlukis di wajah menawan itu tersimpan kepalsuan. Lensa ambernya yang berkilau menyiratkan kesenduan dan kesepian. Seolah pria itu sedang merindukan seseorang yang tidak pernah ditemuinya untuk sekian lama."Daripada Demian, sebenarnya ada orang yang lebih lama mengenal Stephen," ujar sang pria tampan mengawali kalimatnya setelah keheningan beberapa saat.Acasha menegakkan punggung, lalu memusatkan perhatian penuh pada pria di sampingnya."Dari merekalah ... kami semua, kecuali Chesy,
Demian mendadak beku di tempatnya. Ia membiarkan sentuhan hangat itu menempel di dahinya untuk beberapa saat.Acasha memiringkan kepala. "Tidak. Suhu tubuhmu normal." Ia pun menarik tangannya dari dahi Demian. "Apa kamu menderita suatu penyakit serius?""Tidak." Demian meminum tablet merah dengan air mineral."Apa itu semacam vitamin?" tanya Acasha masih penasaran."Ya. Semacam itu. Kau sudah selesai? Aku akan segera membereskannnya," ucap Demian beringsut mengemasi piring kosong di atas meja."Ah, tunggu!" Cepat-cepat Acasha mengambil gelasnya yang belum tersentuh sama sekali dan menandaskan minumannya. "Ah .... Sudah. Sini, biar aku bantu." Acasha menyentuh baki yang di pegang Demian."Tidak perlu. Kamu duluan saja ke kamar dan bersiap-siap. Aku yang akan membereskan ini." Demian mengambil gelas kosong di tangan Acasha."Kamu sudah menyiapkan sarapan untukku. Sekarang, biarkan aku membantumu sebagai ucapan terima kasihku," bujuk Acasha masih menahan baki dalam
"Bagaimana mungkin? Jadi, Demian sebenarnya seorang presiden direktur?? Yang menolongku, yang membawaku kemari, yang menyiapkan makananku?? Pantas saja, dia bisa dengan mudah meninggalkan sejumlah uang saat di pondok. Tapi, jika Demian yang seperti ini saja seorang presiden direktur, lalu bagaimana dengan Athan?? Bukankah dia lebih daripada Demian??" terka Acasha di dalam benak. Alisnya sampai berkerut-kerut dan tanpa sadar menggeleng dengan sendirinya."Acasha, ada apa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Demian sudah berdiri di samping Acasha sambil menenteng beberapa dokumen di tangan.Pundak Acasha berkedik. "Ah, maaf. Tidak. Eum, apa yang harus saya kerjakan di sini, Presdir?" tanyanya canggung.Demian tersenyum sambil mendesahkan napas pelan. "Jadi, sekarang Nona kembali berbahasa formal dan memanggilku dengan sebutan 'Presdir'?""Eum, ya. Tentu saja. Kamu, ah, maksudku Presdir—""Sudah, jangan terlalu memaksakan diri. Toh, kita sudah cukup mengenal. Panggil aku seperti
Sambutan hangat dilayangkan presiden direktur pada sekretaris pribadi yang baru saja kembali dari orientasi singkatnya."Apakah Lieke menyulitkanmu, Nona?"Acasha menaikkan kedua alis sambil tersenyum. "Tidak, Presdir. Dia sangat membantu.""Lalu, apa yang ada di tanganmu itu?"Acasha tersenyum tipis sebelum membaca catatan memo yang dibawanya."Jadwal pertemuan penting dengan model Zelika dan tim periklanan A2A Advertising setelah makan siang, Presdir."Sebelah alis Demian berkerut sesaat sebelum menghampiri Acasha."Baiklah. Kita makan siang di dekat sini saja. Apa yang ingin Nona makan?""Saya ikut Presdir saja."Tanpa berlama-lama, mereka bergegas meninggalkan ruangan menuju restoran terdekat dan menikmati makan siang dengan tenang. Selain denting piring dan garpu yang sesekali berbenturan, tidak ada obrolan ringan ataupun berat yang terlontar dari bibir presdir tampan dan sekretaris cantik itu. Mereka terlalu larut dalam pikiran masing-masing sampai p
Tok tok tok."Permisi, Presdir. Maaf mengganggu. Bisakah Presdir kembali ke ruangan? Wakil Presdir ingin bertemu dengan Anda sekarang," ucap suara lembut yang sangat dikenal Demian dari balik pintu.Zelika yang sudah siap di atas meja seketika melengkungkan bibir dan membulatkan mata sambil menggenggam erat pergelangan tangan Demian dengan kedua tangannya."Presdir tetap di sini bersamaku, kan?" tanyanya lebih terdengar seperti rayuan manja.Demian melirik pintu yang masih tertutup rapat sebelum mendesahkan napas. "Maafkan aku, Zelika. Aku harus pergi sekarang," ucap Demian melepaskan perlahan kedua tangan sang wanita yang melingkar di pergelangan tangannya."Sebentar saja, Presdir ...." ujar Zelika masih berusaha membujuk dengan tatapan dan suaranya yang memikat."Kita lanjutkan lain waktu. Aku harus pergi sekarang," ucap Demian sembari menyematkan blazer putih di kedua pundak sang wanita muda. "Sampai jumpa, Zelika," lanjutnya sebelum melangkah pergi dari hadapan
Dengan sigap, Demian menangkap tubuh Acasha yang terhuyung ke belakang. Mereka terpaku dan saling memandang hingga beberapa saat. Sampai terdengar suara gemuruh di dada, Acasha pun tersadar dan seketika menundukkan wajah."Kau tidak apa-apa, Nona?" tanya Demian masih melingkarkan lengan di pinggang sang sekretaris."Maaf, saya tidak sengaja," ucap Acasha. Kedua tangannya terkepal di depan, menjaga jarak dari dada bidang sang presiden direktur."Tidak. Saya yang seharusnya meminta maaf. Saya sudah membuat Nona terkejut sampai hampir jatuh," balas Demian masih mengamati paras cantik yang menyembunyikan pesonanya. Tanpa sadar, ia tersenyum melihat semburat merah muda menghiasi kedua pipi sang sekretaris."Saya baik-baik saja, Presdir. Eum, bisakah Presdir melepaskan saya?"Mendengar ucapan Acasha, Demian seketika melepaskan pegangan tanpa peringatan. Akibatnya, Acasha nyaris terhuyung untuk yang kedua kali. Beruntung dia meraih tepian meja di sampingnya. Ia pun menelan s
Deg ... deg ... DEGDEGDEGDEG ....Degup jantung pria yang tengah tertunduk, terkulai tak berdaya dalam cekalan rantai terkutuk pada kedua tangan dan kaki itu, mulanya sangatlah lemah akibat kehabisan darah. Namun, kini debaran di dada terasa semakin cepat, sangat cepat dan semakin intens seolah ingin meledak dan menghancurkan tulang rusuk menjadi berkeping-keping.Demian membuka mata. Ada kilatan merah di lensa birunya yang membelalak lebar. Keningnya berkerut dalam menahan sensasi sakit luar biasa tengah menggedor-gedor dada bidangnya. Peluh bercampur darah pun mengalir di pelipisnya."Khhh ...."Sesak! Paru-parunya terasa dihimpit batu besar dari dua arah berlawanan. Oksigen sama sekali tidak bisa masuk dengan benar memenuhi rongga-rongga udara seolah ia sedang tercekik dan tak sanggup pula untuk berteriak.Tubuhnya lantas memberontak. Bergerak-gerak dengan brutal dan tak terkendali akibat rasa sakit yang tak bisa didefinisikan lagi dengan kalimat apa pun. Tidak ada satu pun ungkapa
Angin berembus kencang menggoyangkan dahan dan ranting serta menerbangkan butiran salju berputar-putar di udara. Deburan ombak di laut tak kalah riuh menabrak batu karang juga dermaga seolah ingin melahapnya.Langit malam tampak cerah-berawan membawa kelam semakin mencekam saat rembulan perlahan kehilangan cahayanya dan berubah warna menjadi merah, semerah darah.Ialah Super Blood Moon. Fenomena yang terjadi setiap 195 tahun sekali, ketika matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus. Bulan akan masuk seluruhnya ke dalam bayangan inti atau umbra bumi, sehingga tidak ada sinar matahari yang bisa dipantulkan ke permukaan bulan.Dalam fenomena menakjubkan yang sedang berlangsung itulah, takdir baru sang vampir muda dimulai.Acasha terbangun dengan kedua warna mata berbeda. Iris ungunya telah berubah warna serupa merah darah, menatap lurus vampir berusia ratusan tahun yang tengah memangkunya."Acasha ...." bisik Athan tertegun melihat perubahan yang sudah pernah ia perkirakan s
"Dasar sinting!" umpat Chesy bersikeras memberontak dan mendorong tubuh Bedros ke depan. Namun, sang kaki tangan Orion yang setia itu justru mengunci tubuh Chesy semakin kuat dan menancapkan taring tajamnya di leher jenjang Chesy yang sudah sangat menggiurkan sejak tadi. Gluk ... Gluk ... Gluk .... Benar. Mirip tapi beda. Mirip dari rambut ginger-nya yang bersinar cerah bagai daun maple di musim gugur. Lalu, bedanya ... harum tubuhnya bak bunga gardenia yang bermekaran dan manis darahnya sangatlah nikmat, membuat siapa pun yang menghisapnya merasa tenang dan larut dalam kesejukan di setiap tegukan, tak terkecuali dengan Bedros. Aroma gardenia yang diterbangkan angin mencapai indra penciuman Gelsi. Ia pun menoleh. Tepat di depan mata, ia menyaksikan satu-satunya putri kesayangannya yang seorang Half Blood Klan Agathias tengah tak berkutik dalam rengkuhan Loyal Blood Klan Remo. Terpantiklah percikan api seketika mengobarkan kemurkaan di dalam diri seorang ayah vampir. "ENYAHK
Sang surya mulai menyembunyikan terang sinarnya, berganti dengan gulita yang siap menyongsong hamparan kristal beku, menambah suasana mencekam yang semakin menyelimuti Pegunungan Wolley.Udara dingin bukanlah masalah besar bagi para vampir, tetapi serangan dari makhluk yang diciptakan dari darah terlarang itu tak kunjung berakhir. Mereka datang dari berbagai penjuru, bagai muncul dari selang air yang menyemburkan Forbidden Blood nan menjijikkan, hingga membuat muak para Loyal Blood yang tengah membasmi mereka. Namun, ada satu hal positif yang bisa menjadi petunjuk. Dengan semakin rapatnya intensitas kemunculan Forbidden Blood, berarti mereka sudah semakin dekat dengan lokasi tujuan.Athan, sang Pure Blood Klan Agathias, ditemani Half Blood dan ketiga Loyal Blood terdekatnya, terus berlari dalam kecepatan yang sama—sangat cepat—demi mengejar detik yang terus bergulir."Waktu kita tidak banyak," gumam Athan setelah menatap langit sesaat.***Setelah menghadapi segala aral melintang, ak
"Jangan bilang ... dia belum kembali," ucap wanita itu, tercenung."Ha ...." Ela mendongakkan kepala, menghela napas kesal. "Nona, saya tahu, Anda tidak menyukai Nona Acasha, tapi saya tidak menyangka kalau Anda sejahat itu.""Nona Zelika, kenapa Anda tega meninggalkan Nona Acasha sendiri? Seharusnya Anda membawa dia kembali bersama kami!" imbuh Lieke tersulut emosi, entah ke mana perginya ketakutan dan kekhawatiran yang sempat menciutkan nyali.Zelika memejamkan pelupuk sambil memijat pangkal hidungnya pelan. "Nona-Nona Sekretaris, sebenarnya bukan saya yang meniggalkan, justru saya yang ditinggalkan. Lagi pula, saya sudah berbaikan dengan Nona Acasha. Sudah tidak ada lagi niat jahat padanya barang sedikit pun."Dengan alis yang masih bertaut, Lieke membalas, "Lalu, di mana dia sekarang?""Mungkinkah, dia sudah masuk ke sini sebelum kami?" celetuk Ela. "Atau berlindung di tempat lain?" lanjutnya.Zelika mendesah pelan. Parasnya tetap terlihat cantik dan menawan meski gurat keresahan
Brakk!!! Sebilah meja persegi panjang yang terbuat dari pahatan kayu pinus seketika terbelah dan hancur berkeping-keping setelah Athan menerima kabar buruk yang disampaikan oleh Chesy.Bukannya dia tak tahu, bahkan dia sudah memperkirakan bahwa peristiwa ini cepat atau lambat akan terjadi jua. Namun, ia tetap tak bisa menyangkal atas ketidaknyamanan yang sedang ia rasakan saat ini. Bagaimana pun dia telah gagal mengantisipasi."Dasar, ceroboh!" umpat Demian, menggeram. Alisnya menukik tajam, bak bara api menyala di merah matanya, rahangnya mengetat, pun tangannya mengepal erat.Tak berbeda jauh dengan Chesy, perasaannya sangat kalut. Sambil menahan emosi yang terus menggelegak, ia menunjukkan ponsel milik Demian dan Acasha yang sudah remuk."Kami menemukan ini ... sudah hancur tergeletak di trotoar."Tanpa berkomentar, Athan menatap tajam Gelsi yang tengah sibuk dengan laptop di lantai—sebab meja yang semula dijadikan alas sudah dihancurkan Athan dan dia membutuhkan kesepuluh jarinya
Tanpa mereka sadari, seorang pria dengan setelan jas formal tengah mengintai mereka sejak tadi. Dia terus memerhatikan dari kejauhan tanpa sedikit pun berpaling.Dialah Demian. Pria yang diam-diam mengikuti ke mana pun Acasha pergi hampir seminggu ini, tapi bersikap sok cuek ketika berhadapan langsung.Dia melakukan semua itu untuk menutupi rasa canggung yang terbentang sejak pengakuan bodohnya tempo hari.Namun, entah dasar apa, Demian tetap tidak bisa melepaskan Acasha menjauh dari pandangannya barang sedetik saja. Karena itulah dia melakukan cara ini di belakang. Sebuah tindakan pengecut dari seorang pria yang masih mencari-cari makna dari kata cinta.Demian yakin, gadis muda yang tengah menggandeng lengan Acasha itu memiliki hubungan yang tidak baik dengan Acasha. Tapi, apa yang telah terjadi sampai mereka bisa tampak sedekat itu?Namun, sebelum itu, bagaimana bisa gadis itu ada di sini? Sudah dipastikan sebelumnya, tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui ke mana perginya Aca
Setibanya di suatu restoran bernuansa kafe yang tak terlalu jauh dari kantor, Acasha dan Zelika duduk berhadapan dengan canggung."Ehm, soal tadi ... apa yang ingin Nona bicarakan?" tanya Acasha membuka percakapan setelah keheningan yang panjang.Zelika tampak ragu-ragu. Ia pun menyesap lemon tea yang sudah mereka pesan, lalu menatap Acasha lekat-lekat. "Saya ... maafkan saya, Nona ...." ucapnya dengan wajah tertunduk. Entah ke mana perginya kepercayaan diri dan keangkuhan yang selalu terpancar di wajahnya.Alis Acasha mengerut. "Maaf? Maaf untuk apa?" tanyanya masih tidak mengerti.Ingatan tentang kemurkaan sang pemimpin klan tempo hari seketika kembali terekam di benak Zelika. Tanpa perlu mengetahui latar belakang tentang status dari sang sekretaris itu, Zelika harus sadar diri dan tahu batasan bahwa Acasha bukanlah seorang manusia sembarangan. Pastilah dia punya pengaruh besar untuk klan Agathias."Saya melakukan kesalahan pada pertemuan terakhir kita. Saya tidak yakin Nona ingat a
"Kenapa aku di sini? Sebenarnya, aku sedang bersama siapa? Aku ... tidak bisa melihat wajahnya sama sekali. Tapi, kenapa ... rasanya ... mhh ...."Pikiran dan batinnya terus beradu untuk memenangkan, siapa yang harus ia ikuti? Gairah yang terasa semakin nyata ataukah akal sehat yang terus meneriakkan kata-kata, "Bukankah seharusnya kau bersama Orion?"Dalam sekejap, Gretta mendorong tubuh di atasnya dengan sangat kuat. Namun, ia justru merasakan sakit menghantam kedua tangannya hingga spontan berteriak dan mengaduh."Sampai kapan kamu akan tidur Gadis Malas?" Suara yang tidak asing terdengar jelas di telinga, seketika membangkitkan seluruh kesadaran Gretta.Menatap lurus dengan mata tercengang. "Orion?"Orang yang dipanggil pun tersenyum miring dengan tatapan licik. "Kau sudah berani memanggil namaku? Hanya namaku?"Tubuh Gretta sontak gemetar tatkala menyadari kecerobohan yang telah dilakukannya. Dia tidak berpikir bahwa sosok di hadapannya adalah Orion yang sesungguhnya karena dia y