Dengan satu tarikan kilat, tubuh Acasha ambruk dalam dekapan Demian. Pupil violet Acasha sontak melebar maksimal beberapa detik, sebelum akhirnya mengerjap kaku mendengar detak dan embusan napas normal.
"Demian ....""Bisakah Nona berbaring dan istirahat saja?" bisik Demian di telinga Acasha.Beberapa saat kemudian, dekapan Demian merenggang. Cepat-cepat Acasha bangkit dan menyelipkan rambutnya yang menjuntai menutupi wajah ke belakang telinga."Kau menipuku?" Ekspresi wajah Acasha tampak bingung dan keheranan. "Tapi, jantungmu tadi—"Demian beranjak duduk sambil mendesahkan napas cepat."Silakan Nona beristirahat. Saya ada keperluan sebentar. Permisi," ujar Demian, bergegas bangkit dari ranjang, lalu menyeberangi kamar.Tepat saat Demian membuka pintu, terdengar celetukan Acasha."Bukankah sudah kukatakan, jangan memanggilku dengan sebutan nona?"Tanpa membalas, Demian tetap melanjutkan langkah dan meninggalkan Acasha di kamar itu seorang diri.Masih mDengan segenggam keberanian, Acasha menegakkan pandangan, menatap pria bermanik amber di sampingnya. Selang helaan napas panjang, ia kembali membuka suara."Tuan, saya tahu, Tuan-lah yang memiliki wewenang di sini. Sudikah kiranya Tuan menjawab pertanyaan saya?"Debar jantung di dada semakin tidak terkendali. Acasha meremas dress ungu yang dikenakannya sambil menggigit bibir, tanpa berpaling dari wajah memesona sang pria bermanik amber.Saat itulah Acasha tersadar, senyum ramah yang terlukis di wajah menawan itu tersimpan kepalsuan. Lensa ambernya yang berkilau menyiratkan kesenduan dan kesepian. Seolah pria itu sedang merindukan seseorang yang tidak pernah ditemuinya untuk sekian lama."Daripada Demian, sebenarnya ada orang yang lebih lama mengenal Stephen," ujar sang pria tampan mengawali kalimatnya setelah keheningan beberapa saat.Acasha menegakkan punggung, lalu memusatkan perhatian penuh pada pria di sampingnya."Dari merekalah ... kami semua, kecuali Chesy,
Demian mendadak beku di tempatnya. Ia membiarkan sentuhan hangat itu menempel di dahinya untuk beberapa saat.Acasha memiringkan kepala. "Tidak. Suhu tubuhmu normal." Ia pun menarik tangannya dari dahi Demian. "Apa kamu menderita suatu penyakit serius?""Tidak." Demian meminum tablet merah dengan air mineral."Apa itu semacam vitamin?" tanya Acasha masih penasaran."Ya. Semacam itu. Kau sudah selesai? Aku akan segera membereskannnya," ucap Demian beringsut mengemasi piring kosong di atas meja."Ah, tunggu!" Cepat-cepat Acasha mengambil gelasnya yang belum tersentuh sama sekali dan menandaskan minumannya. "Ah .... Sudah. Sini, biar aku bantu." Acasha menyentuh baki yang di pegang Demian."Tidak perlu. Kamu duluan saja ke kamar dan bersiap-siap. Aku yang akan membereskan ini." Demian mengambil gelas kosong di tangan Acasha."Kamu sudah menyiapkan sarapan untukku. Sekarang, biarkan aku membantumu sebagai ucapan terima kasihku," bujuk Acasha masih menahan baki dalam
"Bagaimana mungkin? Jadi, Demian sebenarnya seorang presiden direktur?? Yang menolongku, yang membawaku kemari, yang menyiapkan makananku?? Pantas saja, dia bisa dengan mudah meninggalkan sejumlah uang saat di pondok. Tapi, jika Demian yang seperti ini saja seorang presiden direktur, lalu bagaimana dengan Athan?? Bukankah dia lebih daripada Demian??" terka Acasha di dalam benak. Alisnya sampai berkerut-kerut dan tanpa sadar menggeleng dengan sendirinya."Acasha, ada apa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Demian sudah berdiri di samping Acasha sambil menenteng beberapa dokumen di tangan.Pundak Acasha berkedik. "Ah, maaf. Tidak. Eum, apa yang harus saya kerjakan di sini, Presdir?" tanyanya canggung.Demian tersenyum sambil mendesahkan napas pelan. "Jadi, sekarang Nona kembali berbahasa formal dan memanggilku dengan sebutan 'Presdir'?""Eum, ya. Tentu saja. Kamu, ah, maksudku Presdir—""Sudah, jangan terlalu memaksakan diri. Toh, kita sudah cukup mengenal. Panggil aku seperti
Sambutan hangat dilayangkan presiden direktur pada sekretaris pribadi yang baru saja kembali dari orientasi singkatnya."Apakah Lieke menyulitkanmu, Nona?"Acasha menaikkan kedua alis sambil tersenyum. "Tidak, Presdir. Dia sangat membantu.""Lalu, apa yang ada di tanganmu itu?"Acasha tersenyum tipis sebelum membaca catatan memo yang dibawanya."Jadwal pertemuan penting dengan model Zelika dan tim periklanan A2A Advertising setelah makan siang, Presdir."Sebelah alis Demian berkerut sesaat sebelum menghampiri Acasha."Baiklah. Kita makan siang di dekat sini saja. Apa yang ingin Nona makan?""Saya ikut Presdir saja."Tanpa berlama-lama, mereka bergegas meninggalkan ruangan menuju restoran terdekat dan menikmati makan siang dengan tenang. Selain denting piring dan garpu yang sesekali berbenturan, tidak ada obrolan ringan ataupun berat yang terlontar dari bibir presdir tampan dan sekretaris cantik itu. Mereka terlalu larut dalam pikiran masing-masing sampai p
Tok tok tok."Permisi, Presdir. Maaf mengganggu. Bisakah Presdir kembali ke ruangan? Wakil Presdir ingin bertemu dengan Anda sekarang," ucap suara lembut yang sangat dikenal Demian dari balik pintu.Zelika yang sudah siap di atas meja seketika melengkungkan bibir dan membulatkan mata sambil menggenggam erat pergelangan tangan Demian dengan kedua tangannya."Presdir tetap di sini bersamaku, kan?" tanyanya lebih terdengar seperti rayuan manja.Demian melirik pintu yang masih tertutup rapat sebelum mendesahkan napas. "Maafkan aku, Zelika. Aku harus pergi sekarang," ucap Demian melepaskan perlahan kedua tangan sang wanita yang melingkar di pergelangan tangannya."Sebentar saja, Presdir ...." ujar Zelika masih berusaha membujuk dengan tatapan dan suaranya yang memikat."Kita lanjutkan lain waktu. Aku harus pergi sekarang," ucap Demian sembari menyematkan blazer putih di kedua pundak sang wanita muda. "Sampai jumpa, Zelika," lanjutnya sebelum melangkah pergi dari hadapan
Dengan sigap, Demian menangkap tubuh Acasha yang terhuyung ke belakang. Mereka terpaku dan saling memandang hingga beberapa saat. Sampai terdengar suara gemuruh di dada, Acasha pun tersadar dan seketika menundukkan wajah."Kau tidak apa-apa, Nona?" tanya Demian masih melingkarkan lengan di pinggang sang sekretaris."Maaf, saya tidak sengaja," ucap Acasha. Kedua tangannya terkepal di depan, menjaga jarak dari dada bidang sang presiden direktur."Tidak. Saya yang seharusnya meminta maaf. Saya sudah membuat Nona terkejut sampai hampir jatuh," balas Demian masih mengamati paras cantik yang menyembunyikan pesonanya. Tanpa sadar, ia tersenyum melihat semburat merah muda menghiasi kedua pipi sang sekretaris."Saya baik-baik saja, Presdir. Eum, bisakah Presdir melepaskan saya?"Mendengar ucapan Acasha, Demian seketika melepaskan pegangan tanpa peringatan. Akibatnya, Acasha nyaris terhuyung untuk yang kedua kali. Beruntung dia meraih tepian meja di sampingnya. Ia pun menelan s
Demian mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Namun, tidak ada tanda-tanda bahaya yang mengancam ditemukan di kamar mereka."Tidak ada apa-apa, Acasha. Apa yang sebenarnya mengusikmu?" Demian menoleh pada gadis yang kini tampak memelototi punggungnya. "Acasha?"Pelupuk sang gadis berkedip cepat sebelum berpaling. "Bisakah kau kenakan pakaianmu? Apa kau tidak merasa dingin?" gumam Acasha lebih mirip komat-kamit."Apa?" Demian justru menaikkan alis, tidak memahami ucapan Acasha."Sampai kapan kamu akan berdiri seperti ini di depanku?? Kamu sengaja pamer, ha? Ah, terserahlah! Aku tidak peduli. Aku mau mandi!" seru Acasha kemudian mengambil langkah cepat, lalu membanting pintu kamar mandi dengan keras.Demian yang masih belum menyadari letak kesalahannya, malah memiringkan kepala dengan gurat kebingungan."Memangnya apa salahku? Dia yang berteriak histeris seperti kaget melihat sesuatu yang menakutkan, makanya aku di sini melindungi dia. Kenapa dia malah marah-marah
"Acasha, it's okay. Kamu tidak perlu sungkan. Kami sudah biasa berbagi pekerjaan, termasuk membereskan meja makan. Jadi, sekarang pergilah bersama Demian. Oke?" bujuk Chesy membantu menenangkan sang gadis keras kepala."Chesy ...." gumam Acasha malah memasang wajah cemberut. "Sebenarnya, bukan itu maksudku. Aku hanya ingin menghindari Demian. Kenapa kamu malah semangat mendukungnya seperti ini? Apa yang harus aku lakukan?" lanjut Acasha dalam benak."Sebagai gantinya, kalian bisa mengajakku makan bersama. Entah itu sarapan, makan siang, makan malam, atau apa pun itu. Bebas. Bagaimana, Acasha?" imbuh Chesy berusaha meluluhkan hati Acasha dengan tatapan manik cokelat yang berbinar.Acasha memejamkan pelupuk sesaat sambil menghela napas panjang. Ia pun menatap Chesy, lalu mengangguk pasrah. "Baiklah, aku menyerah," ungkap sang gadis disambut senyuman lebar pria bermanik biru.Akhirnya, mereka berdua meninggalkan Chesy seorang diri di dapur. Chesy terus memperhatikan kedua p