Rintik hujan selalu membawa cerita di tiap kedatangannya. Ia datang dan pergi secepat itu. Tidak membiarkan seseorang menyelesaikan urusannya yang begitu penting. Baginya, tugas yang ia bawa telah tersampai dan terserap akar tanaman di muka bumi. Dia tidak akan peduli sekali pun seseorang menangis darah memintanya kembali dengan apa yang telah ia bawa.
"Jinbun ...." Walaupun ia tahu jika rintik itu datang kembali. Tetapi apa yang sudah pergi mengapa begitu sulit kembali? Nyatanya Zahra sudah datang dalam wujud nyata. Sejauh ini ia mengorbankan nyawa orang yang begitu kekeh melindungi ia dari keegoan manusia serakah. Raden Patah mengeluarkan mimik yang begitu ia damba. Senyum yang ia imajinasikan melalui taburan bintang di langit.
"Boleh kan aku ikut mengantarmu? Kebetulan pula aku berniat pergi ke Demak."
"Raden?" Sayyidah nampak tidak menyetujui usulan Patah. Zahra tahu dari bagaimana bibir perempuan itu melipat ke dalam. "Para santri disini masih perlu ilmu
Chan sedang duduk di depan pendopo. Ia meneguk teh buatan istrinya dengan senyap. Sejak sejam yang lalu, Chan setia menemani Ling Yie yang nampak mondar-mandir menunggu Zahra yang tidak lain adalah amanah dari Raja Brawijaya. Padahal, perempuan itu sudah berjanji akan pulang hari ini. Namun, sudah larut malam pun batang hidungnya belum terlihat jua."Kenapa dirisaukan? Zahra bukan anak kecil lagi yang harus ditunggu waktu kepulangannya." Begitulah Chan. Semenjak diamanahkan Raja tentang Zahra sebenarnya dia kurang setuju. Mau bagaimana pun, Zahra masih memegang sebutan 'kutukan' yang benar-benar mencelaikai beberapa orang di sekitarya. Jika bukan karena Ling Yie yang memaksa ia tidak akan mungkin bermukim di wilayah terpencil sambil merawat perempuan berlogo 'kutukan'."Chan!" Mata Ling hampir keluar jika saja urat sarafnya tidak bekerja dengan baik. "Zahra adalah perempuan biasa! Kemampuan bela dirinya masih sangat minim! Bagaimana jika sesuatu di dalam hutan me
Tidak ada yang mengetahui letak ruangan tersembunyi yang menyimpan rahasia besar dari seorang permaisuri Majapahit. Tengah malam dia datang membawa sebuah obor. Ruangan gelap nan sunyi lekas menjadi terang benderang dan dipenuhi derap kaki dari sepatu kulit yang ia kenakan. Gaunnya menyeret tanah. Namun tidak membuatnya terganggu sedikit pun. Ia berbelok ke arah kanan mengikuti alur tumbuhan merambat yang menjadi penutup sebuah ruangan rahasia. Tepat di balik semak, ia membuka sebongkah kayu. Permaisuri masuk ke dalam lubang kayu tersebut. Ia kembali melangkah ke bawah yang memiliki lebih dari dua terowongan."Dia sudah makan?"Salah satu penjaga di dalam ruangan itu mengangguk khidmat."Sudah, Permaisuri."Dewi Amarawati melanjutkan langkahnya. Ia membuka salah satu pintu menuju sel rahasia yang ada di dalam. Setelah mendapati orang yang dituju Dewi pun membuka sel penjara tersebut. Disana seorang lelaki berkulit putih duduk me
Seorang perempuan melintasi petak sawah di tengah malam. Kakinya telanjang dengan rambut yang urak-urakan. Dia nampak begitu tergesa-gesa hingga lebih terlihat setengah berlari. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang. Tangannya memegang perut yang sudah membesar.Sret"Akh!" pekik perempuan itu tertahan. Sebuah anak panah menembus lengannya yang hanya ditutupi selendang. Dia mempercepat langkah, namun puluhan anak panah kembali datang menerjang tubuh ringkih itu."Kinara!"Perempuan itu kini berlari. Dia menembus perkebunan tebu yang bersebelahan dengan persawahan. Derap kaki di belakang sana semakin menghujam. Kinara--nama perempuan yang menjadi buruan itu tertarik oleh sebuah tangan yang tiba-tiba muncul di balik rimbunnya batang tebu. Mulutnya di bekap dan pergerakkannya benar-benar dikunci."Aku tidak akan melepaskanmu. Sampai kapan pun, sampai aku bisa melindungimu dan mengenalkanmu kepada rakyatku."***"Dia tidur lagi?"
Keadaan Istana terbilang cukup damai dengan datangnya tamu dari Ampeldenta. Dua orang tersohor itu menyambangi Raja Brawijaya yang baru saja tiba dari pemukiman penduduk. Ia baru saja melakukan pengecekan terhadap komoditi beras dan beberapa rempah yang akan dikirim ke luar kerajaan Majapahit.Raja begitu bergembira melihat dua pemuda di hadapannya yang memajang senyum sarat akan kerinduan. Bukan tanpa alasan. Dua orang pemuda itu ialah Sunan Kalijaga yang merupakan sahabat Raja Brawijaya dan Raden Patah, anak kesayangan. Tidak membutuhkan basa-basi bagi Raja untuk memeluk dua orang yang begitu berarti. Ia sedikit menumpahkan tangisan ke bahu Raden Patah. Kendati demikian, Raden tetap menerima ayahandanya dengan tangan terbuka."Menangislah, tidak apa. Tumpahkan semua." Raden Patah tertawa kecil diakhir. Brawijaya menepuk pundak anaknya sejenak, lalu melepas pelukan. "Ayahanda tidak berubah sama sekali. Tetap tampan dan masih cengeng," komentar Raden, disambu
Sunan kalijaga meneguk teh bersama Raden Patah di salah satu warung milik penduduk di Demak. Dia baru saja bertemu dengan Raden Patah malam tadi dan berencana berkunjung ke pelabuhan Demak sore harinya. Siang ini usai melaksanakan solat dzuhur bersama santri mereka menyambangi warung dan berbincang di sana."Bagaimana pertemuanmu dengan Gusti Brawijaya?""Ayahanda menyerahkan seluruh niat itu kepadaku, tapi tidak diberikan untuk Majapahit. Anggaran pembangunan pelabuhan mungkin berasal dariku. Inilah yang masih kupikirkan Sunan. Apakah aku sanggup membangun rencana besar itu?""Insya Allah, jika niatmu sudah bulat, dan kau bersunguh-sungguh untuk melakukannya, Allah akan memudahkan niat baikmu."Raden Patah masih tampak ragu dengan dirinya sendiri. Mengingat bagaimana luasnya Demak dan besarnya pelabuhan yang akan menjadi dermaga pusat pemberhentian kapal dari seluruh wilayah ke Demak."Menurut Sunan, apakah Ayahanda memiliki rencana yang begitu b
Ling Yie menunduk dalam. Suaminya berulang kali memanggil namanya namun ia hanya diam. Kini Ling sudah tertangkap basah oleh Chan. Dia bersekongkol dengan Zahra dan membiarkan perempuan itu pergi dari persembunyian. Padahal beberapa hari yang lalu Brawijaya telah memberikan perintah agar Zahra tidak pergi kemana pun."Jangan salahkan aku jika sesuatu terjadi padanya." Chan berjalan menarik pedang yang selama ini ia simpan rapi di sudut ruangan. Melalukan kegiatan bersih-bersih kini dialihkan kepada para pelayan yang beberapa bulan belakangan didatangkan Brawijaya."Chan, kumohon!" Ling menarik tangan Chan--menghentikan pergerakan suaminya yang berniat pergi dari pondok di tengah hutan itu. "Biarkan Zahra merasakan kebahagiannya sejenak saja, Chan.""Kebahagian Zahra adalah siksaan bagi kita!" Chan berbalik, memegang bahu Ling lalu mendorongnya masuk ke dalam kamar milik Zahra. "Aku akan menguncimu di kamar ini sampai aku kembali membawanya.""Chan!"
Zahra melesat ke dalam hutan menghindari keramaian. Ia mencari keberadaan kudanya yang terikat di tepi sungai. Beruntung kudanya masih mendengar isi hati Zahra sehingga ia setia menunggu majikannya pulang."Apakah aku membuatmu bosan?""Tidak," kata kuda itu, singkat. Zahra tersenyum kecil dan menunggangi kudanya. Namun, belum lama ia naik segerombolan prajurit penjaga mengepung dirinya. Zahra turun dari atas kuda. Ia mengetahui jika saat ini kebohongannya telah terendus suruhan Kerthabumi, sang Gusti Brawijaya V."Aku akan kembali." Zahra berusaha untuk tenang. Namun ketenangannya tidak bertahan lama karena sosok yang ia hindari tiba-tiba datang memakai busana rakyat biasa. "Kau--""Aku menemukanmu," lirihnya, diimbangi dengan senyum sarat kelegaan. Brawijaya mendekati Zahra. Ia menarik tangan perempuan itu dan memeluknya erat. Zahra memberontak, ia jelas tidak menyukai kehadiran Raja Majapahit tersebut."Apa yang kau lakukan?!"
Hamparan bunga tulip membentang bak permadani mewah beraroma wangi. Diantara bunga beragam warna itu Raden Patah menemukan wanitanya. Raden terdiam agak lama usai melihat wajah tanpa cadar yang selama ini berlalu lalang di dalam mimpi. Wanita itu hanya menatapnya."Zahra?" Raden menerka. Namun wanita itu justru tersenyum dan mencoba untuk mendekat. "Kau ... siapa?"Wanita bergaun putih dengan syal tebal itu menangkup pipi Raden. Dia tersenyum--membelai pipi Raden Patah secara lembut. Nampaknya wanita itu tahu apa yang ingin dilakukan Raden kepadanya. Tentu saja Raden akan menjauh. Sinyal itu ditangkapnya dari gerak-gerik ketidaknyamanan yang dirasakannya dari Raden."Kau masih ingat?" Wanita itu memutari tubuh Raden Patah. "Dahulu kala, ketika Raja Majapahit yang berkuasa menemukan sebuah permata di tengah hamparan savana. Permata yang elok, bermanik gelap seperti laut dalam yang tak pernah dijamah."Wanita itu mengulurkan tangannya--menyentuh kelop
Ant turun dari mobil. Berjalan ke samping dan membukakan pintu untuk Zahra. Keduanya berjalan masuk ke palataran Masjid. Ant sedikit ragu dengan tatapan Zahra yang nampak menyedihkan. Bahkan gadis itu kini menitihkan air mata tanpa sebab. Ant pun membiarkan Zahra berkeliling seorang diri. Gadis itu seperti orang yang baru saja ditinggalkan kekasih.Zahra terdiam beberapa menit. Ia menyapu wajahnya dengan tangan. Namun, perlahan bayangan seseorang hadir di kepalanya. Dia seorang pria, tersenyum dengan bajunya yang berkibar di terpa angin.Zahra mengirup napas sesak. Ia kembali melihat pria yang sama. Ia menarik tangan seorang wanita ke atas kuda. Saat melihat wanita itu Zahra terhenyak. Itu dirinya! Napas Zahra semakin terdengar lirih. Ia terjatuh dan membuat Ant terkejut hebat."Zahra!
Angin menyisir dedaunan dengan lembut. Membawa sehelai daun kering ke arah jendela yang terbuka. Meniupnya ke atas tubuh yang terbaring lemah di atas ranjang putih. Suara mesin peralatan medis berbunyi lembut. Menghantarkan suasana hening sesaat sebelum seorang lelaki sampai membuka pintu. Ia menutup pintu kembali. Membawa sebuah buku dan duduk di sebelah perempuan yang sedang terbaring itu."Ra, aku bawa komik kesukaan kamu lagi, nih. Edisi terbaru dari komik kemarin yang aku bacain." Lelaki itu terdiam beberapa saat. Ia mengambil sehelai daun kering yang menempel di atas selimut. "Bahkan kamu masih enggak mau buka mata walaupun udah aku bawain semua yang kamu suka."Ant, sahabat Zahra yang selalu setia menjenguk Zahra setiap minggunya di rumah sakit. Ia tidak tau apa yang terjadi dengan gadis itu setelah kejadian tiga bulan yang lalu.
Siang itu matahari bersinar dengan terik. Entah ia sedang labil atau kah bumi yang sedang bimbang? Baru saja ia menurunkan air bah yang datang dengan derasnya. Kini ia menghujani permukaan dengan sengatan yang terasa panas. Bahkan tanah yang basah pun kering dengan cepat. Sulit menemukan jejak jika barusan di tempat itu hujan turun beberapa jam yang lalu.Bahkan tubuh Zahra kini sudah mengering. Ia merasa normal kembali ketika sengatan matahari menyentuh kulit. Ia terjatuh di antara dedaunan kering. Bibirnya sangat pucat dan pecah di beberapa tempat. Ia kehausan, tak dapat berjalan, hingga akhirnya menutup mata sembari terbaring di bakar sinar matahari."Apakah kau ingin pulang?" Zahra membuka matanya perlahan. Ia menyipit, namun masih dapat melihat dengan jelas siapa o
Orang lain sering berkata jika hidup ini tak pernah pasti. Namun mereka lupa jika ada Dzat yang sudah menentukan garis takdir di hidup tiap insan. Kita lalai, tak acuh, menganggap segalanya dapat kita kendalikan. Lantas, apa yang dapat kita buat untuk bangkit dari kenyataan yang tak diinginkan? ~ZAHRA~Hujan turun dengan deras. Membelah dedaunan lebat. Menepis angin yang bertiup kencang. Zahra duduk di bawah pohon besar. Ia tidak sedang berteduh. Hanya lelah untuk melangkah. Pandangannya kosong, ia tak dapat mengeluarkan air mata lagi.Zahra menatap tangannya , melihat bayangan putih di sana. Tepat dua jam yang lalu setelah ia memutuskan pergi dari kawasan Demak satu-persatu bagaian tubuhnya mengalami perubahan. Ia tak dapat merasakan sakit ketika terjatu
Aku berkaca pada dunia. Tentang kenangan yang ia bawa. Menyimpan cerita di balik luka. Menghapus luka pada rintik hujan yang ia tinggalkan. Mengajarkanku tersenyum dengan menengadah ke atas langit. Dunia yang luar biasa dengan segala isinya. Allah menuntunku dalam dunia ini. Mengajarkan ku banyak hal tentang arti mencintai. Juga melepaskan serta mengikhlaskan. Allah tahu apa yang ada di balik senyumku. Mendekapku yang diam ketakutan pada ketidakmampuan.Kini aku mencoba berdiri. Berlari ke tempat yang ku mau. Jika aku butuh, aku takkan berlari ke muara hatinya lagi. Cukup Allah yang menjagaku. Tiada tempat yang paling aman selain disisinya.Jujur, jika aku tak percaya pada Allah, sudah sejak dulu aku tak mampu. Aku lemah, hidup dalam am
Sang singa membawa Zahra mendaki bukit. Ia berlari sangat kencang. Bahkan hewan yang sedang melintas bergegas menyingkir. Rambut Zahra berkibar mengikuti arah angin. Ia tidak tahu kemana singa itu membawanya. Namun ia telah terlanjur memberikan kepercayaan kepada singa tersebut.Perlahan singa itu mulai bergerak lebih lambat. Zahra mengerutkan kening, perasaan was-was hinggap di hatinya."Aku mencium aromanya," kata singa. Zahra turun dari atas tubuh sang Singa. Ia mengelus rambut singa itu dengan lembut. "Jangan perlakukan aku seperti hewan lainnya. Kau tidak ingin menyesal, bukan?"Zahra mencebik. Namun ia terperangah ketika melihat tangannya berubah tembus pandang. Zahra meraih tangan kanannya, kemudian tangan itu mulai kembali ke bentuk semula.
Langkah derap kaki pasukan berkuda memecah keheningan di malam hari. pasukan Demak bertambah setelah Sunan Kalijaga sengaja mengirimkan tambahan pasukan untuk menjaga Raja mereka. kini kuda yang tadinya diletakkan di tengah lapangan di depan kawasan hutan dibawa masuk oleh pasukan yang menyusul.Walaupun sedikit kesal namun Raden patah terpaksa menaiki kuda itu. Sebab iya tahu sunan Kalijaga sangat mengerti apa yang terbaik untuk dirinya. Raden tahu jika Sunan pun menyimpan rasa terhadap Zahra, namun ia tidak dapat merestui hubungan itu. Zahra adalah wanita di masa lalu ayahnya, lalu jiwanya bersemayam di sana. Entahlah, namun hati Raden mentoleransi persepsi itu.Belum sampai masalah selesai, Raden dikejutkan dengan kehadiran Sunan Kalijaga. Lelaki itu dengan gagah berani menunggangi kudanya. Raden terpana, juga prajurit yang lain. Bah
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Gimana uts kalian, guys? Semoga dapat hasil yang maksimal ya, aamiin.Happy reading ❤️❤️❤️....Ratusan anak panah beterbangan di langit. Bak pasukan burung yang siap bermigrasi. Kali ini panah itu mengincar seorang perempuan saja. Sayangnya, ratusan panah itu seakan tak mampu untuk menjangkau target mereka. Perempuan itu berlari tanpa peduli lelah, ia mengangkat gaunnya, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan jika jaraknya sudah sangat jauh dari para pengejar."Hei, mau kemana kau?!" Salah seorang lelaki tiba-tiba menghadang. Ia tersenyum licik ketika melihat wajah perempu
Manusia seringkali lupa jika apa yang terjadi saat ini akan menjadi masa lalu di esok hari. Bahkan ketika ia sadar jika waktu tidak pernah diam ia masih memilih untuk mengabaikan hal-hal yang begitu penting untuk saat-saat di penghujung hari nanti. Lantas ia mengeluhkan waktu yang begitu sempit ketika ingin menuntaskan pekerjaan yang padat. Tugas menumpuk, sedangkan waktu hanya melambai saja menantinya. Ada penyesalan di saat seperti itu, namun entah mengapa kita sering mengulangi hal yang sama. Apakah kesalahan itu sengaja dilakukan karena bujuk rayu setan yang begitu kuat? Ataukah, diri kita sendiri yang dengan sengaja melalaikan waktu?Pertanyaan semacam ini seharusnya dipikirkan Zahra sejak dulu. Mungkin alasan ia tersesat di lorong waktu karena sikapnya yang acuh pada kehidupan. Mengabaikan semua hal demi kepentingan pribadi yang sudah cukup membuatnya senang. Katakan saja ia egois,