"Zahra?" Raden menerka. Namun wanita itu justru tersenyum dan mencoba untuk mendekat. "Kau ... siapa?"
Wanita bergaun putih dengan syal tebal itu menangkup pipi Raden. Dia tersenyum--membelai pipi Raden Patah secara lembut. Nampaknya wanita itu tahu apa yang ingin dilakukan Raden kepadanya. Tentu saja Raden akan menjauh. Sinyal itu ditangkapnya dari gerak-gerik ketidaknyamanan yang dirasakannya dari Raden.
"Kau masih ingat?" Wanita itu memutari tubuh Raden Patah. "Dahulu kala, ketika Raja Majapahit yang berkuasa menemukan sebuah permata di tengah hamparan savana. Permata yang elok, bermanik gelap seperti laut dalam yang tak pernah dijamah."
Wanita itu mengulurkan tangannya--menyentuh kelop
Sejak mimpi aneh yang dialaminya beberapa belakangan membuat Raden Patah seakan tengah dilanda teka-teki yang harus ia kuak segera. Untuk mengawali itu Raden Patah kini harus berhadapan dengan Ayahandanya. Namun mereka bukan berbicara mengenai politik dan keadaan ekonomi Kerajaan Majapahit. Melainkan sesuatu yang mengarah pada hal yang tidak selayaknya Raden ajukan."Ayahanda tidak pernah bercerita mengenai keadaan istana secara terbuka. Selalu saja kata baik, aman, damai, dan lancar saja. Saat ini aku menginginkan cerita istana dari mulut Ayahanda."Brawijaya yang sudah tiba beberapa jam lalu tersenyum simpul. Ia tahu jika anaknya saat ini mengalami kebimbangan yang berada di ambang batasnya. Dengan tenang Brawijaya mengiyakan permintaan Raden Patah.Keduanya menepi dari rombongan menuju ruang privasi milik Raden Patah. Di depan hanya dibatasi pagar yang dililit tanaman sulur hingga kesan hijau jelas memanjakan mata. Di sisi kiri terdapat kendi yang menampun
Meraih anganku, mengapa sesulit itu? Kusentuh saja dia menjauh. Apa yang buruk dari diriku? Bahkan aku tidak pernah meminta untuk diberikan karunia langka. Letih dan jenuh itu menggerayangi jiwaku. Aku lelah akan kesedihan tanpa ujung. Keputus asaan menggulat dalam pikiranku. Kenapa? Hanya aku yang sadar, kah? Atau memang dia sengaja menutup mata? Tuhan, kenapa tidak engkau izinkan saja aku pergi dari lembah ini? Beri aku tali untuk kupanjat dan kudaki tebing yang menyimpan jiwaku disini. Agar aku dapat pergi. Tidak akan ada lagi jiwa yang mati karenaku.***"Putri Zahra?"Zahra beranjak berdiri. Ia memandang ratusan prajurit yang mengelilinginya bak melihat bidadari surga turun ke dunia nyata."Aku lega dapat menjemputmu. Syukurlah, Khertabumi tidak menyakitimu sedikit pun." Prajurit yang sedang berbicara itu memasukkan pedangnya kembali ke tempat. Ia menghampiri Zahra--lalu menunduk khidmat diikuti para prajurit lainnya. Zahra tercenga
"Chan?" Brawijaya turun dari atas kudanya. Seorang lelaki bersurai panjang dengan mata sipit menahan dadanya yang mengucurkan cairan kental berwarna merah. "Apa yang sudah terjadi?""Zahra telah berkongsi dengan Prabu Girindra, Gusti!""Tidak mungkin!" Mendengar nama itu saja mampu membuat kepala Brawijaya V mendidih. "Kau pasti sudah mengada-ada!""Gusti!" Sunan Kalijaga duduk bersimpuh untuk membantu Chan. "Kita obati luka kisana ini terlebih dahulu.""Akh, baiklah!" Dengan sangat terpaksa Brawijaya harus menunda kepulanganny menuju kerajaan. Ia dan para prajurit membantu Chan masuk ke dalam pesantren untuk mengobati luka orang kepercayaannya itu."Saya tidak mengerti hubungan antara Gusti dengan kisana itu. Namun saya mohon agar Gusti tidak lagi menyembunyikan semua rahasia yang berkaitan dengan Zahra. Terlebih, saya sempat mendengar nama Prabu Girindra disebut. Ini bukan kabar baik yang Gusti simpan sendiri," kata Sunan, memberikan
Perlu waktu berhari-hari agar rombongan yang dibawa oleh Patih udara sampai ke kerajaan Daha di Kediri. Di sepanjang perjalanan para prajurit asyik bercerita mengenai lika-liku perjalanan mereka sewaktu dilantik menjadi prajurit di sana. Namun, tidak demikian dengan Patih udara yang tengah fokus menuntun kuda yang dinaiki Zahra. Ia sendiri merupakan satunya wanita di antara rombongan tersebut.Jauh didalam lubuk hati yang terdalam ia merindukan sosok orang-orang yang telah membuatnya berakhir hingga seperti ini. Pikirannya mengelana pada seorang lelaki bersurai panjang dengan mata sipit dan bibir merah ranum yang selalu tersenyum ramah kepadanya. Bahkan saat ia menawarkan untuk mengajarkan tentang kehidupan, agama, dan rasa sakit akan masa lalu ia belajar untuk menjadi sosok wanita yang lebih baik, pikiran itu masih membekas begitu jelas di dalam kepalanya."Putri Zahra apa yang sedang Anda pikirkan? Nampaknya guratan kebingungan itu terlihat sangat j
Dewi amarawati berjalan tergopoh-gopoh menghampiri kereta kencana yang baru saja tiba di istananya. Perasaannya membuncah tatkala ia melihat suaminya turun dari dalam kereta megah tersebut. Kebahagiaannya bertambah kala sorot matanya melihat wajah Raden Patah yang ikut turun setelah Brawijaya."Patah! Masya Allah Ibunda tidak menyangka jika kau akan datang ke istana. Mengapa tidak menitipkan pesan? Kan ibunda dapat menyiapkan jamuan terbaik untukmu!""Ohhh, jadi kedatanganku tidak kau sambut dengan jamuan terbaik, begitu?" Brawijaya melirik Dewi amarawati yang hanya tersenyum-senyum karena sindiran suaminya."Bukan begitu suamiku, mengenai seleramu dengan Patah, walaupun kalian adalah Bapak dan anak kandung, namun tetap saja kalian memiliki perbedaan. Iya, kan?""Terima kasih atas perhatian Ibunda. Patah akan makan apapun yang telah Ibunda siapkan. Lagi pula, maksud kedatangan Patah ke istana bukan bermaksud untuk menjelajahi kuliner terbaru d
"Perkembangannya sangat mencengangkan. Nampaknya, dia sudah bisa kita gunakan untuk bergabung dengan para pasukan.""Anda benar, Prabu. Kerajaan Majapahit sudah waktunya untuk kita ratakan! Lagipula, Putra sulung Gusti Brawijaya tidak akan meneruskan kekuasaan ayahnya. Dia lebih memilih untuk mengajarkan ajaran Islam di pulau ini ketimbang membantu ayahnya melindungi kerajaan."Prabu Girindra menenteng selendangnya. Senyumnya yang tipis mengisyaratkan sebuah tanda setuju dengan perkataan patihnya. Ia memandang lurus seorang wanita yang tengah berlatih pedang. Nampak kumal namun tetap anggun di matanya."Malang sekali wanita itu. Ditelantarkan Brawijaya setelah mendapatkan kurungan dan pengasingan." Prabu Girindra berdecak sembari menyunggingkan senyum. "Panggil Zahra setelah ia menyiap
Ribuan prajurit berkumpul di padang lapang. Bersiap dengan kuda dan persenjataan yang telah disiapkan. Begitu pula dengan strategi terbaik yang mereka gunakan. Pasukan pemanah bersembunyi di balik perbukitan. Bersiap menyerang musuh dari kejauhan. Mereka menajamkan pandangan. Berusaha sebaik mungkin untuk meraih kemenangan. Pasukan pedang berjaga di tengah dan di sayap kiri-kanan. Sedang pasukan tombak menghadang dari depan. Lautan manusia tampak memadati lapangan terbuka di tengah hutan."Kau sudah bersiap?""Bahkan aku tidak dapat tidur nyenyak karena menunggu kesempatan ini!""Ya, lelaki yang menjadikanmu kain lap istana akan segera berakhir dengan tragis.""Aku bersumpah untuk membalas perbuatannya!"
Seluruh tubuh Zahra bergetar hebat. Ia seakan tengah berada di ambang pencabutan jiwa. Kepalanya berdenyut nyeri, hingga ia menunduk bertumpu dengan tubuh Brawijaya yang hampir sekarat. Pandangan kabur dan beberapa kali ia sempat melihat para prajurit Daha yang datang secara bergerombol menerobos masuk ke dalam istana.***Aku dimana? Mengapa tidak ada darah, lagi?! Dimana si kurang ajar Raja itu?! Tanganku sudah geram ingin menusuk perutnya dan menghamburkan isi di dalam sana! Tetapi, apa yang sudah terjadi? Ini tidak seperti apa yang baru saja aku alami."Kinara!!!"Seorang anak lelaki keturunan bangsawan keraj
Ant turun dari mobil. Berjalan ke samping dan membukakan pintu untuk Zahra. Keduanya berjalan masuk ke palataran Masjid. Ant sedikit ragu dengan tatapan Zahra yang nampak menyedihkan. Bahkan gadis itu kini menitihkan air mata tanpa sebab. Ant pun membiarkan Zahra berkeliling seorang diri. Gadis itu seperti orang yang baru saja ditinggalkan kekasih.Zahra terdiam beberapa menit. Ia menyapu wajahnya dengan tangan. Namun, perlahan bayangan seseorang hadir di kepalanya. Dia seorang pria, tersenyum dengan bajunya yang berkibar di terpa angin.Zahra mengirup napas sesak. Ia kembali melihat pria yang sama. Ia menarik tangan seorang wanita ke atas kuda. Saat melihat wanita itu Zahra terhenyak. Itu dirinya! Napas Zahra semakin terdengar lirih. Ia terjatuh dan membuat Ant terkejut hebat."Zahra!
Angin menyisir dedaunan dengan lembut. Membawa sehelai daun kering ke arah jendela yang terbuka. Meniupnya ke atas tubuh yang terbaring lemah di atas ranjang putih. Suara mesin peralatan medis berbunyi lembut. Menghantarkan suasana hening sesaat sebelum seorang lelaki sampai membuka pintu. Ia menutup pintu kembali. Membawa sebuah buku dan duduk di sebelah perempuan yang sedang terbaring itu."Ra, aku bawa komik kesukaan kamu lagi, nih. Edisi terbaru dari komik kemarin yang aku bacain." Lelaki itu terdiam beberapa saat. Ia mengambil sehelai daun kering yang menempel di atas selimut. "Bahkan kamu masih enggak mau buka mata walaupun udah aku bawain semua yang kamu suka."Ant, sahabat Zahra yang selalu setia menjenguk Zahra setiap minggunya di rumah sakit. Ia tidak tau apa yang terjadi dengan gadis itu setelah kejadian tiga bulan yang lalu.
Siang itu matahari bersinar dengan terik. Entah ia sedang labil atau kah bumi yang sedang bimbang? Baru saja ia menurunkan air bah yang datang dengan derasnya. Kini ia menghujani permukaan dengan sengatan yang terasa panas. Bahkan tanah yang basah pun kering dengan cepat. Sulit menemukan jejak jika barusan di tempat itu hujan turun beberapa jam yang lalu.Bahkan tubuh Zahra kini sudah mengering. Ia merasa normal kembali ketika sengatan matahari menyentuh kulit. Ia terjatuh di antara dedaunan kering. Bibirnya sangat pucat dan pecah di beberapa tempat. Ia kehausan, tak dapat berjalan, hingga akhirnya menutup mata sembari terbaring di bakar sinar matahari."Apakah kau ingin pulang?" Zahra membuka matanya perlahan. Ia menyipit, namun masih dapat melihat dengan jelas siapa o
Orang lain sering berkata jika hidup ini tak pernah pasti. Namun mereka lupa jika ada Dzat yang sudah menentukan garis takdir di hidup tiap insan. Kita lalai, tak acuh, menganggap segalanya dapat kita kendalikan. Lantas, apa yang dapat kita buat untuk bangkit dari kenyataan yang tak diinginkan? ~ZAHRA~Hujan turun dengan deras. Membelah dedaunan lebat. Menepis angin yang bertiup kencang. Zahra duduk di bawah pohon besar. Ia tidak sedang berteduh. Hanya lelah untuk melangkah. Pandangannya kosong, ia tak dapat mengeluarkan air mata lagi.Zahra menatap tangannya , melihat bayangan putih di sana. Tepat dua jam yang lalu setelah ia memutuskan pergi dari kawasan Demak satu-persatu bagaian tubuhnya mengalami perubahan. Ia tak dapat merasakan sakit ketika terjatu
Aku berkaca pada dunia. Tentang kenangan yang ia bawa. Menyimpan cerita di balik luka. Menghapus luka pada rintik hujan yang ia tinggalkan. Mengajarkanku tersenyum dengan menengadah ke atas langit. Dunia yang luar biasa dengan segala isinya. Allah menuntunku dalam dunia ini. Mengajarkan ku banyak hal tentang arti mencintai. Juga melepaskan serta mengikhlaskan. Allah tahu apa yang ada di balik senyumku. Mendekapku yang diam ketakutan pada ketidakmampuan.Kini aku mencoba berdiri. Berlari ke tempat yang ku mau. Jika aku butuh, aku takkan berlari ke muara hatinya lagi. Cukup Allah yang menjagaku. Tiada tempat yang paling aman selain disisinya.Jujur, jika aku tak percaya pada Allah, sudah sejak dulu aku tak mampu. Aku lemah, hidup dalam am
Sang singa membawa Zahra mendaki bukit. Ia berlari sangat kencang. Bahkan hewan yang sedang melintas bergegas menyingkir. Rambut Zahra berkibar mengikuti arah angin. Ia tidak tahu kemana singa itu membawanya. Namun ia telah terlanjur memberikan kepercayaan kepada singa tersebut.Perlahan singa itu mulai bergerak lebih lambat. Zahra mengerutkan kening, perasaan was-was hinggap di hatinya."Aku mencium aromanya," kata singa. Zahra turun dari atas tubuh sang Singa. Ia mengelus rambut singa itu dengan lembut. "Jangan perlakukan aku seperti hewan lainnya. Kau tidak ingin menyesal, bukan?"Zahra mencebik. Namun ia terperangah ketika melihat tangannya berubah tembus pandang. Zahra meraih tangan kanannya, kemudian tangan itu mulai kembali ke bentuk semula.
Langkah derap kaki pasukan berkuda memecah keheningan di malam hari. pasukan Demak bertambah setelah Sunan Kalijaga sengaja mengirimkan tambahan pasukan untuk menjaga Raja mereka. kini kuda yang tadinya diletakkan di tengah lapangan di depan kawasan hutan dibawa masuk oleh pasukan yang menyusul.Walaupun sedikit kesal namun Raden patah terpaksa menaiki kuda itu. Sebab iya tahu sunan Kalijaga sangat mengerti apa yang terbaik untuk dirinya. Raden tahu jika Sunan pun menyimpan rasa terhadap Zahra, namun ia tidak dapat merestui hubungan itu. Zahra adalah wanita di masa lalu ayahnya, lalu jiwanya bersemayam di sana. Entahlah, namun hati Raden mentoleransi persepsi itu.Belum sampai masalah selesai, Raden dikejutkan dengan kehadiran Sunan Kalijaga. Lelaki itu dengan gagah berani menunggangi kudanya. Raden terpana, juga prajurit yang lain. Bah
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Gimana uts kalian, guys? Semoga dapat hasil yang maksimal ya, aamiin.Happy reading ❤️❤️❤️....Ratusan anak panah beterbangan di langit. Bak pasukan burung yang siap bermigrasi. Kali ini panah itu mengincar seorang perempuan saja. Sayangnya, ratusan panah itu seakan tak mampu untuk menjangkau target mereka. Perempuan itu berlari tanpa peduli lelah, ia mengangkat gaunnya, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan jika jaraknya sudah sangat jauh dari para pengejar."Hei, mau kemana kau?!" Salah seorang lelaki tiba-tiba menghadang. Ia tersenyum licik ketika melihat wajah perempu
Manusia seringkali lupa jika apa yang terjadi saat ini akan menjadi masa lalu di esok hari. Bahkan ketika ia sadar jika waktu tidak pernah diam ia masih memilih untuk mengabaikan hal-hal yang begitu penting untuk saat-saat di penghujung hari nanti. Lantas ia mengeluhkan waktu yang begitu sempit ketika ingin menuntaskan pekerjaan yang padat. Tugas menumpuk, sedangkan waktu hanya melambai saja menantinya. Ada penyesalan di saat seperti itu, namun entah mengapa kita sering mengulangi hal yang sama. Apakah kesalahan itu sengaja dilakukan karena bujuk rayu setan yang begitu kuat? Ataukah, diri kita sendiri yang dengan sengaja melalaikan waktu?Pertanyaan semacam ini seharusnya dipikirkan Zahra sejak dulu. Mungkin alasan ia tersesat di lorong waktu karena sikapnya yang acuh pada kehidupan. Mengabaikan semua hal demi kepentingan pribadi yang sudah cukup membuatnya senang. Katakan saja ia egois,