Lingga yang berasal dari desa terpencil tentu tidak mengetahui siapa Batara Kara dan apa itu sekte pedang naga.
Batara Kara adalah seorang legenda pedang kerajaan sangkala. Ribuan pemuda mengantri untuk dapat memasuki sektenya dan menjadi muridnya. Batara Kara sedang menyendiri dan bersemedi di dasar jurang untuk meningkatkan kekuatan. Saat melihat Lingga terjatuh, dia dengan sigap menyelamatkannya. "Salam kenal kek, aku Lingga Kalageni." Batara Kara mengangguk, kemudian bertanya, "Siapa yang menjatuhkanmu ke jurang?" Lingga hanya menghela nafas mengingat kekejaman warga desa. Dia kemudian menceritakan kejadian nahas yang menimpanya termasuk tato aneh di perutnya yang dikaitkan dengan kesialan yang sering menimpa desa. "Bisakah kamu menunjukkan tato aneh di perutmu itu?" pinta Batara Kara. Lingga mengangguk lalu mengangkat bajunya yang sudah berlumuran darah. Batara Kara mengamati dengan serius tato di perut Lingga. Ternyata, tato di perut Lingga bergambar naga berwarna biru, namun Batara Kara menganggapnya hanyalah tato biasa. "Bagaimana kek? Apa tato di perutku menunjukkan bahwa aku pembawa sial terkutuk?" tanya Lingga. "Warga desamu hanya mengada-ada, tato naga biru di perutmu bukan berarti kamu adalah pembawa sial terkutuk," balas Batara Kara. Lingga mengepalkan tangannya. "Jika saja aku memiliki kekuatan, aku pasti akan membalas perlakuan kejam mereka," katanya sambil memasang wajah penuh kebencian. Melihat amarah Lingga, Batara Kara berpikir untuk mengajarinya seni beladiri agar dapat membalaskan dendamnya. "Apa kamu mau aku ajari menjadi seniman beladiri?" Lingga yang bertekad membalaskan dendam, tentu langsung menyetujuinya. "Aku mau kek." "Kalau begitu, larilah mengelilingi dasar jurang ini! Jangan berhenti sebelum aku menyuruhmu berhenti!" perintah Batara Kara. "Baik kek," jawab Lingga. Lingga bergegas lari mengelilingi dasar jurang yang cukup luas dengan banyak pohon layaknya sebuah hutan. Lingga terus berlari hingga keringat mengucur deras dari tubuhnya. Setelah setengah hari berlalu, Batara Kara baru menyuruhnya berhenti. "Huh hah huh hah." Lingga terengah-engah karena berlari sangat lama. "Kakek, apa kamu ingin menyiksaku?" "Baru setengah hari berlari namun kamu sudah menggerutu. Apa kamu ingin menyerah?" Lingga yang bertekad membalaskan dendam hanya tersenyum masam. "Tidak kek, aku tidak akan menyerah." "Bagus kalau begitu. Sekarang, kita makan terlebih dahulu sebelum melanjutkan pelatihanmu." "Baik kek," jawab Lingga. "Bakar kelinci itu!" Batara Kara menunjuk kelinci di sampingnya yang sebelumnya dia buru. Linggapun lalu membakarnya, kemudian menyantap daging kelinci bersama Batara Kara. Setelah kenyang, Batara Kara menyuruh Lingga meninju sebuah pohon dan menghancurkannya. "Bagaimana mungkin aku menghancurkan batang pohon yang keras ini?" protes Lingga. Batara Kara mendekati pohon besar yang sangat keras kemudian langsung meninjunya. Duarrr Pohon besar itu hancur berkeping-keping terkena tinju Batara Kara. "Apa kamu melihatnya? Tidak ada yang tidak mungkin," kata Batara Kara. Lingga hanya tercengang melihat Batara Kara menghancurkan pohon besar yang sangat keras. "A ... aku melihatnya," jawabnya terbata-bata. "Kalau begitu, lakukan saja perintahku!" perintah Batara Kara. "Baik," jawab Lingga lalu mendekati pohon yang harus dihancurkan olehnya. Lingga mulai meninju sebuah pohon. Namun bukannya hancur malah tangannya meneteskan darah segar. "Jangan berhenti memukuli pohon sampai aku menyuruhmu berhenti!" perintah Batara Kara. Bammm Bammm Bammm Lingga terus memukuli pohon hingga tangannya semakin banyak mengeluarkan darah. "Kakek, tanganku seakan mau patah. Sampai kapan aku harus memukuli pohon ini?" "Aku tidak peduli! Terus pukuli pohon itu!" Lingga menghela nafas, dia hanya bisa menuruti perintah Batara Kara karena dia sudah bertekad untuk menjadi kuat dan membalaskan dendamnya. Saat hari akan berganti malam, Batara Kara baru menghentikan Lingga meskipun Lingga tidak berhasil menghancurkan pohon. Dia lalu mengobati luka di tangan Lingga dengan pengobatan tenaga dalam hingga Lingga sembuh dalam waktu sekejap. Tanpa terasa satu tahun telah berlalu. Setiap hari Lingga harus berlari mengelilingi hutan dan meninju pepohonan. Usaha Lingga ternyata tidak sia-sia. Dia kini dapat berlari dengan membawa batu besar seberat 500 kg, dan dia juga telah menghancurkan seluruh pepohonan yang ada di hutan dasar jurang. "Lingga, fisikmu sudah cukup kuat. Sekarang, aku akan mengajarimu jurus dasar beladiri." "Baik kek, apa yang harus aku lakukan?" tanya Lingga. "Ikuti saja gerakanku!" Batara Kara memperagakan gerakan beladiri. Dari mulai sikap kuda-kuda sampai gerakan yang cukup sulit dia tunjukkan kepada Lingga. Linggapun dengan penuh perhatian mengikuti setiap gerakan Batara Kara. Dia terus melakukannya hingga terlihat mahir dalam waktu singkat. Batara Kara mengelus jenggotnya kagum melihat Lingga. "Lingga, aku rasa kamu adalah pemuda jenius." "Terimakasih atas pujian kakek," balas Lingga. Batara Kara mengambil ranting kayu kemudian berkata kepada Lingga, "aku juga akan mengajarimu jurus dasar pedang. Perhatikan dengan baik gerakanku!" Batara Kara lalu memperagakan jurus dasar berpedang menggunakan ranting kayu sementara Lingga memperhatikan dengan seksama. "Apa kamu sudah paham?" tanya Batara Kara setelah memperagakan jurus penggunaan pedang. "Sudah kek," jawab Lingga. "Selain berlari dengan beban berat 500 kg, setiap hari kamu juga harus melakukan gerakan yang sudah kakek ajarkan ini!" perintah Batara Kara. Lingga tidak banyak membantah, dia mulai berlatih gerakan dasar beladiri dan dasar penggunaan pedang. Hari demi hari berlalu hingga tak terasa setahun kembali berlalu dengan cepat. Tak hanya kemampuan fisiknya yang menakjubkan, Lingga kini menguasai dengan sempurna jurus beladiri tanpa senjata dan jurus dasar penggunaan pedang. Saat Lingga sedang berlatih jurus dasar berpedang menggunakan ranting kayu, Batara Kara memanggilnya. "Ada apa kek?" tanya Lingga. "Aku sudah dua tahun mengajarimu dan sudah cukup bersemedi di dasar jurang ini. Aku akan kembali ke sekte pedang naga," ucap Batara Kara. "Karena kakek sudah mengajariku, bisakah aku memanggil kakek sebagai guru dan ikut ke sekte pedang naga?" pinta Lingga. "Selama ini aku tidak menerima satupun murid, begitupun denganmu. Aku hanya mengajarimu sedikit ilmu beladiri dan tidak menganggapmu sebagai muridku," tolak Batara Kara. "Tolong terima aku sebagai muridmu, Kek!" "Begini saja, aku akan menerimamu sebagai muridku jika kamu berhasil masuk sekte pedang naga. Aku akan kembali ke sekte terlebih dahulu dan kamu akan kesana seorang diri sebagai bentuk keseriusanmu," ucap Batara Kara. "Aku setuju." Tanpa basa-basi Lingga menyanggupinya. Batara Kara kemudian membawa Lingga naik dari dasar jurang. "Aku akan pergi sekarang. Aku harap kamu bisa bertahan di dunia yang kejam ini," ucap Batara Kara lalu melesat pergi meninggalkan Lingga. Sepeninggalan Batara Kara, Lingga teringat warga desa yang selalu menyiksanya dan menjatuhkannya kedalam jurang. "Aku akan kembali ke desa dan membalaskan dendamku."Saat malam menjelang, Lingga bergerak senyap di desanya. Dia menyelinap masuk ke rumah-rumah warga dan membunuh mereka semua. Wanita dan anak-anak bahkan tidak luput dari amukannya. Mereka semua sama saja telah menindas dan menyiksanya. Lingga telah menjalani kehidupan tragis dimana setiap hari dia selalu disiksa oleh warga desa dan tidak ada siapapun yang menolong maupun membelanya. Karena hal itu, dia menjadi pemuda kejam yang tidak mengenal kata ampun. Kini Lingga menuju ke kediaman terakhir yaitu kediaman kepala desa. Duarrr Lingga mendobrak pintu rumah kepala desa. "Siapa yang berani mengganggu malam indahku?" teriak kepala desa kemudian keluar dari dalam kamar bersama dua istrinya yang masih muda. Matanya melotot seakan melihat hantu. "Li ... Li ... Lingga?" Lingga tidak merespon dan langsung melesat ke arah dua istri kepala desa kemudian meninju mereka. Bammm Bammm Kedua istri kepala desa tewas mengenaskan. Tubuh mereka terkoyak dan hancur menjadi beberapa bagian. Ke
Seseorang gadis keluar dari dalam kereta. Dia adalah Sekarsari, seorang gadis berparas cantik dengan balutan gaun yang sangat indah. Kecantikannya membuat ketiga perampok menatapnya dengan penuh birahi. "Aku akan memberikan hartaku kepada kalian." Sekarsari memilih memberikan harta miliknya. Dia menyerah karena lima pengawalnya telah tewas dibunuh oleh ketiga perampok itu, dan sekarang hanya tinggal dirinya dan sang kusir. "Hahaha." Ketiga perampok tertawa licik. "Bukan hanya hartamu, kami ingin memiliki tubuhmu." Sekarsari menjadi sangat panik. "Bukankah perampok seperti kalian hanya menginginkan harta?" "Itu sebelum kami melihat tubuh indahmu." Lingga yang memperhatikan sejak tadi akhirnya menampakkan diri. Kemunculannya yang tiba-tiba membuat ketiga perampok terkaget. "Siapa kamu?" tanya mereka sambil menghunuskan golok ke arah Lingga. Lingga tidak menanggapi dan langsung melesat zigzag lalu meninju ketiga perampok itu. Bammm Bammm Bammm Ketiga perampok terkena tinju Lin
Melihat Susena sangat marah, Bagaswara menjadi sangat khawatir akan keselamatan keluarganya. "Sampah ini telah merayu putriku." Bagaswara segera menyalahkan Lingga karena penolakan putrinya direspon buruk oleh Susena. "Itu tidak benar, aku dan Lingga saling mencintai. Aku harap Tuan Susena bisa bersikap dewasa! Aku sudah memiliki kekasih, tidak mungkin menerima lamaranmu." Sekarsari tetap bersikeras menolak Susena. Bagaswara melotot ke arah putrinya. "Sekarsari,,, Tuan Susena adalah berkah bagi keluarga kita. Cepat usir sampah tidak tahu malu itu!" perintahnya. Bagaswara tidak punya pilihan lain. Dia berusaha menenangkan amarah Susena dan menyuruh Sekarsari segera mengusir Lingga. Dia juga melakukannya agar Lingga tidak terseret masalah keluarganya. Susena mengangguk senang mendengar perkataan Bagaswara. "Tidak ada satupun yang bisa mencegahku memiliki wanita yang aku inginkan karena itu sama saja mempermalukan keluarga Wirajaya." Susena mengancam Sekarsari dengan membawa nama b
Lingga yang habis kesabarannya melesat ke arah Susena dan langsung meninjunya. Bammm Susena terpental mengenai dinding. Namun dia masih baik-baik saja karena Lingga tidak mengeluarkan segenap tenaganya. "Aku berbaik hati kepada bajingan sepertimu namun kamu berani menghina ibuku." Lingga tidak lagi peduli dengan keluarga wirajaya. Susena tersenyum, bahkan setelah menerima tinju dari Lingga. Dia menyeka darah yang keluar dari bibirnya. "Kamu hanya beruntung karena aku tidak waspada. Apa kamu marah padaku? Ibumu memang pelacur murahan." Lingga yang sangat murka tiba-tiba sudah berada di hadapan Susena. Dia mencekiknya kemudian langsung memukuli wajahnya. Bammm Bammm Bammm "Apa kamu sudah bersikap waspada?" tanya Lingga sambil terus memukulinya. Susena berteriak kesakitan menerima setiap pukulan dari Lingga. Dia tidak berdaya menghadapinya dan dalam waktu singkat mukanya babak belur dan mengeluarkan banyak darah. Sekarsari dan Bagaswara hanya bisa terdiam menyaksikan Lingga. M
Wirajaya segera memimpin pasukannya menuju kediaman keluarga bagaswara. Dia juga memerintah beberapa orang untuk menyebar ke beberapa titik perbatasan untuk memastikan tidak ada satupun anggota keluarga bagaswara yang melarikan diri. Pergerakan pasukan keluarga wirajaya membuat kota mawar putih menjadi gempar. Keluarga kelas bawah, kelas menengah dan kelas atas segera mengetahui jika keluarga wirajaya akan menyerang keluarga bagaswara. "Apa yang telah membuat keluarga wirajaya murka dengan keluarga bagaswara?" Beberapa keluarga mempertanyakan alasan penyerangan yang dilakukan oleh keluarga wirajaya. "Menurut kabar, Susena telah dianiaya di kediaman Bagaswara. Mukanya babak belur dan kedua lengannya patah." "Keluarga bagaswara benar-benar mencari mati, mereka akan segera lenyap dari dunia ini." Di kediaman keluarga bayuaji, seorang pemuda bernama Damar menghadap kepala keluarga bayuaji. "Keluarga bagaswara telah bertahun-tahun menjalin hubungan bisnis dengan keluarga bayuaj
"Apa maksudmu?" tanya Lingga. "Kamu bisa bertanya kepada Sekarsari," jawab Bagaswara. "Sekarang aku dan pasukanku harus menuju kediaman keluarga wirajaya untuk melenyapkan keluarga itu sampai ke akar-akarnya," lanjutnya. Linggapun menemui Sekarsari sementara Bagaswara dan pasukannya menuju kediaman wirajaya. "Apa maksud ayahmu dengan asset dan bisnis keluarga wirajaya?" tanya Lingga kepada Sekarsari setelah menemuinya. "Tuan Lingga berhak menguasai asset dan bisnis peninggalan keluarga wirajaya karena Tuan Lingga yang telah menghancurkan mereka." "Memang asset dan bisnis apa saja yang mereka miliki?" "Mereka menguasai toko herbal di kota mawar putih dan baru-baru ini mereka telah menemukan area dengan kandungan zamrud di gunung kuskus." "Aku tidak mengetahui tentang bisnis dan terlalu malas mengurusinya. Bisakah keluarga bagaswara yang mengurusnya?" "Tuan bisa membahasnya bersama ayahku." "Tidak perlu, aku akan segera pergi dari sini," tolak Lingga. "Bisakah tuan m
"Berapa harga pakaian ini?" tanya Lingga sambil mencoba menyentuh pakaian yang dia inginkan. Pelayan toko menepis tangan Lingga. "Jangan menyentuhnya sebelum kamu membelinya!" "Aku akan membelinya, berapa harganya?" "2.000 koin perunggu." Lingga tersedak mendengarnya. Dia hanya diberi 2.000 koin perunggu oleh Bagaswara dan hanya cukup untuk membeli satu pakaian. "Apa ada yang lebih murah?" "Heh, dasar miskin," maki pelayan toko. "Tidak perlu memakiku! Tunjukkan saja pakaian yang lebih murah!" kata Lingga. "Ini." Pelayan toko menyodorkan pakaian yang paling murah. "Berapa?" tanya Lingga. "1.200 koin perunggu dan tidak ada lagi pakaian yang lebih murah," kata pelayan. "Baiklah, aku akan membelinya," balas Lingga. Setelah membayarnya, Lingga mengganti pakaiannya dan membuang pakaian yang lama di tong sampah. Dia kini berjalan dengan penuh percaya diri setelah berganti pakaian dengan pakaian yang cukup bagus. Melihat restoran mewah, perut Lingga menjadi keroncongan.
Walikota dan Saraswati hanya diam menyaksikan Lingga. Mereka berpikir perseteruan antara Lingga dan ketua kelompok kumbang hitam akan menarik sehingga ingin melihatnya. "Cihhh." Ketua kelompok kumbang hitam meremehkan kemampuan Lingga. "Aku tidak akan segan membunuhmu," katanya. "Baiklah, ayu maju!" Lingga tidak gentar menghadapinya. Jika ternyata ketua itu lebih hebat darinya, dia berencana melarikan diri. "Bajingan tengik! Bertarung denganmu menurunkan harga diriku, cepat berikan uang itu!" "Kalau begitu, akulah yang akan maju terlebih dahulu." Lingga melesat ke arah ketua kelompok kumbang hitam. Lingga mencoba meninjunya, namun ketua itu dapat menghindari serangannya. Mereka berdua kemudian saling beradu tinju. "Hiattt, ciattt, ciattt." Lingga dan ketua kelompok kumbang hitam saling berusaha melumpuhkan dengan teknik beladiri mereka masing-masing. Lingga mencoba meninju wajah sang ketua kelompok kumbang hitam. Ketua itupun menepis serangan Lingga dan berbalik mencob
Lingga yang penasaran mendekat dan menghadap pemuda bertopeng serigala. "Saudara, apa yang akan kamu lakukan dengan perawan desa?" Pemuda bertopeng serigala seketika menjadi sangat marah. Dia tidak ingin ada yang membantah maupun menanyakan tentang perintahnya. Sementara warga desa sendiri sudah mengetahui jika perawan desa akan dijadikan budak di sekte serigala hitam. Wusss Pemuda bertopeng serigala itu langsung melompat ke arah Lingga. Dia berniat membunuhnya untuk dijadikan contoh agar warga desa tidak menentangnya. "Berani sekali kamu bertanya?" katanya sambil melesatkan tinju. Kepala desa dan warga desa hanya dibuat semakin takut melihat kemarahan pemuda bertopeng serigala. Mereka bisa saja dibunuh karena tingkah Lingga. "Darimana datangnya pemuda itu? Berani sekali dia ikut campur dengan urusan desa," gumam kepala desa. Kepala desa dan warga desa menganggap Lingga akan mati karena pemuda bertopeng serigala mengerahkan segenap kemampuannya meninju Lingga. Namun, L
Dengan kecepatannya, beruang hitam mengejar tubuh Lingga yang baru saja terlempar. Saat sudah dekat, dia berusaha mencabiknya dengan kedua cakarnya. Lingga tentu tidak tinggal diam, dia berguling untuk menghindar sehingga cakar beruang hitam mengenai pohon. Lingga tersenyum kecut melihat pohon kokoh dan besar tercabik dan hancur berkeping-keping terkena cakar beruang hitam. "Terlambat sedikit saja menghindar, mungkin akulah yang akan hancur seperti pohon itu." Cakar beruang hitam itu tidak ubahnya seperti sebuah pedang yang sangat tajam. Ketajamannya bahkan mampu menghancurkan bebatuan yang sangat keras. Lepas dari cengkraman sang beruang, Lingga mengalirkan tenaga dalam kedalam kepalan tinjunya. "Tinju Auman Singa." Dia meninju bagian belakang beruang itu. Beruang hitam tampak tidak terpengaruh sedikitpun, masih berdiri tegak di tempatnya berada. Hal itu membuat Lingga kaget mengetahui kekebalan beruang hitam itu. Beruang hitam itu menengok ke belakang kemudian membabi bu
Lingga berniat meningkatkan teknik dasar beladirinya dengan menghadapi singa buas. Dia langsung bersiap mengepalkan tangannya, akan mencoba menghadapinya dengan tangan kosong. Singa buas itu berbalik arah kemudian berlari sangat cepat ke arah Lingga. Saat sudah berada dekat dengan Lingga, dia melebarkan mulutnya seolah hendak memakannya. Dengan tumpuan kaki, Lingga menghentak ke tanah kemudian melesat menyambut singa buas dengan kepalan tinjunya. "Tinju Auman Naga." Lingga meneriakkan nama jurus secara asal. Saat kepalan tinju Lingga hendak mengenai kepala singa buas, singa itu bergerak ke kiri dengan gesit dan cekatan sehingga tinju Lingga hanya mengenai angin kosong. Lingga menghentikan langkahnya kemudian berbalik arah menghadap sang singa, begitupun dengan singa itu yang sudah kembali menghadap Lingga. "Sial, aku sudah mengumpulkan tenagaku untuk meninjunya tapi dia menghindarinya," gerutu Lingga. Goarrr Singa buas meraung, mukanya tampak lebih menyeramkan dari seb
Lingga tidak pergi meninggalkan kota daun emas, tetapi kembali ke penginapan. Dia akan berkultivasi dan memperbanyak lagi energi qi yang telah terkuras habis. Sementara itu, walikota menyuruh para prajurit kota mengurusi mayat-mayat yang tewas, begitupun dengan mayat Adiprana, Gana dan Jaka. Setelah sampai di penginapan, Lingga duduk dengan posisi lotus dan mulai menyerap energi qi. Sehari, dua hari, tiga hari Lingga terus berkultivasi. Energi qi dalam dantiannya kini telah bertambah semakin banyak sebesar kepalan tangan. Hal itu perlu dibanggakan dan Lingga bisa dikatakan sebagai pemuda yang sangat jenius. Kultivator pemula bahkan bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk melakukan seperti yang Lingga lakukan. Duarrr Ledakan spiritual tiba-tiba terjadi, hal itu menandakan jika Lingga berhasil mencapai tingkat pelatihan qi tahap pertama. Lingga tersenyum menyeringai. "Akhirnya aku berhasil, ternyata seperti ini rasanya menjadi kultivator pelatihan qi tahap pertama." B
"Benar, aku hanya melakukan apa yang aku bisa, " jawab Lingga. "Terimakasih tuan, aku sangat berhutang budi padamu. Bagaimana aku bisa membalasnya?" tanya Badrika. "Tidak perlu merasa berhutang budi, minumlah pil embun pagi ini untuk mengobati luka luarmu!" Lingga memberikan pil embun pagi kepada Badrika. Badrika tanpa ragu menelannya sehingga luka luarnya membaik secara perlahan. "Ayah, tiga orang pemuda berusaha membunuh tuan muda ini. Ayah lebih baik hadapi mereka terlebih dahulu! Mungkin saat ini sudah banyak prajurit yang tewas," sela walikota. Badrika mengepalkan tangannya. "Cecunguk mana yang berani berbuat onar di kota kita? Ayu kita keluar!" ajaknya. Di halaman istana, ratusan prajurit telah tewas oleh Adiprana, Gana dan Jaka. Dua jenderal kota juga mengalami luka yang sangat serius, entah berapa lama lagi mereka berhasil menahan Adiprana dan dua temannya itu. Mereka merasa sebentar lagi Adiprana dapat menerobos masuk kedalam istana. Saat jenderal dan prajurit k
"Aku memang bukan tandingan musuhmu yang berada ditingkatan pelatihan qi tahap kelima, namun ayahku berada ditingkatan pelatihan qi tahap ketujuh, jika dia sembuh, dia dapat melawan ketiga musuhmu," balas walikota. Walikota berada ditingkatan pelatihan qi tahap ketiga, dia mengetahui jika dia bukanlah lawan Adiprana, Gana dan Jaka. Begitupun dengan dua jenderalnya yang berada ditingkatan pelatihan qi tahap kedua dan para prajurit kota yang rata-rata berada ditingkatan pelatihan qi tahap kesatu. "Aku harap aku bisa menyembuhkan ayah tuan walikota," ucap Lingga. "Aku percaya tuan muda bisa mengobatinya," jawab walikota. Setelah mereka sampai di kamar Badrika, Lingga langsung mengecek kondisinya. "Tuan walikota, bisakah anda memberiku tiga jarum akupuntur!" pinta Lingga. "Baik, tunggu tuan muda!" Walikota meninggalkan kamar kemudian kembali dengan tiga jarum akupuntur yang diinginkan Lingga. "Ini tuan." Dia memberikannya kepada Lingga. Sementara itu, jenderal kota dan para
Lingga menunduk hormat kemudian bertanya, "Ada urusan apa walikota menemuiku?" Walikota menjelaskan jika dia mengetahui keberadaan Lingga dari alkemis kota. Ayahnya sedang terbujur sakit dan memerlukan pil obat untuk menyelamatkannya. Sakit yang dialami ayah walikota terbilang cukup parah. Alkemis kota tidak mampu membuat pil obat untuknya, oleh karenanya dia memberitahukan tentang Lingga kepada walikota. Alkemis kota menganggap Lingga adalah alkemis hebat yang mungkin mampu meracik pil obat untuk kesembuhan ayah walikota. "Bisakah tuan muda membuatkan pil obat untuk ayahku?" pinta walikota. Lingga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia bukanlah seorang alkemis dan hanya bisa meracik pil embun pagi. Permintaan walikota terlalu berat baginya karena penyakit yang diderita ayahnya tidak cukup disembuhkan hanya dengan pil embun pagi. "Maaf walikota, aku baru belajar tentang alkemis, tidak dapat membuat pil obat untuk ayahmu," jawab Lingga. Walikota menganggap Lingga hanya
Mengetahui hal itu warga kota mulai memuji kemampuan Lingga dalam meracik pil. Mereka tidak meragukan alkemis kota dalam menilai sebuah pil. "Tuan muda, apa anda juga seorang alkemis?" tanya alkemis kota. Lingga sebenarnya tidak mengetahui apa itu alkemis, namun dia tidak ingin alkemis kota dan warga kota terlalu banyak bertanya sehingga dia hanya mengangguk membenarkan. "Tuan, biarkan aku membelinya," pria yang kalah bertarung meminta Lingga menjual pil embun pagi kepadanya. Dia sangat membutuhkan pil itu untuk menyembuhkan luka-luka ayahnya. "Aku memang akan menjualnya padamu," balas Lingga. "Aku hanya memiliki 20 koin emas ini," kata pria itu sambil menyodorkan kantong berisi 20 koin emas kepada Lingga. Lingga setuju dan mengambil kantong itu kemudian memberikan pil embun pagi kepadanya. "Terimakasih tuan." "Sama-sama," jawab Lingga. Pria itu kemudian bergegas pergi meninggalkan balai pengobatan agar dapat segera menyelamatkan ayahnya yang terluka parah. Alkemis
Lingga melesat meninggalkan puncak gunung cakrawala hingga dia menemukan sebuah sungai. Lingga mandi di sungai dan membersihkan pakaiannya dari noda darah. Setelah bersih, Lingga kembali melanjutkan perjalanan dan sampai di kota daun emas, kota yang tiga kali lebih besar dari kota mawar putih dengan penjagaan yang ketat. Lingga melihat antrian orang-orang yang akan memasuki kota. Diapun ikut mengantri sambil mengeteng pedangnya. Beberapa orang memandangnya hina dan aneh karena berpakaian penuh sobekan dan mengeteng pedang, namun dia tidak menghiraukan mereka. "Lima koin perak!" penjaga gerbang meminta uang agar Lingga dapat memasuki kota. Linggapun mengambil lima koin perak dan memberikannya kepada penjaga. Dia lalu melenggang masuk dan melihat kemegahan kota yang membuatnya sangat kagum dan takjub. Di jalanan kota terlihat pertunjukan topeng, tari-tarian, sulap, seni beladiri dan lainnya yang membuat warga kota berkumpul menyaksikannya. Beberapa kios juga berdiri mega