Melihat Susena sangat marah, Bagaswara menjadi sangat khawatir akan keselamatan keluarganya.
"Sampah ini telah merayu putriku." Bagaswara segera menyalahkan Lingga karena penolakan putrinya direspon buruk oleh Susena. "Itu tidak benar, aku dan Lingga saling mencintai. Aku harap Tuan Susena bisa bersikap dewasa! Aku sudah memiliki kekasih, tidak mungkin menerima lamaranmu." Sekarsari tetap bersikeras menolak Susena. Bagaswara melotot ke arah putrinya. "Sekarsari,,, Tuan Susena adalah berkah bagi keluarga kita. Cepat usir sampah tidak tahu malu itu!" perintahnya. Bagaswara tidak punya pilihan lain. Dia berusaha menenangkan amarah Susena dan menyuruh Sekarsari segera mengusir Lingga. Dia juga melakukannya agar Lingga tidak terseret masalah keluarganya. Susena mengangguk senang mendengar perkataan Bagaswara. "Tidak ada satupun yang bisa mencegahku memiliki wanita yang aku inginkan karena itu sama saja mempermalukan keluarga Wirajaya." Susena mengancam Sekarsari dengan membawa nama besar keluarganya. Dia berharap Sekarsari mau mendengar perintah ayahnya dan segera mengusir Lingga. "Tuan Susena,,, kamu berasal dari keluarga kelas atas dan memiliki banyak wanita, aku hanya gadis jelek dari keluarga kecil yang tidak pantas bersanding denganmu." Sekarsari bersikukuh dengan pendiriannya. Susena memandang Lingga dengan jijik. "Ini benar-benar penghinaan bagiku, kamu menolakku demi sampah itu. Keluarga bagaswara tampaknya perlu diberi pelajaran." Bagaswara yang panik segera kembali menenangkan Susena, "Tuan Susena, aku akan membujuk putriku. Besok, aku akan mengirimnya ke keluarga wirajaya untuk menghangatkan ranjangmu." Bagaswara sangat takut berurusan dengan keluarga wirajaya. Dia terpaksa menyerahkan putrinya untuk meredam amarah Susena. "Jika kamu mengingkarinya, keluarga bagaswara akan lenyap dari kota mawar putih." "Aku berjanji padamu," balas Bagaswara. Susena mendekati Sekarsari dan menjauhkannya dari Lingga. Linggapun hanya bisa menyingkir dan melepas pelukan Sekarsari dari lengannya. Susena lalu mencekik leher Sekarsari. "Kamu harus mendengarkan ayahmu dan jadilah anjingku yang penurut!" "Cihhh." Sekarsari secara reflek meludahi Susena. Dia merasa jijik dengannya. Plakkk Susena langsung menampar Sekarsari. "Jalang kurang ajar! Apa kamu sudah bosan hidup?" "Maaf Tuan Susena, aku tidak sengaja melakukannya," ucap Sekarsari. "Aku akan memaafkanmu jika kamu berlutut dan menggonggong seperti anjing," balas Susena. "Tuan Susena, kamu sudah bertindak keterlaluan." Lingga yang sedari tadi diam mulai angkat bicara. Susena mendengus. "Siapa yang menyuruh bicara, Sialan?" "Tuan Susena, aku adalah kekasihnya. Tolong hargai pilihannya!" pinta Lingga dengan sopan. Bagaswara melotot ke arah Lingga. "Apa kamu ingin mati?" bentaknya. "Apa paman tidak memiliki belas kasih kepada putri paman?" Lingga berusaha meyakinkan Bagaswara agar tidak tunduk kepada Susena. "Itu bukan urusanmu, cepat enyah dari sini!" Bagaswara tidak ingin Lingga menjadi korban kebiadaban Susena. Lingga melirik ke arah Sekarsari seolah meminta persetujuan darinya. Dia diambang kebingungan antara membantu Sekarsari atau membiarkan keluarga bagaswara menentukan nasibnya sendiri. Sekarsari geleng-geleng kepala meminta Lingga untuk tetap membantunya. Dia benar-benar tidak ingin menjadi mainan Susena. "Biarkan dia pergi!" Bagaswara mengedipkan mata seolah memberi kode kepada Sekarsari. Sekarsari yang mengetahui ayahnya tidak ingin menyeret Lingga, hanya tertunduk lesu. "Pergilah dari sini!" perintahnya kepada Lingga. "Jika itu pilihanmu, maka aku akan pergi. Tapi, mana bayaranku?" Lingga meminta Sekarsari membayar biaya pengawalan yang dijanjikan olehnya. Bagaswara mengerutkan alis. "Apa maksudmu?" "Aku sebenarnya bukan kekasih putrimu, aku hanya mengawalnya sampai ke kota ini," jawab Lingga. "Benar, Lingga hanya mengawalku dan tidak ada hubungannya denganku." Sekarsari mengakuinya agar Lingga selamat dari Susena dan keluarga wirajaya. Bagaswara mengerti, kemudian memberi Lingga sekantong koin perunggu. "Pergilah dari sini!" perintahnya. "Tunggu!" Susena tidak membiarkan Lingga begitu saja. "Apa kalian mempermainkanku?" "Tuan Susena, ini hanyalah salah paham." Bagaswara kembali berusaha menenangkan Susena. Disisi lain, Lingga tidak menghiraukan Susena. Dia melangkahkan kaki untuk keluar dari kediaman Bagaswara. "Sampah! Apa kamu mengacuhkanku?" teriak Susena. Lingga tidak bergeming dan terus melangkah. Hal itu membuat amarah Susena kembali melonjak. "Dasar anak pelacur! Berani sekali kamu mengacuhkanku?" maki Susena. Lingga mengepalkan tangannya, kemudian berbalik menghadap Susena. Dia sangat murka karena Susena telah menghina ibunya. Susena tersenyum girang karena penghinaannya berhasil menghentikan Lingga. "Benarkan? Kamu anak pelacurkan?"Lingga yang habis kesabarannya melesat ke arah Susena dan langsung meninjunya. Bammm Susena terpental mengenai dinding. Namun dia masih baik-baik saja karena Lingga tidak mengeluarkan segenap tenaganya. "Aku berbaik hati kepada bajingan sepertimu namun kamu berani menghina ibuku." Lingga tidak lagi peduli dengan keluarga wirajaya. Susena tersenyum, bahkan setelah menerima tinju dari Lingga. Dia menyeka darah yang keluar dari bibirnya. "Kamu hanya beruntung karena aku tidak waspada. Apa kamu marah padaku? Ibumu memang pelacur murahan." Lingga yang sangat murka tiba-tiba sudah berada di hadapan Susena. Dia mencekiknya kemudian langsung memukuli wajahnya. Bammm Bammm Bammm "Apa kamu sudah bersikap waspada?" tanya Lingga sambil terus memukulinya. Susena berteriak kesakitan menerima setiap pukulan dari Lingga. Dia tidak berdaya menghadapinya dan dalam waktu singkat mukanya babak belur dan mengeluarkan banyak darah. Sekarsari dan Bagaswara hanya bisa terdiam menyaksikan Lingga. M
Wirajaya segera memimpin pasukannya menuju kediaman keluarga bagaswara. Dia juga memerintah beberapa orang untuk menyebar ke beberapa titik perbatasan untuk memastikan tidak ada satupun anggota keluarga bagaswara yang melarikan diri. Pergerakan pasukan keluarga wirajaya membuat kota mawar putih menjadi gempar. Keluarga kelas bawah, kelas menengah dan kelas atas segera mengetahui jika keluarga wirajaya akan menyerang keluarga bagaswara. "Apa yang telah membuat keluarga wirajaya murka dengan keluarga bagaswara?" Beberapa keluarga mempertanyakan alasan penyerangan yang dilakukan oleh keluarga wirajaya. "Menurut kabar, Susena telah dianiaya di kediaman Bagaswara. Mukanya babak belur dan kedua lengannya patah." "Keluarga bagaswara benar-benar mencari mati, mereka akan segera lenyap dari dunia ini." Di kediaman keluarga bayuaji, seorang pemuda bernama Damar menghadap kepala keluarga bayuaji. "Keluarga bagaswara telah bertahun-tahun menjalin hubungan bisnis dengan keluarga bayuaj
"Apa maksudmu?" tanya Lingga. "Kamu bisa bertanya kepada Sekarsari," jawab Bagaswara. "Sekarang aku dan pasukanku harus menuju kediaman keluarga wirajaya untuk melenyapkan keluarga itu sampai ke akar-akarnya," lanjutnya. Linggapun menemui Sekarsari sementara Bagaswara dan pasukannya menuju kediaman wirajaya. "Apa maksud ayahmu dengan asset dan bisnis keluarga wirajaya?" tanya Lingga kepada Sekarsari setelah menemuinya. "Tuan Lingga berhak menguasai asset dan bisnis peninggalan keluarga wirajaya karena Tuan Lingga yang telah menghancurkan mereka." "Memang asset dan bisnis apa saja yang mereka miliki?" "Mereka menguasai toko herbal di kota mawar putih dan baru-baru ini mereka telah menemukan area dengan kandungan zamrud di gunung kuskus." "Aku tidak mengetahui tentang bisnis dan terlalu malas mengurusinya. Bisakah keluarga bagaswara yang mengurusnya?" "Tuan bisa membahasnya bersama ayahku." "Tidak perlu, aku akan segera pergi dari sini," tolak Lingga. "Bisakah tuan m
"Berapa harga pakaian ini?" tanya Lingga sambil mencoba menyentuh pakaian yang dia inginkan. Pelayan toko menepis tangan Lingga. "Jangan menyentuhnya sebelum kamu membelinya!" "Aku akan membelinya, berapa harganya?" "2.000 koin perunggu." Lingga tersedak mendengarnya. Dia hanya diberi 2.000 koin perunggu oleh Bagaswara dan hanya cukup untuk membeli satu pakaian. "Apa ada yang lebih murah?" "Heh, dasar miskin," maki pelayan toko. "Tidak perlu memakiku! Tunjukkan saja pakaian yang lebih murah!" kata Lingga. "Ini." Pelayan toko menyodorkan pakaian yang paling murah. "Berapa?" tanya Lingga. "1.200 koin perunggu dan tidak ada lagi pakaian yang lebih murah," kata pelayan. "Baiklah, aku akan membelinya," balas Lingga. Setelah membayarnya, Lingga mengganti pakaiannya dan membuang pakaian yang lama di tong sampah. Dia kini berjalan dengan penuh percaya diri setelah berganti pakaian dengan pakaian yang cukup bagus. Melihat restoran mewah, perut Lingga menjadi keroncongan.
Walikota dan Saraswati hanya diam menyaksikan Lingga. Mereka berpikir perseteruan antara Lingga dan ketua kelompok kumbang hitam akan menarik sehingga ingin melihatnya. "Cihhh." Ketua kelompok kumbang hitam meremehkan kemampuan Lingga. "Aku tidak akan segan membunuhmu," katanya. "Baiklah, ayu maju!" Lingga tidak gentar menghadapinya. Jika ternyata ketua itu lebih hebat darinya, dia berencana melarikan diri. "Bajingan tengik! Bertarung denganmu menurunkan harga diriku, cepat berikan uang itu!" "Kalau begitu, akulah yang akan maju terlebih dahulu." Lingga melesat ke arah ketua kelompok kumbang hitam. Lingga mencoba meninjunya, namun ketua itu dapat menghindari serangannya. Mereka berdua kemudian saling beradu tinju. "Hiattt, ciattt, ciattt." Lingga dan ketua kelompok kumbang hitam saling berusaha melumpuhkan dengan teknik beladiri mereka masing-masing. Lingga mencoba meninju wajah sang ketua kelompok kumbang hitam. Ketua itupun menepis serangan Lingga dan berbalik mencob
Lingga kemudian mencoba mencari harta kelompok kumbang hitam. Dia sangat girang setelah menemukan 10 koin emas dan beberapa koin perak. Dia kemudian melesat pergi setelah mengantonginya untuk menuju ke kota awan perak. Saat sedang berlari, Lingga dihadang oleh pemuda yang sangat dia kenali. Pemuda itu adalah Adiprana yang sekarang bersama dua orang temannya, Gana dan Jaka. Mereka segera mengepung Lingga agar tidak bisa melarikan diri. "Bajingan terkutuk, akhirnya aku menemukanmu," ucap Adiprana. Lingga hanya tersenyum masam kemudian langsung mengambil sikap kuda-kuda. Melawan Adiprana saja dia tidak sanggup, apalagi harus menghadapi dua orang temannya yang lain? Dia segera memikirkan cara untuk kabur dari ketiganya. Adiprana yang memendam amarah yang sangat besar kepada Lingga segera menyerang Lingga dengan tombaknya. Dengan gerakan yang sangat lincah, Lingga menghindari serangan Adiprana sambil mencari celah untuk melarikan diri. Baru saja menghindari tombak Adiprana, Jak
Adiprana harus kecewa karena ternyata Lingga sudah tidak ada di dalam kamarnya. Lingga bukanlah orang yang bodoh. Dia tahu jika Adiprana akan segera menemukan jejaknya. Karena hal itu, dia pergi meninggalkan penginapan sesaat setelah membalut lukanya. Adiprana sangat marah karena kehilangan Lingga. Untuk melampiaskan amarahnya, Adiprana dan dua temannya menghabisi seluruh warga desa dan membakar habis rumah-rumah mereka. Sementara itu, Lingga terus berlari agar semakin jauh dari Adiprana. Darah yang tidak lagi menetes dari tubuhnya membuat Adiprana kehilangan jejaknya. "Beruntung aku bisa lepas dari Adiprana," gumam Lingga sambil terus berlari. "Namun, luka-luka di tubuhku benar-benar sangat menyakitkan." Lingga terus berlari melewati hutan, sungai, perbukitan, lembah, dan gunung. Setelah beberapa saat berlalu, Lingga menemukan sebuah gua dan memutuskan untuk beristirahat disana sambil memulihkan luka-lukanya. Sebelum memasuki gua, Lingga terlebih dahulu mencari tanaman he
Lingga memasang sikap kuda-kuda, kemudian menghunuskan pedangnya ke arah Jaya Dwipa dan ratusan pemuda yang memandangnya dengan tatapan membunuh. "Jangan coba-coba mendekatiku atau aku akan membunuh kalian!" perintah Lingga. "Akulah yang akan membunuhmu." Jaya Dwipa tidak gentar dan langsung melesat ke arah Lingga dengan tinjunya. Sementara ratusan pemuda masih belum mengambil sikap untuk menyaksikan duel antara Lingga dan Jaya Dwipa. Lingga memutar tubuhnya sehingga tinju Jaya Dwipa hanya mengenai angin kosong. Dia kemudian memukul punggung Jaya Dwipa dengan gagang pedangnya. Jaya Dwipa terpental ke depan, kemudian segera berbalik arah dan kembali menyerang Lingga. Namun gerakan Jaya Dwipa sangat lambat bagi Lingga dan penuh celah. Bammm Lingga menendang Jaya Dwipa sehingga dia terpental tiga meter ke belakang dan mengeluarkan darah segar. Ratusan pemuda bergerak mundur setelah mengetahui jika Lingga ternyata pemuda yang cukup hebat. Namun mereka tetap menginginkan peda
Lingga yang penasaran mendekat dan menghadap pemuda bertopeng serigala. "Saudara, apa yang akan kamu lakukan dengan perawan desa?" Pemuda bertopeng serigala seketika menjadi sangat marah. Dia tidak ingin ada yang membantah maupun menanyakan tentang perintahnya. Sementara warga desa sendiri sudah mengetahui jika perawan desa akan dijadikan budak di sekte serigala hitam. Wusss Pemuda bertopeng serigala itu langsung melompat ke arah Lingga. Dia berniat membunuhnya untuk dijadikan contoh agar warga desa tidak menentangnya. "Berani sekali kamu bertanya?" katanya sambil melesatkan tinju. Kepala desa dan warga desa hanya dibuat semakin takut melihat kemarahan pemuda bertopeng serigala. Mereka bisa saja dibunuh karena tingkah Lingga. "Darimana datangnya pemuda itu? Berani sekali dia ikut campur dengan urusan desa," gumam kepala desa. Kepala desa dan warga desa menganggap Lingga akan mati karena pemuda bertopeng serigala mengerahkan segenap kemampuannya meninju Lingga. Namun, L
Dengan kecepatannya, beruang hitam mengejar tubuh Lingga yang baru saja terlempar. Saat sudah dekat, dia berusaha mencabiknya dengan kedua cakarnya. Lingga tentu tidak tinggal diam, dia berguling untuk menghindar sehingga cakar beruang hitam mengenai pohon. Lingga tersenyum kecut melihat pohon kokoh dan besar tercabik dan hancur berkeping-keping terkena cakar beruang hitam. "Terlambat sedikit saja menghindar, mungkin akulah yang akan hancur seperti pohon itu." Cakar beruang hitam itu tidak ubahnya seperti sebuah pedang yang sangat tajam. Ketajamannya bahkan mampu menghancurkan bebatuan yang sangat keras. Lepas dari cengkraman sang beruang, Lingga mengalirkan tenaga dalam kedalam kepalan tinjunya. "Tinju Auman Singa." Dia meninju bagian belakang beruang itu. Beruang hitam tampak tidak terpengaruh sedikitpun, masih berdiri tegak di tempatnya berada. Hal itu membuat Lingga kaget mengetahui kekebalan beruang hitam itu. Beruang hitam itu menengok ke belakang kemudian membabi bu
Lingga berniat meningkatkan teknik dasar beladirinya dengan menghadapi singa buas. Dia langsung bersiap mengepalkan tangannya, akan mencoba menghadapinya dengan tangan kosong. Singa buas itu berbalik arah kemudian berlari sangat cepat ke arah Lingga. Saat sudah berada dekat dengan Lingga, dia melebarkan mulutnya seolah hendak memakannya. Dengan tumpuan kaki, Lingga menghentak ke tanah kemudian melesat menyambut singa buas dengan kepalan tinjunya. "Tinju Auman Naga." Lingga meneriakkan nama jurus secara asal. Saat kepalan tinju Lingga hendak mengenai kepala singa buas, singa itu bergerak ke kiri dengan gesit dan cekatan sehingga tinju Lingga hanya mengenai angin kosong. Lingga menghentikan langkahnya kemudian berbalik arah menghadap sang singa, begitupun dengan singa itu yang sudah kembali menghadap Lingga. "Sial, aku sudah mengumpulkan tenagaku untuk meninjunya tapi dia menghindarinya," gerutu Lingga. Goarrr Singa buas meraung, mukanya tampak lebih menyeramkan dari seb
Lingga tidak pergi meninggalkan kota daun emas, tetapi kembali ke penginapan. Dia akan berkultivasi dan memperbanyak lagi energi qi yang telah terkuras habis. Sementara itu, walikota menyuruh para prajurit kota mengurusi mayat-mayat yang tewas, begitupun dengan mayat Adiprana, Gana dan Jaka. Setelah sampai di penginapan, Lingga duduk dengan posisi lotus dan mulai menyerap energi qi. Sehari, dua hari, tiga hari Lingga terus berkultivasi. Energi qi dalam dantiannya kini telah bertambah semakin banyak sebesar kepalan tangan. Hal itu perlu dibanggakan dan Lingga bisa dikatakan sebagai pemuda yang sangat jenius. Kultivator pemula bahkan bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk melakukan seperti yang Lingga lakukan. Duarrr Ledakan spiritual tiba-tiba terjadi, hal itu menandakan jika Lingga berhasil mencapai tingkat pelatihan qi tahap pertama. Lingga tersenyum menyeringai. "Akhirnya aku berhasil, ternyata seperti ini rasanya menjadi kultivator pelatihan qi tahap pertama." B
"Benar, aku hanya melakukan apa yang aku bisa, " jawab Lingga. "Terimakasih tuan, aku sangat berhutang budi padamu. Bagaimana aku bisa membalasnya?" tanya Badrika. "Tidak perlu merasa berhutang budi, minumlah pil embun pagi ini untuk mengobati luka luarmu!" Lingga memberikan pil embun pagi kepada Badrika. Badrika tanpa ragu menelannya sehingga luka luarnya membaik secara perlahan. "Ayah, tiga orang pemuda berusaha membunuh tuan muda ini. Ayah lebih baik hadapi mereka terlebih dahulu! Mungkin saat ini sudah banyak prajurit yang tewas," sela walikota. Badrika mengepalkan tangannya. "Cecunguk mana yang berani berbuat onar di kota kita? Ayu kita keluar!" ajaknya. Di halaman istana, ratusan prajurit telah tewas oleh Adiprana, Gana dan Jaka. Dua jenderal kota juga mengalami luka yang sangat serius, entah berapa lama lagi mereka berhasil menahan Adiprana dan dua temannya itu. Mereka merasa sebentar lagi Adiprana dapat menerobos masuk kedalam istana. Saat jenderal dan prajurit k
"Aku memang bukan tandingan musuhmu yang berada ditingkatan pelatihan qi tahap kelima, namun ayahku berada ditingkatan pelatihan qi tahap ketujuh, jika dia sembuh, dia dapat melawan ketiga musuhmu," balas walikota. Walikota berada ditingkatan pelatihan qi tahap ketiga, dia mengetahui jika dia bukanlah lawan Adiprana, Gana dan Jaka. Begitupun dengan dua jenderalnya yang berada ditingkatan pelatihan qi tahap kedua dan para prajurit kota yang rata-rata berada ditingkatan pelatihan qi tahap kesatu. "Aku harap aku bisa menyembuhkan ayah tuan walikota," ucap Lingga. "Aku percaya tuan muda bisa mengobatinya," jawab walikota. Setelah mereka sampai di kamar Badrika, Lingga langsung mengecek kondisinya. "Tuan walikota, bisakah anda memberiku tiga jarum akupuntur!" pinta Lingga. "Baik, tunggu tuan muda!" Walikota meninggalkan kamar kemudian kembali dengan tiga jarum akupuntur yang diinginkan Lingga. "Ini tuan." Dia memberikannya kepada Lingga. Sementara itu, jenderal kota dan para
Lingga menunduk hormat kemudian bertanya, "Ada urusan apa walikota menemuiku?" Walikota menjelaskan jika dia mengetahui keberadaan Lingga dari alkemis kota. Ayahnya sedang terbujur sakit dan memerlukan pil obat untuk menyelamatkannya. Sakit yang dialami ayah walikota terbilang cukup parah. Alkemis kota tidak mampu membuat pil obat untuknya, oleh karenanya dia memberitahukan tentang Lingga kepada walikota. Alkemis kota menganggap Lingga adalah alkemis hebat yang mungkin mampu meracik pil obat untuk kesembuhan ayah walikota. "Bisakah tuan muda membuatkan pil obat untuk ayahku?" pinta walikota. Lingga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia bukanlah seorang alkemis dan hanya bisa meracik pil embun pagi. Permintaan walikota terlalu berat baginya karena penyakit yang diderita ayahnya tidak cukup disembuhkan hanya dengan pil embun pagi. "Maaf walikota, aku baru belajar tentang alkemis, tidak dapat membuat pil obat untuk ayahmu," jawab Lingga. Walikota menganggap Lingga hanya
Mengetahui hal itu warga kota mulai memuji kemampuan Lingga dalam meracik pil. Mereka tidak meragukan alkemis kota dalam menilai sebuah pil. "Tuan muda, apa anda juga seorang alkemis?" tanya alkemis kota. Lingga sebenarnya tidak mengetahui apa itu alkemis, namun dia tidak ingin alkemis kota dan warga kota terlalu banyak bertanya sehingga dia hanya mengangguk membenarkan. "Tuan, biarkan aku membelinya," pria yang kalah bertarung meminta Lingga menjual pil embun pagi kepadanya. Dia sangat membutuhkan pil itu untuk menyembuhkan luka-luka ayahnya. "Aku memang akan menjualnya padamu," balas Lingga. "Aku hanya memiliki 20 koin emas ini," kata pria itu sambil menyodorkan kantong berisi 20 koin emas kepada Lingga. Lingga setuju dan mengambil kantong itu kemudian memberikan pil embun pagi kepadanya. "Terimakasih tuan." "Sama-sama," jawab Lingga. Pria itu kemudian bergegas pergi meninggalkan balai pengobatan agar dapat segera menyelamatkan ayahnya yang terluka parah. Alkemis
Lingga melesat meninggalkan puncak gunung cakrawala hingga dia menemukan sebuah sungai. Lingga mandi di sungai dan membersihkan pakaiannya dari noda darah. Setelah bersih, Lingga kembali melanjutkan perjalanan dan sampai di kota daun emas, kota yang tiga kali lebih besar dari kota mawar putih dengan penjagaan yang ketat. Lingga melihat antrian orang-orang yang akan memasuki kota. Diapun ikut mengantri sambil mengeteng pedangnya. Beberapa orang memandangnya hina dan aneh karena berpakaian penuh sobekan dan mengeteng pedang, namun dia tidak menghiraukan mereka. "Lima koin perak!" penjaga gerbang meminta uang agar Lingga dapat memasuki kota. Linggapun mengambil lima koin perak dan memberikannya kepada penjaga. Dia lalu melenggang masuk dan melihat kemegahan kota yang membuatnya sangat kagum dan takjub. Di jalanan kota terlihat pertunjukan topeng, tari-tarian, sulap, seni beladiri dan lainnya yang membuat warga kota berkumpul menyaksikannya. Beberapa kios juga berdiri mega