Sebuah kereta kuda kecil yang ditarik seekor kuda jantan berkulit hitam melaju sedang di jalanan.
Badan kereta ini berdinding tertutup dan beratap dengan jendela kecil di kedua sisi dan belakang.Pintu masuknya di depan, di dalamnya bisa muat untuk dua orang bahkan bisa tiduran. Tidak ada siapa-siapa di dalam karena si penumpang kereta berada di depan pintu sedang memegang tali kekang kuda.Siapakah penumpang sekaligus pemilik kereta sederhana ini?Dialah Kameswara. Kereta ini hadiah dari perguruan Sangga Buana. Selain karena berhasil menye-lesaikan tugas, juga bisa menyembuhkan Wirasoma.Kameswara menyembuhkan Wirasoma dengan cara yang dipakai Ahmad Jailani. Yaitu dengan membacakan dzikir dan ayat kursi. Prosesnya sama, tapi ternyata lebih cepat.Butuh tiga hari Kameswara untuk bisa menunggangi dan mengendalikan kuda. Sebelum akhirnya berangkat dengan kereta kuda ini menuju pesantren Quro.Sekarang juga dia masih kelihaKameswara ingat orang itu salah satu yang kabur pada pertempuran di istana Kawali, tapi sepertinya Grendaseba tidak ingat Kameswara atau mungkin tahu nama, tapi tidak tahu orangnya."Sayangnya di antara kami tidak ada yang bernama 'Keparat'!" balas Kameswara juga dengan suara yang cukup memekak telinga.Murid-murid Grendaseba sampai tersurut dua langkah. Sementara Grendaseba hanya memicing-kan matanya saja. Dalam hatinya dia menduga-duga."Rupanya kau cukup berisi juga sehingga bisa sombong di hadapanku!"Kameswara tersenyum lebar. "Kalau kau lupa, aku memakluminya mungkin karena sudah tua, jadi mendekati pikun!" Kameswara tertawa.Grendaseba keraskan rahang. Amarahnya mulai memuncak. Betapa tidak, anak gadisnya telah kehilangan kesucian.Pelakunya belum tertankap, sekarang dia bersembunyi di balik pemuda congkak ini."Serang!" perintahnya dengan teriakan lantang.Belasan murid Grendaseba langsung menghambur maj
"Assalamualaikum!""Wa alaikum salam!""Loh, Kameswara?""Ki Badar!"Ki Badar adalah yang dulu membawa Ayu Citra dan Sariti dari desanya ke pesantren ini. Sutajaya tidak heran kalau mereka saling kenal.Beberapa saat mereka saling berbasa-basi sebelum akhirnya Kameswara mengutarakan maksudnya.Dia menerangkan bahwa dia menyusul kakek dan istrinya yang lebih dulu datang ke sini.Tapi..."Tunggu, Kakek Ranu Baya?""Ya, dia salah satu guru di perguruan Sangga Buana!" sambung Kameswara."Dan istrimu, siapa namanya?""Kirana!"Ki Badar kerenyitkan kening, bukan lantaran terkejut sebab Kameswara sudah punya istri, tapi ada hal lain yang dia tidak mengerti."Memangnya kenapa, Ki?" tanya Kameswara melihat ada yang aneh di raut wajah Ki Badar."Selama dua purnama ini belum pernah ada orang baru atau tamu yang datang ke sini kecuali kalian berdua,""Apa?" Kame
Sudah tiga hari Kameswara mengurung diri di dalam kereta. Selama itu pula dia dan Sutajaya tidak bepergian ke mana-mana.Kereta kuda Kameswara berada di tanah kosong agak jauh dari pemukiman. Sutajaya juga terbawa bingung dengan sikap Kameswara yang sepertinya tidak ada semangat.Namun, dia tidak banyak tanya. Takut menyinggung. Dia membiarkannya saja begitu sambil mengurus kebutuhan mereka berdua."Aku masih bingung, harus menyelidiki dari mana. Tidak ada petunjuk sedikitpun," ujar Kameswara pelan tiada semangat sejak kehilangan jejak Kirana dan Ranu Baya."Apa sebaiknya tinggal di pesantren saja. Siapa tahu dapat pencerahan dari guru-guru di sana!" usul Sutajaya.Kameswara tegakkan duduknya. Benar juga kata temannya ini. Di pesantren dia bisa melaksanakan kewajiban bersama yang disebut berjamaah. Juga bisa memanjatkan doa memohon petunjuk Yang Kuasa."Ah, kau benar. Aku masih baru memeluk Islam dan jarang mendekatkan diri kepad
Ki Badar mengantar Kameswara dan Sutajaya ke asrama khusus laki-laki yang akan menjadi tempat tinggal mereka selama di pesantren.Dua pemuda ini diterima jadi murid atau santri. Yang tidak disangka Kameswara ternyata sahabatnya juga tertarik belajar di sini.Sutajaya mengucapkan syahadat sebelum akhirnya diterima sebagai santri.Ternyata bukan hanya mereka yang jadi orang baru di sana. Banyak juga yang lain, bahkan umurnya lebih tua daripada mereka.Jadi keduanya tidak merasa minder. Kameswara mulai belajar dari hal-hal yang paling mendasar.Untuk pelajaran membaca Al-Quran, untungnya Kameswara sempat belajar pada kitab pemberian Ratu Subang Larang. Jadi dia bisa cepat paham.Sutajaya juga begitu antusias belajar di sana. Mereka kembali seperti gelas kosong yang belum diisi.Segala ilmu silat yang mereka miliki seakan lupa. Mereka menjadi orang awam di sini. Tidak malu-malu juga Kameswara bertanya kepada yang lebih senio
"Sariti, apa tidak bisa ucap salam dulu!" hardik Ki Badar kepada gadis yang baru datang."Assalamualaikum," Sariti tersipu malu sambil melangkah masuk lalu duduk di samping Ayu Citra."Nah, gitu. Salam dulu, duduk yang tenang baru bertanya. Tidak akan kabur ini!" nasihat Ki Badar setelah menjawab salam."Maaf, aku... aku... ""Tidak sabar ingin ketemu dia, ya?" sela Ayu Citra membuat Sariti tertunduk malu.Memang, sejak awal Kameswara masuk pesantren juga dua gadis ini sudah tahu dan sering melihat dari jauh.Ini karena perempuan dan laki-laki tidak boleh bercampur. Kecuali dalam keadaan tertentu.Saat itu Sariti selalu memperhatikan Sutajaya. Entah kenapa perasaan suka kepada Kameswara yang dulu tumbuh menjadi hilang begitu saja setelah melihat Sutajaya yang memiliki tubuh lebih tinggi dari Kameswara.Maka, seolah tidak ada kesempatan lagi Sariti langsung bertanya demikian kepada Kameswara."Mau tahu d
Larut malam. Semua kegiatan di pesantren sudah selesai. Para santri juga sudah berada di bilik masing-masing. Mereka akan bangun dan memulai kegiatan dini hari nanti.Kameswara melirik teman-teman sekamarnya yang sudah terlelap termasuk Sutajaya. Tidak biasanya pulas duluan, biasanya dia paling akhir masuk kamar. Dia sangat rajin dalam belajar.Sepertinya Sutajaya lebih cepat satu langkah daripada Kameswara. Mungkin karena Kameswara masih banyak pikiran terutama tentang istrinya yang entah berada di mana.Rasa ngantuk belum juga menghampiri. Tiba-tiba Kameswara mendengar suara aneh di luar kamar. Suara angin, tapi ada sedikit bunyi seperti suara orang memanggil.Kameswara membuka jendela. Menggunakan mata sakti untuk menembus kegelapan di halaman belakang asrama yang kebetulan berada di baris paling belakang. Di sana banyak pohon-pohon rindang seperti hutan.Belasan tombak jauhnya, lurus dengan letak jendela, mata sakti Kameswara melihat
Di dalam gua.Wanita berpakaian serba hijau berlutut di hadapan seorang lelaki yang sedang berdiri membelakangi-nya."Kau sudah periksa seluruh tempat?" tanya laki-laki itu."Sudah!""Tapi tidak menemukan pedang itu disimpan?"Si hijau tak menjawab karena sudah tahu jawabannya."Apa kau pernah melihat dia memakainya saat latihan?""Tidak!"Si lelaki mendengkus kesal. Tangannya melambai. Wanita serba hijau berdiri lalu keluar. Isyarat tangan itu merupakan sebuah perintah. Sang majikan memberinya kesempatan untuk mencoba lagi.Kemudian lelaki di dalam gua mengambil sebuah kotak kayu kecil. Ketika dibuka, memancarlah sinar biru terang dari sebuah benda bulat panjang sebesar jari kelingking.Sebuah batu bening terang memendarkan sinar biru membuat seisi ruangan gua menjadi terang."Bertahun-tahun aku mencari rahasia menyerap kekuatan permata ini, tapi belum juga menemukan,"Jariny
Tekanan energi di dalam hutan semakin kuat, tapi bukan masalah berat buat kedua pendekar muda ini.Mereka sudah memiliki bekal tenaga dalam yang besar sehingga mudah saja melewati rintangan ini.Setelah melangkah beberapa tombak pendengaran mereka yang tajam menangkap banyak desiran angin terbelah. Keduanya langsung teringat pada senjata pisau beracun.Sutajaya kerahkan tenaga dalam Harimau Dewa, sedangkan Kameswara siapkan kekuatan gabungan Kujang Bayangan, Tenaga Bintang dan Darah Suci. Sebagai perisainya Kameswara gunakan ajian Bantai Jagat.Tidak lama kemudian benar saja, serangan ratusan senjata pisau beracun dari berbagai arah melesat cepat di kegelapan hutan.Sssett!Sreet!Ratusan senjata rahasia itu buyar sebelum mencapai sasaran ketika satu tangan Sutajaya mengangkat dan dua tangan Kameswara merentang.Namun, ratusan senjata itu terus berdatangan bagai hujan yang tiada habisnya. Sempat terpikirkan wala
Akan tetapi Puspa Arum terus berlari mendekati. Setelah dekat gadis bertubuh mungil ini terpekik."Raka Arya!"Kameswara segera menghambur. Kondisi Arya Soka cukup mengenaskan. Bagian wajah sampai dadanya tampak hangus. Yang paling parah pada bagian dada. Ada bekas telapak tangan di sana."Ajian Tapak Memedi!" seru Nyai Mintarsih mengenali pukulan yang bersarang di tubuh anak laki-lakinya.Segera saja Kameswara membawa tubuh Arya Soka ke tempat yang aman. Kemudian disalurkan hawa saktinya melalui telapak tangan yang ditempelkan di dada.Kameswara terkejut. "Pukulan ini mengandung racun!" serunya."Ajian Tapak Memedi memang mengandung racun ganas!" sahut Nyai Mintarsih.Beberapa jalan darah segera ditotok guna menghentikan penyebaran racun. Racunnya sudah agak menyebar, tapi belum sampai mendekati jantung.Dengan hawa sakti Kameswara mengendalikan racun. Mengumpulkannya di satu tempat yang tidak membahayakan, kar
Karena bujukan Nyai Basingah yang masih rindu kepada Nyai Mintarsih akhirnya rombongan Kameswara menginap di rumah ini.Ada dua kamar di rumah itu. Nyai Basingah mengajak sahabatnya untuk satu kamar bersamanya. Puspa Arum dan dua gadis lain di kamar satunya.Sedangkan Kameswara di ruang depan.Malam begitu cepat datang dan tamu Nyai Basingah juga begitu cepat mengantuk. Entah karena perjalanan yang lelah atau hal lainnya.Kecuali Kameswara.Di saat yang lain sudah berbaring di tempatnya masing-masing, Kameswara diam-diam naik ke atas atap. Dia berdiri di sana sambil memperhatikan ke sekeliling rumah.Bukan apa-apa. Sejak kesaktiannya pulih, kepekaannya juga tajam. Dia merasakan ada beberapa orang yang mengikutinya secara sembunyi-sembunyi.Kalau para penguntit itu tahu identitas mereka yang sebenarnya, berarti ada yang orang membocorkannya. Juga berarti ada orang padepokan yang telah berkhianat.Sementara para p
Sebelum Kalong Merah melancarkan serangan kedua, Kameswara sudah mengeluarkan satu Kujang Bayangan di tangan kanan saja.Wutt! Srang!Begitu cahaya melesat dari tangan Kalong Merah, kujang dikibaskan menangkis cahaya tersebut. Tentu saja kujang itu sudah dilapisi ajian Bantai Jagat.Kilatan cahaya terpental balik menuju si pemiliknya sendiri. Kalong Merah terkesiap, dia tidak siap untuk menghindar.Ajian Dewa Kalong Mengamuk mengenai diri sendiri. Si jubah merah ini seperti tersedak makanan. Mulut terbuka bagaikan hendak menelan sesuatu, tapi susah.Sementara di bagian dalam tubuhnya bergejolak terasa terbakar dari mulai kepala sampai kedua kaki. Panas dan sakitnya tak tergambarkan, bahkan untuk sekadar berteriak pun tidak bisa.Bratt!Tubuh Kalong Merah meledak langsung jadi debu. Semua yang melihat tampak bergidik ngeri. Apalagi suami istri pemilik kedai sampai gemetar.Semuanya termasuk Kameswara juga baru me
Si suami segera masuk ke kedai dia langsung ke halaman depan menyambut tiga orang lelaki bertampang sangar. Salah satunya mengenakan jubah merah yang memiliki kerah tinggi.Wajahnya lonjong, dagu lancip, bibir tebal. Di atasnya ada kumis tipis yang tidak kentara kalau dari jauh. Bentuk alisnya mencuat seperti sepasang tanduk dan kedua matanya sipit.Mungkin ini yang disebut Kalong Merah tadi. Senyum angkuh mengandung kekejian di bibirnya tampak sedikit miring.Dua orang di belakangnya adalah pembantunya. Mereka sama-sama berpakaian serba hitam. Senjata golok tergantung di pinggang masing-masing."Maaf, Tuan. Hari ini baru ada pengunjung mereka saja. Jadi saya belum mempunyai setoran, tapi kalau mau makan saya beri cuma-cuma,""Omong kosong apa ini, hah. Sudah tengah hari masa tidak ada pengunjung dari pagi. Jangan coba macam-macam kau!"Si Kalong Merah mendorong pemilik kedai ke samping hingga hampir terjatuh. Lalu dia melangkah
"Kita lihat saja perkembangannya ke depan," ujar Darpa.Terlihat Singgih ingin mengatakan sesuatu. Tapi tertahan oleh suara angin berkelebat di atas wuwungan.Dua prajurit ini saling pandang seraya sigap segera mengambil senjata masing-masing. Sebilah pedang dan perisai. Lalu segera berlari keluar."Sebelah sana!" seru Darpa berlari di depan menuju tanah yang sedikit lapang di belakang Barak.Singgih menyusul di belakang. Dari gerakannya tampak Darpa lebih cekatan dari temannya. Sampai di suatu tempat, Darpa menghentikan pengejaran lalu mengajak Singgih sembunyi di balik pohon yang batangnya besar."Kenapa?" bisik SinggihDarpa menggerakan kepalanya sebagai isyarat menunjukkan sesuatu ke arah depan.Kira-kira sepuluh tombak ke depan, dalam gelapnya suasana tampak dua sosok yang tengah bertarung adu jurus. Kedua sosok itu kurang jelas karena tersamarkan oleh gelapnya malam."Kau tahu siapa mereka?" tanya Singgih
"Arum, apakah Rahyang Sora dengan Purbasora itu sama?" tanya Kameswara setelah mereka berjalan jauh.Puspa Arum tampak melirik sejenak dengan kening mengkerut."Benar, kenapa dia sepertinya mengumpulkan orang-orang persilatan?" jawab Puspa Arum dengan pertanyaan balik."Entahlah!" Padahal Kameswara sudah menduga-duga apa yang menjadi tujuan sang menantu raja itu.Kemudian Puspa Arum mengaitkan dengan kabar yang selama ini beredar tentang persaingan antara Purbasora yang menantu raja dengan Wiratara yang merupakan putra raja."Apakah sampai sekotor itu?" batin si gadis mungil. Memikirkan intrik dalam kerajaan terlihat begitu rumit. Selalu ada perebutan tahta. Satu sama lainnya merasa paling berhak.Tak lama kemudian mereka sampai di tempat peristirahatan Nyai Mintarsih bersama dua murid wanita lainnya.Akan tetapi baru saja sampai, mereka mendengar suara kehadiran orang lain. Orang banyak."Kalian semua pegang ta
"Mohon ampun, Tuan. Ternyata padepokan itu menyimpan pendekar maha sakti," lapor salah satu dari tiga jubah hitam yang berhasil kabur dari Kameswara."Omong kosong!"Yang lain ikut menjelaskan bahwa Kameswara yang disebut pendekar maha sakti tiba-tiba muncul di udara dan melepaskan angin badai yang menghempas semua anggota laskar.Diceritakan juga pertarungan melawan Kameswara yang menggunakan senjata aneh yang sangat mematikan hingga tersisa tiga orang saja.Itu juga kalau tidak segera kabur mungkin mereka sudah menjadi mayat bersama yang lainnya."Bagaimana bentuk senjata itu?"Salah seorang menjelaskan bentuk senjata yang digunakan Kameswara."Kujang!" desis sang pemimpin.Di masa ini kujang hanya di miliki orang-orang tertentu saja. Masyarakat biasa belum banyak yang tahu. Hanya kalangan bangsawan saja yang memiliki sebagai simbol seorang bangsawan.Akan tetapi yang dijelaskan anak buahnya, kujang i
Semua penghuni padepokan Mega Sutra merasakan hawa sakti yang kuat ini. Begitu juga Laskar Dewawarman, tapi pasukan jubah hitam ini tidak mengendurkan serangan.Crash! Srass!Korban berjatuhan lagi. Yang masih bertahan berlumuran darah menahan panas dan perih yang diderita. Termasuk Ki Jagatapa dan sang istri juga sudah banyak terluka.Brukk! Brugh!Wajah sepasang guru tampak memucat ketika melihat jumlah muridnya semakin berkurang.Apakah ini akhir riwayat padepokan Mega Sutra yang sudah berdiri puluhan tahun? Apakah akan mengalami nasib yang sama dengan dua padepokan besar sebelumnya?Hilang dari dunia persilatan tinggal nama. Dua padepokan besar saja bisa musnah, apalagi ini cuma padepokan kecil yang tidak terkenal.Pada saat itu hawa sakti asing semakin kuat. Sebentar kemudian segelombang angin dahsyat berhembus kencang bagaikan badai yang menghantam.Anehnya gelombang angin ini tidak menghantam murid-murid
Ki Jagatapa, Arya Soka dan Rana Surya langsung merangsek ke paling depan semuanya menghunus senjata.Si jubah hitam yang paling depan tampak tersenyum merendahkan. Tangannya melambai memberi isyarat kepada yang lainnya.Tanpa sepatah kata, Laskar Dewawarman yang hanya menurunkan sepuluh orang saja meloncat dari kuda masing-masing dan menyerang murid-murid padepokan Mega Sutra.Tidak seperti saat menyerang padepokan Sagara Kaler yang tidak turun dari kuda. Entah kenapa, mungkin mereka mempunyai perhitungan sendiri sampai harus turun dari kuda.Setiap satu orang berjubah hitam menghadai tiga sampai empat murid. Ada yang hanya murid laki-laki atau perempuan, tapi ada juga yang gabungan keduanya.Ki Jagatapa dan Nyai Mintarsih masing-masing menghadapi satu orang.Trang! Trang! Trang!Pertempuran sengit di pagi hari menghiasi padepokan kecil yang setiap harinya dilalui dengan damai ini. Perkiraan Ki Jagatapa tidak meleset. Be