Jantung Ranti bergemuruh seketika saat mendengar ucapan ibu mertuanya itu. Pantaskah kalimat seperti itu diucapkan di depan semua orang seperti ini? Walau hanya keluarga terdekat, tetap saja bagi Ranti ucapan ibu mertuanya itu sangat tak wajar. Jika memang tak enak, mengapa wanita itu makan dengan lahap? Tak kelihatan tanda-tanda jika ibu mertuanya itu tak berselera dengan caranya memasak cumi hari ini. Aneh sekali bagi Ranti melihat kejanggalan yang terjadi di depan matanya itu. Ucapan dan perbuatan ibu mertuanya sungguh tak selaras."Maaf ... jika masakan cumi cabai hijaunya tak sesuai selera Bu Ratna dan Pak Rahmat. Pantas saja, Bu Ratna tak nafsu makan siang ini."Kalimat yang diucapkan Bu Dewi sangat lembut, tenang tanpa ada nada amarah sama sekali. Namun efek yang yang ditimbulkan kalimat itu luar biasa. Wajah Bu Ratna memerah seketika. Ranti tahu jika wanita itu merasa malu atas perkataan yang disampaikan ibunya.Hati Ranti cukup bahagia. Ibunya berhasil membuat kalimat telak y
Tiga hari bersama ibu dan ayahnya membuat suasana hati Ranti lebih baik. Bu Dewi ikut membantu pembuatan roti anaknya selama tiga hari itu, walaupun hanya sebatas pada pengemasan saja. Berbanding terbalik dengan anaknya, Bu Dewi sama sekali tak pernah berurusan dengan pembuatan roti. Bersama ayahnya, Ranti lebih punya lebih banyak waktu untuk mencari lokasi kios yang dapat disewakan. Mencari lokasi yang strategis dengan harga yang murah terbilang cukup sulit. Akhirnya setelah berunding dengan Bayu, Ranti memutuskan untuk menyewa salah satu kios kosong yang terletak di jalan Semabung. Lokasi yang cukup ramai dengan lalu-lalang kendaraan karena merupakan jalan akses ke perkantoran provinsi. Pembayaran pun tak harus setahun langsung. Setelah negosiasi, pemilik kios setuju jika pembayaran sewa dibayarkan per tiga bulan.Malam menjelang kepulangan kedua orang tuanya itu ke Palembang, sebuah amplop disodorkan putih cukup tebal disodorkan oleh ayah Ranti kepada putrinya."Ambillah sebagai ta
Ranti pun lantas menceritakan rencananya untuk mencari pegawai yang akan membantu usaha rotinya jika sudah menempati kios nanti. Dengan kondisi kehamilannya, Ranti ingin bisa lebih membagi waktu antara usaha dan dirinya sendiri. Apalagi jika nanti kehamilannya semakin membesar, tentu geraknya tak lagi seleluasa saat sekarang. Belum nanti jika sudah melahirkan, kesibukannya akan semakin bertambah. Jelas, tak mungkin semua akan tetap dilakukannya sendiri.Tentu saja rencana itu disetujui kedua orang tuanya. Yang terpenting bagi mereka, putrinya bisa menjaga kehamilannya dengan baik. Untuk menghentikan usaha roti yang sedang berkembang saat ini tentu jelas tak mungkin. Tak mudah memulai suatu usaha. Mendapatkan pelanggan tak semudah membalikkan telapak tangan.Kepulangan orang tuanya meninggalkan perasaan sedih di hati Ranti. Namun, pesan sang selalu teringat di hatinya. Teruslah berbuat baik kepada semua orang karena kita tak akan pernah tahu kebaikan mana yang akan kembali pada kita nan
Ranti seakan tak percaya dengan keberadaan dua wanita yang singgah ke kiosnya ini. Bertemu dalam hitungan jari, namun Ranti dapat menebak sifat keduanya. Saat melihat sikap mereka yang sepertinya enggan untuk mengakrabkan diri dengannya, Ranti memilih mengikuti saja permainan mereka."Kak Dinda? Kak Nia?" Apa tujuan kedua wanita, istri abang iparnya ini menginjakkan kaki ke kios rotinya? Bukankah ssaat mencicipi roti yang dibawakan Ranti dulu mereka bilang roti buatannya biasa-biasa saja?Ranti ingat sekali semua ucapan kedua wanita itu dulu. Saat itu Bayu mengajaknya berkunjung ke rumah kedua abang suaminya itu. Kurang lebih saat usaha rotinya berjalan sekitar dua minggu. Ranti menjadikan roti buatannya sebagai buah tangan untuk keluarga iparnya itu.Pertama saat mereka ke rumah Ilham, Abang sulung Bayu. Sama seperti mereka, Ilham pun belum memiliki rumah sendiri. Masih mengontrak di salah satu rumah KPR tipe 36 yang terletak di daerah Pangkalan Baru, tak terlalu jauh dari rumah mert
Benar saja. Wajah Dinda dan Nia seketika memerah. Entah karena menahan malu atau karena menahan amarah atas sindiran Ranti. Ranti memilih tak peduli, seperti mereka yang tak pernah peduli dengan perasaannya selama ini.Dinda mendekat ke arah meja tempat Ranti berada. Mencoba melemparkan senyum kecil untuk menenangkan suasana hati Ranti."Begini, Ran. Kamu kan sedang hamil besar. Tentunya tak mudah untuk menjalankan usaha roti ini sendirian. Apalagi jika nanti kamu melahirkan. Jangan sampai usaha rotimu terbengkalai. Sayang. Kebetulan, aku dan Nia kan tidak bekerja. Tak ada kegiatan selain mengurus rumah dan anak-anak. Kami bersedia membantu kamu. Tenang saja, anggap kami ini sebagai pegawai kepercayaanmu. Kami akan memberikan laporan yang jelas kepadamu setiap harinya," ujar Dinda perlahan. Pandangan Ranti berpindah pada Nia. Wanita itu sama santainya dengan Dinda. Manggut-manggut seolah membenarkan ucapan Dinda.Ranti ingin tertawa di dalam hati saat mendengar pengakuan jujur itu. E
Usia kehamilan Ranti sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu hari saja, anak pertama mereka akan dilahirkannya ke dunia. Ranti pun tak terlalu sibuk dengan urusan kiosnya lagi. Hanya sekali sehari, Ranti pergi ke kios untuk memastikan persedian bahan dan membuat laporan keuangan. Selebihnya ada Bunga, gadis yang dapat diandalkan oleh Ranti untuk memastikan usaha rotinya itu tetap berjalan lancar seperti biasa. Bunga tak menolak tanggung jawab yang diserahkan padanya itu. Apalagi saat Ranti menaikkan gajinya sejak tanggung jawab itu diberikan. Bunga pun tak sendiri. Ada Sinta, pegawai yang baru direkrut Ranti untuk membantu Bunga.Saat ini Bayu dan Ranti pun sedang memulai pembangunan rumah mereka. Sebidang tanah dengan luas lebih dari setengah hektar yang berlokasi di daerah Kampak menjadi tempat mereka untuk membangun istana impian. "Kita membangunnya bertahap saja, Bang. Sesuai keuangan kita. Yang penting rumah itu sudah mulai kita bangun," ujar Ranti saat memulai pembangunan rumah
"Ke bidan Aryani? Tak ke dokter Idil saja?" tanya Bayu cemas sembari berusaha mengusap-usap punggung Ranti yang sedang berbaring dengan posisi miring.Ranti memang berkonsultasi pada bidan dan dokter kandungan selama kehamilan. Jika tak ada masalah saat melahirkan, Ranti ingin melahirkan di bidan saja. Lebih nyaman rasanya daripada harus melahirkan dengan ditangani oleh dokter kandungan yang berjenis kelamin laki-laki. Di kota ini memang belum ada dokter kandungan wanita. Hanya saja, saat terakhir berkonsultasi Ranti sudah berpesan pada bidan Aryani bahwa jika kondisinya nanti ada masalah, meminta bantuan bidan itu membawanya ke dokter kandungan tempat selama ini Ranti memeriksakan rutin kandungannya juga."Ke Bidan Aryani saja, Bang. Kalau Adek ada masalah nantinya, baru Abang bawa ke Dokter Idil ya. Bidan Aryani juga sudah Adek pesankan," ujar Ranti sembari mencoba mengangkat tubuhnya dari kasur. "Abang pesan taksi online dulu kalau begitu, Dek."Bayu meraih gawai yang ada di kanto
Karena persalinannya normal dan tak ada masalah, sore harinya Ranti sudah diizinkan oleh bidan untuk pulang. Sang bidan berjanji akan berkunjung ke rumah untuk melakukan pemeriksaan pada Ranti dan bayinya di hari ketiga dan hari ketujuh. Ranti sangat bersyukur dapat ditangani oleh Bidan Aryani ini. Pelayanannya yang sabar dan ramah membuat seorang ibu yang akan melahirkan tak merasa takut ataupun cemas. Apalagi dengan adanya sistem kunjungan seperti yang dijanjikannya ini. Sebagai wanita yang baru pertama kali melahirkan, Ranti merasa benar-benar sangat terbantu. Apalagi dengan kondisinya jauh dari sanak saudara saat ini."Abang pesan taksi online dulu, Dek. Jangan bilang mau naik motor tadi. Kasihan Alif kena angin nantinya," ujar Bayu sembari menggerakkan jemarinya di layar pipih gawai miliknya.Muhammad Alif Jalaluddin, nama yang dipilih Ranti dan Bayu untuk putra pertama mereka. Seperti harapan mereka agar putra mereka nantinya memiliki kemuliaan agama dalam hidupnya.Kali ini Rant