Jalan beraspal yang basah, sehabis diguyur hujan. Hanya ada satu dua orang berkendara. Jalan ini selalu lengang selepas sunrise dan akan mulai ramai lagi menjelang sunset tiba. Di sisi kanan menjelang pertigaan arah menuju Pantai Matahari Terbit terdapat sebuah rumah berornamen Bali. Berhalaman luas yang asri, jepun jepang berjejer rapi mengelilingi pagar rumah. Terlihat pasutri memasuki halaman rumah.
"Om Swastyastu ... Bapa ... Meme." Komang Wiratama berteriak memberi salam. "Rumah sepi, Bli." Ni Luh Dewi mengedarkan pandangan ke segenap halaman. "Coba, Bli Mang telepon Bapa!" pinta Ni Luh Dewi pada sang suami. Komang Wiratama mengeluarkan ponsel dari saku celana. Sesaat mencoba menghubungi ke nomor bapanya. Beberapa kali melakukan panggilan, tidak ada nada sambung. "Gek, nomor Bapa tidak aktif." "Bli, bagaimana kalau kita susul Meme ke pasar? Mungkin masih di warung." "Mai, na'e," sahut Komang Wiratama sambil menghidupkan mesin motor. **** Mereka menyelusuri jalan sambil mengamati kendaraan yang berlalu-lalang. Mereka berharap bisa berpapasan dengan motor yang dikendarai Bapa dan Meme. Namun, hingga motor belok sampai Jalan. Danau Tamblingan tidak terlihat Bapa dan Meme. Motor memasuki areal Pasar Sindu. Hiruk pikuk pasar menyambut kedatangan mereka. Ni Luh Dewi turun dari boncengan lalu menunggu Komang Wiratama yang sedang memarkir motor. "Hei, Luh! cari Mek Tu?" sapa seorang gadis muda dari arah belakang. "Hei, Dek! lihat Meme?" tanya Ni Luh Dewi pada Kadek Intan, tetangga rumah Meme. "Mek Tu udah tutup dari tadi." "Meme dijemput Bapa?" "Iyalah ... siapa lagi, mereka adalah pasangan Prana Jaya dengan Layonsari jaman now." Kadek Intan berucap sambil meliukkan kedua tangan menyerupai sebuah gerakan tari. "Eish ... sing keto, Dek! malu dilihat orang, mau ngigel? sana gih, ke Bale Banjar!" Ni Luh Dewi menarik tangan Kadek Intan agar berhenti membuat gerakan. Kadek Intan hanya cengengesan saja. Tak lama kemudian terlihat Komang Wiratama menghampiri mereka. "Hei, Dek! belanja?" tanya Komang Wiratama. "Hei, Bli Mang ... belanja dikit untuk rahinan." "Bli Mang, kata Kadek, Meme udah pulang," ujar Ni Luh Dewi pada suaminya. Tanpa disadari seorang pun, sepasang mata merah dengan mulut bertaring runcing menatap tajam ke arah mereka bertiga. Hanya beberapa menit berlangsung kemudian embusan angin dingin mengiringi seringai mengerikan pemilik mata merah. Sosok hitam berbulu lebat telah menyebarkan aroma harum kayu cendana, berbaur bau anyir darah. Aroma kematian sudah ditebar, menyusup ke jiwa suci segumpal darah kehidupan dalam rahim Ni Luh Dewi. "Aku menginginkanmu! Hei, Jiwa Suci ... pembangkit roh keabadianku!" Sekelebat bayangan hitam, muksa kemudian lenyap di rimbun pohon beringin di persimpangan jalan. **** Komang Wiratama, Ni Luh Dewi, beserta Kadek Intan beriringan berjalan menuju tempat parkir. Ni Luh Dewi berboncengan dengan sang suami, sedangkan Kadek Intan berkendara sendiri. Mereka melewati jalan pintas menuju Jalan. By Pass Sanur. Sebelum sampai di perempatan traffic light, Komang Wiratama memberi tanda untuk berhenti pada Kadek Intan. Tak lama saat motor sudah sejajar. "Dek, kami ke Pasar Intaran dulu, siapa tahu Meme sedang beli lengis Bali." "Okey, Bli Mang ... saya langsung pulang saja. Entar kalau saya lihat Bapa dan Meme ada di rumah, segera saya kabari. Luh, jangan lupa main ke rumah, ya!" "Okey, Dek. Suksma, nah," sahut Ni Luh Dewi sambil melambaikan tangan. "Suksma mewali. Hati-hati!" Kadek membalas melambaikan tangan. **** Segera motor Komang Wiratama belok kiri ke arah Jalan. Danau Buyan. Sepanjang jalan, tangan Ni Luh Dewi melingkar erat di pinggang sang suami. Sesekali cubitan mesra jemari lentik Ni Luh Dewi singgah di perut Komang Wiratama, kala sang suami kalap membawa motor. Tiap kena cubit, pria itu langsung tepuk jidat sendiri. Ia baru sadar, sang istri sedang mengandung. Hanya perlu waktu sekitar sepuluh menit, mereka berdua sudah sampai di depan Pasar Intaran. Tak sengaja, Ni Luh Dewi melihat sosok Bapa di dalam warung kopi. "Bli Mang, itu Bapa! Lagi ngopi di warung," ucap Ni Luh Dewi sambil menunjuk sebuah warung di sebelah kanan jalan. "Oh, ya, benar, itu Bapa. Hayo ke sana!" Komang Wiratama dan Ni Luh Dewi segera turun dari motor. Dengan bergandeng tangan, mereka mendatangi warung, tempat Bapa ngopi. "Om Swatyastu ... Bapa," tegur Komang Wiratama dan Ni Luh Dewi sambil mencium punggung tangan Bapa bergantian. "Om Swastyastu ... Hei, Gus, Gek," jawab lelaki tua berudeng coklat. "Bapa, di mana Meme?" tanya Ni Luh Dewi pada Bapa. "Meme lagi beli lengis Bali, Gek. Tunggu sini saja, sambil makan jajan," ajak Bapa ke Ni Luh Dewi. Segera Ni Luh Dewi duduk di samping Bapa, diikuti oleh Komang Wiratama. Ni Luh Dewi mengambil pisang rai di atas meja. Ia menikmatinya pelan-pelan. Komang Wiratama memesan kopi susu. Beberapa menit kemudian, orang yang ditunggu sudah datang menghampiri mereka bertiga. "Wah, anak-anak Meme ada di sini juga, kapan datang?" "Om Swastyastu," sapa Komang Wiratama dan Ni Luh Dewi berbarengan sambil mencium punggung tangan Meme bergantian. "Kami udah lama datang dari Nusa Dua. Tadi di rumah sepi, kami barusan cari ke warung. Kata Kadek Intan, Meme sudah pulang dijemput Bapa. Kirain dah pulang, nggak tahunya ada di sini," jawab Komang Wiratama. "Kok tahu, kami ada di sini?" tanya Meme. "Kami dah hapal kebiasaan Bapa dan Meme," sahut Ni Luh Dewi sambil mengerlingkan mata ke arah Bapa dan Meme. Bapa dan Meme hanya senyum simpul. Komang Wiratama membayar semua makanan serta minuman yang telah mereka santap. Mereka berempat beriringan mengendarai motor, pulang. ***** Sesampai di rumah, Ni Luh Dewi membantu Meme membawakan barang belanjaan ke arah dapur. Meme mengikuti dari belakang. Dalam budaya Bali, dapur dan kamar mandi terletak terpisah dari rumah utama. Lokasi dua tempat tersebut berada di belakang rumah utama. Bapa dan Komang Wiratama duduk berbincang di Bale Bengong. "Apa kabar kamu dan Ni Luh Dewi, Gus?" "Kami baik-baik saja, Bapa." Komang Wiratama menghela napas sesaat. "Kami ke sini, membawa kabar gembira. Sebentar lagi Bapa dan Meme segera menimang cucu," kata Komang Wiratama dengan mata berkaca-kaca. "Astungkara, akhirnya kami tidak perlu menunggu lama," timpal Bapa tidak kalah bahagia. Bapa dan Meme hanya memiliki seorang anak saja, yaitu Komang Wiratama. Sehingga kabar ini sangatlah ditunggu-tunggu oleh keluarga besar mereka. Sesaat kemudian Ni Luh Dewi ikut bergabung dengan mereka. Ia membawa nampan berisi teh manis dan jagung rebus. Selepas menaruh nampan, ia ikut duduk di samping sang suami. "Gek, kamu sekarang hamil berapa bulan?" tanya bapa penasaran. "Sekarang umur dua belas minggu kata Bu Bidan." "Dua belas minggu, berarti tiga bulan, ya, Gek?" "Iya, benar, Bapa." Komang Wiratama menimpali. Meme datang ikut bercengkerama lalu duduk di samping Bapa sambil memetik batang kangkung yang akan dibuat sayur. "Me, kita sebentar lagi akan punya cucu." Dengan antusias Bapa memberitahu. "Meme udah tahu, tadi di dapur Ni Luh Dewi kasih tahu Meme. Ya, Gek?" Ni Luh Dewi menganggukkan kepala diiringi senyum bahagia. Sekelebat bayangan hitam menyusup ke halaman rumah. Terbang ke atap Bale Bengong. Bau janin muda telah membangkitkan rasa dahaga hasrat liarnya. Tbc .... ○○○•••••○○●●●○○○○●●○○○●●•• Note : *Sunrise = Matahari terbit. *Sunset= Matahari terbenam. *Jepun jepang = Kamboja jepang. *Bapa = Bapak , Meme = Ibu. *Mai na'e = Ayo saja. *Bli Mang = Bli Komang/ Kak Komang. *Mek Tu = Memek Putu/Meme Putu/ Bu Putu. *Rahinan = persembahyangan di hari-hari khusus, mis : bulan purnama, bulan mati dll. (*Jayaprana dan Layonsari = cerita percintaan mirip Romeo dan Juliet ala Bali. (*Sing keto = nggak gitu (*Muksa = musnah (*Suksma nah = terima kasih ya. (*Suksma mewali = terima kasih kembali. (*Lengis Bali = Minyak Bali/ Minyak kelapa (*Pisang rai = Jajan khas Bali, berupa pisang berbalut tepung terigu diberi warna hijau/ merah dibalur parutan kelapa. (*Bale Bengong = Tempat santai menyerupai gubuk, berukir khas Bali. Terletak di halaman rumah.Komang Wiratama dan Ni Luh Dewi hanya semalam menginap di rumah Sanur. Keesokan harinya, mereka sudah balik ke kontrakan di Nusa Dua. Setelah menempuh perjalanan satu jam, mereka sampai di Nusa Dua. Ni Luh Dewi masuk kerja sore hari, sedangkan Komang Wiratama sengaja tutup toko hari ini. Komang Wiratama adalah seorang seniman tato, dia mempunyai tempat tato di daerah Legian. Hari ini, Komang Wiratama ada booking service ke tempat pelanggan di Sidakarya. ***** Setelah ganti baju, kedua pasutri ini duduk santai di teras rumah. Mereka mlelihat hilir mudik orang di depan rumah. Komang tak bosan-bosannya mengelus perut sang istri. Tampak jelas raut kebahagiaan di wajahnya. Perut Ni Luh Dewi dielus-elus sesekali digelitik tangan jahil Komang yang membuat sang istri menggeliat kegelian. "Bli Mang, geli tahu!" Komang seakan tidak menghiraukan protes sang istri, terus saja menggelitik. Tiap Ni Luh Dewi menggeliat, dia terbahak. "Hoek ... hoek ... hoek ...." Ni Luh Dewi berl
Dalam perjalanan pulang, mereka akan menyempatkan diri mampir ke rumah seorang teman kerja Ni Luh Dewi.Kebetulan hari ini, sang teman lain sif dengan Ni Luh Dewi. Sang teman masuk sif pagi, biasanya pulang jam tiga sore. Di tengah perjalanan Ni Luh Dewi merajuk pada sang suami."Bli Mang, simpang ke warung Bu Oki, ya ... ya?""Dekat toko Nirmala, situ?""Ya, Bli ... lapar nih."Akhirnya motor yang mereka kendarai belok kiri masuk gang menuju Warung Bu Oki.Komang Wiratama mencari tempat parkir yang teduh. Meskipun jam sudah menunjukkan pukul empat sore, panas masih terasa menyengat.Banyak pasang mata mengamati kedatangan dua sejoli ini. Maklum saja tampilan visual pasangan ini mirip artis.Komang Wiratama adalah pria maskulin, berpostur tubuh seratus delapan puluh lima sentimeter, ditopang bentuk tubuh proposional, ditunjang raut wajah mirip a
Bayangan hitam memutar mencari celah untuk masuk ke pelataran rumah. Alunan Gayatri Mantram mengalun, menggema, merasuki setiap inci pelataran serta setiap sudut ruangan. Embusan napas serta setiap lafal mantra yang terucap dari kedua insan adalah angin suci berisi untaian kidung pemujaan pada Sang Hyang Pemilik Hidup. Bayangan hitam menggeliat, mengejang tak mampu melewati pagar pembatas yang tercipta oleh alunan Gayatri Mantram. Semakin kuat, dia mencoba menerobos, semakin kuat pula jala alunan Gayatri Mantram mengempas, menghentakan. Bayangan hitam melesat tinggi menggapai arah genting rumah. Dia tak mampu menerobos kekuatan suci Gayatri Mantram. Kekuatan mantra laksana jala raksasa yang mencengkeram erat, menutup seluruh pelataran serta rumah. Akhirnya sang bayangan terempas keras, seluruh sendi-sendi kekuatan magisnya remuk. Dia menggeliat, menggelepar dan raib terbawa embusan angin, menyisak
Serangan angin hanya melanda kamar mereka saja. Aneh bin ajaib. Sungguh kekuatan setan mampu membuat nyali ciut bagi orang-orang yang tak beriman."Alhamdulillah, Bu! Sudah reda anginnya. Ayo, buka mata!" Pria tersebut menepuk halus pipi istrinya yang masih diliputi perasaan khawatir. Wanita itu baru berani membuka mata, setelah tahu angin sudah menghilang, dia langsung sujud syukur sambil terisak-isak. Allah masih melindungi mereka.“Alhamdulillah! Terima kasih, Ya Allah! Pak kita selamat," ucapnya sambil menyeka buliran bening dari kedua sudut mata serta pipi. Mereka berpelukan, merasa lega, terlepas dari serangan angin setan.Tetangga Indekos mendatangi kamar mereka. Suara angin ribut serta suara hentakan pintu kamar yang diterjang oleh angin, mendatangkan rasa penasaran mereka. Di antara orang-orang yang berkerumun, terdapat pasangan yang baru saja kehilangan janin secara gaib dua minggu lalu.
Kobaran api yang membumbung tinggi dan suara petir yang menggelegar, menarik perhatian warga sekitar, termasuk penghuni kompleks indekos. Warga berhamburan ke tempat kejadian, begitu sampai di tempat bekas kebakaran, mereka hanya mampu tertegun.Kediaman Dadong Canangsari hanya menyisakan puing-puing berserakan beserta bara api. Warga bergotong royong memadamkannya.Anehnya, bara api hanya membumi hanguskan bangunan rumah saja, tak sampai merembet ke tempat lain. Ketika api sudah mulai padam, terdengar jeritan seorang wanita.“Bik Tut, Bik Tut ... apa yang terjadi?”Rupanya Ni Wayan Kesumasari yang baru saja datang dari bepergian, terlihat terkejut melihat musibah yang dialami bibiknya. Wanita itu tak menyangka nasib Dadong Canangsari akan setragis itu.Akhirnya, berdua dengan Wayan Lana-- suaminya-- dibantu oleh warga berusaha mencari keberadaan jasad Dad
Kejadian ini terjadi beberapa hari sebelum jasad Dadong Canangsari menghilang dalam musibah kebakaran yang menimpa rumah wanita renta itu. Telah beberapa malam wanita renta tersebut mengalami mimpi yang mengerikan dan selalu dengan mimpi yang sama. Wanita itu telah merasa hal tersebut adalah sebuah firasat jika waktunya telah dekat. Sang Dadong merasa sudah saatnya mempersiapkan segala urusan termasuk mempersiapkan calon penerus ilmu.Dari pagi buta dia sudah mempersiapkan barang dagangan sekalian menyisakan beberapa canang dan tambahan untuk ritual nanti malam di rumah Wayan Suri, anaknya. Dia berencana meminta tolong keponakannya untuk mengantar ke Denpasar.Sesaat sebelum Dadong Canangsari akan pergi ke pasar untuk berjualan canang tak sengaja bertemu keponakannya. Ni Wayan Kesumasari lewat tepat di depan rumah Dadong Canangsari. Mereka masih saudara dekat, Ni Wayan Kesumasari adalah anak dari kakak perempuan Dadong Canangsari. Begitu mel
Kepergian Dadong Canangsari meninggalkan tugas untuk keturunannya. Sebuah ilmu harus diemban, tapi siapakah yang telah menerima ilmu tersebut? Cahaya yang keluar sesaat setelah tubuh Dadong Canangsari tewas telah menemukan raga yang lain. Tak ada yang tahu, siapa yang telah menerima ilmu tersebut.Wayan Suri, putri Dadong Canangsari tak merasa kemasukan cahaya ilmu tersebut. Tak juga dirasakan oleh Kesumasari, keponakan Dadong. Kedua wanita dalam garis keluarga itu saling bertanya.Ke manakah cahaya kuning ilmu tersebut?Sejenak kita melangkah, menilik masa lalu kehidupan Dadong Canangsari.Saat itu di usia dua puluh tahun, Dadong Canangsari merantau ke Jawa karena perpindahan tempat kerja. Perusahaan ekspedisi tempat dia bekerja membuka cabang baru di salah satu kota besar di Jawa. Setahun bekerja di sana, Dadong Canangsari muda, kala itu masih memakai nama gadis, I Ketut Sulastri, menjalin hu
Setelah ritual khusus dilakukan, mereka duduk berhadapan. Hanya debaran jantung dan tarikan napas yang terdengar, kadang berirama kadang memburu, mengikuti alur pikiran masing-masing. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Ni Kesumasari sebagai saudara tertua mulai bersuara.“Ningsih, Suri, sekarang kalian bersiap menerima ilmu warisan meme kalian. Persiapkan jiwa raga. Takdir tak bisa ditolak, inilah garis keturunan kita.”“Mbok Yan, seumpama aku yang dapat warisan ilmu, bisakah aku jalani dari Tanah Jawa?” tanya Ningsih dengan tatapan mata penuh selidik, beberapa kali wanita itu membenahi letak kamben dan kebayanya. Maklum saja, dia belum terbiasa dengan busana tersebut. Bu Lana tersenyum geli melihat tingkah sepupunya ini.“Ken ken? Nggak bisa begitu, Mbok,” timpal Wayan Suri sembari memegang jemari tangan kakak perempuannya. Seketika Ningsih menyambut erat genggaman sang adik, sea
“Jangan pura-pura! Sengaja betulin rumah Dadong untuk ambil alih, kan. Kami tau tipu muslihatmu, Nak Jawa!” Pria berkulit gelap ini berteriak berapi-api.“Kami? Dugaan kalian sekeluarga salah! Tanah itu milik Dadong dari gadis. Sebelum menikah dengan dengan suaminya,” ucap Ni Kesumasari dengan hati-hati lalu melanjutkan, “itu memang hak anak-anak kandungnya, meski wanita. Putu Adi telah dapat bagian setelah bapak angkatnya meninggal. Kemana itu? Kalian jual!”Ni Kesumasari kini tak dapat menahan emosi juga. Ia marah dengan keserakahan keluarga yang didatanginya. Putu Adi yang diangkat jadi anak sentana begitu mendapat harta warisan kembali ke keluarga asal.Ia dibujuk keluarganya untuk menjual harta tersebut tanpa menghiraukan upacara keluarga dan kehidupan Dadong Canangsari. Kini, bapaknya masih ingin menguasai tanah milik Dadong pula.Pria tukang judi ini telah menghabiskan harta peninggalan suami Dadong untuk b
“Astaghfirullah! Dari darah?”Semua yang ada di situ terkejut mendengar penjelasan dari Ni Kesumasari. Mereka terkesima sekaligus ngeri saat melihat warna merah pada tenun tersebut. Seketika bayangan mereka melayang sibuk mereka-reka cara mendapatkan darah untuk proses membatik.“Apa pun itu, yang penting dengan kamen ini Mak Nah telah dipercaya Bik Tut untuk menyelesaikan masalah kita sekarang,” kata Ni Kesumasari menatap ke arah Mak Nah.“Insyaallah Mak Nah bantu sebisanya. Tapi, gimana caranya, Mbok Yan?” tanya Mak Nah.Semua saling pandang, termasuk Mak Nah dan Lek Dirman yang diberi barang wasiat oleh Dadong Canangsari.“Setau tyang, tinggal pake aja, Mak. Oh, ya. Bungan sandat selipkan di atas telinga kiri dan sunggar di bagian rambut depan. Sayang, gak ada kebaya Meme,” ucap Wayan Suri dengan nada menyesal.“Mbok Yan ada warisan kebaya dari Bik Tut.”“Wah bisa ke
Hingga mobil sampai rumah pun, belum ada sepatah kata dari mereka. Bang Deni memarkirkan mobil di luar gerbang karena ia harus segera berangkat kerja.Pria ini berniat ke kebun belakang ingin memastikan penglihatan sebelum berangkat ke rumah Bik Mang tadi. Rasa penasaran yang memenuhi otaknya sepanjang perjalanan barusan.Tiga wanita bersaudara telah melangkah meninggalkan mobil lalu menuju dapur. Mereka kehausan, lebih tepatnya efek dari rasa kecewa telah mengeringkan tenggorokan dan dada. Mak Nah melihat mereka dengan rasa penasaran.“Gak ketemu lagi?”“Bukan gak ketemu. Ia sengaja sembunyi, Mak,” kata Ni Kesumasari bisa dibilang sebuah keluhan lalu mengambil botol mineral dari dalam kulkas.“Maaf, kalo boleh Mak Nah tau. Ada masalah apa?”“Oh, iya. Mak Nah belum tau ini. Bik Mang mencuri sunggar emas Bik Tut dan juga sebagian kulitnya diiris,” jawab Ni Kesumasari sambil menahan rasa sesak.
“Bang, aku harus segera ke Bik Mang, “ucap Ni Kesumasari sambil meminum teh hangatnya. “Yang penting harus segar dulu. Entar Abang yang antar,”sahut Bang Deni sambil berdiri. “Mau ke mana, Bang?” tanya sang calon istri. “Mau minum kopi. Tadi Abang taruh di meja depan sambil nunggu kalian siuman,” jawab pria berambut lebat ini sambil berlalu. “Mak Nah permisi ke dapur dulu. Tadi bawa pisang, mau bikin pisang goreng.” “Enak itu, Mak. Perlu bantuan?” “Gak usah, matur nuwun. Mbak Ning, rehat dulu. Barusan siuman juga,” ucap Mak Nah menepuk bahu Ningsih lalu balik badan lalu keluar kamar. Kini tinggal tiga bersaudara saling menatap dan segera tersenyum begitu menyadari bahwa mereka saling menunggu untuk berbicara duluan. “Okey, Mbok Yan yang ngomong dulu. Bisa jadi Bik Mang telah dapat darah kita buat ritual.” “Adi, Mbok Yan ngomong keto?” “Kamu gak diberitahu Bik Tut?” “Gak tuh, Mbok,” jawab Wa
Polisi segera membuat garis kapur di TKP. Para petugas mengambil beberapa foto di tempat tersebut. Pak Lana, Lek Dirman, Bang Deni, dan kedua tukang ikut ke kantor polisi untuk diminta keterangan.Setelah kepergian para aparat dan kelima pria ke kantor polisi, ketiga wanita berembuk secara serius.“Suri, kira-kira siapa?”“Kok aku yang ditanya Mbok Yan?”“Lah iyalah. Secara, kamu yang lebih peka dibanding kami,” sahut Ningsih sambil senyum meledek ke arah sang adik.“Sejak awal aku menduga, Bik Mang.”“Mbok Yan juga,” timpal Ni Kesumasari lalu berpaling ke arah Ningsih.“Aku belum pernah ketemu Bik Mang. Kemarin diajak Suri ke sana juga gak ketemu.”“Mbok Ning udah liat orangnya. Di Labfor Polri kemarin itu,” ucap Wayan Suri mengingatkan kakaknya.“Oh ya. Mbok baru ingat sekarang. Bik Mang sempat bantuin masak di sini dan juga semba
Ada apa dengan keluarga Bik Mang?Semoga Bik Mang belum sempat mempraktekkan ilmu itu.Sejak kapan mereka tahu cara curi ilmu?Ni Kesumasari semakin pusing dengan berbagai pertanyaan yang menumpuk satu persatu dalam benak. Ia belum bisa menemukan jawaban hingga mobil yang mereka tumpangi meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Wayan Suri belum beranjak meski Bang Deni telah memberi kode klakson.Mobil semakin menjauh, justru motor Wayan Suri semakin mendekat ke arah hutan. Ia melihat bayangan seseorang melangkah di antara pohon-pohon jati.Bayangan itu pasti salah satu dari anggota keluarga Bik Mang, batin wanita berpinggang ramping ini.Wayan Suri ingin masuk ke hutan, tapi hati nurani melarang. Akhirnya, terpaksa balik arah untuk mengejar mobil Bang Deni. Ia berpikir akan menceritakan hal ini kepada ketiga kerabatnya dan bisa jadi pendukung anggapan mereka belakangan ini.Mereka hanya ingin membantu Bik Mang agar tak terjebak r
“Cicing cai! Panak tyang mati, bangka caine!” teriak Ningsih dengan mata memerah.Tangan wanita berdarah Jawa yang telah dirasuki roh Dadong Canangsari telah terangkat dan Ni Kesumasari buru-buru memeluknya.“Bik Tut, tenang! Tyang akan ngajak ngomong ke dia. Percaya ke tyang! Ini bukan jalan terbaik,” ucap wanita mualaf ini dengan sesengukan.“Wak, tolong pulang dulu. Nanti kita ke rumah Wak. Sayang nyawa,” ujar Wayan Suri sembari membantu pria ini untuk bangkit.Meski dengan ekspresi tak senang, suami Bik Mang mau menuruti kata-kata Wayan Suri. Ia berlari ke arah motor lalu menstater dan berlalu dengan kepulan asap motor dua tak.Begitu suami Bik Mang sudah pergi, tubuh Ningsih seketika lunglai dan hampir jatuh ke lantai. Beruntung Ni Kesumasari dan Wayan Suri telah sigap menangkap tubuhnya. Tubuh wanita keturunan Jawa ini dibopong ke ruang tengah lalu dibaringkan di sofa.“Ningsih ... ningsih,&rdq
Mereka lega telah memiliki beberapa foto adegan dalam rekaman yang dianggap penting. Kakak beradik ini mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan para petugas lalu mohon diri kepada sang kepala dan anak buahnya.Langkah keduanya menuju tempat parkir diisi pembahasan langkah selanjutnya yang akan dilakukan. Tanpa sengaja, pandangan Wayan Suri tertuju kepada seorang wanita yang berjalan mengendap-endap dari tempat parkir motor menuju bagian samping gedung.Wayan cekatan menarik tangan sang kakak diajak bersembunyi di balik tembok ruang lapor. Ningsih hanya bisa bengong saat diajak memindai gerak-gerik wanita itu.“Itu yang kita cari tadi, Mbok.”“Bik Mang?”“Iya. Dia adik ipar Bapak.”Setelah wanita yang diintip telah berlalu, mereka keluar dari tempat persembunyian lalu berjalan ke tempat parkir. Sejurus kemudian motor telah membawa keduanya berbaur dalam keramaian jalan raya.Perjalanan menempuh j
“Berapa orang?” tanya Ningsih sambil mengambil piring dari rak lalu ditaruh di meja.“Sekitar 20 orang termasuk tukang, Bli Yan dan Pak Lana,” jawab Wayan Suri sembari membantu menaruh teko kopi dan teh di nampan.“Jangan lupa gelasnya,” ucap Ningsih sembari menata beberapa gelas di nampan lain.“Udah komplit. Tolong bawa ke sana! Biar segera sarapan. Untuk kita udah Mbok siapin di wajan,” kata Ni Kesumasari.Mereka melangkah keluar dari dapur menuju teras rumah besar. Pak Lana dan Lek Dirman telah selesai mempersiapkan meja panjang untuk tempat menaruh sarapan.“Kita perlu ngomong bertiga. Ada leak baru di daerah ini,” ucap Wayan Suri kepada kedua saudaranya.“Kamu tau dari mana?” tanya Ni Kesumasari terkejut.Ketiga wanita ini kemudian melangkah ke dapur dan duduk di dipan. Wayan Suri menatap Ni Kesumasari lekat-lekat. Terang saja pandangan mata sang adik sepupu