Serangan angin hanya melanda kamar mereka saja. Aneh bin ajaib. Sungguh kekuatan setan mampu membuat nyali ciut bagi orang-orang yang tak beriman.
"Alhamdulillah, Bu! Sudah reda anginnya. Ayo, buka mata!" Pria tersebut menepuk halus pipi istrinya yang masih diliputi perasaan khawatir. Wanita itu baru berani membuka mata, setelah tahu angin sudah menghilang, dia langsung sujud syukur sambil terisak-isak. Allah masih melindungi mereka.
“Alhamdulillah! Terima kasih, Ya Allah! Pak kita selamat," ucapnya sambil menyeka buliran bening dari kedua sudut mata serta pipi. Mereka berpelukan, merasa lega, terlepas dari serangan angin setan.
Tetangga Indekos mendatangi kamar mereka. Suara angin ribut serta suara hentakan pintu kamar yang diterjang oleh angin, mendatangkan rasa penasaran mereka. Di antara orang-orang yang berkerumun, terdapat pasangan yang baru saja kehilangan janin secara gaib dua minggu lalu.
"Ya Allah! Pak Saiful, Bu Saiful ... ada apa? Kamar kalian berantakan. Tadi terdengar suara hantaman benda sangat keras."
Salah satu tetangga bertanya penuh keheranan, setelah melihat keadaan kamar Pak Saiful yang berantakan. Pak Saiful dan Bu Saiful berdiri menghampiri tetangga-tetangga yang datang.
"Saya tidak tahu, Pak. Tiba-tiba ada angin kencang seperti angin puting beliung masuk ke kamar kami, memporak-porandakan barang-barang. Pintu kamar yang tertutup saja, sampai bisa lepas engselnya.
“Mari saya bantu beres-beres," ucap tetangga yang lain, sembari memungut barang-barang yang berserakan di lantai. Mereka membantu membersihkan kamar.
Bu Saiful melangkah ke dapur bermaksud membuat minuman untuk tetangga yang datang. Sarti--tetangga kamar-- mengikuti langkah Bu Saiful. Dapur terletak di belakang kamar terpisah oleh dinding dan pintu kayu, sehingga tidak terkena efek dari serangan angin ribut.
"Bu, boleh saya bantu bikin minum?" tanya Sarti.
"Oh, Dek Sarti ... boleh, silakan. Saya merebus air dulu untuk kopi. Oh ya, di dalam kulkas ada sirup, ambil saja, Dek."
"Maaf, Bu. Sebenarnya tadi ada kejadian apa, ya?"
"Saya juga gak tahu, Dek. Tiba-tiba ada angin kencang masuk kamar. Saya dan Bapak kaget banget."
"Kok aneh ya, Bu."
“Itu dia, tapi saya pikir, ini pasti ada hubungannya dengan cerita Bapak, sebelum angin datang."
“Cerita apa, Bu?"
"Tadi sewaktu Bapak pulang dari pantai, sempat menolong dadong yang terluka parah. Seperti luka bakar, tapi gak mau dipanggilkan dokter. Cerita belum selesai sudah keburu ada angin ribut datang. Iih ... bergidik bulu saya," ucap Bu Saiful sembari memegang tengkuk, kepala celingukan melihat sekeliling, takut terjadi hal yang sama lagi.
Dia mempersiapkan racikan kopi ke dalam gelas-gelas. Sarti membantu menuangkan air mendidih ke dalam gelas-gelas tersebut.
"Iya, Bu, ya? Angin bisa datang tiba-tiba, terus yang kena hanya kamar Ibu saja." Sembari berucap Sarti memasukkan sirup ke dalam gelas-gelas, tak lupa ditambahkan air dan kepingan es batu.
Setelah semua minuman sudah siap, minuman ditaruh dalam dua baki. Mereka beriringan melangkah ke depan. Bu Saiful dan Sarti meletakkan baki-baki tersebut tepat di tengah para tetangga yang duduk melingkar, lalu Bu Saiful dan Sarti duduk berdampingan.
Mereka mendengarkan cerita Pak Saiful secara saksama diliputi rasa penasaran bercampur ngeri. Pak Saiful mempersilakan para tetangga menikmati minuman yang tersaji agar situasi tidak terlalu tegang.
"Maaf, Pak, Dadong yang Bapak tolong, apa matanya juling?" tanya Sarti.
"Iya, benar, mata Dadong yang saya tolong memang juling, Dek Sarti kenal?" tanya Pak Saiful.
"Masih ingat nggak, Pak? Saya kehilangan janin kemarin karena kena ilmu hitam, kata pemilik indekos. Kebetulan sebelum malam kejadian, Dadong yang telah Bapak tolong tadi, sempat memberi saya buah pisang," jelas Sarti.
Seluruh tetangga yang hadir saling bergumam, seakan membenarkan argumen Sarti.
"Oh ...."
"Ya, benar tuh."
"Gak nyangka, ya."
Bu Saiful ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Sarti seketika memegang tangan, lalu menepuk pelan punggung tangan wanita itu.
"Sabar ... ya, Dek," ucapnya lirih di telinga Sarti.
Buliran air bening menetes perlahan dari kedua sudut mata Sarti. Bu Saiful meraih tisu di dekat baki, didekatkan ke arah wanita muda itu.
Begitu melihat Sarti sedih teringat kejadian dua minggu yang lalu, Jamal bergegas menghampiri lalu segera merengkuh tubuh istrinya dalam dekapan. Beberapa saat, Sarti terisak-isak di bahu suaminya. Belaian tangan Jamal mengusap lembut rambut serta punggung Sarti.
"Kita pulang, yuk," ajak Jamal lalu menoleh pada tuan rumah dan semua yang hadir, "Pak, Bu, maaf, kami pamit dulu, ya."
Pasutri muda ini lalu bangkit sambil menyalami tuan rumah, serta berpamitan pada para tetangga yang lain.
****
Setelah bersusah payah dengan mengumpulkan segala kekuatan tubuh yang masih tersisa.
Dadong Canangsari membuka kunci kamar ritual persembahan, selama ini ruangan tersebut selalu terkunci. Kamar dengan ukuran tiga meter kali tiga meter terlihat gelap dan kotor. Hawa mistis terasa sekali di kamar ini.
Di dalam kamar hanya terdapat meja panjang untuk sesajen. Lantai beralas tikar lusuh tergelar di bawah meja. Di sudut kamar terdapat lemari kayu jati. Banyak rajah beraksara Bali tertempel di setiap dinding kamar.
Aroma bau kembang ditimpa bau busuk bangkai memenuhi seisi ruangan. Tulang belulang berserakan di seluruh lantai.
Dadong Canangsari bersimpuh di depan meja sesajen, yang di atasnya bertengger sebuah Arca Ratu Calonarang. Sebuah canang berada persis di depan Arca.
Dadong Canangsari menjumput bungan sandat (kembang kenanga) di ujung kedua tangan yang terkatup. Mengangkat kedua lengan, walau akhirnya jatuh lunglai karena persendian yang terasa remuk.
Mulut rentanya merafal bait-bait mantra pemujaan. Segala lara tak dia hiraukan lagi. Hanya tersisa kepasrahan yang dia punya. Erangan kesakitan bercampur tangisan histeris keluar dari bibir rentanya.
"Duhai Ratu, Junjunganku! Hari ini, terpenuhi semua janji, kupersembahkan jiwa ini. Pengabdian abadi hanya padamu. Telah kupersiapkan, garis keturunanku sebagai penerus. Sumpah ini abadi!”
Beberapa saat setelah sumpah selesai terucap, awan hitam dari segala arah menyatu semakin pekat. Seberkas kilat keluar dari sela -sela awan, menyambar ke atas genting rumah Dadong Canangsari, tepat di atas kamar ritual persembahan. Suara petir menggelegar memekakkan telinga.
‘Jledeerreeerr'
Seketika sinar menyala, menyilaukan terlihat di atas genting rumah. Kontras dengan kegelapan di sekitar.
Tubuh Dadong Canangsari mengejang lalu menghitam, hangus terbakar sambaran kilat. Sebuah jasad terkapar, tewas terpanggang demi pengabdian pada junjungannya.
Seberkas cahaya merah berlumur kuning keemasan menyeruak keluar dari jasad gosong sang Dadong, siap bertahta ke raga penerus yang telah disebut dalam sumpah Dadong Canangsari sebelum menjemput ajal.
Siapakah penerus yang telah ditunjuk oleh Dadong?
Bagaimana nasib jasad gosong sang Dadong Canangsari?
****************
Kidung Rumeksa Ing Wengi
----------------------------
Ana kidung rumekso ing wengi
Teguh hayu luputa ing lara
luputa bilahi kabeh
jim setan datan purun
paneluhan tan ana wani
niwah panggawe ala
gunaning wong luput
geni atemahan tirta
maling adoh tan ana ngarah ing mami
guna duduk pan sirno
Sakehing lara pan samya bali
Sakeh ngama pan sami mirunda
Welas asih pandulune
Sakehing braja luput
Kadi kapuk tibaning wesi
Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut
Kayu aeng lemah sangar
Songing landhak guwaning
Wong lemah miring
Myang pakiponing merak
Pagupakaning warak sakalir
Nadyan arca myang segara asat
Temahan rahayu kabeh
Apan sarira ayu
Ingideran kang widadari
Rineksa malaekat
Lan sagung pra rasul
Pinayungan ing Hyang Suksma
Ati Adam utekku baginda Esis
Pangucapku ya Musa
Napasku nabi Ngisa linuwih
Nabi Yakup pamiryarsaningwang
Dawud suwaraku mangke
Nabi brahim nyawaku
Nabi Sleman kasekten mami
Nabi Yusuf rupeng wang
Edris ing rambutku
Baginda Ngali kuliting wang
Abubakar getih daging Ngumar singgih
Balung baginda ngusman
Sumsumingsun Patimah linuwih
Siti aminah bayuning angga
Ayup ing ususku mangke
Nabi Nuh ing jejantung
Nabi Yunus ing otot mami
Netraku ya Muhamad
Pamuluku Rasul
Pinayungan Adam Kawa
Sampun pepak sakathahe para nabi
Dadya sarira tunggal
Kobaran api yang membumbung tinggi dan suara petir yang menggelegar, menarik perhatian warga sekitar, termasuk penghuni kompleks indekos. Warga berhamburan ke tempat kejadian, begitu sampai di tempat bekas kebakaran, mereka hanya mampu tertegun.Kediaman Dadong Canangsari hanya menyisakan puing-puing berserakan beserta bara api. Warga bergotong royong memadamkannya.Anehnya, bara api hanya membumi hanguskan bangunan rumah saja, tak sampai merembet ke tempat lain. Ketika api sudah mulai padam, terdengar jeritan seorang wanita.“Bik Tut, Bik Tut ... apa yang terjadi?”Rupanya Ni Wayan Kesumasari yang baru saja datang dari bepergian, terlihat terkejut melihat musibah yang dialami bibiknya. Wanita itu tak menyangka nasib Dadong Canangsari akan setragis itu.Akhirnya, berdua dengan Wayan Lana-- suaminya-- dibantu oleh warga berusaha mencari keberadaan jasad Dad
Kejadian ini terjadi beberapa hari sebelum jasad Dadong Canangsari menghilang dalam musibah kebakaran yang menimpa rumah wanita renta itu. Telah beberapa malam wanita renta tersebut mengalami mimpi yang mengerikan dan selalu dengan mimpi yang sama. Wanita itu telah merasa hal tersebut adalah sebuah firasat jika waktunya telah dekat. Sang Dadong merasa sudah saatnya mempersiapkan segala urusan termasuk mempersiapkan calon penerus ilmu.Dari pagi buta dia sudah mempersiapkan barang dagangan sekalian menyisakan beberapa canang dan tambahan untuk ritual nanti malam di rumah Wayan Suri, anaknya. Dia berencana meminta tolong keponakannya untuk mengantar ke Denpasar.Sesaat sebelum Dadong Canangsari akan pergi ke pasar untuk berjualan canang tak sengaja bertemu keponakannya. Ni Wayan Kesumasari lewat tepat di depan rumah Dadong Canangsari. Mereka masih saudara dekat, Ni Wayan Kesumasari adalah anak dari kakak perempuan Dadong Canangsari. Begitu mel
Kepergian Dadong Canangsari meninggalkan tugas untuk keturunannya. Sebuah ilmu harus diemban, tapi siapakah yang telah menerima ilmu tersebut? Cahaya yang keluar sesaat setelah tubuh Dadong Canangsari tewas telah menemukan raga yang lain. Tak ada yang tahu, siapa yang telah menerima ilmu tersebut.Wayan Suri, putri Dadong Canangsari tak merasa kemasukan cahaya ilmu tersebut. Tak juga dirasakan oleh Kesumasari, keponakan Dadong. Kedua wanita dalam garis keluarga itu saling bertanya.Ke manakah cahaya kuning ilmu tersebut?Sejenak kita melangkah, menilik masa lalu kehidupan Dadong Canangsari.Saat itu di usia dua puluh tahun, Dadong Canangsari merantau ke Jawa karena perpindahan tempat kerja. Perusahaan ekspedisi tempat dia bekerja membuka cabang baru di salah satu kota besar di Jawa. Setahun bekerja di sana, Dadong Canangsari muda, kala itu masih memakai nama gadis, I Ketut Sulastri, menjalin hu
Setelah ritual khusus dilakukan, mereka duduk berhadapan. Hanya debaran jantung dan tarikan napas yang terdengar, kadang berirama kadang memburu, mengikuti alur pikiran masing-masing. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya Ni Kesumasari sebagai saudara tertua mulai bersuara.“Ningsih, Suri, sekarang kalian bersiap menerima ilmu warisan meme kalian. Persiapkan jiwa raga. Takdir tak bisa ditolak, inilah garis keturunan kita.”“Mbok Yan, seumpama aku yang dapat warisan ilmu, bisakah aku jalani dari Tanah Jawa?” tanya Ningsih dengan tatapan mata penuh selidik, beberapa kali wanita itu membenahi letak kamben dan kebayanya. Maklum saja, dia belum terbiasa dengan busana tersebut. Bu Lana tersenyum geli melihat tingkah sepupunya ini.“Ken ken? Nggak bisa begitu, Mbok,” timpal Wayan Suri sembari memegang jemari tangan kakak perempuannya. Seketika Ningsih menyambut erat genggaman sang adik, sea
Bu Lana telah sadar seperti semula, dengan perubahan wajah, tubuh dan kulit yang lebih kencang dari sebelumnya. Ningsih dan Wayan Suri semakin penasaran dengan perubahan yang telah dialami sang mbok. Sungguh takjub dengan perubahan yang secepat kilat tersebut, hanya perlu waktu semalam saja.“Mbok, ke mana aja? Kami takut, rohmu tak kembali lagi. Sudah mirip mayat, pucat, denyut nadi pun lemah. Tahu-tahu mbok siuman, mulut belepotan darah. Kami ngeri, akhirnya jadi senang, terlihat jadi lebih muda, lebih cantik. Ngapain aja sih, Mbok?” tanya Wayan suri yang memang lebih bawel dibanding Ningsih, sang kakak.Bu Lana hanya tersenyum, menanggapi pertanyaan Wayan Suri. Hatinya sedang berbunga-bunga, harapan selama ini tercapai sudah. Dalam hati sangat berharap bahwa dirinyalah yang akan menjadi pewaris ilmu. Sekarang harus segera menyusun kata-kata untuk menyampaikan hal tersebut pada suaminya. Tak mungkin bisa disembunyik
Setelah menempuh perjalanan satu jam karena macet, sampailah mereka di kediaman Wayan Suri. Situasi lingkungan rumah Wayan Suri yang asri masih dikelilingi areal persawahan membuat Ningsih merasa nyaman, serasa di kota asalnya di Jawa.Tak ingin berlama-lama Bu Lana segera mengajak suaminya pergi keliling kota mencari oleh-oleh untuk Ningsih yang akan pulang kampung besok. Sayang, saat mengajak kedua sepupunya, mereka tak mau. Ningsih dan Suri ingin segera istirahat karena semalaman sudah begadang. Hal tersebut tak dirasakan oleh Bu Lana.Dalam perjalanan, Pak Lana tak henti-hentinya mencuri pandang pada sang istri. Pria itu sangat heran dengan perubahan yang terjadi pada tubuh terutama wajah istrinya. Perawatan macam apa yang telah dilakukan istrinya dengan para sepupu?Hanya dalam waktu singkat, wajah yang mulai menua berganti rupa dengan kulit kencang. Bentuk tubuh pun berubah dratis, dari yang semula kendor, daging b
Di balik senyum Bu Lana ada sesuatu hal mengerikan yang disembunyikan. Pak Lana hanya melihat sebagai kebaikan pada sesama, dia bangga pada sang istri. Semakin cantik paras serta semakin baik pula perilakunya. Setelah bercengkerama selama sejam, mereka akhirnya berpamitan dengan sang teman. Sejak di rumah sakit pikiran Pak Lana jadi menerawang tentang dambaan berdua yang belum terwujud hingga hari ini. Dalam perjalanan pulang, Pak Lana mencoba membahas dengan istrinya. “Bu, bagaimana kalau kita periksa ke dokter lagi. Ya, siapa tahu, kalau ke dokter lain ada jalan keluar. Umur kita semakin bertambah, harus berusaha lagi,” ucap Pak Lana sambil menoleh ke arah istrinya yang sedang asik mematutkan diri di kaca spion. “Boleh juga, emang mau periksa ke mana lagi, Pak?” Dengan tanpa melihat ke arah suaminya. Bu Lana semakin asik mematutkan diri. Kelakuan sang istri ini membuat Pak Lana jadi geleng-geleng keheranan. “Udah cantik, gak usah sering bercermin. Bisa pecah entar cerminnya.
Berdua memacu hasrat di atas hamparan sprei kamar hotel berbintang. Mereka telah terbuai bujuk rayu setan, sudah sama-sama melupakan janji suci pernikahan. Pak Lana tersenyum bahagia, mengecup mesra kening Sarti. Tampak cucuran keringat dan tarikan napas yang belum stabil, sisa petualangan mereka beberapa saat yang lalu.“Makasih ya, Gek. Aku makin sayang sama kamu,” ucap Pak Lana memeluk erat tubuh Sarti yang polos tanpa sehelai, seperti dirinya.Pria itu merengkuhnya tubuh Sarti semakin erat. Kedua tangan sang wanita melingkar mesra ke pinggang Pak Lana. Bagi Sarti yang notabene hanya dengan Jamal, pria satu-satunya yang mengajaknya berpetualang liar dan sekarang merasa ada pria lain yang lebih perkasa dari suaminya.“Nanti kalau ketahuan ibu gimana, Pak?” tanya Sarti sembari mendongak menatap seraut wajah tampan pria separuh baya dengan jambang yang mulai tumbuh di sana sini.
“Jangan pura-pura! Sengaja betulin rumah Dadong untuk ambil alih, kan. Kami tau tipu muslihatmu, Nak Jawa!” Pria berkulit gelap ini berteriak berapi-api.“Kami? Dugaan kalian sekeluarga salah! Tanah itu milik Dadong dari gadis. Sebelum menikah dengan dengan suaminya,” ucap Ni Kesumasari dengan hati-hati lalu melanjutkan, “itu memang hak anak-anak kandungnya, meski wanita. Putu Adi telah dapat bagian setelah bapak angkatnya meninggal. Kemana itu? Kalian jual!”Ni Kesumasari kini tak dapat menahan emosi juga. Ia marah dengan keserakahan keluarga yang didatanginya. Putu Adi yang diangkat jadi anak sentana begitu mendapat harta warisan kembali ke keluarga asal.Ia dibujuk keluarganya untuk menjual harta tersebut tanpa menghiraukan upacara keluarga dan kehidupan Dadong Canangsari. Kini, bapaknya masih ingin menguasai tanah milik Dadong pula.Pria tukang judi ini telah menghabiskan harta peninggalan suami Dadong untuk b
“Astaghfirullah! Dari darah?”Semua yang ada di situ terkejut mendengar penjelasan dari Ni Kesumasari. Mereka terkesima sekaligus ngeri saat melihat warna merah pada tenun tersebut. Seketika bayangan mereka melayang sibuk mereka-reka cara mendapatkan darah untuk proses membatik.“Apa pun itu, yang penting dengan kamen ini Mak Nah telah dipercaya Bik Tut untuk menyelesaikan masalah kita sekarang,” kata Ni Kesumasari menatap ke arah Mak Nah.“Insyaallah Mak Nah bantu sebisanya. Tapi, gimana caranya, Mbok Yan?” tanya Mak Nah.Semua saling pandang, termasuk Mak Nah dan Lek Dirman yang diberi barang wasiat oleh Dadong Canangsari.“Setau tyang, tinggal pake aja, Mak. Oh, ya. Bungan sandat selipkan di atas telinga kiri dan sunggar di bagian rambut depan. Sayang, gak ada kebaya Meme,” ucap Wayan Suri dengan nada menyesal.“Mbok Yan ada warisan kebaya dari Bik Tut.”“Wah bisa ke
Hingga mobil sampai rumah pun, belum ada sepatah kata dari mereka. Bang Deni memarkirkan mobil di luar gerbang karena ia harus segera berangkat kerja.Pria ini berniat ke kebun belakang ingin memastikan penglihatan sebelum berangkat ke rumah Bik Mang tadi. Rasa penasaran yang memenuhi otaknya sepanjang perjalanan barusan.Tiga wanita bersaudara telah melangkah meninggalkan mobil lalu menuju dapur. Mereka kehausan, lebih tepatnya efek dari rasa kecewa telah mengeringkan tenggorokan dan dada. Mak Nah melihat mereka dengan rasa penasaran.“Gak ketemu lagi?”“Bukan gak ketemu. Ia sengaja sembunyi, Mak,” kata Ni Kesumasari bisa dibilang sebuah keluhan lalu mengambil botol mineral dari dalam kulkas.“Maaf, kalo boleh Mak Nah tau. Ada masalah apa?”“Oh, iya. Mak Nah belum tau ini. Bik Mang mencuri sunggar emas Bik Tut dan juga sebagian kulitnya diiris,” jawab Ni Kesumasari sambil menahan rasa sesak.
“Bang, aku harus segera ke Bik Mang, “ucap Ni Kesumasari sambil meminum teh hangatnya. “Yang penting harus segar dulu. Entar Abang yang antar,”sahut Bang Deni sambil berdiri. “Mau ke mana, Bang?” tanya sang calon istri. “Mau minum kopi. Tadi Abang taruh di meja depan sambil nunggu kalian siuman,” jawab pria berambut lebat ini sambil berlalu. “Mak Nah permisi ke dapur dulu. Tadi bawa pisang, mau bikin pisang goreng.” “Enak itu, Mak. Perlu bantuan?” “Gak usah, matur nuwun. Mbak Ning, rehat dulu. Barusan siuman juga,” ucap Mak Nah menepuk bahu Ningsih lalu balik badan lalu keluar kamar. Kini tinggal tiga bersaudara saling menatap dan segera tersenyum begitu menyadari bahwa mereka saling menunggu untuk berbicara duluan. “Okey, Mbok Yan yang ngomong dulu. Bisa jadi Bik Mang telah dapat darah kita buat ritual.” “Adi, Mbok Yan ngomong keto?” “Kamu gak diberitahu Bik Tut?” “Gak tuh, Mbok,” jawab Wa
Polisi segera membuat garis kapur di TKP. Para petugas mengambil beberapa foto di tempat tersebut. Pak Lana, Lek Dirman, Bang Deni, dan kedua tukang ikut ke kantor polisi untuk diminta keterangan.Setelah kepergian para aparat dan kelima pria ke kantor polisi, ketiga wanita berembuk secara serius.“Suri, kira-kira siapa?”“Kok aku yang ditanya Mbok Yan?”“Lah iyalah. Secara, kamu yang lebih peka dibanding kami,” sahut Ningsih sambil senyum meledek ke arah sang adik.“Sejak awal aku menduga, Bik Mang.”“Mbok Yan juga,” timpal Ni Kesumasari lalu berpaling ke arah Ningsih.“Aku belum pernah ketemu Bik Mang. Kemarin diajak Suri ke sana juga gak ketemu.”“Mbok Ning udah liat orangnya. Di Labfor Polri kemarin itu,” ucap Wayan Suri mengingatkan kakaknya.“Oh ya. Mbok baru ingat sekarang. Bik Mang sempat bantuin masak di sini dan juga semba
Ada apa dengan keluarga Bik Mang?Semoga Bik Mang belum sempat mempraktekkan ilmu itu.Sejak kapan mereka tahu cara curi ilmu?Ni Kesumasari semakin pusing dengan berbagai pertanyaan yang menumpuk satu persatu dalam benak. Ia belum bisa menemukan jawaban hingga mobil yang mereka tumpangi meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Wayan Suri belum beranjak meski Bang Deni telah memberi kode klakson.Mobil semakin menjauh, justru motor Wayan Suri semakin mendekat ke arah hutan. Ia melihat bayangan seseorang melangkah di antara pohon-pohon jati.Bayangan itu pasti salah satu dari anggota keluarga Bik Mang, batin wanita berpinggang ramping ini.Wayan Suri ingin masuk ke hutan, tapi hati nurani melarang. Akhirnya, terpaksa balik arah untuk mengejar mobil Bang Deni. Ia berpikir akan menceritakan hal ini kepada ketiga kerabatnya dan bisa jadi pendukung anggapan mereka belakangan ini.Mereka hanya ingin membantu Bik Mang agar tak terjebak r
“Cicing cai! Panak tyang mati, bangka caine!” teriak Ningsih dengan mata memerah.Tangan wanita berdarah Jawa yang telah dirasuki roh Dadong Canangsari telah terangkat dan Ni Kesumasari buru-buru memeluknya.“Bik Tut, tenang! Tyang akan ngajak ngomong ke dia. Percaya ke tyang! Ini bukan jalan terbaik,” ucap wanita mualaf ini dengan sesengukan.“Wak, tolong pulang dulu. Nanti kita ke rumah Wak. Sayang nyawa,” ujar Wayan Suri sembari membantu pria ini untuk bangkit.Meski dengan ekspresi tak senang, suami Bik Mang mau menuruti kata-kata Wayan Suri. Ia berlari ke arah motor lalu menstater dan berlalu dengan kepulan asap motor dua tak.Begitu suami Bik Mang sudah pergi, tubuh Ningsih seketika lunglai dan hampir jatuh ke lantai. Beruntung Ni Kesumasari dan Wayan Suri telah sigap menangkap tubuhnya. Tubuh wanita keturunan Jawa ini dibopong ke ruang tengah lalu dibaringkan di sofa.“Ningsih ... ningsih,&rdq
Mereka lega telah memiliki beberapa foto adegan dalam rekaman yang dianggap penting. Kakak beradik ini mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan para petugas lalu mohon diri kepada sang kepala dan anak buahnya.Langkah keduanya menuju tempat parkir diisi pembahasan langkah selanjutnya yang akan dilakukan. Tanpa sengaja, pandangan Wayan Suri tertuju kepada seorang wanita yang berjalan mengendap-endap dari tempat parkir motor menuju bagian samping gedung.Wayan cekatan menarik tangan sang kakak diajak bersembunyi di balik tembok ruang lapor. Ningsih hanya bisa bengong saat diajak memindai gerak-gerik wanita itu.“Itu yang kita cari tadi, Mbok.”“Bik Mang?”“Iya. Dia adik ipar Bapak.”Setelah wanita yang diintip telah berlalu, mereka keluar dari tempat persembunyian lalu berjalan ke tempat parkir. Sejurus kemudian motor telah membawa keduanya berbaur dalam keramaian jalan raya.Perjalanan menempuh j
“Berapa orang?” tanya Ningsih sambil mengambil piring dari rak lalu ditaruh di meja.“Sekitar 20 orang termasuk tukang, Bli Yan dan Pak Lana,” jawab Wayan Suri sembari membantu menaruh teko kopi dan teh di nampan.“Jangan lupa gelasnya,” ucap Ningsih sembari menata beberapa gelas di nampan lain.“Udah komplit. Tolong bawa ke sana! Biar segera sarapan. Untuk kita udah Mbok siapin di wajan,” kata Ni Kesumasari.Mereka melangkah keluar dari dapur menuju teras rumah besar. Pak Lana dan Lek Dirman telah selesai mempersiapkan meja panjang untuk tempat menaruh sarapan.“Kita perlu ngomong bertiga. Ada leak baru di daerah ini,” ucap Wayan Suri kepada kedua saudaranya.“Kamu tau dari mana?” tanya Ni Kesumasari terkejut.Ketiga wanita ini kemudian melangkah ke dapur dan duduk di dipan. Wayan Suri menatap Ni Kesumasari lekat-lekat. Terang saja pandangan mata sang adik sepupu