Bu Lana telah sadar seperti semula, dengan perubahan wajah, tubuh dan kulit yang lebih kencang dari sebelumnya. Ningsih dan Wayan Suri semakin penasaran dengan perubahan yang telah dialami sang mbok. Sungguh takjub dengan perubahan yang secepat kilat tersebut, hanya perlu waktu semalam saja.
“Mbok, ke mana aja? Kami takut, rohmu tak kembali lagi. Sudah mirip mayat, pucat, denyut nadi pun lemah. Tahu-tahu mbok siuman, mulut belepotan darah. Kami ngeri, akhirnya jadi senang, terlihat jadi lebih muda, lebih cantik. Ngapain aja sih, Mbok?” tanya Wayan suri yang memang lebih bawel dibanding Ningsih, sang kakak.
Bu Lana hanya tersenyum, menanggapi pertanyaan Wayan Suri. Hatinya sedang berbunga-bunga, harapan selama ini tercapai sudah. Dalam hati sangat berharap bahwa dirinyalah yang akan menjadi pewaris ilmu. Sekarang harus segera menyusun kata-kata untuk menyampaikan hal tersebut pada suaminya. Tak mungkin bisa disembunyik
Setelah menempuh perjalanan satu jam karena macet, sampailah mereka di kediaman Wayan Suri. Situasi lingkungan rumah Wayan Suri yang asri masih dikelilingi areal persawahan membuat Ningsih merasa nyaman, serasa di kota asalnya di Jawa.Tak ingin berlama-lama Bu Lana segera mengajak suaminya pergi keliling kota mencari oleh-oleh untuk Ningsih yang akan pulang kampung besok. Sayang, saat mengajak kedua sepupunya, mereka tak mau. Ningsih dan Suri ingin segera istirahat karena semalaman sudah begadang. Hal tersebut tak dirasakan oleh Bu Lana.Dalam perjalanan, Pak Lana tak henti-hentinya mencuri pandang pada sang istri. Pria itu sangat heran dengan perubahan yang terjadi pada tubuh terutama wajah istrinya. Perawatan macam apa yang telah dilakukan istrinya dengan para sepupu?Hanya dalam waktu singkat, wajah yang mulai menua berganti rupa dengan kulit kencang. Bentuk tubuh pun berubah dratis, dari yang semula kendor, daging b
Di balik senyum Bu Lana ada sesuatu hal mengerikan yang disembunyikan. Pak Lana hanya melihat sebagai kebaikan pada sesama, dia bangga pada sang istri. Semakin cantik paras serta semakin baik pula perilakunya. Setelah bercengkerama selama sejam, mereka akhirnya berpamitan dengan sang teman. Sejak di rumah sakit pikiran Pak Lana jadi menerawang tentang dambaan berdua yang belum terwujud hingga hari ini. Dalam perjalanan pulang, Pak Lana mencoba membahas dengan istrinya. “Bu, bagaimana kalau kita periksa ke dokter lagi. Ya, siapa tahu, kalau ke dokter lain ada jalan keluar. Umur kita semakin bertambah, harus berusaha lagi,” ucap Pak Lana sambil menoleh ke arah istrinya yang sedang asik mematutkan diri di kaca spion. “Boleh juga, emang mau periksa ke mana lagi, Pak?” Dengan tanpa melihat ke arah suaminya. Bu Lana semakin asik mematutkan diri. Kelakuan sang istri ini membuat Pak Lana jadi geleng-geleng keheranan. “Udah cantik, gak usah sering bercermin. Bisa pecah entar cerminnya.
Berdua memacu hasrat di atas hamparan sprei kamar hotel berbintang. Mereka telah terbuai bujuk rayu setan, sudah sama-sama melupakan janji suci pernikahan. Pak Lana tersenyum bahagia, mengecup mesra kening Sarti. Tampak cucuran keringat dan tarikan napas yang belum stabil, sisa petualangan mereka beberapa saat yang lalu.“Makasih ya, Gek. Aku makin sayang sama kamu,” ucap Pak Lana memeluk erat tubuh Sarti yang polos tanpa sehelai, seperti dirinya.Pria itu merengkuhnya tubuh Sarti semakin erat. Kedua tangan sang wanita melingkar mesra ke pinggang Pak Lana. Bagi Sarti yang notabene hanya dengan Jamal, pria satu-satunya yang mengajaknya berpetualang liar dan sekarang merasa ada pria lain yang lebih perkasa dari suaminya.“Nanti kalau ketahuan ibu gimana, Pak?” tanya Sarti sembari mendongak menatap seraut wajah tampan pria separuh baya dengan jambang yang mulai tumbuh di sana sini.
Ilmu leak tak pernah lepas dari sebuah nama yang melegenda yaitu Calonarang yang dipercaya sebagai guru dari ilmu leak yang sesat. Berikut ini saya sadur sebuah cerita legenda tentang asal mula ilmu leak yang berkembang jadi ilmu hitam. Ilmu yang dipergunakan oleh Calonarang sebagai alat balas dendam karena merasa diperlakukan tidak adil. Ilmu leak hanya diturunkan Calonarang kepada pengikutnya dalam garis keturunan wanita. Ilmu ini akan memilih pewarisnya sendiri tak bisa diminta maupun dihindari. Sekali sumpah terucap anak cucu keturunan dalam garis wanita (ibu) akan menjadi penerus ilmu leak. Semoga cerita berikut berguna untuk menambah wawasan bagi kita semua. Agar bisa lebih berhati-hati dalam menyikapi hidup dan lebih bisa jaga diri agar kita terperangkap ilmu sesat dan juga tak akan jadi korban ilmu hitam . Lebih baik mencegah/ menghindari selagi bisa agar aman sejahtara hidup kitam. Seberapa kuat ilmu hitam akan tetap kalah dengan kekuatan yang maha dahsyat, Sang Maha Pencip
Mobil bergerak ke arah kota menyusuri deretan pertokoan, lalu berhenti tepat depan warung nasi campur. Pak Lana dan Sarti berjalan saling berpelukan mesra. Warung masih sepi, hanya ada tiga orang pembeli. Mereka bisa leluasa memilih tempat duduk dan akhirnya tempat duduk di pojok belakang yang jadi pilihan. Mereka layaknya pasangan remaja yang sedang jatuh cinta, mata saling berpandangan mesra, tangan saling menggenggam.Tak lama kemudian terdengar suara sirine ambulans semakin mendekat. Akhirnya melewati depan warung. Si pemilik warung segera keluar, ia merasa mengenal dengan seseorang yang duduk di kursi depan dalam ambulans.“Pak, itu seperti Bli Putu, menantu tuan rumah, ya!” teriaknya pada seorang pria yang barusan sampai depan warung dengan mengendarai motor. Tangan wanita pemilik warung ini asik menunjuk pada ambulans yang mulai menjauh.“Memang! Barusan Bapak ke rumahnya. Bayi Gek Mang ilang,&rd
Sudah tiga hari ini badan Sarti meriang, perut mual, setiap mencium aroma menyengat bawaanya ingin muntah. Pagi ini saja sudah beberapa kali muntah, badan terasa lemas, perut terasa perih. Mau apa pun terasa tak enak, jadi serba salah. Mulut terasa ingin yang masam-masam, beruntung dirinya masih punya persediaan jus dalam kemasanSarti segera mengambilnya dari dalam kulkas. Begitu meneguk minuman tersebut, badan terasa segar kembali. Dia tak ingin ke mana-mana, hanya ingin rebahan saja. Seharusnya pagi ini dirinya ke pasar, persediaan beras dan kebutuhan yang lain sudah habis. Apa daya tubuhnya lemas, kepala pun pening. Sarti hanya mampu tiduran saja, menunggu keadaan tubuh membaik.‘Tok ... tok ... tok’“Nduk, Sarti ...”Terdengar suara Mak Nah di pintu depan, Sarti pun segera bangun dan melangkah, lalu membuka pintu. Seketika terlihat wajah wanita separuh baya yang terlihat cemas.
Mereka melakukan perjalanan menuju kota, senyum lebar tersungging di bibir Pak Lana. Apa yang didambakan bertahun-tahun, kini jadi kenyataan. Pria berkulit eksotis ini hampir menganggap diri mandul, sampai merasa minder dengan keluarga besar dan kawan-kawan yang lain. Akhirnya, kini ia akan segera menjadi seorang bapak. Pak Lana pun sibuk merangkai impian dan harapan untuk calon buah hatinya.“Sayang, sejak kapan tahu kalau hamil?” tanya Pak Lana sembari memegang tangan Sarti dengan tangan kiri, dikecupnya berkali-kali.“Sudah beberapa hari ini nggak enak badan, tapi hari ini mulai mual dan muntah-muntah. Ada bau menyengat dikit aja, bawaannya pengen muntah.”“Kita periksa ke dokter, sekalian minta obat anti mual. Kasian kamu, Sayang! Nggak bisa makan, bisa kurang gizi kamu dan anak kita nanti,” timpal Pak Lana sesekali menoleh ke arah wanita yang duduk di sebelahnya.
Malam yang cerah dengan bercahaya rembulan, mobil Pak Lana memasuki pelataran indekos. Mobil diparkir di sisi kanan agar dekat dengan kamar Sarti. Pria hitam manis ini masih berseragam khas pakaian adat Bali, terlihat semakin berkarismatik. Dia segera turun lalu melangkah ke arah kamar Lek Dirman, yang berada di sebelah kamar kekasihnya.Beberapa menit yang lalu, Sarti memberitahu, jika kedatangannya ditunggu di kamar Lek Dirman. Pria itu mengetuk pintu sembari memberi salam. Pintu terbuka, rupanya Sarti yang menyambutnya. Raut wajah Pak Lana seketika sumringah.“Maaf, ya! Papi masih pake seragam. Pulang kerja langsung ke sini,” ucap Pak Lana sambil menampakkan deretan giginya yang rapi.“Gak apa-apa. Ayo masuk, Pi!” ajak Sarti yang berdaster motif kembang jepun, semakin menampakkan aura keibuan.Pak Lana cekatan memegang tangan Sarti, kemudian berbisik, “Kayaknya udah s
“Jangan pura-pura! Sengaja betulin rumah Dadong untuk ambil alih, kan. Kami tau tipu muslihatmu, Nak Jawa!” Pria berkulit gelap ini berteriak berapi-api.“Kami? Dugaan kalian sekeluarga salah! Tanah itu milik Dadong dari gadis. Sebelum menikah dengan dengan suaminya,” ucap Ni Kesumasari dengan hati-hati lalu melanjutkan, “itu memang hak anak-anak kandungnya, meski wanita. Putu Adi telah dapat bagian setelah bapak angkatnya meninggal. Kemana itu? Kalian jual!”Ni Kesumasari kini tak dapat menahan emosi juga. Ia marah dengan keserakahan keluarga yang didatanginya. Putu Adi yang diangkat jadi anak sentana begitu mendapat harta warisan kembali ke keluarga asal.Ia dibujuk keluarganya untuk menjual harta tersebut tanpa menghiraukan upacara keluarga dan kehidupan Dadong Canangsari. Kini, bapaknya masih ingin menguasai tanah milik Dadong pula.Pria tukang judi ini telah menghabiskan harta peninggalan suami Dadong untuk b
“Astaghfirullah! Dari darah?”Semua yang ada di situ terkejut mendengar penjelasan dari Ni Kesumasari. Mereka terkesima sekaligus ngeri saat melihat warna merah pada tenun tersebut. Seketika bayangan mereka melayang sibuk mereka-reka cara mendapatkan darah untuk proses membatik.“Apa pun itu, yang penting dengan kamen ini Mak Nah telah dipercaya Bik Tut untuk menyelesaikan masalah kita sekarang,” kata Ni Kesumasari menatap ke arah Mak Nah.“Insyaallah Mak Nah bantu sebisanya. Tapi, gimana caranya, Mbok Yan?” tanya Mak Nah.Semua saling pandang, termasuk Mak Nah dan Lek Dirman yang diberi barang wasiat oleh Dadong Canangsari.“Setau tyang, tinggal pake aja, Mak. Oh, ya. Bungan sandat selipkan di atas telinga kiri dan sunggar di bagian rambut depan. Sayang, gak ada kebaya Meme,” ucap Wayan Suri dengan nada menyesal.“Mbok Yan ada warisan kebaya dari Bik Tut.”“Wah bisa ke
Hingga mobil sampai rumah pun, belum ada sepatah kata dari mereka. Bang Deni memarkirkan mobil di luar gerbang karena ia harus segera berangkat kerja.Pria ini berniat ke kebun belakang ingin memastikan penglihatan sebelum berangkat ke rumah Bik Mang tadi. Rasa penasaran yang memenuhi otaknya sepanjang perjalanan barusan.Tiga wanita bersaudara telah melangkah meninggalkan mobil lalu menuju dapur. Mereka kehausan, lebih tepatnya efek dari rasa kecewa telah mengeringkan tenggorokan dan dada. Mak Nah melihat mereka dengan rasa penasaran.“Gak ketemu lagi?”“Bukan gak ketemu. Ia sengaja sembunyi, Mak,” kata Ni Kesumasari bisa dibilang sebuah keluhan lalu mengambil botol mineral dari dalam kulkas.“Maaf, kalo boleh Mak Nah tau. Ada masalah apa?”“Oh, iya. Mak Nah belum tau ini. Bik Mang mencuri sunggar emas Bik Tut dan juga sebagian kulitnya diiris,” jawab Ni Kesumasari sambil menahan rasa sesak.
“Bang, aku harus segera ke Bik Mang, “ucap Ni Kesumasari sambil meminum teh hangatnya. “Yang penting harus segar dulu. Entar Abang yang antar,”sahut Bang Deni sambil berdiri. “Mau ke mana, Bang?” tanya sang calon istri. “Mau minum kopi. Tadi Abang taruh di meja depan sambil nunggu kalian siuman,” jawab pria berambut lebat ini sambil berlalu. “Mak Nah permisi ke dapur dulu. Tadi bawa pisang, mau bikin pisang goreng.” “Enak itu, Mak. Perlu bantuan?” “Gak usah, matur nuwun. Mbak Ning, rehat dulu. Barusan siuman juga,” ucap Mak Nah menepuk bahu Ningsih lalu balik badan lalu keluar kamar. Kini tinggal tiga bersaudara saling menatap dan segera tersenyum begitu menyadari bahwa mereka saling menunggu untuk berbicara duluan. “Okey, Mbok Yan yang ngomong dulu. Bisa jadi Bik Mang telah dapat darah kita buat ritual.” “Adi, Mbok Yan ngomong keto?” “Kamu gak diberitahu Bik Tut?” “Gak tuh, Mbok,” jawab Wa
Polisi segera membuat garis kapur di TKP. Para petugas mengambil beberapa foto di tempat tersebut. Pak Lana, Lek Dirman, Bang Deni, dan kedua tukang ikut ke kantor polisi untuk diminta keterangan.Setelah kepergian para aparat dan kelima pria ke kantor polisi, ketiga wanita berembuk secara serius.“Suri, kira-kira siapa?”“Kok aku yang ditanya Mbok Yan?”“Lah iyalah. Secara, kamu yang lebih peka dibanding kami,” sahut Ningsih sambil senyum meledek ke arah sang adik.“Sejak awal aku menduga, Bik Mang.”“Mbok Yan juga,” timpal Ni Kesumasari lalu berpaling ke arah Ningsih.“Aku belum pernah ketemu Bik Mang. Kemarin diajak Suri ke sana juga gak ketemu.”“Mbok Ning udah liat orangnya. Di Labfor Polri kemarin itu,” ucap Wayan Suri mengingatkan kakaknya.“Oh ya. Mbok baru ingat sekarang. Bik Mang sempat bantuin masak di sini dan juga semba
Ada apa dengan keluarga Bik Mang?Semoga Bik Mang belum sempat mempraktekkan ilmu itu.Sejak kapan mereka tahu cara curi ilmu?Ni Kesumasari semakin pusing dengan berbagai pertanyaan yang menumpuk satu persatu dalam benak. Ia belum bisa menemukan jawaban hingga mobil yang mereka tumpangi meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Wayan Suri belum beranjak meski Bang Deni telah memberi kode klakson.Mobil semakin menjauh, justru motor Wayan Suri semakin mendekat ke arah hutan. Ia melihat bayangan seseorang melangkah di antara pohon-pohon jati.Bayangan itu pasti salah satu dari anggota keluarga Bik Mang, batin wanita berpinggang ramping ini.Wayan Suri ingin masuk ke hutan, tapi hati nurani melarang. Akhirnya, terpaksa balik arah untuk mengejar mobil Bang Deni. Ia berpikir akan menceritakan hal ini kepada ketiga kerabatnya dan bisa jadi pendukung anggapan mereka belakangan ini.Mereka hanya ingin membantu Bik Mang agar tak terjebak r
“Cicing cai! Panak tyang mati, bangka caine!” teriak Ningsih dengan mata memerah.Tangan wanita berdarah Jawa yang telah dirasuki roh Dadong Canangsari telah terangkat dan Ni Kesumasari buru-buru memeluknya.“Bik Tut, tenang! Tyang akan ngajak ngomong ke dia. Percaya ke tyang! Ini bukan jalan terbaik,” ucap wanita mualaf ini dengan sesengukan.“Wak, tolong pulang dulu. Nanti kita ke rumah Wak. Sayang nyawa,” ujar Wayan Suri sembari membantu pria ini untuk bangkit.Meski dengan ekspresi tak senang, suami Bik Mang mau menuruti kata-kata Wayan Suri. Ia berlari ke arah motor lalu menstater dan berlalu dengan kepulan asap motor dua tak.Begitu suami Bik Mang sudah pergi, tubuh Ningsih seketika lunglai dan hampir jatuh ke lantai. Beruntung Ni Kesumasari dan Wayan Suri telah sigap menangkap tubuhnya. Tubuh wanita keturunan Jawa ini dibopong ke ruang tengah lalu dibaringkan di sofa.“Ningsih ... ningsih,&rdq
Mereka lega telah memiliki beberapa foto adegan dalam rekaman yang dianggap penting. Kakak beradik ini mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan para petugas lalu mohon diri kepada sang kepala dan anak buahnya.Langkah keduanya menuju tempat parkir diisi pembahasan langkah selanjutnya yang akan dilakukan. Tanpa sengaja, pandangan Wayan Suri tertuju kepada seorang wanita yang berjalan mengendap-endap dari tempat parkir motor menuju bagian samping gedung.Wayan cekatan menarik tangan sang kakak diajak bersembunyi di balik tembok ruang lapor. Ningsih hanya bisa bengong saat diajak memindai gerak-gerik wanita itu.“Itu yang kita cari tadi, Mbok.”“Bik Mang?”“Iya. Dia adik ipar Bapak.”Setelah wanita yang diintip telah berlalu, mereka keluar dari tempat persembunyian lalu berjalan ke tempat parkir. Sejurus kemudian motor telah membawa keduanya berbaur dalam keramaian jalan raya.Perjalanan menempuh j
“Berapa orang?” tanya Ningsih sambil mengambil piring dari rak lalu ditaruh di meja.“Sekitar 20 orang termasuk tukang, Bli Yan dan Pak Lana,” jawab Wayan Suri sembari membantu menaruh teko kopi dan teh di nampan.“Jangan lupa gelasnya,” ucap Ningsih sembari menata beberapa gelas di nampan lain.“Udah komplit. Tolong bawa ke sana! Biar segera sarapan. Untuk kita udah Mbok siapin di wajan,” kata Ni Kesumasari.Mereka melangkah keluar dari dapur menuju teras rumah besar. Pak Lana dan Lek Dirman telah selesai mempersiapkan meja panjang untuk tempat menaruh sarapan.“Kita perlu ngomong bertiga. Ada leak baru di daerah ini,” ucap Wayan Suri kepada kedua saudaranya.“Kamu tau dari mana?” tanya Ni Kesumasari terkejut.Ketiga wanita ini kemudian melangkah ke dapur dan duduk di dipan. Wayan Suri menatap Ni Kesumasari lekat-lekat. Terang saja pandangan mata sang adik sepupu