Ilmu leak tak pernah lepas dari sebuah nama yang melegenda yaitu Calonarang yang dipercaya sebagai guru dari ilmu leak yang sesat. Berikut ini saya sadur sebuah cerita legenda tentang asal mula ilmu leak yang berkembang jadi ilmu hitam. Ilmu yang dipergunakan oleh Calonarang sebagai alat balas dendam karena merasa diperlakukan tidak adil. Ilmu leak hanya diturunkan Calonarang kepada pengikutnya dalam garis keturunan wanita. Ilmu ini akan memilih pewarisnya sendiri tak bisa diminta maupun dihindari. Sekali sumpah terucap anak cucu keturunan dalam garis wanita (ibu) akan menjadi penerus ilmu leak. Semoga cerita berikut berguna untuk menambah wawasan bagi kita semua. Agar bisa lebih berhati-hati dalam menyikapi hidup dan lebih bisa jaga diri agar kita terperangkap ilmu sesat dan juga tak akan jadi korban ilmu hitam . Lebih baik mencegah/ menghindari selagi bisa agar aman sejahtara hidup kitam. Seberapa kuat ilmu hitam akan tetap kalah dengan kekuatan yang maha dahsyat, Sang Maha Pencip
Mobil bergerak ke arah kota menyusuri deretan pertokoan, lalu berhenti tepat depan warung nasi campur. Pak Lana dan Sarti berjalan saling berpelukan mesra. Warung masih sepi, hanya ada tiga orang pembeli. Mereka bisa leluasa memilih tempat duduk dan akhirnya tempat duduk di pojok belakang yang jadi pilihan. Mereka layaknya pasangan remaja yang sedang jatuh cinta, mata saling berpandangan mesra, tangan saling menggenggam.Tak lama kemudian terdengar suara sirine ambulans semakin mendekat. Akhirnya melewati depan warung. Si pemilik warung segera keluar, ia merasa mengenal dengan seseorang yang duduk di kursi depan dalam ambulans.“Pak, itu seperti Bli Putu, menantu tuan rumah, ya!” teriaknya pada seorang pria yang barusan sampai depan warung dengan mengendarai motor. Tangan wanita pemilik warung ini asik menunjuk pada ambulans yang mulai menjauh.“Memang! Barusan Bapak ke rumahnya. Bayi Gek Mang ilang,&rd
Sudah tiga hari ini badan Sarti meriang, perut mual, setiap mencium aroma menyengat bawaanya ingin muntah. Pagi ini saja sudah beberapa kali muntah, badan terasa lemas, perut terasa perih. Mau apa pun terasa tak enak, jadi serba salah. Mulut terasa ingin yang masam-masam, beruntung dirinya masih punya persediaan jus dalam kemasanSarti segera mengambilnya dari dalam kulkas. Begitu meneguk minuman tersebut, badan terasa segar kembali. Dia tak ingin ke mana-mana, hanya ingin rebahan saja. Seharusnya pagi ini dirinya ke pasar, persediaan beras dan kebutuhan yang lain sudah habis. Apa daya tubuhnya lemas, kepala pun pening. Sarti hanya mampu tiduran saja, menunggu keadaan tubuh membaik.‘Tok ... tok ... tok’“Nduk, Sarti ...”Terdengar suara Mak Nah di pintu depan, Sarti pun segera bangun dan melangkah, lalu membuka pintu. Seketika terlihat wajah wanita separuh baya yang terlihat cemas.
Mereka melakukan perjalanan menuju kota, senyum lebar tersungging di bibir Pak Lana. Apa yang didambakan bertahun-tahun, kini jadi kenyataan. Pria berkulit eksotis ini hampir menganggap diri mandul, sampai merasa minder dengan keluarga besar dan kawan-kawan yang lain. Akhirnya, kini ia akan segera menjadi seorang bapak. Pak Lana pun sibuk merangkai impian dan harapan untuk calon buah hatinya.“Sayang, sejak kapan tahu kalau hamil?” tanya Pak Lana sembari memegang tangan Sarti dengan tangan kiri, dikecupnya berkali-kali.“Sudah beberapa hari ini nggak enak badan, tapi hari ini mulai mual dan muntah-muntah. Ada bau menyengat dikit aja, bawaannya pengen muntah.”“Kita periksa ke dokter, sekalian minta obat anti mual. Kasian kamu, Sayang! Nggak bisa makan, bisa kurang gizi kamu dan anak kita nanti,” timpal Pak Lana sesekali menoleh ke arah wanita yang duduk di sebelahnya.
Malam yang cerah dengan bercahaya rembulan, mobil Pak Lana memasuki pelataran indekos. Mobil diparkir di sisi kanan agar dekat dengan kamar Sarti. Pria hitam manis ini masih berseragam khas pakaian adat Bali, terlihat semakin berkarismatik. Dia segera turun lalu melangkah ke arah kamar Lek Dirman, yang berada di sebelah kamar kekasihnya.Beberapa menit yang lalu, Sarti memberitahu, jika kedatangannya ditunggu di kamar Lek Dirman. Pria itu mengetuk pintu sembari memberi salam. Pintu terbuka, rupanya Sarti yang menyambutnya. Raut wajah Pak Lana seketika sumringah.“Maaf, ya! Papi masih pake seragam. Pulang kerja langsung ke sini,” ucap Pak Lana sambil menampakkan deretan giginya yang rapi.“Gak apa-apa. Ayo masuk, Pi!” ajak Sarti yang berdaster motif kembang jepun, semakin menampakkan aura keibuan.Pak Lana cekatan memegang tangan Sarti, kemudian berbisik, “Kayaknya udah s
Setelah melalui bermacam ritual keagamaan secara Hindu, akhirnya Sarti sah menjadi istri kedua Pak Lana. Sesaat setelah acara usai Pak Lana berbisik pelan sembari menggandeng tangan istrinya.“Kita bulan madu, Sayang. Ada surprise untuk wanita tercantik Papi.”“Apaan sih, Pi?”“Kalau dikasih tahu, bukan surprise namanya,” ucap Pak Lana menarik tangan sang istri ke arah mobil.Dalam perjalanan Sarti berulang kali bertanya dan selalu hanya dibalas senyuman oleh Pak Lana. Dia pun semakin dibuat penasaran oleh tingkah suaminya itu. Sarti pun hanya bisa cemberut. Pak Lana yang jahil, makin tertawa lebar saat melihat sang istri cemberut. Sampai akhirnya, mobil sudah memasuki gerbang sebuah perumahan.Saat mulai memasuki jalan perumahan hanya ditemui rumah-rumah berjejer, Sarti pun semakin dibuat bingung. Apa maksud suaminya dengan berbulan madu
“Matur suksma nah. Kirain sudah tak mau kenal Bli lagi. Telah menyakiti Mbok Yan kamu. Bli udah lama pengen punya anak,” ucap Pak Lana sembari mengiringi langkah Wayan Suri keluar rumah.Sarti memegang tangan Wayan Suri, tak menyangka ada orang sebaik ini. Padahal dia saudara dekat Bu Lana. Masih punya hati welas asih sesama, tak menaruh benci, walau sang sepupu telah disakiti hatinya.“Terima kasih banyak, Mbok. Hanya Tuhan yang bisa membalasnya. Aku tak bisa kasih apa-apa, kapan pun mau main sini, silakan! Pintu kami selalu terbuat untuk Mbok Gek,” ucap Sarti sembari menitikkan air mata.Wayan Suri menghadap ke Sarti, dielusnya perut wanita cantik di depannya ini lembut.“Nggak usah mikir apa-apa, Mbak. Tolong jagain ponakanku, ya. Jangan terlalu capek. Jaga kesehatan, makan makanan bergizi. Semoga nggak rewel lagi perutnya. Pamit ya, Mbak. Pamit, Bli!&rdqu
Semalam Ni Kesumasari—nama gadis Bu Lana—dapat balasan pesan dari Pak Lana. Pagi ini masih berpakaian adat karena habis selesai melakukan sembahyang di sanggah, Ni Kesumasari pergi ke rumah baru untuk memberikan pisang.Dia mengendarai motor perlahan sembari mengamati jalan. Wanita bermuka oval ini baru pertama kali berkunjung ke rumah madunya dan sebelumnya tak pernah melewati daerah ini. Wanita berambut digulung ini harus sering-sering mengamati gps yang sengaja ditaruh di holder.Untunglah rumah baru yang ditempati Pak Lana dan Sarti terletak di pinggir jalan, sehingga mudah diketemukan. Rumah besar dengan pagar tinggi berwarna putih, kini berada tepat di depannya. Sarti turun dari motor lalu menekan bel. Beberapa saat terlihat dari celah-celah besi gerbang seorang wanita separuh baya mendekat.“Selamat siang, Bu. Maaf cari siapa ya?” tanya wanita tersebut.“Selamat s
Malam Kajeng Kliwon tiba membawa kesan mistis di lingkungan sekeliling. Hawanya lain dari malam biasanya. Kajeng Kliwon adalah saat bertemunya energi dalam alam semesta yang ada di Bhuana Agung menyatu dalam Bhuana Alit atau tubuh manusia itu sendiri. Malam Kajeng Kliwon dipergunakan untuk berbuat ugig (sejenis pengeleakan, teluh dan sebagainya) oleh orang yang menekuni ilmunya. Pada waktu rerainan Kajeng Kliwon, saat itu bangkitnya Bhuta Kala (Bhebutan) yang merupakan kekuatan negatif. Anggapati/Bhuta Kala yang menghuni tubuh manusia dan makhluk lainnya, ikut bangkit. Ia akan mengganggu manusia apabila keadaannya sedang melemah atau dikuasai oleh angkara murka. Maka tidaklah mengherankan apabila ada manusia yang gelap mata tega membunuh teman, saudara, maupun orang tuanya sendiri. Saat itu manusia dikuasai oleh nafsu angkara murka. Dalam keadaan tersebut, manusia dikendalikan Bhuta Kala. Untuk menetralisir keadaan
“Jangan pura-pura! Sengaja betulin rumah Dadong untuk ambil alih, kan. Kami tau tipu muslihatmu, Nak Jawa!” Pria berkulit gelap ini berteriak berapi-api.“Kami? Dugaan kalian sekeluarga salah! Tanah itu milik Dadong dari gadis. Sebelum menikah dengan dengan suaminya,” ucap Ni Kesumasari dengan hati-hati lalu melanjutkan, “itu memang hak anak-anak kandungnya, meski wanita. Putu Adi telah dapat bagian setelah bapak angkatnya meninggal. Kemana itu? Kalian jual!”Ni Kesumasari kini tak dapat menahan emosi juga. Ia marah dengan keserakahan keluarga yang didatanginya. Putu Adi yang diangkat jadi anak sentana begitu mendapat harta warisan kembali ke keluarga asal.Ia dibujuk keluarganya untuk menjual harta tersebut tanpa menghiraukan upacara keluarga dan kehidupan Dadong Canangsari. Kini, bapaknya masih ingin menguasai tanah milik Dadong pula.Pria tukang judi ini telah menghabiskan harta peninggalan suami Dadong untuk b
“Astaghfirullah! Dari darah?”Semua yang ada di situ terkejut mendengar penjelasan dari Ni Kesumasari. Mereka terkesima sekaligus ngeri saat melihat warna merah pada tenun tersebut. Seketika bayangan mereka melayang sibuk mereka-reka cara mendapatkan darah untuk proses membatik.“Apa pun itu, yang penting dengan kamen ini Mak Nah telah dipercaya Bik Tut untuk menyelesaikan masalah kita sekarang,” kata Ni Kesumasari menatap ke arah Mak Nah.“Insyaallah Mak Nah bantu sebisanya. Tapi, gimana caranya, Mbok Yan?” tanya Mak Nah.Semua saling pandang, termasuk Mak Nah dan Lek Dirman yang diberi barang wasiat oleh Dadong Canangsari.“Setau tyang, tinggal pake aja, Mak. Oh, ya. Bungan sandat selipkan di atas telinga kiri dan sunggar di bagian rambut depan. Sayang, gak ada kebaya Meme,” ucap Wayan Suri dengan nada menyesal.“Mbok Yan ada warisan kebaya dari Bik Tut.”“Wah bisa ke
Hingga mobil sampai rumah pun, belum ada sepatah kata dari mereka. Bang Deni memarkirkan mobil di luar gerbang karena ia harus segera berangkat kerja.Pria ini berniat ke kebun belakang ingin memastikan penglihatan sebelum berangkat ke rumah Bik Mang tadi. Rasa penasaran yang memenuhi otaknya sepanjang perjalanan barusan.Tiga wanita bersaudara telah melangkah meninggalkan mobil lalu menuju dapur. Mereka kehausan, lebih tepatnya efek dari rasa kecewa telah mengeringkan tenggorokan dan dada. Mak Nah melihat mereka dengan rasa penasaran.“Gak ketemu lagi?”“Bukan gak ketemu. Ia sengaja sembunyi, Mak,” kata Ni Kesumasari bisa dibilang sebuah keluhan lalu mengambil botol mineral dari dalam kulkas.“Maaf, kalo boleh Mak Nah tau. Ada masalah apa?”“Oh, iya. Mak Nah belum tau ini. Bik Mang mencuri sunggar emas Bik Tut dan juga sebagian kulitnya diiris,” jawab Ni Kesumasari sambil menahan rasa sesak.
“Bang, aku harus segera ke Bik Mang, “ucap Ni Kesumasari sambil meminum teh hangatnya. “Yang penting harus segar dulu. Entar Abang yang antar,”sahut Bang Deni sambil berdiri. “Mau ke mana, Bang?” tanya sang calon istri. “Mau minum kopi. Tadi Abang taruh di meja depan sambil nunggu kalian siuman,” jawab pria berambut lebat ini sambil berlalu. “Mak Nah permisi ke dapur dulu. Tadi bawa pisang, mau bikin pisang goreng.” “Enak itu, Mak. Perlu bantuan?” “Gak usah, matur nuwun. Mbak Ning, rehat dulu. Barusan siuman juga,” ucap Mak Nah menepuk bahu Ningsih lalu balik badan lalu keluar kamar. Kini tinggal tiga bersaudara saling menatap dan segera tersenyum begitu menyadari bahwa mereka saling menunggu untuk berbicara duluan. “Okey, Mbok Yan yang ngomong dulu. Bisa jadi Bik Mang telah dapat darah kita buat ritual.” “Adi, Mbok Yan ngomong keto?” “Kamu gak diberitahu Bik Tut?” “Gak tuh, Mbok,” jawab Wa
Polisi segera membuat garis kapur di TKP. Para petugas mengambil beberapa foto di tempat tersebut. Pak Lana, Lek Dirman, Bang Deni, dan kedua tukang ikut ke kantor polisi untuk diminta keterangan.Setelah kepergian para aparat dan kelima pria ke kantor polisi, ketiga wanita berembuk secara serius.“Suri, kira-kira siapa?”“Kok aku yang ditanya Mbok Yan?”“Lah iyalah. Secara, kamu yang lebih peka dibanding kami,” sahut Ningsih sambil senyum meledek ke arah sang adik.“Sejak awal aku menduga, Bik Mang.”“Mbok Yan juga,” timpal Ni Kesumasari lalu berpaling ke arah Ningsih.“Aku belum pernah ketemu Bik Mang. Kemarin diajak Suri ke sana juga gak ketemu.”“Mbok Ning udah liat orangnya. Di Labfor Polri kemarin itu,” ucap Wayan Suri mengingatkan kakaknya.“Oh ya. Mbok baru ingat sekarang. Bik Mang sempat bantuin masak di sini dan juga semba
Ada apa dengan keluarga Bik Mang?Semoga Bik Mang belum sempat mempraktekkan ilmu itu.Sejak kapan mereka tahu cara curi ilmu?Ni Kesumasari semakin pusing dengan berbagai pertanyaan yang menumpuk satu persatu dalam benak. Ia belum bisa menemukan jawaban hingga mobil yang mereka tumpangi meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Wayan Suri belum beranjak meski Bang Deni telah memberi kode klakson.Mobil semakin menjauh, justru motor Wayan Suri semakin mendekat ke arah hutan. Ia melihat bayangan seseorang melangkah di antara pohon-pohon jati.Bayangan itu pasti salah satu dari anggota keluarga Bik Mang, batin wanita berpinggang ramping ini.Wayan Suri ingin masuk ke hutan, tapi hati nurani melarang. Akhirnya, terpaksa balik arah untuk mengejar mobil Bang Deni. Ia berpikir akan menceritakan hal ini kepada ketiga kerabatnya dan bisa jadi pendukung anggapan mereka belakangan ini.Mereka hanya ingin membantu Bik Mang agar tak terjebak r
“Cicing cai! Panak tyang mati, bangka caine!” teriak Ningsih dengan mata memerah.Tangan wanita berdarah Jawa yang telah dirasuki roh Dadong Canangsari telah terangkat dan Ni Kesumasari buru-buru memeluknya.“Bik Tut, tenang! Tyang akan ngajak ngomong ke dia. Percaya ke tyang! Ini bukan jalan terbaik,” ucap wanita mualaf ini dengan sesengukan.“Wak, tolong pulang dulu. Nanti kita ke rumah Wak. Sayang nyawa,” ujar Wayan Suri sembari membantu pria ini untuk bangkit.Meski dengan ekspresi tak senang, suami Bik Mang mau menuruti kata-kata Wayan Suri. Ia berlari ke arah motor lalu menstater dan berlalu dengan kepulan asap motor dua tak.Begitu suami Bik Mang sudah pergi, tubuh Ningsih seketika lunglai dan hampir jatuh ke lantai. Beruntung Ni Kesumasari dan Wayan Suri telah sigap menangkap tubuhnya. Tubuh wanita keturunan Jawa ini dibopong ke ruang tengah lalu dibaringkan di sofa.“Ningsih ... ningsih,&rdq
Mereka lega telah memiliki beberapa foto adegan dalam rekaman yang dianggap penting. Kakak beradik ini mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan para petugas lalu mohon diri kepada sang kepala dan anak buahnya.Langkah keduanya menuju tempat parkir diisi pembahasan langkah selanjutnya yang akan dilakukan. Tanpa sengaja, pandangan Wayan Suri tertuju kepada seorang wanita yang berjalan mengendap-endap dari tempat parkir motor menuju bagian samping gedung.Wayan cekatan menarik tangan sang kakak diajak bersembunyi di balik tembok ruang lapor. Ningsih hanya bisa bengong saat diajak memindai gerak-gerik wanita itu.“Itu yang kita cari tadi, Mbok.”“Bik Mang?”“Iya. Dia adik ipar Bapak.”Setelah wanita yang diintip telah berlalu, mereka keluar dari tempat persembunyian lalu berjalan ke tempat parkir. Sejurus kemudian motor telah membawa keduanya berbaur dalam keramaian jalan raya.Perjalanan menempuh j
“Berapa orang?” tanya Ningsih sambil mengambil piring dari rak lalu ditaruh di meja.“Sekitar 20 orang termasuk tukang, Bli Yan dan Pak Lana,” jawab Wayan Suri sembari membantu menaruh teko kopi dan teh di nampan.“Jangan lupa gelasnya,” ucap Ningsih sembari menata beberapa gelas di nampan lain.“Udah komplit. Tolong bawa ke sana! Biar segera sarapan. Untuk kita udah Mbok siapin di wajan,” kata Ni Kesumasari.Mereka melangkah keluar dari dapur menuju teras rumah besar. Pak Lana dan Lek Dirman telah selesai mempersiapkan meja panjang untuk tempat menaruh sarapan.“Kita perlu ngomong bertiga. Ada leak baru di daerah ini,” ucap Wayan Suri kepada kedua saudaranya.“Kamu tau dari mana?” tanya Ni Kesumasari terkejut.Ketiga wanita ini kemudian melangkah ke dapur dan duduk di dipan. Wayan Suri menatap Ni Kesumasari lekat-lekat. Terang saja pandangan mata sang adik sepupu