Keesokan harinya, Sarti sudah siap ditemani Jamal pergi ke Puskesmas.
Pak Wayan Lana, tetangga depan sekaligus pemilik kompleks kos sudah berjanji mau mengantar mereka. Jamal dan Sarti sedang menunggu kedatangan Pak Wayan Lana.
"Selamat Pagi." Dadong Canangsari datang menghampiri mereka.
"Selamat Pagi, Dong," sahut Sarti.
"Mau kemana, Gek? *nu semengan sube jegeg sajan," ucap Dadong sambil melirik perut Sarti yang sudah kempis.
"Kami mau ke Puskesmas, periksa, Dong," jawab Jamal lalu Sarti mengangguk.
"Siapa yang sakit?" Dadong pura-pura tak tahu soal tragedi semalam.
"Saya, Dong. Bayi saya hilang semalam." Sarti menjelaskan sambil menunduk, tak terasa buliran-buliran bening menetes di kedua pipinya. Rasa kehilangan itu kembali muncul, menekan batinnya. Jamal meraih bahu Sarti lalu merengkuhnya dalam dekapan. Sesekali tangan Jamal mengelus lembut kepala sang istri.
"Ampura, tyang sing tawang. Sabar, Gek! Mohon sama Sang Hyang Widhi, agar diberi titipan lagi," ucap Dadong pura-pura ikut sedih.
Dadong mendekati Sarti lalu mengusap lembut punggung wanita muda yang sedang terisak-isak dalam dekapan Jamal.
Sebuah kresek hitam besar, ditaruh Dadong di atas meja teras.
"Ini, Dadong tadi habis panen dari kebun. Ada pisang dan sedikit sayur bisa dipakai masak."
"Terima kasih, Dong," ucap Sarti sudah mulai reda tangisnya. Wanita muda ini menyalami tangan keriput Dadong. Ia berpikir nenek yang biasa jualan canangsari ini sangat perhatian pada keluarganya. Padahal tempat tinggal Dadong ini agak jauh dari kompleks indekos. Sarti menghitung telah tiga kali ini Dadong memberi hasil kebun padanya. Setiap pemberiaannya selalu ada buah pisang.
"Sabar, Gek! Dadong berdoa, mudah-mudahan segera dikasih titipan sama Sang Hyang Widhi lagi," ucapan Dadong terdengar bijaksana di telinga pasutri ini.
"Terima kasih doanya, Dong," jawab Jamal sembari membimbing Sarti ke tempat duduk.
"Dadong pamit ya. Semoga cepat sehat lagi, Gek." Dadong Canangsari kemudian pamit dengan jalan lebih tegak dari biasanya melangkah keluar halaman kompleks indekos.
Pasutri ini tidak menyadari bahwa makhluk satu ini yang telah begitu tega mengambil paksa janin dari rahim Sarti semalam. Demi sebuah ritual pemujaan ilmu sesat sosok janin yang belum sempat terlahir harus jadi korban.
Tak seberapa lama, mobil Pak Wayan Lana terlihat memasuki kompleks indekos. Mobil warna putih tersebut sempat terhenti saat berpapasan dengan Dadong. Dari kejauhan Jamal dan Sarti sempat melihat jendela mobil terbuka separuh, terdengar agak samar-samar pengemudi dengan Dadong berbicara. Terlihat wanita tua itu menggeleng lalu pergi menjauh. Tak lama kemudian mobil mendekat ke arah pasutri yang sedang berdiri menunggu lalu berhenti tepat di depan mereka.
"Selamat Pagi, Jamal, Sarti, sudah siap berangkat?" sapa Pak Wayan Lana ramah sambil turun dari mobil.
"Selamat Pagi, Pak. Kami sudah siap," balas Jamal sambil tersenyum.
Jamal memapah Sarti menuju mobil. Pak Lana segera membuka pintu mobil untuk Sarti dan Jamal.
“Dadong tadi ngapain ke sini?” tanya Pak Lana penasaran. Dadong ini tak biasanya mau mendatangi kompleks indekos miliknya.
Pak Lana sampai hampir bersamaan dengan kedatangan Lek Dirman berboncengan dengan Mak Nah pulang dari pasar.
"Udah siap pergi, Le, Nduk?" sapa Lek Dirman.
"Udah siap, Lek. Sengaja lebih pagi, biar nggak ngantri lama," sahut Jamal.
"Mak perlu ikut juga?" tanya Mak Nah menatap Jamal dan Sarti penuh kecemasan.
"Gak usah, Mak di rumah saja, kan udah ditemani Pak Wayan juga," jawab Jamal.
"Oh ya, Mak, tadi Dadong Canangsari ke sini memberi sayuran, ada di teras, tolong dimasukkan, ya!" timpal Sarti.
"Sudah, sudah, Pak Dirman dan Bu Nah nggak perlu khawatir. Saya akan jaga mereka sepenuh hati," ucap Pak Wayan Lana.
Akhirnya mobil melaju keluar dari kompleks indekos. Lek Dirman dan Mak Nah berdiri menunggu sampai mobil hilang dari pandangan.
Mobil menuruni jalan arah ke Jimbaran, terlihat pantai Tanjung Benoa di arah depan. Jalan diapit tebing batu di sebelah kanan, jurang di sebelah kiri. Sesekali satu dua ekor monyet melintas di aspal, suara anjing liar menggonggong di semak-semak hutan.
Pak Wayan Lana sengaja melintas di jalan sini karena jalan ke arah Pantai Pandawa ditutup, kebetulan ada upacara adat desa Kutuh.
Mobil berbelok masuk Jalan. Uluwatu II lurus menuju Jalan. By Pass Nusa Dua.
Setelah hampir tiga puluh menit di jalan, akhirnya sampai tujuan. Mobil berhenti tepat di depan pintu gerbang Puskesmas Kuta Selatan.
"Dik Jamal, Dik Sarti, maaf ... saya nggak bisa ikut antar ke dalam. Saya mau service mobil ke bengkel. Kalau sudah selesai periksa, tolong tunggu saya. Nanti saya jemput," pesan Pak Wayan Lana pada Jamal dan Sarti.
Mata Pak Wayan Lana menatap ke tubuh Sarti, penuh makna.
Sarti merasakan keanehan itu tanpa disadari oleh Jamal.
Ada maksud tersirat di balik kebaikan Pak Wayan Lana ini, yang akan saya ungkap selanjutnya.
"Terima kasih banyak, Pak. Sudah diantar sampai sini. Biarlah, kami nanti naik taksi online saja," jawab Jamal merasa canggung dengan kebaikan Pak Wayan Lana.
"Gak pa pa, Dik Jamal, udah kewajiban saya. Sebagai sesama manusia harus saling bantu. Kebetulan hari ini saya libur."
"Terima kasih sebelumnya, Pak," ucap Jamal.
Mobil Pak Wayan Lana memutar balik arah ke Jalan. By Pass arah ke Jalan. Pratama.
Jamal membimbing Sarti untuk duduk di ruang tunggu. Sejurus kemudian, Jamal menuju loket pendaftaran. Keadaan masih lengang, hanya butuh beberapa menit proses pendaftaran selesai. Jamal segera menghampiri sang istri lalu duduk tepat di sebelah kanan Sarti.
Beberapa meter dari mereka, seorang nenek renta berkamben lusuh, duduk menunggu di pintu keluar Puskesmas.
*"Bli, demen hati tyang, jani," ucap Ni Luh Dewi manja pada Komang Wiratama, sang suami.
"Nah ... nah, patuh gen ajak hati Beline," sahut sang suami, "ulian jani lebih waspada, jaga kondisi kandungan, sing liu ngelah gaya, sing misi nge"dance" overacting."
Komang Wiratama melingkarkan tangan ke perut sang istri. Ia menatap mesra pada sang istri. Ni Luh Dewi masih sibuk mengamati hasil laboratorium.
Sang Nenek yang duduk tak jauh dari mereka, menyeringai disertai desisan lirih dari bibir keriput.
"Dadong, akan segera menjemput janinmu, *Gek.”
***
Ikuti kelanjutan ceritanya ya! Dijamin makin seru.
Catatan kaki:
(* Wayan/Gede/Putu = anak pertama
(*nu semengan sube jegeg sajan = masih pagi sudah cantik saja)
(*Ampura, tyang sing tawang = Maaf, saya tidak tahu)
(*”Bli, demen hati tyang, jani.”=
Bang, senang hati saya, sekarang.
("Nah ... nah, patuh gen ajak hati Beline," sahut sang suami, (“ulian jani lebih waspada, jaga kondisi kandungan, sing liu ngelah gaya, sing misi nge"dance" overacting."=
(*Ya ... ya, sama juga dengan hati Abang,
(*mulai sekarang lebih waspada, jaga kondisi kandungan, tidak banyak gaya, tidak isi nge"dance" berlebihan).
(*Komang/Nyoman = anak ketiga).
(*Gek = panggilan untuk anak perempuan).
Jalan beraspal yang basah, sehabis diguyur hujan. Hanya ada satu dua orang berkendara. Jalan ini selalu lengang selepas sunrise dan akan mulai ramai lagi menjelang sunset tiba. Di sisi kanan menjelang pertigaan arah menuju Pantai Matahari Terbit terdapat sebuah rumah berornamen Bali. Berhalaman luas yang asri, jepun jepang berjejer rapi mengelilingi pagar rumah. Terlihat pasutri memasuki halaman rumah. "Om Swastyastu ... Bapa ... Meme." Komang Wiratama berteriak memberi salam. "Rumah sepi, Bli." Ni Luh Dewi mengedarkan pandangan ke segenap halaman. "Coba, Bli Mang telepon Bapa!" pinta Ni Luh Dewi pada sang suami. Komang Wiratama mengeluarkan ponsel dari saku celana. Sesaat mencoba menghubungi ke nomor bapanya. Beberapa kali melakukan panggilan, tidak ada nada sambung. "Gek, nomor Bapa tidak aktif." "Bli, bagaimana kalau kita susul Meme ke pasar? Mungkin masih di warung." "Mai, na'e," sahut Komang Wiratama sambil menghidupkan mesin motor. **** Mereka menyelusuri jalan
Komang Wiratama dan Ni Luh Dewi hanya semalam menginap di rumah Sanur. Keesokan harinya, mereka sudah balik ke kontrakan di Nusa Dua. Setelah menempuh perjalanan satu jam, mereka sampai di Nusa Dua. Ni Luh Dewi masuk kerja sore hari, sedangkan Komang Wiratama sengaja tutup toko hari ini. Komang Wiratama adalah seorang seniman tato, dia mempunyai tempat tato di daerah Legian. Hari ini, Komang Wiratama ada booking service ke tempat pelanggan di Sidakarya. ***** Setelah ganti baju, kedua pasutri ini duduk santai di teras rumah. Mereka mlelihat hilir mudik orang di depan rumah. Komang tak bosan-bosannya mengelus perut sang istri. Tampak jelas raut kebahagiaan di wajahnya. Perut Ni Luh Dewi dielus-elus sesekali digelitik tangan jahil Komang yang membuat sang istri menggeliat kegelian. "Bli Mang, geli tahu!" Komang seakan tidak menghiraukan protes sang istri, terus saja menggelitik. Tiap Ni Luh Dewi menggeliat, dia terbahak. "Hoek ... hoek ... hoek ...." Ni Luh Dewi berl
Dalam perjalanan pulang, mereka akan menyempatkan diri mampir ke rumah seorang teman kerja Ni Luh Dewi.Kebetulan hari ini, sang teman lain sif dengan Ni Luh Dewi. Sang teman masuk sif pagi, biasanya pulang jam tiga sore. Di tengah perjalanan Ni Luh Dewi merajuk pada sang suami."Bli Mang, simpang ke warung Bu Oki, ya ... ya?""Dekat toko Nirmala, situ?""Ya, Bli ... lapar nih."Akhirnya motor yang mereka kendarai belok kiri masuk gang menuju Warung Bu Oki.Komang Wiratama mencari tempat parkir yang teduh. Meskipun jam sudah menunjukkan pukul empat sore, panas masih terasa menyengat.Banyak pasang mata mengamati kedatangan dua sejoli ini. Maklum saja tampilan visual pasangan ini mirip artis.Komang Wiratama adalah pria maskulin, berpostur tubuh seratus delapan puluh lima sentimeter, ditopang bentuk tubuh proposional, ditunjang raut wajah mirip a
Bayangan hitam memutar mencari celah untuk masuk ke pelataran rumah. Alunan Gayatri Mantram mengalun, menggema, merasuki setiap inci pelataran serta setiap sudut ruangan. Embusan napas serta setiap lafal mantra yang terucap dari kedua insan adalah angin suci berisi untaian kidung pemujaan pada Sang Hyang Pemilik Hidup. Bayangan hitam menggeliat, mengejang tak mampu melewati pagar pembatas yang tercipta oleh alunan Gayatri Mantram. Semakin kuat, dia mencoba menerobos, semakin kuat pula jala alunan Gayatri Mantram mengempas, menghentakan. Bayangan hitam melesat tinggi menggapai arah genting rumah. Dia tak mampu menerobos kekuatan suci Gayatri Mantram. Kekuatan mantra laksana jala raksasa yang mencengkeram erat, menutup seluruh pelataran serta rumah. Akhirnya sang bayangan terempas keras, seluruh sendi-sendi kekuatan magisnya remuk. Dia menggeliat, menggelepar dan raib terbawa embusan angin, menyisak
Serangan angin hanya melanda kamar mereka saja. Aneh bin ajaib. Sungguh kekuatan setan mampu membuat nyali ciut bagi orang-orang yang tak beriman."Alhamdulillah, Bu! Sudah reda anginnya. Ayo, buka mata!" Pria tersebut menepuk halus pipi istrinya yang masih diliputi perasaan khawatir. Wanita itu baru berani membuka mata, setelah tahu angin sudah menghilang, dia langsung sujud syukur sambil terisak-isak. Allah masih melindungi mereka.“Alhamdulillah! Terima kasih, Ya Allah! Pak kita selamat," ucapnya sambil menyeka buliran bening dari kedua sudut mata serta pipi. Mereka berpelukan, merasa lega, terlepas dari serangan angin setan.Tetangga Indekos mendatangi kamar mereka. Suara angin ribut serta suara hentakan pintu kamar yang diterjang oleh angin, mendatangkan rasa penasaran mereka. Di antara orang-orang yang berkerumun, terdapat pasangan yang baru saja kehilangan janin secara gaib dua minggu lalu.
Kobaran api yang membumbung tinggi dan suara petir yang menggelegar, menarik perhatian warga sekitar, termasuk penghuni kompleks indekos. Warga berhamburan ke tempat kejadian, begitu sampai di tempat bekas kebakaran, mereka hanya mampu tertegun.Kediaman Dadong Canangsari hanya menyisakan puing-puing berserakan beserta bara api. Warga bergotong royong memadamkannya.Anehnya, bara api hanya membumi hanguskan bangunan rumah saja, tak sampai merembet ke tempat lain. Ketika api sudah mulai padam, terdengar jeritan seorang wanita.“Bik Tut, Bik Tut ... apa yang terjadi?”Rupanya Ni Wayan Kesumasari yang baru saja datang dari bepergian, terlihat terkejut melihat musibah yang dialami bibiknya. Wanita itu tak menyangka nasib Dadong Canangsari akan setragis itu.Akhirnya, berdua dengan Wayan Lana-- suaminya-- dibantu oleh warga berusaha mencari keberadaan jasad Dad
Kejadian ini terjadi beberapa hari sebelum jasad Dadong Canangsari menghilang dalam musibah kebakaran yang menimpa rumah wanita renta itu. Telah beberapa malam wanita renta tersebut mengalami mimpi yang mengerikan dan selalu dengan mimpi yang sama. Wanita itu telah merasa hal tersebut adalah sebuah firasat jika waktunya telah dekat. Sang Dadong merasa sudah saatnya mempersiapkan segala urusan termasuk mempersiapkan calon penerus ilmu.Dari pagi buta dia sudah mempersiapkan barang dagangan sekalian menyisakan beberapa canang dan tambahan untuk ritual nanti malam di rumah Wayan Suri, anaknya. Dia berencana meminta tolong keponakannya untuk mengantar ke Denpasar.Sesaat sebelum Dadong Canangsari akan pergi ke pasar untuk berjualan canang tak sengaja bertemu keponakannya. Ni Wayan Kesumasari lewat tepat di depan rumah Dadong Canangsari. Mereka masih saudara dekat, Ni Wayan Kesumasari adalah anak dari kakak perempuan Dadong Canangsari. Begitu mel
Kepergian Dadong Canangsari meninggalkan tugas untuk keturunannya. Sebuah ilmu harus diemban, tapi siapakah yang telah menerima ilmu tersebut? Cahaya yang keluar sesaat setelah tubuh Dadong Canangsari tewas telah menemukan raga yang lain. Tak ada yang tahu, siapa yang telah menerima ilmu tersebut.Wayan Suri, putri Dadong Canangsari tak merasa kemasukan cahaya ilmu tersebut. Tak juga dirasakan oleh Kesumasari, keponakan Dadong. Kedua wanita dalam garis keluarga itu saling bertanya.Ke manakah cahaya kuning ilmu tersebut?Sejenak kita melangkah, menilik masa lalu kehidupan Dadong Canangsari.Saat itu di usia dua puluh tahun, Dadong Canangsari merantau ke Jawa karena perpindahan tempat kerja. Perusahaan ekspedisi tempat dia bekerja membuka cabang baru di salah satu kota besar di Jawa. Setahun bekerja di sana, Dadong Canangsari muda, kala itu masih memakai nama gadis, I Ketut Sulastri, menjalin hu
“Jangan pura-pura! Sengaja betulin rumah Dadong untuk ambil alih, kan. Kami tau tipu muslihatmu, Nak Jawa!” Pria berkulit gelap ini berteriak berapi-api.“Kami? Dugaan kalian sekeluarga salah! Tanah itu milik Dadong dari gadis. Sebelum menikah dengan dengan suaminya,” ucap Ni Kesumasari dengan hati-hati lalu melanjutkan, “itu memang hak anak-anak kandungnya, meski wanita. Putu Adi telah dapat bagian setelah bapak angkatnya meninggal. Kemana itu? Kalian jual!”Ni Kesumasari kini tak dapat menahan emosi juga. Ia marah dengan keserakahan keluarga yang didatanginya. Putu Adi yang diangkat jadi anak sentana begitu mendapat harta warisan kembali ke keluarga asal.Ia dibujuk keluarganya untuk menjual harta tersebut tanpa menghiraukan upacara keluarga dan kehidupan Dadong Canangsari. Kini, bapaknya masih ingin menguasai tanah milik Dadong pula.Pria tukang judi ini telah menghabiskan harta peninggalan suami Dadong untuk b
“Astaghfirullah! Dari darah?”Semua yang ada di situ terkejut mendengar penjelasan dari Ni Kesumasari. Mereka terkesima sekaligus ngeri saat melihat warna merah pada tenun tersebut. Seketika bayangan mereka melayang sibuk mereka-reka cara mendapatkan darah untuk proses membatik.“Apa pun itu, yang penting dengan kamen ini Mak Nah telah dipercaya Bik Tut untuk menyelesaikan masalah kita sekarang,” kata Ni Kesumasari menatap ke arah Mak Nah.“Insyaallah Mak Nah bantu sebisanya. Tapi, gimana caranya, Mbok Yan?” tanya Mak Nah.Semua saling pandang, termasuk Mak Nah dan Lek Dirman yang diberi barang wasiat oleh Dadong Canangsari.“Setau tyang, tinggal pake aja, Mak. Oh, ya. Bungan sandat selipkan di atas telinga kiri dan sunggar di bagian rambut depan. Sayang, gak ada kebaya Meme,” ucap Wayan Suri dengan nada menyesal.“Mbok Yan ada warisan kebaya dari Bik Tut.”“Wah bisa ke
Hingga mobil sampai rumah pun, belum ada sepatah kata dari mereka. Bang Deni memarkirkan mobil di luar gerbang karena ia harus segera berangkat kerja.Pria ini berniat ke kebun belakang ingin memastikan penglihatan sebelum berangkat ke rumah Bik Mang tadi. Rasa penasaran yang memenuhi otaknya sepanjang perjalanan barusan.Tiga wanita bersaudara telah melangkah meninggalkan mobil lalu menuju dapur. Mereka kehausan, lebih tepatnya efek dari rasa kecewa telah mengeringkan tenggorokan dan dada. Mak Nah melihat mereka dengan rasa penasaran.“Gak ketemu lagi?”“Bukan gak ketemu. Ia sengaja sembunyi, Mak,” kata Ni Kesumasari bisa dibilang sebuah keluhan lalu mengambil botol mineral dari dalam kulkas.“Maaf, kalo boleh Mak Nah tau. Ada masalah apa?”“Oh, iya. Mak Nah belum tau ini. Bik Mang mencuri sunggar emas Bik Tut dan juga sebagian kulitnya diiris,” jawab Ni Kesumasari sambil menahan rasa sesak.
“Bang, aku harus segera ke Bik Mang, “ucap Ni Kesumasari sambil meminum teh hangatnya. “Yang penting harus segar dulu. Entar Abang yang antar,”sahut Bang Deni sambil berdiri. “Mau ke mana, Bang?” tanya sang calon istri. “Mau minum kopi. Tadi Abang taruh di meja depan sambil nunggu kalian siuman,” jawab pria berambut lebat ini sambil berlalu. “Mak Nah permisi ke dapur dulu. Tadi bawa pisang, mau bikin pisang goreng.” “Enak itu, Mak. Perlu bantuan?” “Gak usah, matur nuwun. Mbak Ning, rehat dulu. Barusan siuman juga,” ucap Mak Nah menepuk bahu Ningsih lalu balik badan lalu keluar kamar. Kini tinggal tiga bersaudara saling menatap dan segera tersenyum begitu menyadari bahwa mereka saling menunggu untuk berbicara duluan. “Okey, Mbok Yan yang ngomong dulu. Bisa jadi Bik Mang telah dapat darah kita buat ritual.” “Adi, Mbok Yan ngomong keto?” “Kamu gak diberitahu Bik Tut?” “Gak tuh, Mbok,” jawab Wa
Polisi segera membuat garis kapur di TKP. Para petugas mengambil beberapa foto di tempat tersebut. Pak Lana, Lek Dirman, Bang Deni, dan kedua tukang ikut ke kantor polisi untuk diminta keterangan.Setelah kepergian para aparat dan kelima pria ke kantor polisi, ketiga wanita berembuk secara serius.“Suri, kira-kira siapa?”“Kok aku yang ditanya Mbok Yan?”“Lah iyalah. Secara, kamu yang lebih peka dibanding kami,” sahut Ningsih sambil senyum meledek ke arah sang adik.“Sejak awal aku menduga, Bik Mang.”“Mbok Yan juga,” timpal Ni Kesumasari lalu berpaling ke arah Ningsih.“Aku belum pernah ketemu Bik Mang. Kemarin diajak Suri ke sana juga gak ketemu.”“Mbok Ning udah liat orangnya. Di Labfor Polri kemarin itu,” ucap Wayan Suri mengingatkan kakaknya.“Oh ya. Mbok baru ingat sekarang. Bik Mang sempat bantuin masak di sini dan juga semba
Ada apa dengan keluarga Bik Mang?Semoga Bik Mang belum sempat mempraktekkan ilmu itu.Sejak kapan mereka tahu cara curi ilmu?Ni Kesumasari semakin pusing dengan berbagai pertanyaan yang menumpuk satu persatu dalam benak. Ia belum bisa menemukan jawaban hingga mobil yang mereka tumpangi meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Wayan Suri belum beranjak meski Bang Deni telah memberi kode klakson.Mobil semakin menjauh, justru motor Wayan Suri semakin mendekat ke arah hutan. Ia melihat bayangan seseorang melangkah di antara pohon-pohon jati.Bayangan itu pasti salah satu dari anggota keluarga Bik Mang, batin wanita berpinggang ramping ini.Wayan Suri ingin masuk ke hutan, tapi hati nurani melarang. Akhirnya, terpaksa balik arah untuk mengejar mobil Bang Deni. Ia berpikir akan menceritakan hal ini kepada ketiga kerabatnya dan bisa jadi pendukung anggapan mereka belakangan ini.Mereka hanya ingin membantu Bik Mang agar tak terjebak r
“Cicing cai! Panak tyang mati, bangka caine!” teriak Ningsih dengan mata memerah.Tangan wanita berdarah Jawa yang telah dirasuki roh Dadong Canangsari telah terangkat dan Ni Kesumasari buru-buru memeluknya.“Bik Tut, tenang! Tyang akan ngajak ngomong ke dia. Percaya ke tyang! Ini bukan jalan terbaik,” ucap wanita mualaf ini dengan sesengukan.“Wak, tolong pulang dulu. Nanti kita ke rumah Wak. Sayang nyawa,” ujar Wayan Suri sembari membantu pria ini untuk bangkit.Meski dengan ekspresi tak senang, suami Bik Mang mau menuruti kata-kata Wayan Suri. Ia berlari ke arah motor lalu menstater dan berlalu dengan kepulan asap motor dua tak.Begitu suami Bik Mang sudah pergi, tubuh Ningsih seketika lunglai dan hampir jatuh ke lantai. Beruntung Ni Kesumasari dan Wayan Suri telah sigap menangkap tubuhnya. Tubuh wanita keturunan Jawa ini dibopong ke ruang tengah lalu dibaringkan di sofa.“Ningsih ... ningsih,&rdq
Mereka lega telah memiliki beberapa foto adegan dalam rekaman yang dianggap penting. Kakak beradik ini mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan para petugas lalu mohon diri kepada sang kepala dan anak buahnya.Langkah keduanya menuju tempat parkir diisi pembahasan langkah selanjutnya yang akan dilakukan. Tanpa sengaja, pandangan Wayan Suri tertuju kepada seorang wanita yang berjalan mengendap-endap dari tempat parkir motor menuju bagian samping gedung.Wayan cekatan menarik tangan sang kakak diajak bersembunyi di balik tembok ruang lapor. Ningsih hanya bisa bengong saat diajak memindai gerak-gerik wanita itu.“Itu yang kita cari tadi, Mbok.”“Bik Mang?”“Iya. Dia adik ipar Bapak.”Setelah wanita yang diintip telah berlalu, mereka keluar dari tempat persembunyian lalu berjalan ke tempat parkir. Sejurus kemudian motor telah membawa keduanya berbaur dalam keramaian jalan raya.Perjalanan menempuh j
“Berapa orang?” tanya Ningsih sambil mengambil piring dari rak lalu ditaruh di meja.“Sekitar 20 orang termasuk tukang, Bli Yan dan Pak Lana,” jawab Wayan Suri sembari membantu menaruh teko kopi dan teh di nampan.“Jangan lupa gelasnya,” ucap Ningsih sembari menata beberapa gelas di nampan lain.“Udah komplit. Tolong bawa ke sana! Biar segera sarapan. Untuk kita udah Mbok siapin di wajan,” kata Ni Kesumasari.Mereka melangkah keluar dari dapur menuju teras rumah besar. Pak Lana dan Lek Dirman telah selesai mempersiapkan meja panjang untuk tempat menaruh sarapan.“Kita perlu ngomong bertiga. Ada leak baru di daerah ini,” ucap Wayan Suri kepada kedua saudaranya.“Kamu tau dari mana?” tanya Ni Kesumasari terkejut.Ketiga wanita ini kemudian melangkah ke dapur dan duduk di dipan. Wayan Suri menatap Ni Kesumasari lekat-lekat. Terang saja pandangan mata sang adik sepupu