Jum'at kajeng kliwon, tepat tengah malam, dan saat sang rembulan sedang tersenyum lebar. Untuk memberikan cahayanya yang indah pada sebuah kompleks perumahan. Di kota metropolitan yang terkenal dengan sebutan Kota Para Raja—Singaraja.
Terlihat sesosok makhluk mistis sedang berdiri tegap di atap genting sebuah rumah mewah berlantai tiga. Sosok itu tampak terlihat sedikit gusar serta bosan karena sudah cukup lama ia berada di sana. Walau sorot matanya masih tetap tajam dalam mengamati keadaan sekitar.
Dan di saat rasa keputusasaan mulai hadir menyelimuti jiwanya. Sehingga ia hendak beranjak pergi meninggalkan tempat tersebut. Tiba-tiba saja muncul sekelebat bayangan hitam yang bergerak cepat menyelusuri jalan di sekitar kompleks perumahan itu.
Akhirnya—kau muncul juga, batinnya yang tampak senang sambil menyeringai hingga memperlihatkan barisan gigi yang runcing bagai seekor serigala.
Lalu ia mengikuti jejak sosok itu dengan melompat dari satu atap ke atap lainnya. Sambil menjaga jarak agar hawa kehadirannya tidak disadari oleh sang target. Selain itu, kedua kakinya saat mendarat pada tiap genting atau seng tampak begitu lembut. Sehingga tidak menimbulkan suara sama sekali yang bisa mengganggu tidur para warga yang tinggal di sana. Apalagi itu sudah larut malam—dini hari.
Dan ketika sosok yang diikutinya itu masuk ke sebuah bangunan yang tampak begitu besar, ia langsung menghentikan lompatannya. Tepat di sebuah rumah berlantai satu yang tidak jauh dari lokasi sang target. Hmm, apa yang sebenarnya ingin kau cari? Hingga harus masuk ke dalam sana, bisik hatinya dengan penuh tanda tanya.
Tak lama kemudian, setelah menyadari sesuatu dan mampu menebak apa yang menjadi tujuan sang target. Barulah ia menyusul masuk ke bangunan tersebut. Namun, mengambil arah yang berbeda dari sosok yang diikutinya itu.
Aku yakin kau pasti menuju ke ruangan itu. Yah, tidak salah lagi. Karena di sanalah kau menyimpan mereka semua, sebelum memakannya. Semoga saja aku tidak terlambat.
Baru saja hatinya berbisik seperti itu, tiba-tiba terdengar teriakan seorang perempuan yang sangat kencang. Hingga membuat ia terkejut dengan kedua bola mata yang mendelik tanpa menghentikan kedua kakinya yang sedang berlari. Malah ia semakin menambah kecepatan untuk segera menuju ke arah sumber suara tadi yang berasal di sebuah ruangan di ujung lorong bangunan tersebut.
"Sial! Sepertinya aku sudah terlambat." Kesalnya sambil menggemeretakkan gigi.
Dan begitu sampai di depan sebuah pintu besar berwarna coklat tua. Sosok berambut panjang itu langsung melancarkan bogem mentahnya dengan kekuatan penuh. Sehingga penghalang yang terbuat dari kayu jati itu seketika hancur berkeping-keping. Bersamaan dengan suara ledakan yang memekakkan indra pendengaran.
Tentu saja hal itu membuat sang target yang berada di ruangan tersebut menjadi kaget, dan seketika menghentikan kebuasannya dalam mencabik-cabik batang leher salah satu korbannya yang ada di sana. "Dasar pengganggu!" geram sosok itu setelah membuang sepotong daging yang digigitnya ke lantai.
"Cih! Dasar anjing keparat. Bisa-bisanya kau membuat kekacauan di sini. Sungguh kau makhluk rendahan."
Mendengar itu, sang target langsung tertawa keras lalu berkata, "Apa urusanmu dengan semua ini? Bukankah kita sama? Sama-sama leak, yang menjadikan manusia sebagai makanan." Sambil berdiri dan mencampakkan tubuh korbannya ke lantai dengan batang leher yang nyaris putus.
"Hmm, sepertinya kau memang buta. Hingga tidak melihat perbedaan kasta di antara kita .... "
"Kasta?" potong sosok itu sambil menyeringai dengan kedua bola mata yang nyaris meloncat keluar dari kelopaknya, "bagiku kau tampak sama denganku. Tidak ada yang berbeda. Apalagi wujudnya masih berupa manusia. Hanya saja rambutmu berwarna perak. Lagi pula, kenapa kau menutupi mulutmu dengan perban? Apa memang seperti itu wujud leakmu? Sungguh menyedihkan sekali."
Begitu sosok itu selesai bicara, tiba-tiba saja sebuah telapak tangan sudah berada sangat dekat dengan wajahnya. Tak ayal hal tersebut membuat ia kaget serta tidak mampu untuk menghindarinya.
"Sial!" teriaknya sebelum telapak tangan itu menghantam wajahnya yang membuat ia terpelanting jauh ke belakang.
Suara ledakan langsung terdengar keras, begitu tubuh sosok itu menghantam tembok. Sehingga menggetarkan seluruh ruangan serta menghasilkan debu pekat berwarna kecoklatan yang menutupi area sekitar.
"Bangsat kau makhluk setengah jadi!" teriak sosok itu dari balik debu dan langsung menerjang lawannya dengan penuh kemarahan.
Namun, ternyata sosok yang menjadi lawannya itu telah mengantisipasi hal tersebut. Sehingga terjangan bogem kanannya menjadi sia-sia. Ini dikarenakan ia kembali mendapatkan serangan mendadak dari arah kiri.
Se-sejak kapan dia berada di situ? Batinnya sebelum ia menerima sebuah tendangan keras yang menghantam bagian perut.
Tak ayal kejadian tadi kembali terulang lagi dan harus menahan rasa sakit yang jauh lebih menyakitkan. Apalagi lubang yang dihasilkan, jauh lebih dalam dari sebelumnya. Sial, sepertinya aku tidak boleh gegabah lagi. Walau wujudnya masih berupa manusia biasa. Tapi, dia sangat kuat. Batinnya sambil meringis lalu berusaha bangkit dengan tangan kanan memegang bagian perut.
"Cih! Siapa kau sebenarnya?" tanya sosok dengan penuh kekesalan.
"Akhirnya kau menanyakan hal itu juga. Apa kau telah sadar perbedaan kasta di antara kita?"
"Kasta? Lagi-lagi kau berkata tentang hal itu. Cukup katakan, siapa kau sebenarnya?"
"Pantas saja kau ini bodoh. Aku pikir hanya kepalamu saja yang seperti anjing. Tapi ternyata otakmu pun sama. Walau sebenarnya anjing jauh lebih pintar darimu yang bertubuh manusia. Sungguh kau menjijikkan sekali."
"Bangsat kau! Akan kubunuh kau seperti mereka semua!" teriak sosok itu yang semakin marah karena tidak terima dihina seperti itu.
"Majulah kalau kau berani."
Mendengar tantangan tersebut, sosok itu langsung terprovokasi untuk mulai menyerang. Namun, sebelum melakukannya ia terlebih dahulu memutari lawannya. Dengan berlari di tembok, yang semakin lama semakin cepat. Sehingga secara perlahan-lahan wujudnya tidak terlihat oleh mata. Suara langkahnya pun tidak terdengar sama sekali. Benar-benar tidak ada jejak akan dirinya di ruangan tersebut.
Sedangkan sosok lawannya yang berada tepat di tengah-tengah ruangan terlihat sangat tenang. Tidak ada raut kegelisahan ataupun ketakutan yang terlintas di wajahnya. Malah ia terlihat tersenyum senang tanpa beban sama sekali. Posisi tubuhnya pun tampak tidak sedang bersiaga. Tegap bagai patung. Benar-benar merasa bahwa dirinya tidak sedang terancam bahaya.
Dan tiba-tiba saja kedua bola matanya melirik ke kanan sambil mengulurkan tangan. Bersamaan itu telapak tangannya terlihat seperti sedang mencengkeram serta menahan sesuatu. Padahal di sana tidak ada apa-apa.
"Sudah aku bilang, kau itu cuma makhluk berkasta rendah. Jadi, percuma saja kau melakukan hal tadi. Karena aku masih bisa melihat keberadaanmu. Dasar anjing sialan."
Bersamaan dengan itu, sosok yang berkepala anjing tadi seketika muncul kembali. Dengan moncong yang tergenggam kuat serta kedua bola mata yang melotot. Sedangkan tangan kanannya terlihat menculur seperti hendak mencakar. Namun, tidak mengenai apa-apa. Hanya berada tepat di bawah ketiak lawannya.
"Aku rasa sudah saatnya kau menerima hukuman atas semua ini. Tapi tenanglah, aku akan membuat itu terasa tidak menyakitkan sama sekali," ucap lawannya dengan sorot mata yang tajam serta seringai yang tampak menakutkan.
Lalu dengan entengnya ia membanting tubuh si kepala anjing ke lantai. Hingga memperdengarkan suara ledakan yang disertai serpihan-serpihan kecil keramik berwarna putih juga debu yang bertebaran di udara.
"Bagaimana? Tidak sakit, bukan?" tanyanya sambil melepaskan cengkeraman.
"Si-siapa k-kau se-benarnya?"
Pertanyaan itu—pertanyaan terakhir dari si kepala anjing. Karena ia seketika tewas setelah memuncratkan darah yang banyak dari mulutnya. Sehingga hal tersebut membuat hampir seluruh bagian wajahnya tertutupi oleh cairan itu.
Sedangkan sosok yang berdiri di atas kepalanya terlihat tersenyum senang dengan sorot mata yang tajam ke arah bawah. Lalu ia segera berpaling dan meninggalkan ruangan tersebut tanpa menghiraukan keberadaan mayat-mayat yang ada di sana.
"Hai! Apa kau sudah mendengar berita hari ini?""Berita apa?""Itu, lho. Berita tentang penemuan mayat di bekas pabrik sepatu yang berada gak jauh dari sini.""Ohh, berita itu. Aku sih sudah melihatnya tadi pagi di Instagram.""Trus, gimana menurutmu?""Gimana apanya?""Yah, pendapat kau tentang kasus itu.""Ahh, entahlah. Toh, nanti juga akan ada klarifikasi dari pihak kepolisian. Kita tunggu aja. Aku gak mau berspekulasi apa-apa tentang kasus itu. Hanya membuat kepalaku jadi tambah pusing. Mana tadi habis ulangan matematika secara mendadak. Dasar Pak Dadang sialan. Bikin kesel aja.""Dasar kau aja yang pemalas. Sudah tau kalau Pak Dadang itu sering mengadakan ulangan mendadak. Bukannya rajin belajar, malah nge-game aja kerjaan kau. Ah, sudahlah. Percuma juga aku ngobrol lama-lama sama kau. Lebih baik aku ke kantin aja.""Yah, sudah kau pergi sana! Sekalian belikan aku minuman, ya. Terserah apa aja, yang pentin
Rasa segar dan sejuk langsung menyapa raut wajah Arjuna. Tatkala bulir-bulir air telah merayap membasahi tiap permukaan kulitnya yang berwarna sawo matang. Ia tampak sangat menikmati sensasi kesegaran yang dirasakannya itu. Hingga membasuh mukanya berkali-kali dan hal tersebut membuat kontur rahangnya yang oval semakin terlukis jelas oleh air.Apalagi sinar mentari yang menerebos masuk melalui jendela kecil yang ada di sisi kiri, juga ikut-ikutan membelai raut muka Arjuna. Sehingga membuat bulir-bulir air yang menempel di wajahnya menjadi berkilauan bagai berlian. Sungguh sebuah pemandangan yang indah dan mampu menggetarkan jiwa. Jika ada kau hawa yang melihatnya.Tidak hanya membasuh wajah, Arjuna juga merapikan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan. Dengan menggunakan kedua tangan yang sudah dibasahi oleh air. Lalu mengusapkannya satu kali, semua sudah menjadi rapi seperti sediakala. Hal itu bisa terjadi, karena gaya rambut undercut-nya sangat mudah dirapi
"Ayah!"Pekik keduanya secara bersamaan, seiring dengan tubuh yang langsung membeku. Sedangkan guru yang ada di depan mereka terlihat membungkukkan badan sambil menyapa, "Selamat pagi, Pak Direktur dan Wakil Direktur." Lalu setelah itu segera memasuki ruang BK yang bersebelahan dengan ruang para guru."Kenapa Ayah datang kemari?" tanya Mahesa dengan kepala yang menunduk."Apa itu menjadi masalah bagimu, anakku?" tanya balik pria paruh baya itu yang berdiri tepat di hadapannya.Mahesa tidak bisa menjawab pertayaan tersebut. Hanya mampu terdiam dan semakin menunduk. Hal yang sama juga dilakukan oleh Arjuna. Apalagi sosok pria berkacamata yang ada di depannya sedang berbisik, yang membuat kedua bola mata Arjuna hendak meloncat keluar.Setelah itu, pria tersebut meninggakan Arjuna yang diikuti oleh ayahnya Mahesa. Begitu suara langkah keduanya tak terdengar lagi. Mahesa langsung mendekati Arjuna dan bertanya tentang apa yang terjadi. Namun
Arjuna yang merasakan adanya tekanan seperti itu terlihat tampak tenang. Tak memperlihatkan kegusaran sama sekali. Baik di raut wajah atau gerakan tubuh."Karena aku tahu kalau Shima sedang berbohong kepada kita," jawab Arjuna dengan senyuman kecil."Begitu, yah. Kira-kira kenapa dia harus berbohong seperti itu kepada kita? Bukankah kita temannya?""Entahlah. Tapi, setahuku tak sedikit yang seperti itu. Demi menjaga nama baik yang telah meninggal."Begitu Arjuna selesai bicara, Mahesa datang menghampiri dengan bulir-bulir air di dahinya. "Wah, apa aku datang tidak tepat pada waktunya? Sepertinya dari tadi ada yang sedang asyik mojok terus," celetuknya dengan nada yang menyindir.Karena Arjuna sedang malas menanggapi celotehan itu. Maka ia lebih memilih menjauh dengan meninggalkan ruang tamu. Menuju ke mobilnya yang terparkir di seberang rumahnya Shima.Sedangkan Mahesa masih diam di sana bersama Gayatri—di ruang tamu. Pojok ruangan, dekat jendela.
Baru saja sosok bertopeng itu selesai bicara. Tiba-tiba tanah yang diinjaknya bergetar hebat. Hingga beberapa bebatuan di sekitarnya terangkat dari tanah. Lalu keadaan lingkungan secara mendadak menjadi gelap gulita untuk beberapa saat. Sebelum kembali terang seperti sediakala.Dan saat itulah, lingkungan sekitar telah berubah total. Tidak lagi berada di pekarangan rumah. Tetapi, di alam niskala. Alam yang diciptakan oleh si kepala babi. Untuk memberikan keuntungan tersendiri dalam pertaruangan."Wohoho. Kau sungguh keren, Babi. Bisa membuat alam niskala1) seperti ini. Apa kastamu, Babi?" tanya sosok bertopeng itu sambil melihat sekelilingnya dengan saksama untuk mencari keberadaan si kepala babi.Tidak ada jawaban yang ia dapatkan. Hanya suara denyutan yang terdengar. Suara yang berasal dari dinding daging serta lemak yang mengelilinginya."Baiklah, baiklah. Kau pasti tidak akan menja .... "Belum saja sosok bertop
Di ruangan kelas yang berbeda, hal yang sama juga terjadi. Nyaris sama, hanya saja Mahesa tidak setenang Arjuna. Dalam menyingkapi situasi ketika semua pasang mata menatap dirinya. Sehingga keadaan kelasnya semakin gaduh."Eh! Asal kalian tahu saja, ya. Kalau aku juga tidak tahu apa-apa tentang hal ini. Memang, ini aturan pasti atas ide atau persetujuan dari ayahku sama ayahnya Arjuna. Tapi, sekali lagi aku tegaskan ke kalian semua. Kalau aku tidak tahu apa-apa tentang aturan baru ini. Dan aku juga tidak suka dengan aturan baru ini. Sama seperti kalian!" omel Mahesa dengan nada tinggi sambil berdiri.Lalu tanpa memedulikan sorakan serta cemohan teman-temannya, Mahesa segera berjalan untuk meninggalkan kelas. Namun, sebelum itu ia sempat berkata, "Aku akan menemui Kepala Yayasan, dan menyelesaikan hal ini. Agar aturan tadi tidak jadi diberlakukan kepada kita." Dengan nada yang jauh lebih lantang dari tadi.Ucapan Mahesa itu langsung disambut sorak-sorai oleh semua t
Kini giliran Mahesa yang bicara. Ia mengungkapkan keberatan terhadap aturan baru itu persis seperti Bima. Hanya saja nada bicaranya sedikit lancang dan lantang. Hingga seluruh area ruangan dipenuhi oleh suaranya."Aturan baru itu sama saja membunuh kami semua. Walau alasannya demi mendapat nilai ujian kelulusan yang tinggi. Tetap saja itu seperti menjadikan kami budak. Budak pendidikan oleh kaum otoriter sekolah."Suasana seketika menjadi mencekam begitu Mahesa selesai bicara. Hingga membuat jantung mereka berlima berdegup sangat kencang. Sampai-sampai keringat dingin mulai bercucuran membasahi punggung. Apalagi sosok yang ada di depan mereka menampilkan raut wajah yang datar. Tanpa senyum, tanpa tawa."Budak? Apa kamu mengerti arti kata itu, Mahesa? Sehingga kamu berani memakai kata itu. Andai saja ayahmu ada di sini, mungkin beliau akan merasa sangat malu. Karena mendengar kata itu, diucapkan oleh darah dagingnya sendiri."Ucapan itu benar-benar menohok hat
"Sungguh aku tidak menyangka hal itu. Benar-benar diluar dugaan," ucap Bima setelah keluar dari ruangan tersebut.Mahesa yang mendengar itu langsung tertawa sambil menoleh ke belakang dan berkata, "Apa hal ini sudah kalian rencanakan, Arjuna? Karena dari tadi aku lihat kau begitu tenang. Tapi, saat kau mulai bica .... ""Sudah, aku yakin Arjuna tidak seperti yang kau katakan, Mahesa. Bukankah begitu, Arjuna?" tanya Bima yang memotong ucapan Mahesa untuk membela Arjuna sambil menoleh ke belakang."Biarkan dia berpikir demikian. Yang penting aturan baru itu sudah tidak berlaku lagi," jawab Arjuna dengan raut wajah datar."Aku sungguh heran dengan kalian berdua. Tidak pernah akur, tapi hebatnya, masih bisa tetap berteman akrab. Sunggu kalian manusia aneh," komentar anak perwakilan kelas bahasa sambil tertawa kecil.Sedangkan Gayatri yang berjalan paling depan hanya diam dan tidak menoleh sama sekali. Namun, secara mendadak langkahnya terhenti. Sehingg
"Apa kamu baik-baik saja, anakku?" tanya sosok itu yang ternyata ayahnya Arjuna sambil berjalan mendekat. "sepertinya kamu habis mengalami hal yang berat," lanjutnya tanpa melepas senyuman. "Dua orang bertopeng menyerangku hari ini secara bergantian. Tadi siang dan barusan saja." Terdiam sejenak dengan kening berkerut. "ditambah lima celuluk serta satu Gegendu," imbuh Arjuna sambil membuka pintu kaca lalu berjalan mundur hingga punggung menempel di pembatas balkon. "Topeng — ," cetus ayahnya Arjuna sambil menghentikan langkah kedua kaki. "topeng apa yang mereka gunakan?" tanyanya kemudian dengan nada tegas serta tatapan tajam. "Topeng telek dan Ratu Gede Mas Mecalik." "Apa — " "Tidak ... tidak. Mereka berdua tidak saling berhubungan. Aku yakin akan hal itu," potong Arjuna penuh ketegasan dan tahu apa yang akan ditanyakan oleh sosok itu. "Apa mereka memiliki tu — " "Aku rasa tidak. Tapi — " "Tapi, kamu masih meragukannya
Tanpa membuat waktu lagi, Arjuna segera bergegas ke arah asal teriakan tadi. Betapa kagetnya ia setelah sampai di sana. Di mana Arjuna melihat kedua satpam tadi sudah tidak bernyawa lagi dengan tubuh yang terpotong-potong.Darah pun terlihat berceceran di mana-mana. Menggenangi rerumputan serta menyirami beberapa batang pohon, ranting, dan dedaunan yang ada di sekitarnya. Sedangkan sosok leak yang meringkik tadi, terlihat berdiri di antara potongan mayat sambil menyantap otak salah satu dari korbannya.Wujud leak itu seperti kuda. Dengan tubuh separuh manusia, berkulit hitam legam, dan bertelanjang dada. Sehingga memperlihatkan otot-otot perutnya yang seperti roti sobek. Namun, dari itu semua ada bagian yang cukup menarik pada sosok tersebut. Di mana ia memakai celana pendek bermotif poleng hingga sebatas lutut.Motif poleng itu bukanlah motif sembarangan. Karena melambangkan keseimbangan alam—Rwa Bhineda. Di mana seharusnya tidak digunakan oleh s
Arjuna menuruti permintaan sosok tersebut. Ia berjalan pelan dengan tatapan sayu seperti sedang terhipnotis. Padahal tidak. Namun, ketika sudah berada cukup dekat. Tiba-tiba saja kedua kakinya harus berhenti melangkah. Karena tanah yang dipijaknya bergetar hebat."Maaf, Arjuna. Ini hanya untuk berjaga-jaga saja," ucap sosok itu seiring munculnya empat pilar melengkung seperti gading gajah di sekeliling Arjuna. "karena aku tidak mau kekuatan itu berbalik menyerangku," ucapnya lagi setelah kedua kaki dan tangan Arjuna terikat oleh rantai cakra yang keluar dari ujung pilar tersebut.Arjuna yang mendapatkan perlakuan seperti itu hanya terdiam dan tidak banyak bergerak. Ia tampak sangat tenang seperti air danau. Seakan pasrah akan nasib yang akan diterimanya. Sedangkan sosok bertopeng itu terlihat sibuk membaca mantra dengan kedua telapak tangan yang menyatu di depan dada.Dan ketika sosok itu telah selesai membaca mantra muncul bayangan besar sosok Rangda t
Tidak ada tanda-tanda kehidupan asing yang bisa Arjuna jangkau dengan kekuatan mata batinnya. Ia juga tidak merasakan ada aura negatif di sekitar rumah. Namun, dari sisa ledakan tadi masih tercium bau busuk bangkai manusia. Serta wangi anyir yang tersamarkan oleh harumnya bunga kamboja juga kemenyan dan dupa.Pasti pelaku mengirim ini dari jarak yang cukup jauh. Tapi, dari arah mana datangnya? Batin Arjuna sambil mengamati gerak gemulai dedauan yang tersentuh jemari dewi angin."Arah barat," ucapnya setelah mengetahui arah angin bertiup.Lalu dengan cepat ia meloncat ke atap rumah dan melihat sekitar lingkungan kompleks perumahan dari sana. Dengan menggunakan indera penciuman, Arjuna mencoba mencari sisa jejak kiriman tadi. Samar-samar ia mencium aroma busuk itu dan mulai mengikuti jalurnya.Semoga jejaknya masih ada dan tidak tercerai-berai oleh angin, harapan Arjuna di dalam hati sambil melompat dari satu atap ke atap lainnya.Setela
Mendapatkan pertanyaan beruntun seperti itu, tidak membuat sosok tersebut grogi. Malah tertawa ringan seperti tanpa beban sama sekali dan setelah tawanya berhenti ia pun bertanya, "Arjuna, apa kau tahu tentang preman-preman yang meresahkan itu?" Dengan nada tegas serta tatapan yang tajam untuk membalas sorot kedua mata Arjuna yang mengarah ke dirinya."Kenapa dengan mereka?" tanya balik Arjuna sambil menuruni satu anak tangga."Jadi kita akan terus bicara seperti ini?" bukannya menjawab, malah sosok itu kembali bertanya dengan nada sedikit meninggi."Ikut aku," pinta Arjuna yang kembali menaiki anak tangga.Sosok itu pun segera bergegas mengekor tanpa banyak bicara lagi. Mengikuti langkah Arjuna menuju ruang keluarga yang ada di lantai dua. Begitu sampai di sana, keduanya langsung duduk di sofa yang berwarna merah dan saling berhadapan."Jadi, apa maumu datang kemari, Mahesa? Lalu apa hubungan luka memarmu itu, dengan para preman yang ada di dekat
Api itu benar-benar menenggelamkan tubuh Arjuna ke dalam kobarannya. Namun, tidak lama kemudian ada hal aneh yang terjadi. Api yang mulanya besar, secara perlahan-lahan mengecil.Namun, sebelum api tersebut menghilang sosok bertopeng itu langsung menerjang. Lalu ia melompat ke atas dan melancarkan bola api lagi, tapi kali ini jauh lebih besar dari yang tadi. Sehingga menyebabkan ledakan serta kobaran api yang jauh lebih dahsyat dari sebelumnya.Sampai-sampai, pilar yang berada di dekatnya tampak mau runtuh. Hal itu terlihat dari jatuhnya beberapa runtuhan kecil serta pasir. Dari retakan-retakan yang ada di sepanjang tiang tersebut. Selain itu, pada bagian bawahnya terdapat congkelan bekas benturan tadi yang cukup dalam dan lebar."Ayolah, Arjuna! Aku yakin kau tidak akan mati hanya karena seranganku itu. Keluarlah dari sana! " teriak sosok bertopeng itu setelah kedua kakinya mendarat di lantai.Dan benar saja, dari dalam kobaran api terlihat sosok Arjuna
Arjuna hanya tersenyum mendengar permintaan tersebut tanpa menatap ayahnya secara langsung. Ia memperhatikan sosok pria berkacamata itu cukup melalui spion dalam, yang berada di atas, dekat dengan kaca depan mobil—tepat di tengah-tengah. Dari sorot matanya terlihat jelas jika ayahnya sedang memikirkan sesuatu."Apa yang Ayah pikirkan saat ini?" tanya Arjuna tanpa mengalihkan pandangan dari kaca spion."Kekuatan leak yang tersegel di dalam dirimu, anakku," jawab sang ayah dan kali ini sambil menoleh.Arjuna pun ikut menoleh dan menatap tajam ke ayahnya. Seakan memberikan isyarat agar sosok di depannya itu mau bicara lebih banyak lagi tentang kekuatan leak yang ada di dalam dirinya. Tapi harapannya itu harus terhempas begitu saja. Saat ayahnya turun dari kendaraan. Ketika mobil berhenti tepat di depan sebuah restoran mewah."Maaf, anakku. Ayah ada pertemuan dengan klien siang ini di sini. Jadi, pembicaraan kita yang tadi, nanti kita lanjutkan lagi di
Setelah mereka berdua sampai di tujuan. Keduanya segera duduk di meja sisi timur yang berada di ujung bangunan. Dekat dengan tembok yang bercat putih serta jendela besar. Lalu memesan dua porsi mie setan dan es pocong pada seorang pelayan laki-laki yang datang menghampiri."Sekali lagi aku minta maaf padamu, Arjuna. Kare — ""To the poin saja, Gayatri," potong Arjuna tanpa ekspresi di wajah."Baiklah, Arjuna. Aku akan langsung saja," sahut Gayatri sambil menghela napas panjang serta membatin, Kini aku jadi mengerti, alasan kenapa Mahesa selalu kesal kepadanya. Selain karena dia tidak suka basa-basi. Dan selalu memotong ucapan orang lain. Dia juga terkesan sangat angkuh. Dengan seutas senyum kecil sambil menatap kedua mata lawan bicaranya."Apa pendapatmu, Arjuna? Atas kejadian yang menimpa sekolah kita saat ini. Beberapa siswa ditemukan mati dalam keadaan yang menurutku sangat tidak wajar," tanya Gayatri dengan raut muka penuh kese
Namun, ketika tangan siswi itu hendak menjamah wajah Arjuna. Tiba-tiba muncul aliran listrik berwarna hitam yang melindungi seluruh tubuh Arjuna. Sehingga membuat ia terkejut dan langsung mengambil langkah mundur."Sial. Apa itu?" pekik siswi itu sambil memegang tangan kanannya yang terkena sengatan listrik."Jangan coba-coba tangan kotormu itu menyentuh wajahku, makhluk rendahan!"Kalimat peringatan itu terdengar lantang dari mulut Arjuna, yang langsung bangkit. Dengan sorot mata yang tajam serta tubuh berselimut aliran listrik berwarma hitam pekat. Warna rambut Arjuna pun tampak berbeda—menjadi putih.Suhu udara juga mengalami perubahan, yang awalnya sejuk kini berubah menjadi lebih panas. Disertai tekanannya yang semakin meningkat. Hingga membuat kadar oksigen menipis."Sial, kekuatan leak macam apa ini? Mampu mempengaruhi udara sekitarnya?" tanya siswi itu sambil kembali berjalan mundur.Dan bersamaan itu, wujud Arjuna sudah beruba