Arjuna yang merasakan adanya tekanan seperti itu terlihat tampak tenang. Tak memperlihatkan kegusaran sama sekali. Baik di raut wajah atau gerakan tubuh.
"Karena aku tahu kalau Shima sedang berbohong kepada kita," jawab Arjuna dengan senyuman kecil.
"Begitu, yah. Kira-kira kenapa dia harus berbohong seperti itu kepada kita? Bukankah kita temannya?"
"Entahlah. Tapi, setahuku tak sedikit yang seperti itu. Demi menjaga nama baik yang telah meninggal."
Begitu Arjuna selesai bicara, Mahesa datang menghampiri dengan bulir-bulir air di dahinya. "Wah, apa aku datang tidak tepat pada waktunya? Sepertinya dari tadi ada yang sedang asyik mojok terus," celetuknya dengan nada yang menyindir.
Karena Arjuna sedang malas menanggapi celotehan itu. Maka ia lebih memilih menjauh dengan meninggalkan ruang tamu. Menuju ke mobilnya yang terparkir di seberang rumahnya Shima.
Sedangkan Mahesa masih diam di sana bersama Gayatri—di ruang tamu. Pojok ruangan, dekat jendela. Keduanya terlihat sedang berbicara dan tampak serius. Sampai-sampai kedatangan Shima tidak mereka sadari.
"Ehem! Sepertinya serius sekali kalian ini. Ada apa sih?" tanya Shima yang berusaha bercanda walau ada serak yang masih tersisa.
"Hehe, tidak ada apa-apa. Nanti juga kau akan tahu, Shima," kilah Mahesa sambil tertawa kecil.
Sedangkan Gayatri hanya mengangguk sambil tersenyum manis. Lalu secara tiba-tiba Mahesa meminta izin untuk pulang. Begitu juga dengan perempuan berambut sebahu itu. Tentu hal tersebut membuat Shima kaget. Apalagi masih ada pertanyaan yang mengganjal di hati perihal yang tadi.
Namun, apalah daya jika kedua temannya itu sudah berlalu pergi. Menyusul Arjuna yang sudah berada di dalam mobil. Begitu Mahesa dan Gayatri telah kembali masuk ke mobil. Sang sopir pun segera meninggalkan tempat tersebut. Dengan lebih dulu mengantarkan Gayatri yang rumahnya berada di kompleks itu juga. Hanya berbeda beberapa blok saja. Lebih masuk ke dalam.
"Arjuna. Apa kau tidak melihat sesuatu yang aneh tadi di sana?" tanya Mahesa setelah cukup jauh dari rumahnya Gayatri.
"Aneh bagaimana?"
"Aku tidak melihat raut kesedihan di wajah Shima. Padahal setahuku, ia sangat dekat dengan ayahnya."
"Apa kamu tidak memperhatikan suaranya saat ia bicara?" giliran Arjuna yang balik bertanya dengan mengamati spion tengah untuk melihat mimik wajah Mahesa yang ada di belakangnya.
"Tidak."
"Pantas saja."
"Pantas saja, bagaimana?" tanya Mahesa dengan nada sedikit meninggi.
"Pantas saja tidak ada cewek yang mau sama kamu."
Sebuah jawaban yang sangat menonjok hati Mahesa. Sehingga raut wajahnya menjadi merah dengan kedua mata melotot. Lalu ia bergerak ke depan, menyelinapkan kepala di antara Arjuna dan sang sopir.
"Anj .... "
Hampir saja Mahesa mengucapkan nama hewan yang suka menjulurkan lidahnya. Jika saja ia tidak mengingat kastanya yang tinggi. Lebih tinggi dari Shima dan setara dengan Arjuna—Brahmana.
"Kenapa? Kenapa tidak kamu lanjutkan, Mahesa?" tanya Arjuna dengan nada mengejek.
"Perutku lapar. Buang-buang tenaga saja," jawab Mahesa sambil memalingkan wajah ke arah kiri.
Mendengar itu Arjuna cuma tersenyum, karena tahu alasan kenapa temannya itu tidak melanjutkan ucapannya. Kasta—itulah yang membuat Mahesa tidak sanggup berkata kasar melebihi semestinya. Apalagi ada orang lain yang berada di sana—sang sopir.
Sungguh tidak elok jika Mahesa melakukannya. Karena akan merendahkan kastanya di hadapan orang lain yang berkasta rendah. Apalagi jika hal itu sampai ke telinga sang ayah. Bisa-bisa ia akan dicoret sebagai satu-satunya ahli waris atas semua kekayaan kedua orang tuanya.
Setelah setengah jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di depan rumah Mahesa. Lalu pemuda berambut ikal itu segera turun tanpa berkata apa-apa. Hanya melambaikan tangan sekilas, saat Arjuna menoleh ke arahnya yang baru saja menutup pintu.
Dan begitu Mahesa telah berada dibalik pagar besi yang tinggi. Arjuna pun segera menyuruh sang sopir untuk segera jalan meninggalkan kawasan tersebut. Menuju pulang ke rumahnya untuk beristirahat. Karena ia sudah cukup merasa lelah hari ini.
Malam telah menjelang, dengan senyuman sang rembulan yang sedikit meredup. Apalagai saat ini anak jarum jam telah berada di angka 11. Waktu bagi sebagian umat manusia untuk terlelap. Melepaskan penat dan lelah setelah berjibaku menjalankan roda kehidupan.
Di sebuah kamar yang berada di lantai dua. Terlihat sekelebat bayangan masuk melalui celah jendela yang tertutup rapat. Bergerak sangat cepat menuju ranjang yang berada di tengah-tengah ruangan. "Tidurlah kau dengan lelap sampai mati," ucap bayangan itu yang telah berubah bentuk menjadi sesosok makhluk mistis.
Lalu dengan gerakan yang cepat, ia menancapkan kukunya yang tajam pada sosok yang berada di balik selimut. "Mati kau!" teriaknya dengan puas sambil tertawa.
"Hai kepala babi!"
Tiba-tiba ada suara yang berteriak memanggil makhluk tersebut. Hingga ia terkejut dan langsung menoleh ke belakang. Bersamaan dengan itu, lampu kamar ikut menyala terang. Sehingga memperlihatkan siapa sosok yang memanggilnya.
Betapa kagetnya makhluk itu saat melihat sosok bertopeng telek1) berdiri di dekat sakelar lampu. Dengan berpakaian serba hitam serta berkuku tajam. Walau tak sepanjang miliknya.
"Naskeleng!"2) umpat makhluk itu yang kembali berubah menjadi bayangan dan langsung kabur dari sana.
Namun, baru saja turun dari kamar tersebut dan masih berada di pekarangan belakang. Tiba-tiba saja sosok bertopeng tadi sudah ada di depannya sambil tertawa. Dengan kedua tangan terselip di saku celana.
"Kau mau ke mana? Main kabur aja. Padahal kita baru bertemu, lho," ucapnya sambil tertawa.
"Aku tidak kabur, hanya mencari tempat yang lebih luas untuk membunuhmu," jawab sosok bayangan itu yang telah kembali berwujud leak berkepala babi.
"Wohoho, aku jadi takut, nih. Sampai-sampai kakiku gemeteran, lho," ejek sosok bertopeng itu sambil berpura-pura ketakutan.
"Kau benar-benar membuatku muak!" teriak si kepala babi sambil menerjang cepat ke arah depan.
Lalu secara tiba-tiba ia melompat ke atas dan langsung menyemburkan cairan putih pekat ke arah lawannya. Tentu hal tersebut membuat sosok bertopeng itu terperanjat kaget. Karena tidak menyangka akan mendapatkan jenis serangan seperti itu
Walau demikian ia bisa menghindarinya dengan bergerak cepat ke belakang. Tapi, ada beberapa percikan dari cairan itu yang mengenai dirinya. "Wow! Sungguh menakjubkan sekali. Aku pikir cuma muntahan biasa. Tapi, ternyata tidak," pujinya yang langsung merobek lengan baju tangan kiri yang mengeluarkan asap pekat.
Lalu harus menghindar lagi dan kali ini ke arah samping kiri. Karena si kepala babi telah kembali menyerangnya. Dengan melancarkan tendangan kaki kanan yang berbalut pancaran energi tenaga dalam berwarna merah. Sehingga menyebabkan ledakan yang menghamburkan butiran-butiran tanah serta kerikil di udara. Saat menghantam ibu pertiwi.
Belum saja butiran-butiran tanah itu menghilang. Si kepala babi sudah melancarkan serangan susulan. Berupa tinju tangan kanan yang kali ini berselimut api ke arah wajah lawannya. Namun, tetap saja hal tersebut bisa dihindari dengan baik oleh sosok yang kini berdiri di kanannya.
"Wohoho, aku rasa sudah cukup sampai di sini kau menyerang, yah. Karena kini giliranku," ucap sosok bertopeng itu yang telah melilitkan sobekan lengan bajunya tadi ke pergelangan tangan si kepala babi.
Lalu dengan sekuat tenaga menarik dan menghempaskannya ke sisi kanan. Sehingga tubuh si kepala babi terlempar begitu saja. Dengan posisi kepala di bawah serta membelakangi pagar pembatas rumah itu.
Dan ketika hendak menghantam pagar. Sosok bertopeng itu telah lebih dulu menghentikannya. Dengan memukul tulang belakang si kepala babi. Hingga terdengar suara tulang yang patah. Lalu kembali terhempas sebelum wajahnya mencium tanah.
"Ayo, Babi. Bangunlah! Bukankah kau ingin membunuhku? Kenapa malah tidur-tiduran di tanah?" tanya sosok bertopeng itu dengan nada yang mengejek.
Note:
1. Telek: Topeng Bali yang digunakan dalam tarian. Di mana telek—merupakan kaki tangan dari Barong.
2. Naskeleng: Umpatan bahasa Bali yang kasar
Baru saja sosok bertopeng itu selesai bicara. Tiba-tiba tanah yang diinjaknya bergetar hebat. Hingga beberapa bebatuan di sekitarnya terangkat dari tanah. Lalu keadaan lingkungan secara mendadak menjadi gelap gulita untuk beberapa saat. Sebelum kembali terang seperti sediakala.Dan saat itulah, lingkungan sekitar telah berubah total. Tidak lagi berada di pekarangan rumah. Tetapi, di alam niskala. Alam yang diciptakan oleh si kepala babi. Untuk memberikan keuntungan tersendiri dalam pertaruangan."Wohoho. Kau sungguh keren, Babi. Bisa membuat alam niskala1) seperti ini. Apa kastamu, Babi?" tanya sosok bertopeng itu sambil melihat sekelilingnya dengan saksama untuk mencari keberadaan si kepala babi.Tidak ada jawaban yang ia dapatkan. Hanya suara denyutan yang terdengar. Suara yang berasal dari dinding daging serta lemak yang mengelilinginya."Baiklah, baiklah. Kau pasti tidak akan menja .... "Belum saja sosok bertop
Di ruangan kelas yang berbeda, hal yang sama juga terjadi. Nyaris sama, hanya saja Mahesa tidak setenang Arjuna. Dalam menyingkapi situasi ketika semua pasang mata menatap dirinya. Sehingga keadaan kelasnya semakin gaduh."Eh! Asal kalian tahu saja, ya. Kalau aku juga tidak tahu apa-apa tentang hal ini. Memang, ini aturan pasti atas ide atau persetujuan dari ayahku sama ayahnya Arjuna. Tapi, sekali lagi aku tegaskan ke kalian semua. Kalau aku tidak tahu apa-apa tentang aturan baru ini. Dan aku juga tidak suka dengan aturan baru ini. Sama seperti kalian!" omel Mahesa dengan nada tinggi sambil berdiri.Lalu tanpa memedulikan sorakan serta cemohan teman-temannya, Mahesa segera berjalan untuk meninggalkan kelas. Namun, sebelum itu ia sempat berkata, "Aku akan menemui Kepala Yayasan, dan menyelesaikan hal ini. Agar aturan tadi tidak jadi diberlakukan kepada kita." Dengan nada yang jauh lebih lantang dari tadi.Ucapan Mahesa itu langsung disambut sorak-sorai oleh semua t
Kini giliran Mahesa yang bicara. Ia mengungkapkan keberatan terhadap aturan baru itu persis seperti Bima. Hanya saja nada bicaranya sedikit lancang dan lantang. Hingga seluruh area ruangan dipenuhi oleh suaranya."Aturan baru itu sama saja membunuh kami semua. Walau alasannya demi mendapat nilai ujian kelulusan yang tinggi. Tetap saja itu seperti menjadikan kami budak. Budak pendidikan oleh kaum otoriter sekolah."Suasana seketika menjadi mencekam begitu Mahesa selesai bicara. Hingga membuat jantung mereka berlima berdegup sangat kencang. Sampai-sampai keringat dingin mulai bercucuran membasahi punggung. Apalagi sosok yang ada di depan mereka menampilkan raut wajah yang datar. Tanpa senyum, tanpa tawa."Budak? Apa kamu mengerti arti kata itu, Mahesa? Sehingga kamu berani memakai kata itu. Andai saja ayahmu ada di sini, mungkin beliau akan merasa sangat malu. Karena mendengar kata itu, diucapkan oleh darah dagingnya sendiri."Ucapan itu benar-benar menohok hat
"Sungguh aku tidak menyangka hal itu. Benar-benar diluar dugaan," ucap Bima setelah keluar dari ruangan tersebut.Mahesa yang mendengar itu langsung tertawa sambil menoleh ke belakang dan berkata, "Apa hal ini sudah kalian rencanakan, Arjuna? Karena dari tadi aku lihat kau begitu tenang. Tapi, saat kau mulai bica .... ""Sudah, aku yakin Arjuna tidak seperti yang kau katakan, Mahesa. Bukankah begitu, Arjuna?" tanya Bima yang memotong ucapan Mahesa untuk membela Arjuna sambil menoleh ke belakang."Biarkan dia berpikir demikian. Yang penting aturan baru itu sudah tidak berlaku lagi," jawab Arjuna dengan raut wajah datar."Aku sungguh heran dengan kalian berdua. Tidak pernah akur, tapi hebatnya, masih bisa tetap berteman akrab. Sunggu kalian manusia aneh," komentar anak perwakilan kelas bahasa sambil tertawa kecil.Sedangkan Gayatri yang berjalan paling depan hanya diam dan tidak menoleh sama sekali. Namun, secara mendadak langkahnya terhenti. Sehingg
Gayatri.Nama tersebut terjabarkan sangat jelas di hati Arjuna. Sebelum ia berbalik agar sosok perempuan berambut sebahu itu tidak melihat dirinya. Arjuna kembali duduk di meja tadi dan mulai membaca.Namun, baru selesai satu halaman. Tiba-tiba Gayatri datang menghampiri dan langsung duduk di samping kanan. Dengan membawa sebuah novel karangan Marie Lu—The Rose Society. "Apa kau pencinta Dan Brown, Arjuna?" tanya Gayatri tanpa sungkan sambil tersenyum."Tidak juga," jawab Arjuna tanpa menoleh sambil tetap membaca.Mendengar jawaban Arjuna seperti itu, dengan nada bicara yang tidak enak didengar. Gayatri langsung menunduk dan membuka sampul novel yang ada di hadapannya. Ia mulai berkonsentrasi untuk membaca satu persatu kata yang tercetak di sana."Arjuna, aku ingin minta maaf kepadamu," ucap Gayatri setelah sekian menit membaca."Minta maaf? Untuk apa?" tanya Arjuna sambil tetap membaca."Hal y
Namun, ketika tangan siswi itu hendak menjamah wajah Arjuna. Tiba-tiba muncul aliran listrik berwarna hitam yang melindungi seluruh tubuh Arjuna. Sehingga membuat ia terkejut dan langsung mengambil langkah mundur."Sial. Apa itu?" pekik siswi itu sambil memegang tangan kanannya yang terkena sengatan listrik."Jangan coba-coba tangan kotormu itu menyentuh wajahku, makhluk rendahan!"Kalimat peringatan itu terdengar lantang dari mulut Arjuna, yang langsung bangkit. Dengan sorot mata yang tajam serta tubuh berselimut aliran listrik berwarma hitam pekat. Warna rambut Arjuna pun tampak berbeda—menjadi putih.Suhu udara juga mengalami perubahan, yang awalnya sejuk kini berubah menjadi lebih panas. Disertai tekanannya yang semakin meningkat. Hingga membuat kadar oksigen menipis."Sial, kekuatan leak macam apa ini? Mampu mempengaruhi udara sekitarnya?" tanya siswi itu sambil kembali berjalan mundur.Dan bersamaan itu, wujud Arjuna sudah beruba
Setelah mereka berdua sampai di tujuan. Keduanya segera duduk di meja sisi timur yang berada di ujung bangunan. Dekat dengan tembok yang bercat putih serta jendela besar. Lalu memesan dua porsi mie setan dan es pocong pada seorang pelayan laki-laki yang datang menghampiri."Sekali lagi aku minta maaf padamu, Arjuna. Kare — ""To the poin saja, Gayatri," potong Arjuna tanpa ekspresi di wajah."Baiklah, Arjuna. Aku akan langsung saja," sahut Gayatri sambil menghela napas panjang serta membatin, Kini aku jadi mengerti, alasan kenapa Mahesa selalu kesal kepadanya. Selain karena dia tidak suka basa-basi. Dan selalu memotong ucapan orang lain. Dia juga terkesan sangat angkuh. Dengan seutas senyum kecil sambil menatap kedua mata lawan bicaranya."Apa pendapatmu, Arjuna? Atas kejadian yang menimpa sekolah kita saat ini. Beberapa siswa ditemukan mati dalam keadaan yang menurutku sangat tidak wajar," tanya Gayatri dengan raut muka penuh kese
Arjuna hanya tersenyum mendengar permintaan tersebut tanpa menatap ayahnya secara langsung. Ia memperhatikan sosok pria berkacamata itu cukup melalui spion dalam, yang berada di atas, dekat dengan kaca depan mobil—tepat di tengah-tengah. Dari sorot matanya terlihat jelas jika ayahnya sedang memikirkan sesuatu."Apa yang Ayah pikirkan saat ini?" tanya Arjuna tanpa mengalihkan pandangan dari kaca spion."Kekuatan leak yang tersegel di dalam dirimu, anakku," jawab sang ayah dan kali ini sambil menoleh.Arjuna pun ikut menoleh dan menatap tajam ke ayahnya. Seakan memberikan isyarat agar sosok di depannya itu mau bicara lebih banyak lagi tentang kekuatan leak yang ada di dalam dirinya. Tapi harapannya itu harus terhempas begitu saja. Saat ayahnya turun dari kendaraan. Ketika mobil berhenti tepat di depan sebuah restoran mewah."Maaf, anakku. Ayah ada pertemuan dengan klien siang ini di sini. Jadi, pembicaraan kita yang tadi, nanti kita lanjutkan lagi di
"Apa kamu baik-baik saja, anakku?" tanya sosok itu yang ternyata ayahnya Arjuna sambil berjalan mendekat. "sepertinya kamu habis mengalami hal yang berat," lanjutnya tanpa melepas senyuman. "Dua orang bertopeng menyerangku hari ini secara bergantian. Tadi siang dan barusan saja." Terdiam sejenak dengan kening berkerut. "ditambah lima celuluk serta satu Gegendu," imbuh Arjuna sambil membuka pintu kaca lalu berjalan mundur hingga punggung menempel di pembatas balkon. "Topeng — ," cetus ayahnya Arjuna sambil menghentikan langkah kedua kaki. "topeng apa yang mereka gunakan?" tanyanya kemudian dengan nada tegas serta tatapan tajam. "Topeng telek dan Ratu Gede Mas Mecalik." "Apa — " "Tidak ... tidak. Mereka berdua tidak saling berhubungan. Aku yakin akan hal itu," potong Arjuna penuh ketegasan dan tahu apa yang akan ditanyakan oleh sosok itu. "Apa mereka memiliki tu — " "Aku rasa tidak. Tapi — " "Tapi, kamu masih meragukannya
Tanpa membuat waktu lagi, Arjuna segera bergegas ke arah asal teriakan tadi. Betapa kagetnya ia setelah sampai di sana. Di mana Arjuna melihat kedua satpam tadi sudah tidak bernyawa lagi dengan tubuh yang terpotong-potong.Darah pun terlihat berceceran di mana-mana. Menggenangi rerumputan serta menyirami beberapa batang pohon, ranting, dan dedaunan yang ada di sekitarnya. Sedangkan sosok leak yang meringkik tadi, terlihat berdiri di antara potongan mayat sambil menyantap otak salah satu dari korbannya.Wujud leak itu seperti kuda. Dengan tubuh separuh manusia, berkulit hitam legam, dan bertelanjang dada. Sehingga memperlihatkan otot-otot perutnya yang seperti roti sobek. Namun, dari itu semua ada bagian yang cukup menarik pada sosok tersebut. Di mana ia memakai celana pendek bermotif poleng hingga sebatas lutut.Motif poleng itu bukanlah motif sembarangan. Karena melambangkan keseimbangan alam—Rwa Bhineda. Di mana seharusnya tidak digunakan oleh s
Arjuna menuruti permintaan sosok tersebut. Ia berjalan pelan dengan tatapan sayu seperti sedang terhipnotis. Padahal tidak. Namun, ketika sudah berada cukup dekat. Tiba-tiba saja kedua kakinya harus berhenti melangkah. Karena tanah yang dipijaknya bergetar hebat."Maaf, Arjuna. Ini hanya untuk berjaga-jaga saja," ucap sosok itu seiring munculnya empat pilar melengkung seperti gading gajah di sekeliling Arjuna. "karena aku tidak mau kekuatan itu berbalik menyerangku," ucapnya lagi setelah kedua kaki dan tangan Arjuna terikat oleh rantai cakra yang keluar dari ujung pilar tersebut.Arjuna yang mendapatkan perlakuan seperti itu hanya terdiam dan tidak banyak bergerak. Ia tampak sangat tenang seperti air danau. Seakan pasrah akan nasib yang akan diterimanya. Sedangkan sosok bertopeng itu terlihat sibuk membaca mantra dengan kedua telapak tangan yang menyatu di depan dada.Dan ketika sosok itu telah selesai membaca mantra muncul bayangan besar sosok Rangda t
Tidak ada tanda-tanda kehidupan asing yang bisa Arjuna jangkau dengan kekuatan mata batinnya. Ia juga tidak merasakan ada aura negatif di sekitar rumah. Namun, dari sisa ledakan tadi masih tercium bau busuk bangkai manusia. Serta wangi anyir yang tersamarkan oleh harumnya bunga kamboja juga kemenyan dan dupa.Pasti pelaku mengirim ini dari jarak yang cukup jauh. Tapi, dari arah mana datangnya? Batin Arjuna sambil mengamati gerak gemulai dedauan yang tersentuh jemari dewi angin."Arah barat," ucapnya setelah mengetahui arah angin bertiup.Lalu dengan cepat ia meloncat ke atap rumah dan melihat sekitar lingkungan kompleks perumahan dari sana. Dengan menggunakan indera penciuman, Arjuna mencoba mencari sisa jejak kiriman tadi. Samar-samar ia mencium aroma busuk itu dan mulai mengikuti jalurnya.Semoga jejaknya masih ada dan tidak tercerai-berai oleh angin, harapan Arjuna di dalam hati sambil melompat dari satu atap ke atap lainnya.Setela
Mendapatkan pertanyaan beruntun seperti itu, tidak membuat sosok tersebut grogi. Malah tertawa ringan seperti tanpa beban sama sekali dan setelah tawanya berhenti ia pun bertanya, "Arjuna, apa kau tahu tentang preman-preman yang meresahkan itu?" Dengan nada tegas serta tatapan yang tajam untuk membalas sorot kedua mata Arjuna yang mengarah ke dirinya."Kenapa dengan mereka?" tanya balik Arjuna sambil menuruni satu anak tangga."Jadi kita akan terus bicara seperti ini?" bukannya menjawab, malah sosok itu kembali bertanya dengan nada sedikit meninggi."Ikut aku," pinta Arjuna yang kembali menaiki anak tangga.Sosok itu pun segera bergegas mengekor tanpa banyak bicara lagi. Mengikuti langkah Arjuna menuju ruang keluarga yang ada di lantai dua. Begitu sampai di sana, keduanya langsung duduk di sofa yang berwarna merah dan saling berhadapan."Jadi, apa maumu datang kemari, Mahesa? Lalu apa hubungan luka memarmu itu, dengan para preman yang ada di dekat
Api itu benar-benar menenggelamkan tubuh Arjuna ke dalam kobarannya. Namun, tidak lama kemudian ada hal aneh yang terjadi. Api yang mulanya besar, secara perlahan-lahan mengecil.Namun, sebelum api tersebut menghilang sosok bertopeng itu langsung menerjang. Lalu ia melompat ke atas dan melancarkan bola api lagi, tapi kali ini jauh lebih besar dari yang tadi. Sehingga menyebabkan ledakan serta kobaran api yang jauh lebih dahsyat dari sebelumnya.Sampai-sampai, pilar yang berada di dekatnya tampak mau runtuh. Hal itu terlihat dari jatuhnya beberapa runtuhan kecil serta pasir. Dari retakan-retakan yang ada di sepanjang tiang tersebut. Selain itu, pada bagian bawahnya terdapat congkelan bekas benturan tadi yang cukup dalam dan lebar."Ayolah, Arjuna! Aku yakin kau tidak akan mati hanya karena seranganku itu. Keluarlah dari sana! " teriak sosok bertopeng itu setelah kedua kakinya mendarat di lantai.Dan benar saja, dari dalam kobaran api terlihat sosok Arjuna
Arjuna hanya tersenyum mendengar permintaan tersebut tanpa menatap ayahnya secara langsung. Ia memperhatikan sosok pria berkacamata itu cukup melalui spion dalam, yang berada di atas, dekat dengan kaca depan mobil—tepat di tengah-tengah. Dari sorot matanya terlihat jelas jika ayahnya sedang memikirkan sesuatu."Apa yang Ayah pikirkan saat ini?" tanya Arjuna tanpa mengalihkan pandangan dari kaca spion."Kekuatan leak yang tersegel di dalam dirimu, anakku," jawab sang ayah dan kali ini sambil menoleh.Arjuna pun ikut menoleh dan menatap tajam ke ayahnya. Seakan memberikan isyarat agar sosok di depannya itu mau bicara lebih banyak lagi tentang kekuatan leak yang ada di dalam dirinya. Tapi harapannya itu harus terhempas begitu saja. Saat ayahnya turun dari kendaraan. Ketika mobil berhenti tepat di depan sebuah restoran mewah."Maaf, anakku. Ayah ada pertemuan dengan klien siang ini di sini. Jadi, pembicaraan kita yang tadi, nanti kita lanjutkan lagi di
Setelah mereka berdua sampai di tujuan. Keduanya segera duduk di meja sisi timur yang berada di ujung bangunan. Dekat dengan tembok yang bercat putih serta jendela besar. Lalu memesan dua porsi mie setan dan es pocong pada seorang pelayan laki-laki yang datang menghampiri."Sekali lagi aku minta maaf padamu, Arjuna. Kare — ""To the poin saja, Gayatri," potong Arjuna tanpa ekspresi di wajah."Baiklah, Arjuna. Aku akan langsung saja," sahut Gayatri sambil menghela napas panjang serta membatin, Kini aku jadi mengerti, alasan kenapa Mahesa selalu kesal kepadanya. Selain karena dia tidak suka basa-basi. Dan selalu memotong ucapan orang lain. Dia juga terkesan sangat angkuh. Dengan seutas senyum kecil sambil menatap kedua mata lawan bicaranya."Apa pendapatmu, Arjuna? Atas kejadian yang menimpa sekolah kita saat ini. Beberapa siswa ditemukan mati dalam keadaan yang menurutku sangat tidak wajar," tanya Gayatri dengan raut muka penuh kese
Namun, ketika tangan siswi itu hendak menjamah wajah Arjuna. Tiba-tiba muncul aliran listrik berwarna hitam yang melindungi seluruh tubuh Arjuna. Sehingga membuat ia terkejut dan langsung mengambil langkah mundur."Sial. Apa itu?" pekik siswi itu sambil memegang tangan kanannya yang terkena sengatan listrik."Jangan coba-coba tangan kotormu itu menyentuh wajahku, makhluk rendahan!"Kalimat peringatan itu terdengar lantang dari mulut Arjuna, yang langsung bangkit. Dengan sorot mata yang tajam serta tubuh berselimut aliran listrik berwarma hitam pekat. Warna rambut Arjuna pun tampak berbeda—menjadi putih.Suhu udara juga mengalami perubahan, yang awalnya sejuk kini berubah menjadi lebih panas. Disertai tekanannya yang semakin meningkat. Hingga membuat kadar oksigen menipis."Sial, kekuatan leak macam apa ini? Mampu mempengaruhi udara sekitarnya?" tanya siswi itu sambil kembali berjalan mundur.Dan bersamaan itu, wujud Arjuna sudah beruba