"Mas, istrimu itu aku, bukan dia! Mengapa hanya karena wanita lain kaurela untuk menzolimi aku dan Syifa? Kasihan dia Mas...!" Latifah sesenggukan sembari memeluk kaki suaminya, Arief, mengharap sedikit welas asih ya.
Tetapi, Arief, lelaki yang telah menjadi suaminya hampir sepuluh tahun itu dan sangat dicintainya itu tampaknya benar-benar menganggapnya bukan lagi istrinya. Dengan kasar ia menarik kakinya dan mendorong kepala Latifah. "Lepaskan! Aku ke sini bukan untuk mendengar ocehan dan tangisanmu, tapi untuk meminta kausegera keluar dari rumah ini! Kemasi barang-barangmu! Satu Minggu lagu aku datang, rumah ini harus sudah dalam keadaan kosong! Silakan kaubawa anakmu!!"
Tanpa menunggu jawaban apa pun dari Latifah, laki-laki yang memang masih menyimpan ketampanan dan pesona dari masa mudanya itu langsung keluar dari rumah itu.
Latifah berusaha mencegahnya agar ia memikirkan kembali keputusannya, sama sekali tak digubris. Bahkan sang buah hatinya, Syifa, yang menangis mengikuti sembari memanggilnya "Ayah" pun sama sekali tak dianggapnya ada.
Untuk kesekian kalinya, Latifah, harus menerima perlakuan yang sama dari suaminya. Ia memeluk tubuh Asyifa sembari menangis tersedu-sedu. Ternyata, wanita cantik dengan segala kelembutan sepertinya, tak selalu nasib rumah tangganya pun indah.
***
SI GANTENG pengusaha muda itu namanya Zoelva Paranaka. Ia biasa dipanggil Zoel atau Zoelva. Umur 27 tahun, status perjaka--kata KTP-nya--, dan berprofesi sebagai pengusaha muda yang sedang menapaki anak tangga menuju kesuksesan. Ia membuka gerai perhiasan dari emas, perak, dan permata di beberapa tempat mall di wilayah Jabodetabek. Gerai dan tokonya khusus menjual barang perhiasan emas, perak, dan permata dari beberapa brand ternama luar negeri.
Oh ya, si ganteng Zoelva ini perantau asal Jambi, tapi setelah menyelesaikan kuliahnya di Jakarta (dia mahasiswa pindahan dari sebuah kampus di Jogja), ia memutuskan untuk bekerja di ibukotanya Indonesia itu, sebelum ia memutuskan untuk resign dari perusahaan tempatnya bekerja lalu merintis usahanya sendiri. Posturnya yang tinggi besar dengan wajah kebule-buleannya diturunkan dari ibunya, Albertina Agueda, yang merupakan wanita Indo-Purtu Timor-Timur (kini Timor Leste). Menurut ceritanya, dulu ayahnya pernah bertugas di propinsi termuda itu (saat itu) sebagai anggota Abri TNI). Di Tanah Lorosa’e itu ayah dan ibunya bertemu lalu menikah, dan di sana pula Zoelva dilahirkan, tepatnya di kota Lospalos, Lautem.
Sebenarnya, Zoelva pernah menjalin hubungan asmara dengan seorang gadis, Niken Komalasari, yang merupakan teman kuliahnya dulu. Mereka berpacaran hampir tiga tahun. Namun rupanya, Niken tidak bermain jujur dan setia, tetapi dia telah mencuranginya secara bertubi-tubi di belakangnya. Mulanya ia tak percaya saat beberapa teman kuliahnya menceritakan padanya bahwa sang pujaan hatinya itu memiliki PIL (pria idaman lain). Bahkan ia anggap itu hanya semata fitnah. Bahkan saat matanya sendiri menyaksikan kekasihnya itu berjalan berangkulan pinggang dengan mesra memanja dengan laki-laki lain, ia pun masih mempertahankan pikiran positifnya. Ia berpikir, bahwa Niken adalah gadis yang kalem, berbudi pekerti halus dan lembut. Jadi mana mungkin bisa berbuat curang?
“Oh, dia Hendi, Mas, sepupunya Niken. Dia memanfaatkan cutinya untuk berlibur di Jogja. Ortu Niken meminta Niken untuk menemaninya selama dia berada di Jogja,” kilah Niken dengan suara yang masih lembut dan wajah tak menampakkan wajah seorang pembohong sedikit pun, ketika Zoelva menanyakan perihal laki-laki yang berjalan dengannya tempo hari. “Mas lihatnya di mana?”
“Di sebuah mall di Malioboro?” sahut Zoelva, pun dengan wajah tidak menampakkan raut cemburu sama sekali.
“Oh iya, Mas, benar. Itu pas hari pertama dia berada di Jogja.”
“Oh, dia tinggal di mana?”
“Ya dia tinggal dan bekerja di Surabaya, Mas. Rumah ortunya satu komplek dengan rumah ortuku. Ibunya dia kakak dari papanya Niken.”
“Hm, berarti calon abang iparku, dong?” canda Zoelva.
Niken tersenyum sembari menjulurkan ujung lidahnya. Satu cubitan kecil ia daratkan pada lengan Zoelva, lalu memeluk lengan kekar itu dengan sikap manja. “Oh iya, lupa. Katanya Mas tempo hari lihat kami di mall itu, terus Mas ke sana dengan siapa, hayo? Kok Niken nggak dikasih tau?”
“Sama si Dicky, cari-cari sepatu futsal.”
“Oh...”
Zoelva paham, bahwa wanita pujaan hatinya sedang cemburu, ia pun mengacak-acak pelan rambutnya dan mencium ubun-ubun kepalanya. Coba, mayak iya, kekasihnya yang lemah lembut dan manja seperti ini bisa mencuranginya di belakang aku? Tak mungkinlah! Pikirinya.
Akan tetapi, keyakinannya itu terbantahkan oleh kenyataan yang ia dapatkan sebulan kemudian. Sang pujaan hatinya yang disanjung-sanjungnya sangat setia itu ternyata benar telah mencuranginya habis-habisan secara rapi, halus, senyap, dan terukur. Hehehe.
“Kamu akan cuti kuliah? Kenapa? Apakah ortumu tak punya harta lagi untuk membiayai kuliahmu?” tanya Zoelva kepada Niken, ketika gadisnya itu mengungkapkan akan mengambil cuti kuliah selama dua semester. Saat itu Niken sengajak mengajaknya ke Tloga Putri, Kaliurang.
“Bukan karena itu Mas...”
“Ya terus kenapa?”
Niken mendadak terisak. “Ortu Niken mau menikahkan Niken dengan dia, Mas.”
Seumur-umurnya, mungkin kabar itu kabar yang paling membuat Zoelva paling kaget ketika mendengarnya, sehingga spontan ia merenggangkan duduknya dari Niken dan memegang pundak gadis itu. “Kamu akan menikah? Dengan dia siapa!?”
Niken tak mampu menatap wajah Zoelva. “Dengan...cowok yang Mas lihat jalan berdua dengan Niken di mall itu!”
“Haahh...!!” makin kaget Zoelva. Spontan ia melepaskan tangan kirinya dari pundak Niken dengan agak mendorongnya. “Berarti benar, kautelah mencurangi aku selama ini!”
“Tidak Mas! Mas harus mendengarkan penjelasan Niken!” jerit Niken sembari hendak meraih tubuh Zoelva.
Zoelva dengan cepat mengangkat kedua tangannya sebagai tanda bahwa ia tak ingin dipeluk oleh si gadis. “Maaf, kamu tak perlu perlu menjelaskan apa pun lagi, karena tak akan mengubah apa pun!”
“Tapi aku tetap mencintaimu, Mas! Walau pun kita mungkin tak bisa saling memiliki, tapi cinta...”
“Stop! Stop! Stop!” potong Zoelva sembari mengangkat kedua tangannya setinggi dadadnya. “Kauingin mengatakan, bahwa cinta itu tak mesti saling memiliki, kan? Jiahahaha, itu kata-kata orang yang stres dan putus asa! Sudah Basi! Tapi okey, aku mengucapkan terima kasih kausempat mampir dalam hidupku, mengisi ruang hatiku, mengajarkan aku ke jenjang ke dewasaan dengan pelajaran cintamu yang..., oh maaf. Selamat menempuh hidup baru. Aku berharap, kalian berdua dapat hidup bahagia dan rukun, tanpa bumbu kecurangan dan penghiatan di dalamnya! Selamat tinggal, Nona!”
Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Zoelva pun meninggalkan Niken, meninggalkan sang wanita yang selama ini ia puja dan sanjung oleh hatinya siang dan malam. Pergi membawa kecewa dan luka hatinya yang teramat dalam. Dia memang tak menderaikan air matanya di pipi akibat penghianatan itu, karena dia seorang laki-laki, tetapi jiwanya yang menjerit setinggi langit. Penghianatan dari wanita yang sangat ia cinta itu terasa menghujam ulu hati dan nurani sucinya, cucurkan darah dan selaksa duka.
Maka sadarlah Zoelva, bahwa penampakan tak selalu secara dengan apa yang dipikirkan dan yang terjadi sesungguhnya. Seeokar angsa tidak selalu seelok dan seanggun rupanya, namun ia pun mampu menimbulkan luka dan kengerian.
Akibat kecewa berat akibat kegagalan cinta itu, Zoelva lalu memutuskan untuk pergi meninggalkan kampusnya di Jogja dan pindah kuliah di Jakarta. Terlalu banyak kenangan indah dia bersama Niken yang tak mungkin mampu ia hapus, bahkan seumur hidupnya. Di kampus itu ia mengenal gadis itu, lalu jadianya, seterusnya memupuk cinta mereka.
Sejak saat itu, ia tak berhasrat lagi untuk mencari tambatan hatinya yang baru lagi, karena ia merasa bahwa separuh jiwa dan segenap ruang batinnya sudah dibawa pergi oleh wanita yang merupakan cinta pertama yang diseriusinya itu. Kegantengan serta kesuksesan yang telah ia raih, tentu ia dengan mudah mendapatkan wanita pujaan lagi yang bahkan lebih dari segalanya daripada Niken. Namun ia tak melakukan itu. Bahkan wanita-wanita cantik dan berkelas yang mencoba mencari perhatiannya, juga menjamah hatinya, pun semuanya mental. Belum mempan. Pintu hatinya masih tertutup dan tersegel rapat.
“Tak baik, Nak, hidup membujang terlalu lama, sebab kau akan memanen banyak dosa,” ucap ibunya, Umi Tina, saat ia berlibur ke kampung halamannya di Jambi. “Menikahlah, Nak. Kau itu seorang laki-laki muslim yang sudah matang dalam usia dan mental serta mampu secara ekonomi. Artinya, hukum menikah untukmu bisa menjadi wajib.”
“Benar kata ibumu, Nak,” tambah ayahnya, Abi Ruslan. “ Sempurnakan agamamu dengan menikah. Wanita seperti apa yang kauinginkan? Jika kaumau, abi dapat melamarkanmu wanita-wanita yang berkelas dan cantik dari kalangan keluarga besar kita. Mereka cantik-cantik dengan kedudukan sosial yang bagus. Misalnya seperti Rustina anak Wak Abidinmu, dia seorang dokter spesial, atau Aisyah anak Pak Nga Hamzah, dia seorang dokter gigi dan bertugas di Kota Seulak, atau saudara-saudara sepupu lainmu yang kebanyakan dokter.”
“Insha Allah, Umi, Abi, doakan dalam waktu tak lama lagi saya sudah benar-benar siap untuk menikah. Bisa jadi istri Zoel kelak adalah di antara wanita yang Abi sebutkan barusan,” jawab Zoelva dengan bahasa yang santun sembari membesarkan hati abinya.
“Insha Allah, Nak. Amin Allahumma amin,” ucap Abi Ruslan.
Memang, sejak ia putus dengan Niken Hapsari, Zoelva tak pernah lagi menjalin hubungan serius dengan wanita mana pun. Hatinya sudah terlanjur kecewa, atau lebih tepatnya trauma psikis dengan yang namanya cinta. Harapan dan cintanya yang pernah ia curahkan dengan tulus, malah dicampakkan begitu saja oleh Niken, gadis yang sangat ia cinta dan sanjung. Tak pernah lagi menjalin hubungan serius dengan wanita mana pun, artinya memang setelah itu ia menjalin hubungan semacam sekedar iseng saja. Entah sudah berapa banyak wanita yang telah jatuh dalam pelukannya (namun lebih tepatnya, ia jatuh ke pelukan wanita) namun tanpa satu pun terhadap wanita-wanita itu ia libatkan hatinya, perasaan cintanya. Nyaris seluruhnya hanya melibatkan tuntutan biologisnya semata. Ya, hanya mengikuti tuntutan biologisnya semata. Niken Hapsari bukan saja tela
Lalu Zoelva menceritakan semua keluhannya seperti yang diceritakannya kepada Pak Suhendi tempo hari. “Apakah secara psikis saya menderita kelainan, Dok?” “Menurut analisa saya, Pak, eh Mas saja mungkin, ya? Menurut analisa saya, Mas Zoelva tidak mengalami kelainan seperti itu. Hanya orientasi seksual saja, dan oriantasi seksual adalah kecendurang psikis secara alami, selama itu orientasinya heteroseksual yang umum atau yang disebut seksual dengan lawan jenis. Hanya saja mungkin, kecenderungan itu sebagai dampak dari kekecewaan masa lalunya Mas Zoelva terhadap mantan kekasihnya yang seorang gadis.” Zoelva mengangguk-angguk pelan. “Begitu ya, Dok. Berarti fobi saya tidak benar ya Dok.” “Benar sekali,
Malamnya, ketika saatnya ia naik ke tempat tidurnya, seperti biasa, Zoelva selalu berkesempatan untuk masuk ke dunia maya. Ia selalu kangen dengan teman-temannya FB-nya. Namun ada yang lebih penting, yaitu membuka di bagian permintaan pertemanan. Ada banyak sekali yang meng-add. Lebih dari seratusan orang. Ia selalu selektif untuk menerima pertemanan. Hanya yang ia kenal atau diperkirakan orang-orang dari kalangannya saja, kaum bisnismen, yang akan ia konfirmasi. Salah satu di antara mereka ada Latifah Khairani, sang bidadari yang tadi sore ia kenal. Setelah dikonfirmasi, Zoelva langsung menyempatkan diri untuk berkunjung ke akunnya sang bidadari. Hal yang pertama yang ia lakukan adalah menyusuri linimasa sang bidadari sebelum ia masuk ke dalam album foto-foto dan video-videonya.
Satu jam kemudian Bunda Jesica alias Nyonya Hasyima benar-benar telah hadir di apartemen Zoelva. Begitu pintu apartemen ditutup, Zoelva langsung menyergap tubuh wanita yang mungkin seusia ibunya itu. Bibir tebal merekah wanita itu langsung dihajarnya dengan ciuman dan pagutan yang panas, ganas, dan membara, sembari tangannya bermain di wilayah-wilayah paling sensitip di tubuh wanita yang jika di depan suaminya itu berlaku sebagai seorang wanita yang sangat taat dan seti terhadap suaminya. Nyonya Hasyima pun tak mau kalah. Walaupun dengan berjinjit dambil setengah bergelayut di leher sang pemuda karena tubuhnya jauh lebih pendek, ia pun membalas ciuman dari sang singa pejantan mudanya dengan tak kalah ganas dan membaranya. Aroma tembakau yang keluar dari nafas pejantan mudanya tak ia pedulikan. Hajar teruuus! Erangan dan desahannya meluncur be
Zoelva mengira, tadi pagi itu adalahcallingterakhir dia dengan Latifah. Tetapi kenyataannya, tepat pukul 13.00 WIB, sang bidadari kembali menghubunginya kembali, juga lewatvidcall. Saat itu ia masih berada di ruang kerjannya di gerainya di sebuah Mall di Bekasi. Dia melihat wanita itu duduk di suatu tempat yang banyak orang yang lalu-lalang. Seperti di ruang tunggu sebuah bandara. "Assalamualaikum, Dek Zoel. Lagi apa?" Latifah langsung melemparkan senyum yang sama seperti tadi pagi. Seulas senyum khas yang manis tiada tara, menurutnya. "Waalaikumsalam, Mbak Ifah. Ini saya lagi di tempat kerja. Mbak Ifah sendiri lagi di mana? Sepertinya di sebuah ruang tunggu, bandara, mungkin?” “Iya benar, Dek
“Suami Mbak lagi ke Kudus, Dek Zoel.” “Oh beliau orang sana?” “Nggak, satu kota dengan Mbak Kok,” sahut Latifah, lalu bertanya, “ Maaf, Dek Zoel kerja di perusahaan apa?” "Saya punya beberapa geraijewelry, Mbak Ifah. Ya masih kecil-kecilan, sih, hehehe.” “Maksudnya sejenis toko perhiasan emas, perak, permata gitu ya, Dek?” “Betul sekali, Mbak Ifah. Tapi saya bukanya dimall-mallgitu, Mbak.” “Waaw...! Berarti Dek Zoel ini seorang pengusaha mu
“Dik Zoel takut ya jika suami saya tau kita sering curhatan? Kan tak ada yang ditakutkan, Dik? Kita ngobrolnya bersih-bersih saja.” Tak tampak kekhawatiran di wajah Latifah saat mengucapkan itu. “Dia bukan pecemburu kok Dik Zoel, tenang saja.” “Syukurlah, Mbak,” sahut Zoelva. “Saya hanya coba untuk mengingatkan Mbak Ifah saja, sih. Bagaimanapun saya juga seorang laki-laki, tentu sangat paham perasaan sesama laki-laki. Tentu laki-laki atau suami mana pun tak pernah suka jika tahu istrinya suka kontakan dengan laki-laki lain, sekalipun hanya sekedar obrolan biasa saja. Apalagi...cowoknya seganteng saya. Hahaha...” Latifah ikut tertawa. “Iya, Mbak percaya. Tak ada siapa pun yang akan mengatakan Dik Zoel itu jelek, pasti semuanya mengataka
Dan, tanpa menunggu lama, Latifah pun mulai mengaji. Lantunan ta'awudz dan basamallahnya saja demikian merdu dan sedap di telinga. Surah yang ia lantunkan adalah Arrahman. Subhanallah, lagi-lagi Zoelva dibuat terkesima, bukan karena hanya oleh keindahan suaranya sang bidadari, tetapi karena sang bidadari melantunkan ayat-ayat suci itu dengan menghafal. Lagu dan tadwidnya demikian fasih dan pas, menurut Zoelva yang awam. Ia sampai memejamkan mata untuk menikmati dan menghayatinya. Ia seolah-olah terbawa ke suatu alam fantasi yang demikian mendamaikan jiwanya. Belum cukup ia membawakan Surah Arrahman, ia pun lantas melanjutkannya dengan melantunkan Surat Al Waaqi'ah. Lagi-lagi subhanallah. Kembali Zoelva memejamkan mata untuk meresapi dan menikmatinya, sampai tak sadar kemudian Latifah telah selesai mengajinya.
Lama Zoelva duduk merenung sembari menutup kedua matanya dengan kedua tangannya, sebelum mengucapkan lagi selamat tinggal kepada Latifah dengan menjamah kayu nisannya. Saat keluar dari komplek makam, dan hendak menuju kendaraannya, Zoelva sempat melihat sosok seorang wanita yang berpakaian baju muslimah berwana hitam hingga ke hijabnya. Jaraknya sekitar dua puluhan meter. Firasat Zoelva mengatakan, bahwa wanita itu memperhatikannya sejak tadi. Saat ia menoleh ke arahnya, dengan cepat wanita itu memalingkan wajah ke arah lain.Mungkin hanya peziarah juga, pikir Zoelva pula, kemudian melanjutkan langkah ke kendaraannya. Tujuan Zoelva selanjutnya adalah menuju Pantai Morosari Sayung. Ia ingin bernostalgia di tempat itu. Di pantai berhutanmangroveyang dulu pernah ia kunjungi bersama
Hingga sampai pada suatu hari--seminggu setelah kamividcallterakhir--, saat ia menengok kembali linimasa akunFacebook-nya Sang Bidadari, di situ terpampang sederetan ucapan dari teman-temanFacebook-nya. Ucapan yang tak mungkin ia bisa mempercayainya. Sampai-sampai ia mengira, bahwa ia sedang mengalami sebuah mimpi yang paling buruk. Namun, ketika ia menggigit bibirnya kuat-kuat, ia merasakan sakitnya yang sangat.Oh, saya tidak sedang bermimpi,jerit Zoelva dalam hati. Deretan ucapan belasungkawa di linimasa itu benar nyata adanya. Itu tak mungkin mereka sedang bercanda. Yeah, Latifah, sudah tiada! Sang bidadari itu telah kembali ke ‘khayangan’. Ia telah melupakan segala dukanya. Tak terasa air mata Zoelva mengalir keluar, tanpa mampu ia tahan. Ada hunjaman kep
Dua hari kemudian mereka pulang ke Jambi. Ia disambut oleh keluarga besarnya seperti orang yang baru turun haji di zaman dulu. Sentuhan tangan mereka menjadi obat pemulih sendiri baginya. Zaenab juga datang dari Seulak, dan menginap di rumah orang tuanya Zoelva. Ia ikut merawatnya menurut pengetahuannya. Karena ia bukan dokter umum, melainkan dokter gigi. Dan alhamdulillah, berkat sentuhan semuanya, dalam waktu beberapa minggu saja kondisi Zoelva sudah berangsur-angsur pulih. Allah telah mengembalikan semua kenikmatan indrawinya yang sempat dicabutNya. Terimakasih ya Rabb, ya Allah. Bahkan ia sudah mulai kuat untuk menyalurkan hobi lamanya, yaitu memancing. Sungai-sungai yang ketika ia masih SMP dan SMA dulu, ia jajaki kembali. Dan...ohya, kerinduan Zoelva kepada Latifah pun bisa terobati. Saat ia kembalion-lineatau mem-vidcall
Zoelva pun membalas pertanyaan Latifah dengan argumen yang masuk akal, "Mbak, ada berbagai cara yang bisa ditempuh oleh seorang laki-laki untuk mendapatkan cintanya seorang wanita pujaan hatinya, termasuk bila perlu adalah dengan cara membohonginya secara halus, mungkin. Tetapi kami menggunakan jurus berbohong hanya agar kalian mau menerima cinta kami, dan itu pun sebagai jalan terakhir. Tapi itu sama sekali bukan ingin berniat jahat. Justru demi cinta!” Tak ada tanggapan dari sang bidadari di seberang. Zoelva pun melanjutkan: “Mbak Ifah kan masih ingat dengan kisah legendaJaka Tarubyang pernah kita bahas di awal-awal kita ber-video call? Tentu Mbak Ifah pun sudah akrab dengan legenda masyhur dari Tanah Jawa itu.JakaTarubadalah seorang pemuda yang sangat baik dan memiliki cinta yang sejati. Namun
“Oh, gara-gara itu masalahnya?” balas Zoelva. Dia cemburu rupanya? Zoelva jadi tertawa dalam hati oleh sikap sang bidadari. Tertawa dan mungkin sedikit bangga dan tersanjung karena dicemburui oleh wanita secantik itu. Tapi kemudian dia lanjut menulis, "Lantas masalahnya apa, Mbak? Kenapa Mbak Ifah mesti cemburu? Bukankah hubungan antara kita hanya sebatas sahabat?" "Saya bukan cemburu, hanya kesal saja karenaAkhimembohongi saya. KatanyaAkhinggakpunya WIL di dunia maya. Nyatanya…?" "Bukan cemburu?" kejar Zoelva, "Kalau bukan cemburu lantas artinya apa?" "Saya marah saja. KarenaAkhiternyata berbohong pada saya," tulisnya. &
Sepasang suami istri menyambut mereka. Kata Zaenab, mereka adalah Pangah Mat Yasid dan Bingah Hawsah. Mereka duduk berbincang-bincang di luar bangunan sejenis gazebo yang khusus untuk menerima tamu. Mungkin memang sudah direncanakan sebelumnya, tak lama mereka sampai, suami istri itu menjamu mereka makan dengan berbagai lauk pauk dari bahan daging yang olah secara istimewa. Ada yang dipanggang dan ada yang dimasak kuah. “Bang Zoel makan kambingkah?” tanya Zaenab. “Nggak, Dik Zaenab, kalau dagingnya makan?” Jawaban Zoelva itu tak urung membuat sang dokter muda itu langsung menutup mulutnya dengan tisu. “Saya itu jenis omnivora kok, Dik. Asal halal saja,”
Namun demikian, Zoelva menyadari, bahwa Zaenab sekali-sekali suka mencuri pandang ke arahnya. Tetapi entah mengapa, pada pandangan pertama itu ia belum merasakan ketertarikan sedikit pun terhadap wanita itu. Justru yang muncul saat itu adalah wajah Latifah. Bahkan saat itu hatinya masih sempat bertanya-tanya, sedang apa Latifah saat ini? Karena selama ia berada di Sumatra, ia belum sekalipun menatap lagi wajah cantik dan lembutnya di layar hapenya. Ia hanya mengabarkan padanya saat aku akan ke Jambi karena ayahnya sakit, itu saja. Semoga Latifah memahami situasi dan kondisiku saat ini, pikirnya pula. “Kapan Nak Zoel akan kembali ke Jawa?”tiba-tiba Paknga Rasyid bertanya dan agak mengagetkan Zoelva. “Insha Allah dalam satu dua hari lagi, Paknga.” “Kenapa cepat sekali pulangnya ke Jawa, Nak Zoe
Tentu Zoelva pun ikut merasa senang berada di desa kelahiran ayahnya itu. Karena di samping bisa menikmati suasana alam pedesaan Sumatra yang alami dan permai, aku juga bisa sempat mengenal keluarga besarku dari garis ayahku. Aku disambut dan diterima oleh keluarga besarku dengan baik dan ramah. Karena didasari oleh ikatan nasab, kami pun cepat akrab satu sama lain. Kebetulan juga ayahku merupakan salah satu tokoh dalam keluarga itu. Sentuhan tangan keluarganya dan mungkin akibat pengaruh suasana yang demikian akrab yang mempengaruhi suasana kebatinannya, menjadi obat pemulih sendiri bagi ayahnya Zoelva. Tak sampai satu Minggu berada di desanya kondisi ayahnya berangsur-angsur pulih seperti sedia kala. Allah telah mengembalikan semua kenikmatan indrawi ayahnya yang sempat dicabutNya. Pada malam keempat Zoelva berada di desa kelahiran ayahnya, saat ia, ayah, dan ibunya d
“Insha Allah, Akhi, besok akan saya sampaikan. Besok kegiatan apa saja di Demak.” “Oh, mungkin saya akan mampir untuk melihat persiapan pembukaan cabang utama, setelah itu saya akan lanjut ke dua cabangnya di dua mall. Sorenya saya baru balik ke Jogja, esok hari ke Jakarta.” “Lantas acara pembukaan cabangnya kapan, Akhi?” “Rencananya ya seminggu lagi. Tapi kayaknya Akhi tak bisa hadir dalam cara itu karena saya harus berkeliling dulu ke cabang-cabang bengkel di Bandung dan Sukabumi. Kira-kira Mbak Ifah bisanggakmembantu saya memesan makanan untuk kenduri sederhana? Dananya akan saya transfer beberapa hari lagi. Mbak Ifah atur saja sama Mirdas dan Haikal. Sudah saya bicarakan juga dengan mereka soal ini. Kalau bisa, libatkan juga A