Memang, sejak ia putus dengan Niken Hapsari, Zoelva tak pernah lagi menjalin hubungan serius dengan wanita mana pun. Hatinya sudah terlanjur kecewa, atau lebih tepatnya trauma psikis dengan yang namanya cinta. Harapan dan cintanya yang pernah ia curahkan dengan tulus, malah dicampakkan begitu saja oleh Niken, gadis yang sangat ia cinta dan sanjung.
Tak pernah lagi menjalin hubungan serius dengan wanita mana pun, artinya memang setelah itu ia menjalin hubungan semacam sekedar iseng saja. Entah sudah berapa banyak wanita yang telah jatuh dalam pelukannya (namun lebih tepatnya, ia jatuh ke pelukan wanita) namun tanpa satu pun terhadap wanita-wanita itu ia libatkan hatinya, perasaan cintanya. Nyaris seluruhnya hanya melibatkan tuntutan biologisnya semata.
Ya, hanya mengikuti tuntutan biologisnya semata. Niken Hapsari bukan saja telah membawa pergi separuh jiwanya dan nyaris seluruh ruang batinnya, namun juga telah meninggalkan pelajaran penting untuknya, yaitu: pelajaran dan kemahiran dalam bercinta. Memang dalam urusan bercinta (ranjang), gadis itu lebih berpengalaman dan lebih mahir dari dirinya yang sebelumnya hanyalah seorang pemuda yang masih awam dalam urusan yang demikian. Bahkan sekedar mencium pipi seorang wanita pun baru sekali ia melakukannya, yaitu terhadap pacar waktu SMA di hari ulang tahun pacarnya itu. Pacar tatkala masih dalam level cinta monyet. Tapi dengan Niken Hapsari, ia benar-benar ditarik untuk naik ke level cinta gorila, hehehe. Dan hasil pelajaran dari sang mantannya itu menjadikan Zoelva sebagai ‘pendekar cinta’ sejati. Tapi tatkala sang ‘mentor’-nya itu berhianat dan meninggalkannya, maka ia jadi seorang ‘pendekar’ yang merana, yang otomatis tak lagi menikmati sebuah ‘pertarungan’. Hatinya memang bisa beku dan mengenal rasa kecewa, tetapi kan biologisnya tidak pernah mengenal kondisi-kondisi seperti itu. Dan ia masih tetap sebagai seorang pemuda, brondong, yang sangat normal!
Hanya saja, setelah putus dan ditinggalkan oleh Niken Hapsari, kesukaan Zoelva lebih cenderung pada wanita-wanita yang usianya lebih tua dari usianya. Umumnya yang sudah berusia di atas tiga puluhan tahun. Tentu saja wanita-wanita yang ia maui adalah wanita-wanita yang berkelas, cantik, dan dukungan bodi yang ia nilai memiliki daya pesona seksual, menurutnya. Artinya ia tidak asal menyukai wanita yang suka mencari perhatian atau menggodanya. Karena memang ia sangat jarang untuk menggoda wanita. Justru wanitanya yang menggodanya. Mungkin benar juga ya, menurut sebuah status F* seseorang yang tak perlu disebutkan namanya, bahwa godaan terbesar seorang laki-laki tampan itu adalah wanita dengan landasan nafsunya.
Wanita yang dikencaninya itu pasti dia panggil: “Mpok”, “Mbak”, “Teteh”, “Kakak”, “Tante”, “Bunda”, atau panggilan serupa bagi wanita yang jauh lebih tua daripada usianya sendiri. Sebagian dari wanita itu ia kenal melalui sosmed, dan sebagian lainnya lewat pergaulannya yang luas di dunia nyata. Zooelva tak mempersoalkan status wanita-wanita itu. Karena menurutnya, kalau namanya zina ya tetaplah zina, mau dengan gadis, janda, atau pun istri orang. Berzina kok milih-milih?
Di mata para karyawannya, Zoelva, adalah seorang bos yang baik, ganteng, berwibawa, dan tampak alim, karena disebabkan ia sangat rapi menyimpan sisi buruknya. Ia sangat jaim (jaga imej). Padahal sesungguhnya ia adalah seorang penyuka wanita sejati, dan bukan sang pecinta wanita. Kasarnya: ia adalah seorang pendosa, pezina!
Petualangan nyleneh-nya dia sendiri mengakuinya, seperti kepada seorang rekan bisnisnya, suatu hari, yang bernama Pak Suhendi, namun diakrabinya dengan panggilan Bro Suhendi. Tetapi oleh Bro Suhendi hanya menanggapinya dengan santai saja, “Di era teknologi informasi kini, hal semacam itu tak perlu diceritakan lagi, Brother. Sebab saya pun kadang melakukan hal seperti itu. Salah satu dosa terbesar di akhir zaman!”
“Iya, saya juga menyadari itu,” sahut Zoelva. “Tetapi setiap habis mengencani wanita, saya selalu merasakan dosa itu nyata. Namun perbuatan yang sama tetap saja saya lakukan, lakukan, dan lakukan. Dan ajaibnya lagi, setelah saya dihianati dan putus dengan pacar saya waktu kuliah di Jogja dulu, saya tidak lagi merasa sreg pada yang namanya gadis, dan lebih cenderung pada wanita-wanita yang usianya lebih tua dari saya. Emak-emak yang nyaris mengalami masa menopause pun saya embat. Ckckckck. Apakah saya ini tidak normal lagi, ya?”
Pak Suhendi tertawa ringan. “Bro Zoel tentu masih sangat normal, menurut saya. Ya, mungkin memang hanya akibat dari semacam rasa dendam saja, setelah cinta Bro Zoel dihianati dan putus dengan mantan gadisnya Bro itu. Rasa dendam Bro itu, saya rasa, dapat diobati dengan mudah dengan sebuah obat.”
“Apa itu...?”
“Menikah!” ucap Pak Suhendi. “Dengan Bro Zoel menikah, insha Allah semua problem itu akan hilang dengan sendirinya, termasuk akan melupakan gadis yang pernah membuat luka di hati Bro Zoel itu. Atau jika Bro Zoel ingin berkonsultasi kepada seorang psikiater.”
Zoelva berpikir agak lama, sebelum bertanya, “Apakah Bro ada rekomen untuk seorang psikiater yang bagus?”
“Ada! Dia seorang psikiter yang jenius dengan analisis yang mumpuni. Teman satu kampus saya dulu. Setelah itu ia melanjutkan spesialisasinya di Oxford University, Inggris.”
“Wanita atau laki-laki?”
“Wanita, seusia saya, sekitar 35 tahun. Suaminya seorang arsitek juga konsultan di bidang itu.”
“Hm, baiklah. Saya coba. Tolong Bro kirim alamat praktiknya lewat nomor WA saya.”
“Tak masalah.”
Rekomendasi dari Pak Suhendi itu baru dapat terpenuhi beberapa hari kemudian. Tempat praktek psikiater itu berada di wilayah Rawamangun, Jaktim. Zoelva datang ke situ pada sore hari. Saat ia tiba, ia melihat hanya ada seorang wanita yang duduki menunggu di kursi tunggu yang terletak di luar dari ruang praktek psikiaternya.
Setelah mendaftarkan diri pada seorang asisten dokternya, Zoelva menunggu di bangku yang berhadapan dengan wanita yang dia lihat tadi. Kepada wanita itu ia tak lupa mengangguk sekali dan tersenyum. “Maaf, Ibu mau konsultasi atau mengantar...?”
“Saya mau konsultasi, Dek. Adek juga mau konsultasi?”
“Iya, Bu, hehehe.”
Wanita itu tersenyum.
Subhanallah, manis nian senyum itu. Laksana bulan tujuh hari, kata orang dulu. Usianya wanita itu mungkin sudah melewati kepala tiga. Tapi kecantikan dari masa mudanya belum hilang dari wajahnya yang dibingkai oleh jilbab syar’i berwarna hijau toska yang dikenakannya. Dari face-nya, kemungkinan ia blasteran arab, India, atau Pakistan. Untuk menggambarkan kecantikan wanita itu, mungkin Zoelva harus meminjam kalimat pujiannya orang zaman dulu: dahi bak punggung ketam, bibir tebal simetris bak sepasang permata rubi, alis seperti semut hitam berbaris, dagu seolah sarang madu, pipi bak pauh dilayang (buah mangga dibelah tipis), dan sepasang mata bening yang selalu tersenyum. Ya Allah, betapa sempurna ciptaanMu. Pasti dia sangat disayang oleh suaminya, pikir Zoelva.
Kecantikan wanita di depannya benar-benar mampu melenyapkan jenuh di hati Zoelva saat menunggu. Selalu punya kesempatan baginya untuk melirih wanita itu, walau seolah sambil lalu. Saat ketika wanita itu melihat dan tersenyum kepadanya, ia pun balas tersenyum sambil mengangguk pelan. “Ibu sudah lama menunggunya?”
Ibu muda itu menengok jam di pergelangan tangan kirinya, “Lumayan Dek, sudah tiga puluh menit lebih.”
“Mungkin sebentar lagi yang konsultasi keluar.”
“Iya Dek...”
Benar juga, tak lama kemudian seorang laki-laki keluar dari pintu kaca tebal dari ruang praktek. Lalu disusul oleh munculnya sang asisten dokter di pintu yang terkuak. “Nyonya Latifah...? Silakan Bu...”
“Saya masuk dulu, ya Dek,” ujar wanita yang ternyata bernama Latifah itu kepada Zoelva.
“Oh iya, silakan, Bu...”
Subhanallah, namanya secantik orangnya, batin Zoelva. Latifah!
Sekitar dua puluh menit Zoelva menunggu, Latifah muncul dari pintu kaca yang terkuak, lalu disusul oleh munculnya wajah sang asisten dokter. “Saudara Zoelva Paranaka...? Silakan...!”
“Mari Dek, saya duluan, ya?” sapa Bu Latifah dengan suaranya yang lemah lembut sembari melemparkan senyum kepada Zoelva.
“Ya, mari, Bu,” sahut Zoelva, pun dengan suara pelan sembari membalas senyum.
Setelah mengantarkan Latifah dengan pandangannya, ia pun masuk ke dalam ruang praktek sang psikiaternya. Seperti yang diceritakan oleh Pak Suhendi, psikiater itu usiannya sudah melewati kepala tiga. Orangnya cantik dan tampak terlihat muda dari usianya. Lebih pas jika ia berusia sekitar 28 atau 29 tahun.
“Silakan, Pak Zoelva. Ada yang bisa saya bantu?” sambut dr. Ellisa, SpKJ (nama psikiater itu seperti yang tertulis di papan namanya di depan ruang prakteknya), sembari mempersilakannya duduk.
“Terima kasih, Dok.”
Lalu Zoelva menceritakan semua keluhannya seperti yang diceritakannya kepada Pak Suhendi tempo hari. “Apakah secara psikis saya menderita kelainan, Dok?” “Menurut analisa saya, Pak, eh Mas saja mungkin, ya? Menurut analisa saya, Mas Zoelva tidak mengalami kelainan seperti itu. Hanya orientasi seksual saja, dan oriantasi seksual adalah kecendurang psikis secara alami, selama itu orientasinya heteroseksual yang umum atau yang disebut seksual dengan lawan jenis. Hanya saja mungkin, kecenderungan itu sebagai dampak dari kekecewaan masa lalunya Mas Zoelva terhadap mantan kekasihnya yang seorang gadis.” Zoelva mengangguk-angguk pelan. “Begitu ya, Dok. Berarti fobi saya tidak benar ya Dok.” “Benar sekali,
Malamnya, ketika saatnya ia naik ke tempat tidurnya, seperti biasa, Zoelva selalu berkesempatan untuk masuk ke dunia maya. Ia selalu kangen dengan teman-temannya FB-nya. Namun ada yang lebih penting, yaitu membuka di bagian permintaan pertemanan. Ada banyak sekali yang meng-add. Lebih dari seratusan orang. Ia selalu selektif untuk menerima pertemanan. Hanya yang ia kenal atau diperkirakan orang-orang dari kalangannya saja, kaum bisnismen, yang akan ia konfirmasi. Salah satu di antara mereka ada Latifah Khairani, sang bidadari yang tadi sore ia kenal. Setelah dikonfirmasi, Zoelva langsung menyempatkan diri untuk berkunjung ke akunnya sang bidadari. Hal yang pertama yang ia lakukan adalah menyusuri linimasa sang bidadari sebelum ia masuk ke dalam album foto-foto dan video-videonya.
Satu jam kemudian Bunda Jesica alias Nyonya Hasyima benar-benar telah hadir di apartemen Zoelva. Begitu pintu apartemen ditutup, Zoelva langsung menyergap tubuh wanita yang mungkin seusia ibunya itu. Bibir tebal merekah wanita itu langsung dihajarnya dengan ciuman dan pagutan yang panas, ganas, dan membara, sembari tangannya bermain di wilayah-wilayah paling sensitip di tubuh wanita yang jika di depan suaminya itu berlaku sebagai seorang wanita yang sangat taat dan seti terhadap suaminya. Nyonya Hasyima pun tak mau kalah. Walaupun dengan berjinjit dambil setengah bergelayut di leher sang pemuda karena tubuhnya jauh lebih pendek, ia pun membalas ciuman dari sang singa pejantan mudanya dengan tak kalah ganas dan membaranya. Aroma tembakau yang keluar dari nafas pejantan mudanya tak ia pedulikan. Hajar teruuus! Erangan dan desahannya meluncur be
Zoelva mengira, tadi pagi itu adalahcallingterakhir dia dengan Latifah. Tetapi kenyataannya, tepat pukul 13.00 WIB, sang bidadari kembali menghubunginya kembali, juga lewatvidcall. Saat itu ia masih berada di ruang kerjannya di gerainya di sebuah Mall di Bekasi. Dia melihat wanita itu duduk di suatu tempat yang banyak orang yang lalu-lalang. Seperti di ruang tunggu sebuah bandara. "Assalamualaikum, Dek Zoel. Lagi apa?" Latifah langsung melemparkan senyum yang sama seperti tadi pagi. Seulas senyum khas yang manis tiada tara, menurutnya. "Waalaikumsalam, Mbak Ifah. Ini saya lagi di tempat kerja. Mbak Ifah sendiri lagi di mana? Sepertinya di sebuah ruang tunggu, bandara, mungkin?” “Iya benar, Dek
“Suami Mbak lagi ke Kudus, Dek Zoel.” “Oh beliau orang sana?” “Nggak, satu kota dengan Mbak Kok,” sahut Latifah, lalu bertanya, “ Maaf, Dek Zoel kerja di perusahaan apa?” "Saya punya beberapa geraijewelry, Mbak Ifah. Ya masih kecil-kecilan, sih, hehehe.” “Maksudnya sejenis toko perhiasan emas, perak, permata gitu ya, Dek?” “Betul sekali, Mbak Ifah. Tapi saya bukanya dimall-mallgitu, Mbak.” “Waaw...! Berarti Dek Zoel ini seorang pengusaha mu
“Dik Zoel takut ya jika suami saya tau kita sering curhatan? Kan tak ada yang ditakutkan, Dik? Kita ngobrolnya bersih-bersih saja.” Tak tampak kekhawatiran di wajah Latifah saat mengucapkan itu. “Dia bukan pecemburu kok Dik Zoel, tenang saja.” “Syukurlah, Mbak,” sahut Zoelva. “Saya hanya coba untuk mengingatkan Mbak Ifah saja, sih. Bagaimanapun saya juga seorang laki-laki, tentu sangat paham perasaan sesama laki-laki. Tentu laki-laki atau suami mana pun tak pernah suka jika tahu istrinya suka kontakan dengan laki-laki lain, sekalipun hanya sekedar obrolan biasa saja. Apalagi...cowoknya seganteng saya. Hahaha...” Latifah ikut tertawa. “Iya, Mbak percaya. Tak ada siapa pun yang akan mengatakan Dik Zoel itu jelek, pasti semuanya mengataka
Dan, tanpa menunggu lama, Latifah pun mulai mengaji. Lantunan ta'awudz dan basamallahnya saja demikian merdu dan sedap di telinga. Surah yang ia lantunkan adalah Arrahman. Subhanallah, lagi-lagi Zoelva dibuat terkesima, bukan karena hanya oleh keindahan suaranya sang bidadari, tetapi karena sang bidadari melantunkan ayat-ayat suci itu dengan menghafal. Lagu dan tadwidnya demikian fasih dan pas, menurut Zoelva yang awam. Ia sampai memejamkan mata untuk menikmati dan menghayatinya. Ia seolah-olah terbawa ke suatu alam fantasi yang demikian mendamaikan jiwanya. Belum cukup ia membawakan Surah Arrahman, ia pun lantas melanjutkannya dengan melantunkan Surat Al Waaqi'ah. Lagi-lagi subhanallah. Kembali Zoelva memejamkan mata untuk meresapi dan menikmatinya, sampai tak sadar kemudian Latifah telah selesai mengajinya.
Keesokan harinya, Latifah mengirimkan pesanmessengeruntuk mengucapkan selamat pagi dan selamat beraktifitas kembali kepada Zoelva. Saat itu Zoelva sedang berada di cabang garainya yang di daerah Depok. "Ya, terima kasih, bucant buat ucapannya. Ucapan yang sama ya buat bucant," balas Zoelva. "Iya terima kasih, Dik Ganteng. Saat ini saya sedang ada undangan di sekolahnya Syifa, putrinya sayA." Latifah mengirimkan fotonya yang sedang duduk dalam sebuah ruangan kelas bersama para orang tua murid lainnya. "Oh, dalam rangka apa, nih?" "Rapat pembahasan dana BOS, Dik Zoel." "Oh begitu? Saat ini saya sudah di tempat ker
Lama Zoelva duduk merenung sembari menutup kedua matanya dengan kedua tangannya, sebelum mengucapkan lagi selamat tinggal kepada Latifah dengan menjamah kayu nisannya. Saat keluar dari komplek makam, dan hendak menuju kendaraannya, Zoelva sempat melihat sosok seorang wanita yang berpakaian baju muslimah berwana hitam hingga ke hijabnya. Jaraknya sekitar dua puluhan meter. Firasat Zoelva mengatakan, bahwa wanita itu memperhatikannya sejak tadi. Saat ia menoleh ke arahnya, dengan cepat wanita itu memalingkan wajah ke arah lain.Mungkin hanya peziarah juga, pikir Zoelva pula, kemudian melanjutkan langkah ke kendaraannya. Tujuan Zoelva selanjutnya adalah menuju Pantai Morosari Sayung. Ia ingin bernostalgia di tempat itu. Di pantai berhutanmangroveyang dulu pernah ia kunjungi bersama
Hingga sampai pada suatu hari--seminggu setelah kamividcallterakhir--, saat ia menengok kembali linimasa akunFacebook-nya Sang Bidadari, di situ terpampang sederetan ucapan dari teman-temanFacebook-nya. Ucapan yang tak mungkin ia bisa mempercayainya. Sampai-sampai ia mengira, bahwa ia sedang mengalami sebuah mimpi yang paling buruk. Namun, ketika ia menggigit bibirnya kuat-kuat, ia merasakan sakitnya yang sangat.Oh, saya tidak sedang bermimpi,jerit Zoelva dalam hati. Deretan ucapan belasungkawa di linimasa itu benar nyata adanya. Itu tak mungkin mereka sedang bercanda. Yeah, Latifah, sudah tiada! Sang bidadari itu telah kembali ke ‘khayangan’. Ia telah melupakan segala dukanya. Tak terasa air mata Zoelva mengalir keluar, tanpa mampu ia tahan. Ada hunjaman kep
Dua hari kemudian mereka pulang ke Jambi. Ia disambut oleh keluarga besarnya seperti orang yang baru turun haji di zaman dulu. Sentuhan tangan mereka menjadi obat pemulih sendiri baginya. Zaenab juga datang dari Seulak, dan menginap di rumah orang tuanya Zoelva. Ia ikut merawatnya menurut pengetahuannya. Karena ia bukan dokter umum, melainkan dokter gigi. Dan alhamdulillah, berkat sentuhan semuanya, dalam waktu beberapa minggu saja kondisi Zoelva sudah berangsur-angsur pulih. Allah telah mengembalikan semua kenikmatan indrawinya yang sempat dicabutNya. Terimakasih ya Rabb, ya Allah. Bahkan ia sudah mulai kuat untuk menyalurkan hobi lamanya, yaitu memancing. Sungai-sungai yang ketika ia masih SMP dan SMA dulu, ia jajaki kembali. Dan...ohya, kerinduan Zoelva kepada Latifah pun bisa terobati. Saat ia kembalion-lineatau mem-vidcall
Zoelva pun membalas pertanyaan Latifah dengan argumen yang masuk akal, "Mbak, ada berbagai cara yang bisa ditempuh oleh seorang laki-laki untuk mendapatkan cintanya seorang wanita pujaan hatinya, termasuk bila perlu adalah dengan cara membohonginya secara halus, mungkin. Tetapi kami menggunakan jurus berbohong hanya agar kalian mau menerima cinta kami, dan itu pun sebagai jalan terakhir. Tapi itu sama sekali bukan ingin berniat jahat. Justru demi cinta!” Tak ada tanggapan dari sang bidadari di seberang. Zoelva pun melanjutkan: “Mbak Ifah kan masih ingat dengan kisah legendaJaka Tarubyang pernah kita bahas di awal-awal kita ber-video call? Tentu Mbak Ifah pun sudah akrab dengan legenda masyhur dari Tanah Jawa itu.JakaTarubadalah seorang pemuda yang sangat baik dan memiliki cinta yang sejati. Namun
“Oh, gara-gara itu masalahnya?” balas Zoelva. Dia cemburu rupanya? Zoelva jadi tertawa dalam hati oleh sikap sang bidadari. Tertawa dan mungkin sedikit bangga dan tersanjung karena dicemburui oleh wanita secantik itu. Tapi kemudian dia lanjut menulis, "Lantas masalahnya apa, Mbak? Kenapa Mbak Ifah mesti cemburu? Bukankah hubungan antara kita hanya sebatas sahabat?" "Saya bukan cemburu, hanya kesal saja karenaAkhimembohongi saya. KatanyaAkhinggakpunya WIL di dunia maya. Nyatanya…?" "Bukan cemburu?" kejar Zoelva, "Kalau bukan cemburu lantas artinya apa?" "Saya marah saja. KarenaAkhiternyata berbohong pada saya," tulisnya. &
Sepasang suami istri menyambut mereka. Kata Zaenab, mereka adalah Pangah Mat Yasid dan Bingah Hawsah. Mereka duduk berbincang-bincang di luar bangunan sejenis gazebo yang khusus untuk menerima tamu. Mungkin memang sudah direncanakan sebelumnya, tak lama mereka sampai, suami istri itu menjamu mereka makan dengan berbagai lauk pauk dari bahan daging yang olah secara istimewa. Ada yang dipanggang dan ada yang dimasak kuah. “Bang Zoel makan kambingkah?” tanya Zaenab. “Nggak, Dik Zaenab, kalau dagingnya makan?” Jawaban Zoelva itu tak urung membuat sang dokter muda itu langsung menutup mulutnya dengan tisu. “Saya itu jenis omnivora kok, Dik. Asal halal saja,”
Namun demikian, Zoelva menyadari, bahwa Zaenab sekali-sekali suka mencuri pandang ke arahnya. Tetapi entah mengapa, pada pandangan pertama itu ia belum merasakan ketertarikan sedikit pun terhadap wanita itu. Justru yang muncul saat itu adalah wajah Latifah. Bahkan saat itu hatinya masih sempat bertanya-tanya, sedang apa Latifah saat ini? Karena selama ia berada di Sumatra, ia belum sekalipun menatap lagi wajah cantik dan lembutnya di layar hapenya. Ia hanya mengabarkan padanya saat aku akan ke Jambi karena ayahnya sakit, itu saja. Semoga Latifah memahami situasi dan kondisiku saat ini, pikirnya pula. “Kapan Nak Zoel akan kembali ke Jawa?”tiba-tiba Paknga Rasyid bertanya dan agak mengagetkan Zoelva. “Insha Allah dalam satu dua hari lagi, Paknga.” “Kenapa cepat sekali pulangnya ke Jawa, Nak Zoe
Tentu Zoelva pun ikut merasa senang berada di desa kelahiran ayahnya itu. Karena di samping bisa menikmati suasana alam pedesaan Sumatra yang alami dan permai, aku juga bisa sempat mengenal keluarga besarku dari garis ayahku. Aku disambut dan diterima oleh keluarga besarku dengan baik dan ramah. Karena didasari oleh ikatan nasab, kami pun cepat akrab satu sama lain. Kebetulan juga ayahku merupakan salah satu tokoh dalam keluarga itu. Sentuhan tangan keluarganya dan mungkin akibat pengaruh suasana yang demikian akrab yang mempengaruhi suasana kebatinannya, menjadi obat pemulih sendiri bagi ayahnya Zoelva. Tak sampai satu Minggu berada di desanya kondisi ayahnya berangsur-angsur pulih seperti sedia kala. Allah telah mengembalikan semua kenikmatan indrawi ayahnya yang sempat dicabutNya. Pada malam keempat Zoelva berada di desa kelahiran ayahnya, saat ia, ayah, dan ibunya d
“Insha Allah, Akhi, besok akan saya sampaikan. Besok kegiatan apa saja di Demak.” “Oh, mungkin saya akan mampir untuk melihat persiapan pembukaan cabang utama, setelah itu saya akan lanjut ke dua cabangnya di dua mall. Sorenya saya baru balik ke Jogja, esok hari ke Jakarta.” “Lantas acara pembukaan cabangnya kapan, Akhi?” “Rencananya ya seminggu lagi. Tapi kayaknya Akhi tak bisa hadir dalam cara itu karena saya harus berkeliling dulu ke cabang-cabang bengkel di Bandung dan Sukabumi. Kira-kira Mbak Ifah bisanggakmembantu saya memesan makanan untuk kenduri sederhana? Dananya akan saya transfer beberapa hari lagi. Mbak Ifah atur saja sama Mirdas dan Haikal. Sudah saya bicarakan juga dengan mereka soal ini. Kalau bisa, libatkan juga A