Sang Long tertawa terbahak-bahak, sambil mendekati Ling Cun dengan mengayunkan goloknya ke sembarang arah.
Ketika dia hendak menanggalkan dua tangan Ling Cun, bocah kecil yang tadi masih meringis kesakitan, langsung menyambar pedangnya yang terlempar dan berhasil melukai wajah Sang Long.
Serangan itu sangat cepat, Sang Long cukup hebat menghindari serangan itu, tapi tetap saja ujung mata pedang bocah itu masih berhasil mengiris tipis bawah dagunya.
Luka itu membuat darah mengalir beberapa tetes, membuat Sang Long mulai kehilangan keramahannya. Senyum dan tawa yang selalu menghiasi bibir berkarat itu langsung lenyap, di iringi dengan tatapan tajam dengan keinginan membunuh yang sangat besar.
"Sepertinya, sebelum dua tangan ayahmu yang kuambil, kepalamulah yang harus dipenggal!"
"Sang Long hentikan!" teriak Ling Cun, "Dia masih anak-anak, jangan kau sakiti putraku! jika kau ingin membalaskan luka itu, bunuh saja aku, Sang Long!"
"Aku memang be
Mereka tinggal di ujung jalanan desa, cukup jauh dari pasar tadi, dengan rumah yang berdiri di atas batu cukup besar. Ling Cun memahat batu itu hingga berbentuk seperti anak tangga yang mempermudahkan Tang Cun untuk turun naik ke rumah mereka. Lanting Beruga tidak tahu kenapa mereka berdua mendirikan sebuah tempat di atas batu besar, tapi mungkin pula karena batu ini bukan milik siapapun, sementara harga tanah cukup mahal untuk dibeli. Rumah yang mereka miliki tidak besar, hanya ada satu bilik kamar, dan satu ruang keluarga yang menyatu langsung dengan dapur. "Dimana aku harus meletakkan Ayahmu?" tanya Lanting Beruga, butuh cukup lama agar Tang Cun memahami apa yang baru saja dikatakan oleh Lanting Beruga. "Oh, di sini! baiklah!" Lanting Beruga meletakkan Ling Cun di atas pembaringan yang terbuat dari susunan bambu. Sebuah bantal dari kapas telah menyambut kepala pria tersebut. Pada saat yang sama, Tang Cun bergegas mengambil air dari
Lanting Beruga tersenyum tipis, mengisyaratkan agar dua orang ini tetap tenang. "Aku akan menghadapi mereka!" ucap Lanting Beruga. Pemuda itu berdiri mantap, kemudian kembali menutup wajahnya dengan kain hitam sehingga kini tampilannya terlihat kembali menyeramkan. Pintu berderik pelan, ketika Lanting Beruga membuka daun pintu tersebut. Mula-mula beberapa orang di luar rumah ini dikobari semangat membunuh, tapi ketika yang keluar adalah sosok Lanting Beruga, Sang Long kembali menampakan ekspresi pucat. Wajahnya yang putih bahkan kini sedikit membiru karena kemunculan Lanting Beruga. "Kakak ke lima," ucap Sang Long, "Di ... dialah yang telah mempermalukan diriku!" Kakak Ke Lima yang dimaksud oleh Sang Long adalah pria berperawakan tinggi tapi dengan rambut yang tertata cukup rapi. Pria itu menyipitkan mata ke arah Lanting Beruga, mungkin berusaha menjamah bagian terdalam dari sosok pemuda tersebut, ingin menemukan apa yang menjadi pemud
Menyadari kesalahannya tentu saja sudah terlambat dilakukan oleh Sam Hong. Dia yang telah memulai menarik pedang, tidak mungkin mundur dalam pertarungan ini.Sekali lagi, Sam Hong menyerang Lanting Beruga dengan banyak jurus andalan yang dikuasainya, tapi semua jurus tersebut tidak berarti bagi pemuda itu.Pemuda itu bahkan tidak mengeluarkan semua kekuatan pisiknya untuk menahan serangan Sam Hong.Sebuah tebasan sekali lagi mengarah ke tubuh Lanting Beruga, tapi pemuda itu malah menarik tubuhnya ke belakang, menghindari serangan itu dengan sangat mudah.Mata pedang Sam Hong hanya berjarak dua jari dari batang leher Lanting Beruga.Namun belum pula Sam Hong berhasil menguasai pedangnya lagi, Lanting Beruga telah menyerang pria itu tepat pada bagian tengah dadanya.Teriakan Sam Hong tertahan, ketika gagang pedang sisik naga hijau mendarat tepat di tengah ulu hati pria itu.Sam Hong jatuh ke tanah dengan mulut berdarah. Jika Lanting Ber
Lanting Beruga menanyakan apakah Ling Cun akan kembali atau tetap memutuskan tinggal di sini. Namun, Ling Cun menjelaskan jika tidak ada lagi Sekte Sayap Pedang, hanya ada nama tapi tidak ada lagi makanannya. Kesalahan terbesar Sekte Sayap Pedang adalah, kenapa menerima tawaran dari Kekaisaran Tang yang menyebabkan perpecahan di dalam Sekte itu sendiri. Ya, Ling Cun bukan salah satu orang yang terkena dampak dari perpecahan ini, ada banyak pendekar lain yang hidup luntang lantung karena tidak tahu arah dan tujuan lagi. Sayangnya, di sini meskipun kehidupannya cukup aman, pengaruh dari Sekte Pedang Phonik acap kali mengganggu dirinya. Padahal, Ling Cun berniat mendirikan sebuah sekte kecil di sini, melatih beberapa murid berusia muda. Namun hal itu tidak mendapatkan izin dari Sekte Pedang Phonik yang menjadi super power di wilayah ini. Ada lima desa yang dikuasai oleh sekte tersebut. Hanya ketika mereka meminta izin kepada Sekte Pedang Phonik,
Sam Hong kembali dengan keadaan terluka, di bantu oleh Tang Long masuk menemui seorang Tetua yang menjadi guru mereka. Di altar batu merah, Tetua itu sedang melakukan meditasi yang mungkin tidak ingin diganggu oleh siapapun, termasuk itu adalah Sam Hong dan Tang Long sebagai murid ke lima dan ke enamnya. "Apa yang terjadi dengan kalian berdua?" Kakak Pertama dari murid Tetua itu bernama Zixin, sang pendekar tercepat di generasi murid sekte pedang Phonik tahun ini. Tang Long menjelaskan prihal Lanting Beruga yang mereka lawan di desa Bukit Bambu beberapa hari yang lalu secara garis besarnya. Pada intinya, mereka mengatakan tidak sanggup melawan pemuda itu, yang diyakini sebagai pendekar level bumi. Mendengar hal itu, Zixin yang kini telah mencapai level bumi rendah sedikit menaikan alisnya, karena tidak terlalu percaya terhadap dua adik bodoh yang ada dihadapannya. Tidak ada pendekar level bumi di tempat ini kecuali yang berasal dari Sekt
Lanting Beruga telah melewati dua desa untuk menuju Sekte Pedang Phonik, dan hingga saat ini belum menemukan lokasi keberadaan tempat itu. Padahal peta yang dibuat oleh Ling Cun sudah sangat jelas, tapi sayangnya otak bodoh pemuda itu tidak dapat membaca sebuah peta. "Ehhhh ...," Lanting Beruga menggaruk kepalanya, setelah berkeliling di desa selanjutnya. "Dimana jalan keluar dari desa ini, payah!" Dia memaki dirinya sendiri sepanjang perjalanan, membuat beberapa orang menganggap dirinya orang gila. Sesekali pemuda itu menampar kepalanya. "Bodoh! Lanting Bodoh!" maki dirinya. Setelah hampir satu hari berkeliling seperti orang edan, barulah dia berhasil keluar dari desa tersebut, dan kembali melanjutkan perjalanan. Di atas langit, Garuda Kencana menggelengkan kepala karena melihat tindakan Lanting Beruga, yang jelas selalu menyusahkan dirinya. Jelas burung itu menawarkan tunggangan untuk Lanting Beruga, tapi pemuda itu memutuska
Lanting Beruga melepaskan beberapa serangan dengan pedang sisik naga hijau, membuat semua senjata lawan-lawannya bergetar kesakitan. Setiap tebasan yang dilakukan oleh Lanting Beruga tidak mampu dibendung oleh pendekar level lemah itu, bahkan setelah mereka mengalirkan banyak tenaga dalam untuk senjata mereka. Kaka Ke Dua masih begitu penasaran, dan merasa Lanting Beruga hanyalah pendekar biasa yang memiliki keberuntungan cukup besar, jadi dia ingin menguji pemikiran itu dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. Cahaya hijau baru saja dikirim ke arah Lanting Beruga, tapi semua serangan Kakak Ke Dua tidak berguna, kecuali untuk mengusir sekawanan serigala yang menonton di balik bebatuan. Pertarungan ini berlangsung sangat singkat, ketika Lanting Beruga menggunakan teknik pedang awan berarak untuk melumpuhkan semua lawannya. Sekarang, 5 orang itu telah terkapar di tangah dengan semua senjata yang terpotong menjadi banyak bagian. Tang Lon
Siang harinya, Lanting Beruga membuka mata dan melihat 5 orang itu masih berdiri dengan dua lutut tapi dengan mata tertutup, mungkin pula karena tidur. "Bah!" teriak Lanting Beruga, mengejutkan mereka berlima, dan yang lucu adalah Tang Long langsung bersujud di hadapan Lanting Beruga dengan ratapan pilu. "Ja ..jangan bunuh aku ...aku masih perjaka, masih belum menikah ..." Lanting Beruga menggaruk kepalanya sambil tertawa terbahak-bahak. "Kalian semua benar-benar lucu ...," ucap Lanting Beruga. "Sudahlah, lekas berdiri dan tunjukan jalan menuju markas kalian!" Dengan berat hati, lima orang itu berjalan beriring-iringan sementara Lanting Beruga membuntuti di belakang mereka. Sepanjang perjalanan, lima orang itu masih sibuk berbisik-bisik, dan sesekali menatap ke arah Lanting Beruga yang sibuk memperbaiki penutup wajahnya. Sesekali pula, pemuda itu memasukan telunjuk di balik tutup wajah itu, hanya untuk membersihkan lubang hidungnya.