Lanting Beruga belum memutuskan akan kembali ke markas utama untuk beberapa hari ke depan, ini sebelum kondisi wilayah utara menjadi cukup baik. Paling tidak, para penjaga wilayah barat telah mampu mengusir prajurit dan pendekar dari Kekaisaran Tang.
Pemuda itu juga telah mengirim dua orang utusan untuk menyampaikan pesan kepada Ketua Agung, mengenai keadaanya di wilayah utara.
Jika dalam beberapa hari ke depan, tidak ada serangan dari Kekaisaran Tang, maka dia akan kembali ke Markas Utama dan bertanggung jawab atas kekacauan yang telah dibuatnya.
Bagaimanapun, saat ini hal terpenting bagi Lanting Beruga adalah melindungi batas wilayah Aliran Darah Besi.
Hari ini dia berdiri di atas menara pengintai yang dibuat ala kadarnya dengan susunan bambu dan kayu.
Mata asuranya menatap ke depan, mencoba memastikan musuh tidak akan menyerang dalam beberapa hari ke depan. Ini bisa membuatnya sedikit bersantai dan melanjutkan latihan.
Perbuatan Mata Asur
Tidak ada sahutan dari mata itu, hanya diam membisu dengan sesekali denyutan pelan dari mata asura. Denyutan itu terlihat seperti lubang di atas kepala Lanting, mengecil dan membesar. Entah sudah berapa kali Lanting Beruga bertanya, tetap saja mata itu tidak memberikan jawaban, dan hal ini membuat dia mulai kesal. Pemuda itu menghempaskan punggungnya di tepi telaga, sambil menggerutu panjang pendek. Sial, dia telah berada di alam bawah sadar dengan cukup lama. Telah dua hari dia melakukan meditasi di alam sadar, dan membuat beberapa pendekar aliran utara mulai bertanya-tanya. "Ketua Aliran Barat masih melakukan latihan tertutup?" salah satu dari petinggi bertanya pada salah satu pelayan yang bertugas menyiapkan makanan untuk pemuda tersebut. Biasanya, setiap makanan yang dibawa setiap lepas sore, akan langsung habis dimakan oleh pemuda itu, tapi beberapa hari ini makanan itu tidak terjamah sedikitpun. "Apa makanan yang kau buat tidak e
Setelah 7 hari lamanya, melakukan meditasi tertutup, akhirnya Lanting Beruga membuka mata tanpa mendapat kepastian apapun dari mata asura miliknya. Sepertinya pemahamannya tidak cukup besar untuk menjalin hubungan dengan mata itu, seperti hubungannya terhadap Roh Api. "Sepertinya, harus mengalami sesuatu hal yang membuat mata asura kembali melakukan reaksi liar seperti kemarin," gumam Lanting Beruga. "Tampaknya hanya dengan cara itulah, aku bisa menjalin ikatan baik antara aku dan mataku sendiri." Setelah menyelesaikan kalimat itu, Lanting Beruga tertawa sendirian seperti orang gila. Bagaimana tidak, di dunia ini mungkin hanya dirinya seorang yang berusaha menjalin ikatan dengan mata yang jelas-jelas ada di kepalanya sendiri. Ada beberapa hal yang ada di tubuhnya, tapi bukan milikinya. Bukankah ini terdengar aneh? ah jalan menjadi dewa pedang rupanya sangat sulit, pikir Lanting Beruga. Dengan otak setengah cerdas dan kebanyak bodohnya, mana mungkin meniti amb
Lebih lanjut Lanting Beruga meminta izin untuk pergi ke negri Kekaisaran Tang, untuk menemui pimpinan mereka. Menurutnya, ini adalah langkah terbaik agar ke dua belah pihak menemukan titik terang. Apakah permusuhan ini akan terus berlanjut, sementara Serikat Naga adalah ancaman yang sebesarnya untuk dunia ini. Lebih lagi mengenai Jiwa Dewa Yang tersesat, yang masih menjadi misteri hingga hari ini. Ada banyak masalah yang harus diselesaikan, ditambah lagi 4 roh yang masih menjadi perdebatan di antara pendekar-pendekar papan atas. "Apa kau serius?" tanya Ketua Aliran Selatan. "Pergi sendirian menuju Kekaisaran Tang, sepertinya tindakan itu sangat berbahaya dan beresiko tinggi." "Secara langsung aku tidak akan menemui Pemimpin negri tersebut, aku ingin mempelajarinya dengan perlahan," jawab Lanting Beruga. Lanting Beruga juga teringat akan Pemimpin Serikat Satria yang pergi ke negri tersebut, untuk melakukan aliansi dengan Serikat Satria, tapi ta
Pria yang dipanggil Ling Cun, bukan pendekar hebat yang berada di level tanpa tanding puncak, dia hanya pendekar yang baru memijak level tanpa tanding. Menjadikan seni bela diri sebagai pertunjukan hanya bertujuan semata-mata untuk menghibur para penonton dan meminta upah seperak dua perak dari mereka. Tidak memberi, Ling Cun juga tidak marah. Putranya Tang Cun masih berusia 9 tahun, diberi bekal seni bela diri pedang lentur, tanpa tenaga dalam yang mumpuni. Namun atraksi yang ditunjukan Tang Cun cukup hebat, dapat membuat beberapa orang dewasa takjub dengan gerakannya. Namun, di desa Bukit Bambu, beberapa kelompok tidak menyukai Ling Cun dan anaknya. Pertunjukan mereka membuat para pendekar itu merasa tersaingi, dan sebab itulah, mereka meminta upah bagi hasil dari setiap pertunjukan yang dilakukan oleh Ling Cun dan putranya di tempat ini. Kehadiran Pria dengan pedang besar yang mirip seperti kapak itu membuat semua penonton kabur karen
Sang Long tertawa terbahak-bahak, sambil mendekati Ling Cun dengan mengayunkan goloknya ke sembarang arah.Ketika dia hendak menanggalkan dua tangan Ling Cun, bocah kecil yang tadi masih meringis kesakitan, langsung menyambar pedangnya yang terlempar dan berhasil melukai wajah Sang Long.Serangan itu sangat cepat, Sang Long cukup hebat menghindari serangan itu, tapi tetap saja ujung mata pedang bocah itu masih berhasil mengiris tipis bawah dagunya.Luka itu membuat darah mengalir beberapa tetes, membuat Sang Long mulai kehilangan keramahannya. Senyum dan tawa yang selalu menghiasi bibir berkarat itu langsung lenyap, di iringi dengan tatapan tajam dengan keinginan membunuh yang sangat besar."Sepertinya, sebelum dua tangan ayahmu yang kuambil, kepalamulah yang harus dipenggal!""Sang Long hentikan!" teriak Ling Cun, "Dia masih anak-anak, jangan kau sakiti putraku! jika kau ingin membalaskan luka itu, bunuh saja aku, Sang Long!""Aku memang be
Mereka tinggal di ujung jalanan desa, cukup jauh dari pasar tadi, dengan rumah yang berdiri di atas batu cukup besar. Ling Cun memahat batu itu hingga berbentuk seperti anak tangga yang mempermudahkan Tang Cun untuk turun naik ke rumah mereka. Lanting Beruga tidak tahu kenapa mereka berdua mendirikan sebuah tempat di atas batu besar, tapi mungkin pula karena batu ini bukan milik siapapun, sementara harga tanah cukup mahal untuk dibeli. Rumah yang mereka miliki tidak besar, hanya ada satu bilik kamar, dan satu ruang keluarga yang menyatu langsung dengan dapur. "Dimana aku harus meletakkan Ayahmu?" tanya Lanting Beruga, butuh cukup lama agar Tang Cun memahami apa yang baru saja dikatakan oleh Lanting Beruga. "Oh, di sini! baiklah!" Lanting Beruga meletakkan Ling Cun di atas pembaringan yang terbuat dari susunan bambu. Sebuah bantal dari kapas telah menyambut kepala pria tersebut. Pada saat yang sama, Tang Cun bergegas mengambil air dari
Lanting Beruga tersenyum tipis, mengisyaratkan agar dua orang ini tetap tenang. "Aku akan menghadapi mereka!" ucap Lanting Beruga. Pemuda itu berdiri mantap, kemudian kembali menutup wajahnya dengan kain hitam sehingga kini tampilannya terlihat kembali menyeramkan. Pintu berderik pelan, ketika Lanting Beruga membuka daun pintu tersebut. Mula-mula beberapa orang di luar rumah ini dikobari semangat membunuh, tapi ketika yang keluar adalah sosok Lanting Beruga, Sang Long kembali menampakan ekspresi pucat. Wajahnya yang putih bahkan kini sedikit membiru karena kemunculan Lanting Beruga. "Kakak ke lima," ucap Sang Long, "Di ... dialah yang telah mempermalukan diriku!" Kakak Ke Lima yang dimaksud oleh Sang Long adalah pria berperawakan tinggi tapi dengan rambut yang tertata cukup rapi. Pria itu menyipitkan mata ke arah Lanting Beruga, mungkin berusaha menjamah bagian terdalam dari sosok pemuda tersebut, ingin menemukan apa yang menjadi pemud
Menyadari kesalahannya tentu saja sudah terlambat dilakukan oleh Sam Hong. Dia yang telah memulai menarik pedang, tidak mungkin mundur dalam pertarungan ini.Sekali lagi, Sam Hong menyerang Lanting Beruga dengan banyak jurus andalan yang dikuasainya, tapi semua jurus tersebut tidak berarti bagi pemuda itu.Pemuda itu bahkan tidak mengeluarkan semua kekuatan pisiknya untuk menahan serangan Sam Hong.Sebuah tebasan sekali lagi mengarah ke tubuh Lanting Beruga, tapi pemuda itu malah menarik tubuhnya ke belakang, menghindari serangan itu dengan sangat mudah.Mata pedang Sam Hong hanya berjarak dua jari dari batang leher Lanting Beruga.Namun belum pula Sam Hong berhasil menguasai pedangnya lagi, Lanting Beruga telah menyerang pria itu tepat pada bagian tengah dadanya.Teriakan Sam Hong tertahan, ketika gagang pedang sisik naga hijau mendarat tepat di tengah ulu hati pria itu.Sam Hong jatuh ke tanah dengan mulut berdarah. Jika Lanting Ber
Satu minggu telah berlalu, dan kini sudah waktunya bagi Rambai Kaca untuk pergi dari dunia lelembut.Dia telah menyiapkan semuanya, mental dan keberanian, bertemu dengan manusia untuk kali pertama bagi dirinya.Ibunya hanya bisa pasrah dengan pilihan Rambai Kaca, dia hanya bisa menyeka air mata yang setiap saat keluar membasahi pipi.Sementara itu, Pramudhita tampaknya begitu tabah melepaskan kepergian putra angkat yang telah dibesarkan00000000 dari bayi.Namun, ada yang lebih parah, yaitu Nagin Arum. Dia bersikeras untuk pergi bersama Rambai Kaca ke alam manusia, bahkan setelah ayahnya menjelaskan mengenai kehiudapan manusia, dia tetap bersikeras untuk pergi ke sana.Ya, impian Nagin Arum adalah keluar dari alam ini, dan berniat untuk menjelajahi seluruh dunia. Menurut dirinya, di sini dia tidak bisa hidup dengan bebas, ada batas-batasan yang ada di dalam alam lelembut tersebut.“Ayah, apapun yang terjadi, kau harus memikirkan caranya agar aku bisa pergi bersama Rambai Kaca!” ketus N
Dua hari telah berlalu, pendekar dari Padepokan Pedang Bayangan terlihat sedang berbenah saat ini. Membenahi apa yang bisa dibenahi, seperti bangunan dan beberapa peralatan lainnya.Terlihat pula, ada banyak pendekar yang dirawat di dalam tenda darurat. Para medis bekerja cepat, memastikan tidak ada satupun dari korban yang mati.Di salah satu tenda darurat tersebut, tiga anak Pramudhita masih terkapar dengan kondisi tubuh penuh dengan ramuan obat-obatan.“Apa mereka baik-baik saja?” Rambai Kaca bertanya kepada salah satu tabib muda di sana. Dia sudah berada di tempat itu sejak tiga saudara angkatnya dibawa oleh Pramudhita.Meskipun Rambai Kaca juga terluka cukup parah, tapi tubuhnya luar biasa kuat, dia mampu bertahan, bahkan masih bisa berdiri atau bahkan berlari.Ditubuhnya sengaja dililit oleh banyak perban, menunjukan jika Rambai Kaca sebenarnya tidak baik-baik saja. Namun, hal biasa bagi pemuda itu merasakan sakit seperti ini, jadi ini bukanlah hal yang harus dipikirkan.“Ketig
Satu gerakan dari pemuda itu melesat sangat cepat, tepat menuju leher pria tersebut yang saat ini tengah bersiap dengan serangan yang di berikan oleh Rambai Kaca barusan.Melihat pemuda itu bergerak sangat cepat, Reban Giring menggigit kedua rahangnya, sembari menatap Rambai dengan tajam, kemudian bersiap dengan gerakan kuda-kuda.Nafasnya kembali teratur ketika dia melakukan gerakan barusan, lalu menyilangkang senjata yang dia miliki tepat ke arah dada.Sesaat kemudian, dia melesat kearah Rambai Kaca lalu melepaskan jurus Murka Pedang Bayangan.“Dengan ini, matilah kau..!!”Satu teriakkan pria itu menggema di udara, yang membuat siapapun yang mendengarnya, akan merinding ketakutan.Namun, hal itu tidak berlaku pada Rambai Kaca, yang seakan meminta hal tersebut benar-benar terjadi terhadap dirinnya.Dengan jurusnya tersebut, Reban Giring melepaskan semua tenaga yang dia miliki berharap ia dapat mengenai pemuda itu tepat sasaran.Wush.Tebasan itu di lepaskan ketika jarak mereka tingg
Di sisi lain, Pramudita yang saat ini telah berhasil membunuh semua sosok hasrat berukuran besar, sempat terdiam beberapa detik, ketika ia melihat dari kejauhan langit berubah warna menjadi hitam pekat.Tidak hanya itu, dari sumber cahaya kehitaman tersebut, sempat terjadi kilatan petir di ikuti dengan beberapa ledakan yang mengguncang area tersebut.Dari sana, dia dapat menebak, jika saat ini terdapat seseorang yang sedang bertarung di tempat itu, akan tetapi ia bahkan telah menebak jika serangan beberapa saat yang lalu di akibatkan olah anaknya sendiri.“Rambai Kaca, apa yang sedang terjadi?” gumamnya bertanya.Namun pada yang sama, dia mulai menyadari jika dari cahaya berwarna hitam pekat itu, tidak lain ialah kekuatan yang di timbulkan dari kegelapan.Saat ini, Pramudita dapat menebak, jika Rambai Kaca tengah bertarung dengan sosok yang tidak lain ialah Reban Giring.Anggapan itu di landasi oleh tindakan yang telah di lakukan Reban Giring sebelumnya, ketika memulai pertempuran yan
Pedang Bayangan...." Satu jurus tersebut melesat, dengan terbentuk nya beberapa pedang bayangan yang melesat kearah sosok hasrat. Bom. Ledakan terjadi cukup besar, ketika jurus yang di lepaskan Pramudita berhasil mengenai musuh. Ya, satu serangan tersebut berhasil membunuh setidaknya, tiga atau lebih sosok hasrat yang berukuran besar. Tentu hal tersebut tidak dapat di lakukan oleh siapapun, selain Maha Sepuh Pramudita. Jabatan yang pantang bagi seseorang dengan kemampuan sangat tinggi. "Berakhir sudah."Di sisi lain, saat ini tengah terjadi gejolak batin yang mendalam bagi seorang pria ketika tengah merasa sangat kehilangan akan kehadiran sosok seorang adik. Isak tangis tidak dapat terbendung, ketika ia berusaha untuk menghampiri adiknya tersebut.Dengan langkah yang tertatih ia berusaha sekuat tenaga, tetapi langkah yang ia lakukan, bahkan tidak sebanding dengan jumlah tenaga yang dia keluarka"Adik...""Bertahanlah!"Langkah demi langkah berhasil membuatnya tiba di tempat ya
Tubuh Reban Giring saat ini, tengah terdorong mundur akibat mendapat serangan tak terduga oleh Rambai, yang menyerang lehernya.Beberapa pohon bahkan telah tumbang dibuatnya, akibat bertabrakan dengan tubuh pria tua itu, sementara Rambai Kaca masih melakukan gerakan mendorong dengan tangan yang mencekik leher pria tua tersebut.Tidak banyak yang dapat pria itu lakukan, selain berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman jurus yang telah Rambai Kaca berikan. Brak. Brak. Beberapa pohon kembali tumbang, sementara mereka melesat dengan cepat, yang pada akhirnya gerakan tersebut berhenti ketika Rambai Kaca merasa cukup terhadap aksinya. "Bocah sialan!" "Kau bebas untuk berkata sesuka hatimu." timpal Rambai Kaca."Hiat.!"Kerahkan semua kemampuan yang kau miliki, Bocah!" Dalam keadaan ini, Reban Giring sempat menggigitkan kedua rahangnya, untuk bersiap menerima serangan dari Rambai Kaca, ketika telah mencapai titik dimana pemuda ini akan melepaskan tekanan tenaga dalam yang tinggi.
Melihat Eruh Limpa dan Nagin Arum yang sudah tidak berdaya, Reban Giring berniat untuk segera mengakhiri nyawa kedua orang tersebut. Perlahan pria itu mendekati Nagin Arum yang terlihat masih berusaha untuk meraih tangan kakaknya, akan tetapi bergerakan wanita itu terpaksa berhenti, ketika Reban Giring menginjak tangannya. Tidak hanya itu, saat ini, Reban Giring sedang menekan kakinya dengan cukup kuat, sehingga membuat Nagin Arum berteriak. "Aggrr..!" Rasa sakit tiada tara sedang di rasakan oleh Nagin Arum yang berusaha untuk melepaskan tangannya dari injakkan kaki Reban Giring saat ini. Melihat hal tersebut, Eruh Limpa hanya bisa memaki pria itu, lalu mengutuknya beberapa kali dengan melampiaskan rasa amarahnya menggunakan kata-kata. Namun sayang, hal tersebut bahkan tidak dihiraukan sama sekali oleh Reban Giring dengan tetap melakukan aksinya, seakan sedang menikmati rasa sakit yang dialami oleh wanita tersebut. "Ini belum seberapa!" ujarnya, "Setelah ini, akan ku pastik
Kedua kakak beradik tersebut lantas langsung mengejar keberadaan Reban Giring yang sempat mereka lihat tengah terluka. Hal itu menjadi sesuatu yang sangat mereka nantikan, karena menduga jika mereka akan dapat mengalahkan pria itu dengan cukup mudah. Namun di saat yang sama, salah satu pria juga menyadari kepergian Eruh Limpa dan Nagin Arum, akan tetapi saat ini, pria itu masih sibuk berhadapan dengan musuh yang seakan tidak pernah habis. "Mau kemana mereka pergi?" batinnya bertanya. Saat ini, pemuda yang tidak lain memiliki nama Saka ini, tengah menjadi pusat perhatian, ketika dia menggila dengan jurusnya yang mematikan. Tebasan demi tebasan berhasil membunuh sosok hasrat yang berada di dalam jangkauannya, sehingga hal itu membuat para sepuh sempat merasa kagum atas aksi yang telah dia lakukan. Bukan hanya kagum, bahkan beberapa sepuh, berniat untuk mengangkat menantu pria itu, akan tetapi jika Pramudita mengiyakan tentunya. "Menarik, sungguh menarik!" ujar salah satu Sepuh.
Di sisi lain, Rambai Kaca dan Tabib Nurmanik yang saat ini tengah menyusul rombongan yang berada paling depan, perlahan mulai mendekat kearah pasukan yang tengah bertarung melawan musuh-musuh mereka. Melihat hal tersebut, kedua orang yang baru saja tiba ini, lantas lasung mengambil posisi masing-masing untuk berhadapan dengan para sosok hasrat yang semakin menggila. Dengan beberapa gerakan, Rambai Kaca berhasil membunuh satu sosok hasrat dan menyelamatkan hidup satu orang pasukan mereka yang hampir saja tewas, akibat tidak dapat mempertahankan diri, dari serangan sosok hasrat yang menyerangnya. "Tuan muda, terimakasih!" Mendengar jawaban dari pria itu Rambai Kaca hanya mengangguk satu kali, sebelum dirinya bergegas menuju pasukan paling depan, seakan tidak begitu peduli dengan kondisi yang menimpa orang tersebut. Tampaknya pemuda itu sedang merasakan sesuatu yang buruk akan segera terjadi, sehingga membuat dia bergerak lalu mengeluarkan jurus kilat putih yang membantunya seakan m