Saat Lia pergi, aku mulai berpikir. Jika ayah ke sini. Dia pasti merasakan keberadaanku dan tidak akan pergi begitu saja. Aku segera menuju dinding. Mencari celah untuk melihat ayah yang masih aku yakini ada di luar.
Aku menggunakan celah di dinding yang di bawah untuk melihat ke luar. Terlalu kecil. Aku kembali berusaha meninggikan badan dengan berjongkok untuk melihat celah lain yang lebih besar di atasnya. Meskipun sulit aku tidak menyerah hingga akhirnya aku bisa melihat melalui celah itu. Terlihat olehku halaman di depan pintu rumah.
Aku sedih, tidak ada ayah di sana. Air mataku menetes. Tiba-tiba aku sadar. Ada sosok burung putih di tengah halaman. Saat aku perhatikan itu seperti burung Merpati. Cuma ada seekor. Aneh biasanya mereka berpasangan.
Brakkk...
Aku kaget. Tiba-tiba ada yang terjatuh. Salah satu genteng dari tanah liat tergeletak di lantai di depanku. Aku segera melihat ke atas. Aku tercengang melihat tiga burung Gagak dari lubang atap yangAli cukup lama di kasir jadi perhatianku fokus pada dua pria dan satu wanita di depan. Yang membuatku terusik dua pria itu duduk bermesraan. Bahkan aku bisa mendengar pembicaraan mereka yang bikin aku emosi. "Indi, kamu butuh uangkan? Jadi tidak perlu pikir-pikir lagi. Kami berdua cuma menyewa rahimmu untuk menghasilkan anak." Ucap salah satu pria sambil merangkul pria lainnya di depan seorang wanita.Aku yang tahu maksudnya apa. Langsung menghampiri mereka.Aku meluapkan amarahku di sana, "Apa-apaan kalian. Menyewa rahimnya. Sama saja merendahkan martabatnya."Salah satu pria berdiri di depanku, "Kami LGBT punya hak. Kamu tidak bisa menjadi tuhan untuk orang lain." Badannya yang kekar, tidak membuatku takut bahkan tetap melawan, "Kelainan pada kalian itu bukan hak. Tapi penyakit. Sama seperti penyakit jiwa, kalian bisa disembuhkan. Perlu kalian tahu, Tuhan juga melarang hal seperti ini." Mataku terpejam saat pria itu mencoba menamparku. Seakan tidak
Sesampainya di Villa milik ibu aku segera mengetuk pintu. Berharap ibu ada di sana. Lama aku mengetuk tapi tidak ada sahutan. Ali menghampiriku, "Kamu yakin ibumu ada di sini?"Aku menghentikan mengetuk, lalu duduk sambil bersandar di pintu."Dulu ini rumah ayah. Kemudian direbut oleh seseorang dan diruntuhkan. Ibu mengambilnya kembali setelah ayah meninggal. Lalu membangun Villa di sini. Ibu biasa ke sini setelah berkunjung ke perusahaan tante Yasmine."Tidak sadar curhatanku mengingatkanku sesuatu, "Oh iya, pasti Tante Yasmine tahu tentang ibu dan Kakak. Ayo kita ke sana." Ajakku. Tiba-tiba pintu terbuka. Seorang pria keluar dari rumah. Dia Pak Canavaro, penjaga Villa. Aku biasanya memanggil Paijo."Nona sudah sembuh?" Tanyanya.Apa Paijo tahu aku pernah gila, aku khawatir jika Ali tahu. Dia pasti akan takut denganku.Aku segera mengalihkan topik pembicaraan, "Ibu dan Kakak ada di sini!"Paijo terlihat panik, dia tidak menjawab justru membicarakan hal
Aku mengambil pakaiannya dan bersiap pergi, "Temani aku ke kantor polisi, pria itu tidak bisa dibiarkan. Bahaya bagi gadis lain. Mereka mungkin tidak seberuntung aku." Kami ke kantor polisi menggunakan Angkot. Saat aku melaporkan yang terjadi. Polisi itu juga melaporkan informasi ke aku secara tidak langsung. "Di mana ayahmu sampai membiarkan putrinya dalam bahaya?"Aku kaget, "Jadi benar, ayahku masih hidup."Polisi itu kembali menjawab, "Bapak rekan kerja ayahmu dulu, beberapa hari yang lalu ayahmu ke sini melaporkan Yasmine yang melakukan percobaan ilegal terhadap tubuh manusia, kemudian dia pergi."Aku senang sekaligus marah, "Jangan pernah salahkan ayahku. Beliau sedang mencari ibu dan kakak."Polisi itu menjelaskan, "Kamu harus tahu! Ibu dan kakakmu sudah tidak ada."Aku terkejut, "Aku tidak percaya!" Teriakku. Saat aku pergi, polisi itu bicara, "Sebaiknya datangi kuburan ibumu." Aku keluar dari kantor polisi itu dalam keadaan emo
Telpon kemudian dimatikan ibu Gina. Lalu dia bicara, "Temanmu Indi, cerdas juga. Tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa!"Badanku gemetar. Kemudian mobil yang membawaku, berhenti. Pria disampingku bicara dengan wajah yang sangat dekat di wajahku, "Kita sudah sampai." Aku merasa risih tapi aku sembunyikan agar dia tidak membenciku. Saat kami masih di dalam mobil tiba-tiba ponselku berbunyi. Ibu Gina mengangkatnya dan terdengar suara Indi."Sebaiknya lepaskan Filio, aku sudah menghapal nomor plat mobilmu. Polisi akan mencarimu. Hukuman berat akan siap menanti jika kalian terus lanjut."Ibu Gina menjawabnya, "Jika kamu melapor. Filio akan mati."Indi juga menjawabnya, "Hukuman mati juga akan menanti kalian."Ibu Gina marah, "Aku tidak peduli. Suruh Wira yang jemput anaknya sendiri. Jika ingin Filio tetap hidup." Kemudian telpon dimatikan.Kedua pria di sampingku terlihat ketakutan.Ibu Gina langsung bicara, "Tidak perlu khawatir. Ini mobil hasil penc
Lama menunggu, Mawar terlihat khawatir. Erlang belum datang juga tapi suara hembusan angin mirip ular masih terdengar."Huss, Hss, Ss!"Mawar kembali memerintah Kumbang, "Cepat kamu lihat Erlang. Aku takut dia kenapa-kenapa?"Tanpa banyak bicara, Kumbang bergerak cepat seperti serangga Kumbang asli. Entah dia takut temannya dalam bahaya atau membalas perlakuan Mawar yang tidak menjawab pertanyaannya. Mawar langsung menggantikan Kumbang memegangi tanganku. Pintu dibiarkan terbuka. Baik Erlang maupun Kumbang tidak kunjung tiba. Hanya suara seperti ular itu yang terdengar."Huss, Hss, Ss!"Mawar khawatir sekaligus emosi, "Sialan, mereka terbang ke mana sih? Gak balik-balik ke sarang."Ucapan Mawar memang agak aneh. Tapi aku tahu maksudnya. Erlang dan Kumbang yang pergi entah ke mana hingga tidak balik ke gudang. Mawar lalu meninggalkanku di gudang. Dia keluar dan mengunci pintu dari luar. Saat aku mencoba membuka pintu tidak bisa. Tiba-tiba tid
Aku suka berlama-lama berada di bawah rintik hujan tanpa menggunakan payung, mungkin karena ku diberi nama Hafa. Tapi teman-teman SMA ku bilang, "Dasar gadis aneh, Udah remaja, masih saja main hujan-hujanan." Aku tidak peduli kata mereka. Seperti sekarang saat senja. Ketika pulang membeli buku Harian baru menggunakan uang yang diberikan Ayah sebagai hadiah karena ku telah naik ke kelas 2 SMA. Hujan turun dan aku betah berada di bawahnya membiarkan tubuhku basah. Selain itu yang ku suka adalah tempat sunyi, sebuah jalan aspal dengan pohon di sampingnya yang sedang ku lewati untuk menuju ke rumah. Membuat suasana sangat segar hingga menyejukan hatiku. Tibalah terdengar aliran sungai. Tanda aku harus meninggalkan jalan aspal hitam yang basah dan harus masuk ke hutan untuk menyelusuri jalan setapak tanah coklat yang mengarah ke desa. Ada sesuatu yang ingin ku lihat di waktu ini karena kebetulan awan di langit renggang, yaitu keindahan dari cahaya kuning e
Di tengah jalan tiba-tiba hujan turun di daerah yang kecil saja, tepatnya di depanku. Sedangkan tempatku berpijak tidak hujan, "Apa ini hujan lokal?"Karena baru menemuinya, aku segera mandi hujan dan membasahi tubuhku. Tiba-tiba hujan berhenti, lalu terdengar suara pria, "Maaf dik. Pipa ledeng bocor. Bapak sedang memperbaiki."Aku kecewa itu bukan hujan, "Maaf pak, ganggu." Lalu kembali melanjutkan perjalanan ke sungai. Saat tiba di sungai, aku kaget. Sungai sudah surut, tapi tidak ada seorangpun di sana, hanya aku sendiri.Lama ku terdiam di sana, tiba-tiba ada anak kecil laki-laki yang datang menghampiriku, "Kakak lagi cari kak Fernan ya?"Aku terkejut dan langsung bertanya senang, "Iya benar, di mana dia dik?"Dia tersenyum, "Kak Fernan ada di sini."Aku segera melihat ke sekeliling tapi tidak menemukan Fernan. Itu membuatku mulai takut dan menatap anak kecil itu dengan gemetar. Aku melihat ke arah Anak kecil yang merupakan tetanggaku, sambil be
Wira terlihat kecewa, "Jika kamu menganggap dalam foto itu, aku sedang bersama Filio, tidak apa-apa!"Aku tersenyum, "Kalau itu aku ngerti. Kamu pacarnya adiknya Fernan kan?" Kembaliku menanyakan itu karena Wira belum mengiyakannya. Tiba-tiba saat di depan rumah. Fernan sudah ada di sana dan langsung di sapa Wira, "Wajahmu seperti perpaduan kami berdua, Orang tuamu. Ayah senang kamu baik-baik saja."Terlihat Fernan tidak senang dengan kehadiran Wira, "Kamu pemuda aneh. Seakan-akan menganggap dirimu adalah Ayahku. Aku dengar Hafa bilang kamu pacar adikku, itu jauh lebih masuk akal. Jika kamu ingin membawaku pulang menemui keluargaku. Pergilah! Aku tidak ingin dipanggil saat lagi dibutuhkan saja." Setelah mengucapkan itu, Fernan langsung masuk ke rumah. Sepertinya Fernan terpengaruh ceritaku sebelumnya bahwa keluarganya tidak mengharapkan kehadirannya dan cuma adiknya saja. Terlihat wajah Wira yang terkejut. Aku segera bicara menenangkannya, "Mungkin Fern