Suasana rumah lengang dan sepi sepeninggal Kaivan pergi bersama Alex, Alagar dan Aabid melacak penculik Bagaskara. Sementara Amirah beristirahat di kamar ditemani sahabatnya Melani yang sedang hamil besar"Duh Ra, kok bisa kejadian seperti ini?" tanyanya keheranan. "Memang kamu memiliki banyak musuh selama ini baik di kantor atau dari kerabatmu sendiri?""Ga Mel, aku 'ga punya musuh siapapun, kau 'kan tahu sendiri selama kita bersahabat," elak Amirah menyesal ikut melibatkan ibu hamil dalam masalahnya. "Sebaiknya kamu dan Alex pulang saja, aku baik-baik saja kok!"Mulut Melani langsung nyerocos tak karuan, "Baik-baik bagaimana 'sih, Bagas sudah seperti anak kami juga apalagi semenjak kau bercerai dengan brengsek Alagar, kita malah senang diajak ikut mengasuh dirinya.""Tapi kamu kan lagi hamil jadi ikut pusing mikirin hal ini, kasihan dedek bayinya," desak Amirah.Dengan santai Melani merebahkan tubuh di ranjang milik sahabat. Menghela nafas sejenak mengatur ritme jantung sambil mengu
Kaivan dan Aabid memburu ke kediaman keluarga Jeany tak peduli malam telah larut mengetuk pintu namun hasil nihil yang didapat. Sementara Alagar dan Alex melacak ke apartemen gadis jalang berprofesi sebagai model yang pernah diantar ke sana usai pemotretan."Apa kau yakin brengsek itu ada di apartemennya?""Kita coba saja, 'Lex," tukas Alagar optimis walau masih sedikit menyimpan keraguan mantan kekasih begitu berani menculik putranya. Keanehan yang janggal tapi patut ditelurusuri apakah Jeany memang pelakunya."Barusan Kaivan menghubungiku sepulang dari kediaman keluarga Jeany," seru Alex kesal. "Gadis itu telah menghilang sejak beberapa hari, katanya lebih sering tinggal di apartemen daripada bersama orang tuanya."Petunjuk satu-satunya sedang dilacak saat ini. Mobil Alagar melaju kencang memburu waktu terbuang dari siang tadi. Baru kali ini ia merasakan kekhawatiran sangat dalam yang belum pernah terjadi seumur hidupnya.Bagaskara darah dagingnya dan cucu kesayangan keturunan Tuan
Amirah sengaja tak dibangunkan begitupun Melani ketika Kaivan dan Aabid kembali pulang tanpa hasil. Dua wajah lelah penuh kekhawatiran mengingat Bagaskara masih terlalu kecil untuk berpisah dari ibunya. Mereka menunggu di ruang tamu dijamu oleh Bi Minah yang menyeduhkan dua cangkir kopi panas dan kue-kue kecil di atas meja. "Silakan Tuan Kaivan dan Tuan Aabid, maaf Nyonya Amirah masih tertidur di kamar." "Biarkan mereka istirahat, kasihan Melani juga sedang hamil kelelahan harus menemani sahabat di suasana seperti ini," sergah Kaivan sambil menunggu matahari terbit untuk melanjutkan pencarian dengan adik ipar. Kepala Aabid disandarkan di sofa, punggungnya terasa lelah namun pikiran menerawang kemana-mana. Dan baru tersadar kakak sulung belum memberi tahu posisi terakhir setelah melacak apartemen Jeany. Brengsek! Ditekan nomor panggilan Alagar cepat-cepat. Sesaat gawai dijawab di ujung sana terdengar deru bising membuatnya curiga tetapi berusaha tenang tak ingin membangunkan pemili
Bugh! Bugh! Berulang-ulang menggedor pintu apartemen mewah milik James. Bel pintu berdering berkali-kali berdenging bagai sirene gawat darurat. Mau tak mau Jeany terbangun kesal merasa tidurnya terganggu. Kelopak matanya membuka perlahan beranjak malas dari ranjang melirik ke arah jam dinding. Sial. Masih terlalu pagi bertamu ke tempat kekasihnya yang baru. Dasar klien tidak tahu diri! Makinya marah bergegas menuju ke ruang tamu buru-buru membuka pintu. Deg! Jantungnya berdegup kencang memandang Alagar penuh emosi mendorongnya makin ke dalam. "Mau apa kau datang kemari dan darimana tahu apartemen ini?" cecar Jeany bukan menyapa lemah lembut seperti sering dilakukan ke duda tampan yang masih dicintainya selama ini. Di belakangnya, seorang pria asing belum pernah dilihat terus mengikuti kemanapun Alagar pergi. Ketakutan. Kecemasan merayap dibenak Jeany seolah terkepung dua pria yang begitu emosi, sementara James terlelap di ranjang tak mungkin dibangunkan setelah permainan panas se
Suara tangis Bagaskara berhenti digantikan rengekan panjang berulang-ulang memekakkan telinga, "Aku mau pulang, mau ketemu Mama dan Om Kaivan!""Jangan cengeng!" teriakan keras mengejutkan seisi rumah. "Berhenti menangis, meraung dan manja atau lebih baik aku kunci kau di kamar mandi!"Bagas langsung meringkuk ketakutan duduk di sudut kamar kecil tidak serupa miliknya. Dari datang siang tadi hingga sore hari tak dijumpai wajah Amirah yang selalu tersenyum dan memeluknya."Mama, Bagas mau pulang," isaknya pelan tak lama tubuh kecil beringsut tertidur di lantai dingin yang keras. Kelelahan menangis sepanjang hari tak tahu mengapa ia dipisahkan dari ibunya sendiri.Wanita cantik namun kejam menunggu sampai terlelap lalu mengunci pintu kamar agar bocah nakal tak pergi melarikan diri. Ia sangat membenci putra Amirah dan Alagar karena masa lalu yang kelam."Nona, biarkan saya menemani Bagas kasihan kalau ditinggal sendiri di kamar," sergah pengasuh Nana buru-buru agar majikannya mengijinkan
"Gimana Mas Alagar, kau sudah temukan Bagas?" Amirah menatap sendu mantan suaminya pulang dengan tangan kosong. Alex menemui Kaivan yang tadi pagi pamit ke kantor mengambil berkas penting dan segera kembali menemani dirinya. "Belum 'Ra, maafkan aku karena jalang itu hidupmu berantakan begini," sesal Alagar mengenggam tangan mantan istri berbagi kehangatan dan ketenangan. Sayangnya mereka berdekatan ketika situasi sedang tak menyenangkan harus kehilangan putra kebanggaan keluarga. Oh, Tuhan. Tolong selamatkan anakku! Derai air mata Amirah mengalir lagi. Alagar memeluk erat membiarkan tangis wanita itu tumpah membasahi kemeja putih miliknya. "Tenanglah Ra, terus berdoa untuk anak kita, tidak mungkin Bagas disakiti karena tebusan mahal itu segera dipenuhi." "Tapi Mas, aku 'ga punya uang sebanyak itu," keluhnya kebingungan. "Hanya rumah warisan mendiang orang tuaku yang ku miliki sekarang." "Kau selalu meremehkan aku dari dulu," singgung Alagar mendengar permintaan mantan istri. "Bag
Aabid, Alex, Alagar dan Kaivan berembuk kembali mengenai pertukaran tebusan uang lima milyar dengan Bagaskara. Masih ada selisih antara dua orang mencintai Amirah menyerahkan nominal sama tapi tidak mau mengalah satu sama lain.Suami Melani melirik ke arah Aabid yang ikut bingung memilih uang siapa akan diserahkan sebagai penebus nyawa putra Amirah. Dan akhirnya keputusan yang adil ialah ayah kandung berhak atas kehidupan anaknya."Sudahlah biar Alagar Hakim melakukan kebaikan untuk putranya sendiri setelah bertahun-tahun tak peduli, ya 'kan?!" singgung Alex menengahi perdebatan panjang.Kaivan berkacak pinggang menolaknya."No way! Aku sanggup membiayai seluruh kehidupan Amirah dan Bagaskara jika kami menikah nanti, lagipula dia calon istriku bukan orang lain."Aabid Barak Hakim berusaha melerai yang begitu sulit tak berpihak satupun antara kakak ipar dan kandung. "Sabarlah Mas, ku rasa memang benar dikatakan Mas Alex tadi," ucapnya bijaksana. "Mas Alagar punya hak sebagai papanya wa
"Nana, jangan kemana-mana jaga anak itu baik-baik!" perintah Monica sebelum bepergian. "Aku keluar hanya sebentar dan segera kembali, nanti malam mendapatkan uang tebusan lalu pergilah dari sini menghilangkan jejakmu dariku!"Pengasuh Nana menunduk takut menuruti majikan. "Baiklah Nona, aku harap penculikan ini segera berakhir kasihan anak kecil itu tak mau makan sejak kemarin badannya mulai demam mungkin merindukan ibunya.""Tutup mulutmu!" bentak Monica keras. "Aku tak peduli jika bocah itu mati kelaparan yang terpenting balas dendamku terhadap tunangan ibunya terlampiaskan!" Lalu bergegas memanggil supir agar mengantarnya ke suatu tempat. Pertemuan yang ditunggu-tunggu sebelum mengambil uang tebusan lima milyar.Oh, tidak. Pengasuh itu baru memahami majikan menaruh benci begitu dalam terhadap Kaivan yang segera menikahi Amirah, namun yang menjadi korban balita Bagaskara. Sungguh menyesal Nana tersadar diperalat Monica gadis kejam tak punya hati nurani menculik anak kecil demi cinta