Satu minggu berlalu. Bude Tantri terdiam mengamati ponakan tersayang sibuk melakukan bisnis baru untuk menghilangkan kesedihan hati. Amirah lebih sering melamun sendirian meratapi nasib namun tidak pernah mencurahkan perasaan padanya lagi."Nduk, sarapan dulu sebelum kamu berangkat," pintanya sambil mengetuk pintu kamar tamu di suatu pagi.Jawaban Amirah terdengar lantang dari dalam. "Inggih Bude, kami segera keluar setelah selesai berpakaian."Dibantu putri bungsu Ayu, sang pemilik rumah menyiapkan makan pagi bagi mereka. Kadangkala Guntur ikut sarapan kemudian pergi ke kantor dengan Amirah. Tapi sudah seminggu ini kehidupan keluarga mereka jauh berubah dan berbeda."Ra-aa ... " teriak Ayu dari ruang makan. "Buruan dong, kami lapar 'nih!""Ishhh Nduk, jangan begitu," sela Bude Tantri. "Amirah 'kan harus melayani Bagas dulu sebelum pergi kerja."Bibir Ayu langsung merengut mendengar pembelaan ibunya. "Kenapa 'sih dia tak mau menikahi Kaivan, hidup kita 'kan lebih mudah 'ga perlu jadi
Alex mendatangi kantor Kaivan. Tak cuma membahas bisnis tetapi hubungan CEO tampan dan Amirah. "Apa memang semua harus berakhir seperti ini, kau kok 'ga ada gregetnya 'sih?" cecarnya bingung. "Istriku bilang, Amirah buka usaha di Yogya setelah rumahnya dijual untuk membayar hutang bisnis Pakde Bambang." Bahu Kaivan terangkat. "Entahlah, tanyalah padanya, dia yang memutuskan pernikahan kami bukan aku." "Iya aku paham 'Van," sela Alex cepat. "Tapi kau 'kan punya kekuasaan dan uang, cobalah bujuk biar kami 'ga khawatir tentang masa depan Bagas dan Amirah." "Percuma 'Lex, dia menolak seluruh bantuan dariku setelah kejadian ancaman Monica," jelas Kaivan. Dahi suami Melani mengerut. "Memang kau tak bilang bahwa Monica, Jeany dan James telah tewas sehari dia kabur keluar kota bersama anaknya?!" "Ga mungkin sedetil itu, Bro!" sungut Kaivan kesal disalahkan sahabatnya. "Amirah bisa tambah benci padaku jika tahu tiga bajingan tewas mengenaskan karena diburu oleh kita semua." Penjelasannya s
"Bu, kemeja batik ini sebaiknya diletakkan di mana?" Sidik menunjukkan beberapa motif baru saja tiba di toko mereka. Warna warni sedap dipandang mata bagi kalangan anak muda terlihat segar dan menawan berbeda dari batik yang biasa dikenakan para orang tua."Pajang masing-masing kemeja dalam dua ukuran berbeda sebagai display, sisanya letakkan di gudang," seru Amirah terus menata kain batik di lemari sambil mencatat satu persatu kode barang.Baru satu bulan membuka toko sudah mendapat perhatian orang banyak. Tidak cuma diperjualbelikan secara offline, namun juga ditawarkan melalui online. Amirah memanfaatkan kemampuan menjadi sales marketing handal. Sahabatnya Alex dan Melani membantu penjualan batik miliknya di Jakarta."Dik," panggilnya kencang."Ya, Bu ... " Sidik buru-buru menghampiri pemilik toko.Amirah memberikan daftar inventaris barang mereka. "Ini sudah rapi catatannya coba nanti dicek kembali dan kirimkan beberapa kemeja batik yang dipesan pembeli online.""Siap Bu, tapi ...
Usai menemani Bagas tidur di kamar, Amirah berjalan pelan keluar untuk menemui Bude Tantri. Ketika makan malam tadi tak sempat berbicara sesuatu. Kini kesempatan terakhir ketika putranya sudah terlelap dan bebas menanyakan perihal telepon yang membuatnya seharian gundah gulana. "Nduk, kok belum tidur?" tegur Bude Tantri sambil membersihkan meja makan lalu mengajak duduk bersama. "Aku lihat wajahmu cemberut terus, memangnya ada apa toh?" "Uhmm ... Bude pernah menghubungi Opa Setiawan Nareswara?!" protes Amirah tak sengaja. "Ga 'Ra, ga pernah sama sekalipun malah aku tak menyimpan nomor telepon atau alamat kakekmu itu," jelas Bude Tantri jujur. "Kenapa tiba-tiba kamu membahas tentang mertua adikku?" Tangan Amirah terlipat di atas meja. Wajah tirus berpaling dari kakak ibunya. "Entahlah mengapa siang tadi Opa Nareswara menelepon meminta untuk tinggal bersamanya." Tersentak istri Pakde Bambang mendengar cerita ponakan. "Darimana dia tahu kau berada di Yogya, padahal kita tidak pernah
Celine, gadis blasteran Eropa dan Indonesia berparas cantik asyik bergelayut di lengan Kaivan. Sudah lama ia menaruh hati tapi pria itu selalu menolak perhatian yang diberikan untuknya."Aku dengar kau tak jadi menikah?" pancingnya ingin tahu."Uhmm ... buat apa kau tanyakan hal itu?" Kaivan mencibir kesal. "Dari dulu pun aku tak mencintaimu.""Oh, c'mon!" rajuk Celine atas kejujuran pria yang sangat disukai. "Menikahlah denganku, tinggal di Paris dan membesarkan anak-anak kita nanti di sini."CEO tampan itu menggeleng. "No, thanks!""Grr-- kau merusak suasana hatiku!"Jeritan Celine sengaja dibuat-buat agar pria itu terus menemani selama perjalanan bisnis ke Eropa. Mereka telah lama kenal sejak Kaivan bekerja sama dengan orang tuanya pengusaha besar di Perancis.Mantel hangat Kaivan dikaitkan erat-erat. Gadis manja di sampingnya hanya dianggap teman akrab selama ini untuk mengurangi kesepian mendalam di tengah musim dingin dan bersalju. Isi kepala selalu terlintas wajah mantan tunang
"Nyonya Amirah?" Sontak Ibu dari Bagaskara menoleh ketika seseorang memanggilnya. Dia tak mengenal pria itu, bahkan tidak tahu darimana asalnya. "Maaf, ada perlu apa?" "Karyawanmu di toko bilang kau sedang keluar makan siang, boleh kita berbicara sesuatu?" tanya orang asing itu lagi mendesak memberi waktu untuk mereka. "Silakan duduk," sambut Amirah penasaran. "Aku sedang memesan menu, apa anda juga ingin makan?" "Boleh, silakan Nyonya pesan apa saja karena pembicaraan kita agak lama," tukasnya senang setelah wanita yang dicari telah ditemukan hari ini. Tugasnya semakin mudah, boss besar pasti gembira mendengarnya. Amirah mengernyitkan dahi. Awalnya berpikir pria itu klien penting yang akan membeli banyak batik darinya. Tetapi dokumen dalam tas kerja mulai dikeluarkan di atas meja makan lalu disodorkan padanya. "Ini apa?" terkanya bingung. "Berkas penting berisi paspor, visa dan tiket keberangkatan Nyonya dan putra anda," jelas pria itu tersenyum. "Namaku Bimantara, sebagai pim
Rumah Joglo terasa lengang sesaat Amirah memasuki teras depan. Ucapan salamnya tiada yang membalas seakan kediaman besar dan luas itu tak berpenghuni. Langkah kakinya tergesa-gesa ke halaman belakang barulah bertemu sang tuan rumah. "Hai Nduk, tumben pulang cepat?" sapa Bude Tantri merapikan pakaian yang sudah kering dijemur dari pagi. "Eh iya, di depan ada seorang tamu dari jauh yang ingin berjumpa Bude," balas Amirah gugup. "Tamu dari jauh itu siapa toh, Nduk?" tanyanya bingung lalu meletakkan seluruh pakaian ke sudut meja. "Kok sampai segitu pentingnya mau ketemu aku?" Amirah mengangkat bahu. Mau tak mau Bude Tantri berjalan ke ruang depan melihat tamunya dan sempat berhenti memanggil asisten rumah tangga menyiapkan minuman untuk mereka. Bimantara masih berdiri di luar memandangi rumah Joglo yang asri. Sontak dia menoleh ke belakang ketika terdengar sambutan ramah dari tuan rumah menyilakan masuk dan duduk di ruang tamu. Sosok seorang ibu yang bersahaja di matanya. "Bude Tantr
Kaivan mengulangi beberapa kali nomor panggilan Amirah Lashira. Gagal dan selalu gagal. Merde - brengsek! Saking kesalnya membanting kuat gawai ke sofa melambung terus sampai ke lantai entah kemana diacuhkan begitu saja. Udara dingin menusuk pori-pori tak diindahkan lagi. Pemanas ruangan lupa dinyalakan karena beberapa hari lalu terbang ke negeri lain dan baru kembali ke Paris tengah malam ini. Kedua tangan digosokkan mencari sisi kehangatan sebelum membeku dihadang rindu. Amirah Lashira. Dua malam lalu ketika berada di Italia, sambungan telepon tak berfungsi sama sekali seolah janda itu ditelan bumi. Enggan rasanya mengontak Guntur sepupu Amirah untuk menanyakan keadaannya. Penthouse mewah seperti pemakaman sunyi tanpa kegembiraan di dalamnya. Diraihnya sebuah gelas kosong dan sebotol minuman lalu membawanya ke balkon luas menghadap menara Eiffel seakan mengejek Kaivan memilih mabuk alkohol akibat cinta berpeluk sebelah tangan. Pria tampan dan menawan hidup sendirian bergelimang