Celine, gadis blasteran Eropa dan Indonesia berparas cantik asyik bergelayut di lengan Kaivan. Sudah lama ia menaruh hati tapi pria itu selalu menolak perhatian yang diberikan untuknya."Aku dengar kau tak jadi menikah?" pancingnya ingin tahu."Uhmm ... buat apa kau tanyakan hal itu?" Kaivan mencibir kesal. "Dari dulu pun aku tak mencintaimu.""Oh, c'mon!" rajuk Celine atas kejujuran pria yang sangat disukai. "Menikahlah denganku, tinggal di Paris dan membesarkan anak-anak kita nanti di sini."CEO tampan itu menggeleng. "No, thanks!""Grr-- kau merusak suasana hatiku!"Jeritan Celine sengaja dibuat-buat agar pria itu terus menemani selama perjalanan bisnis ke Eropa. Mereka telah lama kenal sejak Kaivan bekerja sama dengan orang tuanya pengusaha besar di Perancis.Mantel hangat Kaivan dikaitkan erat-erat. Gadis manja di sampingnya hanya dianggap teman akrab selama ini untuk mengurangi kesepian mendalam di tengah musim dingin dan bersalju. Isi kepala selalu terlintas wajah mantan tunang
"Nyonya Amirah?" Sontak Ibu dari Bagaskara menoleh ketika seseorang memanggilnya. Dia tak mengenal pria itu, bahkan tidak tahu darimana asalnya. "Maaf, ada perlu apa?" "Karyawanmu di toko bilang kau sedang keluar makan siang, boleh kita berbicara sesuatu?" tanya orang asing itu lagi mendesak memberi waktu untuk mereka. "Silakan duduk," sambut Amirah penasaran. "Aku sedang memesan menu, apa anda juga ingin makan?" "Boleh, silakan Nyonya pesan apa saja karena pembicaraan kita agak lama," tukasnya senang setelah wanita yang dicari telah ditemukan hari ini. Tugasnya semakin mudah, boss besar pasti gembira mendengarnya. Amirah mengernyitkan dahi. Awalnya berpikir pria itu klien penting yang akan membeli banyak batik darinya. Tetapi dokumen dalam tas kerja mulai dikeluarkan di atas meja makan lalu disodorkan padanya. "Ini apa?" terkanya bingung. "Berkas penting berisi paspor, visa dan tiket keberangkatan Nyonya dan putra anda," jelas pria itu tersenyum. "Namaku Bimantara, sebagai pim
Rumah Joglo terasa lengang sesaat Amirah memasuki teras depan. Ucapan salamnya tiada yang membalas seakan kediaman besar dan luas itu tak berpenghuni. Langkah kakinya tergesa-gesa ke halaman belakang barulah bertemu sang tuan rumah. "Hai Nduk, tumben pulang cepat?" sapa Bude Tantri merapikan pakaian yang sudah kering dijemur dari pagi. "Eh iya, di depan ada seorang tamu dari jauh yang ingin berjumpa Bude," balas Amirah gugup. "Tamu dari jauh itu siapa toh, Nduk?" tanyanya bingung lalu meletakkan seluruh pakaian ke sudut meja. "Kok sampai segitu pentingnya mau ketemu aku?" Amirah mengangkat bahu. Mau tak mau Bude Tantri berjalan ke ruang depan melihat tamunya dan sempat berhenti memanggil asisten rumah tangga menyiapkan minuman untuk mereka. Bimantara masih berdiri di luar memandangi rumah Joglo yang asri. Sontak dia menoleh ke belakang ketika terdengar sambutan ramah dari tuan rumah menyilakan masuk dan duduk di ruang tamu. Sosok seorang ibu yang bersahaja di matanya. "Bude Tantr
Kaivan mengulangi beberapa kali nomor panggilan Amirah Lashira. Gagal dan selalu gagal. Merde - brengsek! Saking kesalnya membanting kuat gawai ke sofa melambung terus sampai ke lantai entah kemana diacuhkan begitu saja. Udara dingin menusuk pori-pori tak diindahkan lagi. Pemanas ruangan lupa dinyalakan karena beberapa hari lalu terbang ke negeri lain dan baru kembali ke Paris tengah malam ini. Kedua tangan digosokkan mencari sisi kehangatan sebelum membeku dihadang rindu. Amirah Lashira. Dua malam lalu ketika berada di Italia, sambungan telepon tak berfungsi sama sekali seolah janda itu ditelan bumi. Enggan rasanya mengontak Guntur sepupu Amirah untuk menanyakan keadaannya. Penthouse mewah seperti pemakaman sunyi tanpa kegembiraan di dalamnya. Diraihnya sebuah gelas kosong dan sebotol minuman lalu membawanya ke balkon luas menghadap menara Eiffel seakan mengejek Kaivan memilih mabuk alkohol akibat cinta berpeluk sebelah tangan. Pria tampan dan menawan hidup sendirian bergelimang
Perjalanan melelahkan berjam-jam dalam penerbangan panjang. Amirah dan Bagaskara tak pernah terbang sejauh ini. Untuk pertama kali dalam hidup mereka menuju ke negeri asing menemui orang asing. "Biarkan aku menggendongnya 'Ra, kamu juga sudah lelah kepayahan," pinta Bimantara agar menyerahkan Bagaskara ke pelukannya ketika mereka telah tiba di Perancis. "Ga Mas, makasih," tolak Amirah halus menolak kebaikannya. "Kau juga kerepotan membawa kami sampai ke sini, Bagas belum terbiasa situasi baru seperti sekarang ini." Ditengok sekeliling bandar udara megah Paris - Charles de Gaulle. Papan layar berisi informasi penerbangan padat. Penumpang lalu lalang silih berganti berangkat dan pergi. Sungguh luar biasa pengalaman dirasakan Amirah Lashira antara takut dan takjub. "Duduklah di sana 'Ra, biar aku saja yang menunggu bagasi datang." Bimantara menunjuk ke kursi dekat pengambilan barang. Hatinya riang gembira memandang janda beranak satu akhirnya memenuhi permintaan Tuan Setiawan Nareswa
Memasuki ruang makan Sebastian dikejutkan sesuatu yang luar biasa. Didapati wanita muda sedang mencuci perabotan kotor sesaat ingin mengambil minuman. "Hei, kau siapa, apa asisten rumah tangga yang baru?" Amirah menggeleng terburu-buru menyelesaikan pekerjaan. Sekilas paras tampan pria itu serupa Papa Bisma namun berkulit putih pucat bukan Asia. Tak dihiraukan pertanyaan yang terdengar mengejeknya. "Sebastian!" panggilan nyaring Oma Rania menyambut senang cucu kesayangan datang menengok dirinya. "Tumben kau ke sini, sayang, memang tak bekerja hari ini?" Kecupan ringan di pipi tuan rumah cantik jelita. "Cuma sebentar ada berkas penting perlu ditandatangani Opa Nareswara terus aku balik ke kantor lagi," ujarnya sambil melirik nakal wanita muda menarik perhatian sejak melihat pertama kali. "Oh, Opamu sedang keluar sebentar nanti segera kembali," sahut Nyonya Rania menggandeng Sebastian ke ruang keluarga menjauhi cucunya yang lain. "Oma, itu siapa?"Langkahnya terhenti sejenak menanyak
Opa Nareswara memberi pesan usai makan pagi. Amirah dan Bagaskara diperkenankan keluar mansion untuk berbelanja dan berwisata. "Tunggu saja nanti kalian dijemput, jangan kemana-mana sendirian aku tidak mau buyutku hilang di keramaian!" "Baiklah Opa, kami mengambil mantel hangat fdan memakai sepatu dulu di kamar." Bergegas Amirah dan putranya segera menghilang dari pandangan Nyonya Rania yang masih acuh walaupun sudah beberapa hari tinggal di mansion. Tak ada banyak pembicaraan antara mereka hanya Tuan Nareswara memanjakan cucu dan buyut lebih dari seharusnya. Itulah membuat kebencian istrinya makin menguat. "Pa, biarkan saja Amirah pergi sendiri, kau itu 'kan banyak pekerjaan apalagi proyek baru sedang ditangani dan Sebastian juga ikut sibuk di dalamnya!" protes Nyonya Rania. "Mama gimana 'sih kok tega melepas mereka di kota asing begini, kamu pikir orang Perancis mau meladeni wisatawan yang tak mengerti bahasa yang tidak mereka kuasai?" balas Tuan Setiawan Nareswara. Istrinya la
Esok malamnya Sebastian melancarkan aksi mendekati sepupu Amirah. Dia memiliki banyak waktu dengan janda itu daripada keparat Bimantara."Ra, temani aku keluar sebentar yuk?" desaknya."Mau kemana sudah malam begini aku 'kan harus temani Bagas tidur dulu," kilah Amirah halus."Jalan-jalan saja bertemu kawanku tak lama terus kita pulang," bujuknya merayu. "Ada Opa yang menemani Bagas memasang mainan kereta api kalau sudah mengantuk pasti dibawanya ke kamar."Amirah tetap menggeleng sampai pada akhirnya terdengar Opa Nareswara bersuara."Pergilah 'Ra, kalian 'kan saudara sepupu belum kenal akrab, orang tua dan adik bungsu Sebastian sedang pergi liburan ke Yunani nanti juga bertemu setelah mereka kembali."Andai saja Opa melarang Amirah lebih senang daripada harus berduaan Sebastian. Tapi sayang malah setuju pergi dan mau tak mau dia mengikuti sarannya."Tunggu, aku ganti baju dan ambil mantel dulu.""Ga usah begitu aja sudah cantik kok, di mobil ada selimut dan mantel cadangan lebih han