POV Si PelakorAku berteriak, namun tak ada yang berani menolongku. Kendaraan lewat tak banyak, tapi masih ada dua atau tiga motor. Tak ada yang menghiraukan teriakkanku. Kenapa? Apa mereka takut pada dua lelaki pereman bertubuh besar ini? Tidak! Aku yakin, mereka hanya tak mau membantuku.Sejak tadi aku berusaha melepaskan diri, namun nihil. Kekuatan pereman itu mengalahkan kekuatanku. Satu-satunya cara adalah menendang alat tempur lelaki ini. Tanpa berpikir kulayangkan tendangan, tepat pada alat tempur miliknya. Seketika dia meringis kesakitan dan aku pun terlepas dari tangannya. Namun, lelaki yang tengah menenteng barang-barangku itu seketika melempariku dengan batu hingga tiba tepat di keningku.‘’Arggh.’’ Kucoba memegang kening, ternyata darah segar hinggap di tanganku.‘’Ayo, Bos. Kita lari dari sini. Setidaknya barang-barang ini sudah kita dapatkan.’’ Kedua lelaki itu berlari sambil membawa barang-barang mahalku.‘’Jangan lari kalian!’’Aku yang akan mengejar dua lelaki itu, na
‘’Bu, ma’af. Apa Ibu nggak kasihan sama Non Chika? Apalagi Non itu—‘’ Membuat darahku seketika naik mendengar ucapan lelaki yang bernama Jodi, dia asisten pribadiku.‘’Kamu nggak tahu apa-apa tentang Chika. Jadi stop untuk mengatakan hal itu,’’ kataku tegas dan menunjuk lelaki yang berdiri di sampingku.Ya, keputusanku untuk mengusir Chika adalah keputusan yang tepat. Jujur saja, aku sangat kecewa pada anak semata wayangku. Awalnya, aku pulang ke kampung halaman itu karena berniat menjemput Chika supaya dia mau ikut denganku ke luar kota, tempat papinya bekerja. Tapi, apa yang aku dapati? Aku langsung mendapatkan ucapan yang membuat jantungku seakan berhenti berdetak.Tetangga mengatakan kalau anakku itu dipaksa nikah di balai adat. Katanya Chika ketahuan membawa lelaki menginap di rumah. Aku tak tahu harus meletakkan di mana mukaku ini, saking malunya sama warga di kampung. Setelah mendengar kabar yang tak mengenakkan itu, aku langsung menghubunginya. Aku menyuruh dia untuk segera pu
POV Maminya Chika‘’Neneng!’’‘’Iya, Bu?’’ Seperti biasanya jika aku memanggil, dia pasti akan tergopoh-gopoh berjalan mendekatiku.‘’Kamu periksa kamar yang biasa ditempati Chika dan semua kamar. Kecuali kamar saya,’’ perintahku.‘’Kalau kamu menemukan sesuatu. Segera lapor ke saya,’’ lanjutku.‘’Baik, Bu,’’ sahut Neneng dengan sopan dan menunduk. Wanita itu kembali melangkah untuk menjalankan tugas yang kuberi.‘’Sebentar, Neneng!’’ Membuat ART itu menghentikan langkahnya lalu menoleh.‘’Kamu periksa semuanya. Jangan ada yang ketinggalan. Kamu paham?’’‘’Paham, Bu.’’‘’Baiklah. Kerjakan tugasmu sekarang juga, Neng.’’ Dia kembali menyahut dengan anggukan dan menghilang dari pandanganku seketika.Ya, aku sengaja memerintahkan asistenku itu untuk memeriksa semua ruang kamar tempat tidur, kecuali kamarku. Karena selama aku tak berada di kampung, tentu kamarku dikunci. Dan kamar yang lain, tentu pernah dipakai oleh lelaki biadab itu. Pun juga aku tengah mencurigai terjadi sesuatu pada an
POV Maminya Chika‘’Saya mau keluar. Ada hal penting yang harus saya urus. Kamu jaga rumah. Karena Jodi dan Angga akan ikut bersama saya. Jangan lupa, sediakan makan siang seperti biasanya,’’ titahku dengan tegas.‘’Baik, Bu.’’Seperti biasa Neneng akan menurut saja apa yang aku perintahkan. Aku langsung memberi kode pada kedua lelaki itu untuk melangkah ke luar dari rumah.‘’Silahkan, Bu.’’Lelaki yang berpakaian hitam itu membukakan pintu mobil untukku, Jodi. Aku segera menaiki si roda empat. Mobil pun melaju membelah jalan raya.***Hanya 15 menit aku dan dua orang asisten pribadiku sudah memasuki lobi rumah sakit. Kami langsung melangkah ke ruang rawat lelaki biadab itu. Ternyata dia tengah bermain ponselnya. Apa dia menghubungi Chika?‘’Deno?’’ Membuat matanya melotot dan tangannya terhenti mengusap layar benda canggih itu.‘’Tante?’’‘’Hem, maksudku..Mami,’’ katanya dengan cepat. Aku langsung duduk di brankar.‘’Gimana? Kamu udah baikan? Udah boleh pulang kan?’’ Kutepuk lengann
Entah kenapa hari ini wajah Mas Deno selalu membayang di benakku.‘’Ah, Nelda. Kamu itu wanita bodoh. Masa iya, lelaki pengkhianat itu masih aja kamu ingat. Dia tuh udah bahagia di sana bersama selingkuhannya,’’ monologku dalam hati yang selalu mengingatkan diri sendiri.Aku mengusap muka dengan kasar. Kuraih benda canggih itu, rasanya sudah lama aku tak melihat komentar para fans. Kemarin aku memasukkan foto anak semata wayangku dengan caption kau adalah hidupku. Ternyata ada 100K like dan 4K komentar. Untuk menghalau rasa suntuk, aku memutuskan untuk membaca komentar para fans.‘’Anak solehah. Semoga sehat selalu ya, Dek.’’‘’Kasihan banget sama Naisya. Jadi korban perselingkuhan Papanya. Semoga Mba Nelda selalu kuat dan sabar. Kami selalu ada untukmu dan Naisya.’’‘’Ma’af, Mba. Apa Mba beneran udah cerai sama suami Mba? Soalnya dia menikahi si wanita murahan itu.’’Mataku melotot melihat salah satu komentar dari seseakun itu. Menikah? Dengan Chika si pelakor? Dari mana wanita itu t
‘’Nggak seperti yang ada di benakmu itu. Kamu yang ternyata berhati busuk, Nelda. Buktinya kamu memfitnah Chika sampe namanya buruk di sosial media.’’Aku membungkam mulut saking terperanjatnya sambil menggeleng. Seorang Fani tak pernah berkata sekasar ini padaku. Jangankan untuk berkata kasar, menyakiti hatiku saja dia tak pernah. Begitulah dia semasa sekolah denganku. Kini dia berubah total. Dia lebih berpihak pada wanita murahan. Apa karena wanita murahan itu membiayai semua biaya rumah sakit papanya? Membuat Fani lebih berpihak pada si pelakor dibandingkan aku? Tidak, aku tahu betul bagaimana seorang Fani yang kukenal selama ini.‘’Jadi karena dia membiayai rumah sakit Om, kamu jadi berpihak padanya? Fan, kenapa kamu nggak bilang sama aku? Kalo kamu bilang sama aku, aku pasti bantu kamu kok untuk membayar semua biaya administrasi Om. Ngapain kamu harus minta bantuan pada si pelakor itu.’’‘’Cukup, Nelda! Jangan kamu ngerendahin Chika lagi!’’ Suaranya makin menggelegar sambil menun
‘’Kamu beneran kan, Fan?’’ Dia mengangguk cepat.Aku sungguh bahagia sekali, sahabatku sudah kembali seperti dulu lagi. Fani yang kukenal beberapa tahun nan lalu. Kalau begitu, aku harus beritahu bibi Sumi supaya beliau menyiapkan sesuatu atau masakan untuk sahabatku ini. Apalagi dia tak pernah ke rumahku ini. Dulu, dia hanya sering ke rumah lamaku, rumah yang kami tempati dulu bersama papa dan mamaku sebelum beliau meninggal dunia.Aku bergegas merogoh tas.‘’Sebentar ya, Fan.’’Aku langsung memencet nomor kontak si bibi.Berdering..‘’Assalamua’laikum, Bi.’’‘’Bi, aku sebentar lagi mau otewe pulang ke rumah. Bibi siapkan masakan yang enak ya. Aku bawa sahabatku nih, yang sering aku ceritain ke Bibi itu,’’ kataku sambil merangkul pinggang Fani lalu tersenyum menatapnya.‘’Ihh, jangan repot-repotlah, Nel.’’ Aku meletakkan jari telunjuk di bibirku. Pertanda aku menyuruh Fani untuk diam.‘’Bibi ingat kan?’’‘’Alhamdulillah kalo gitu, Bi. Tapi, nggak usah buru-buru menyiapkannya ya, Bi.’
‘’Sampah itu harus dibuang pada tempatnya, Fan.’’‘’Aku mengerti, Nel. Ya.. Walaupun aku nggak tahu bagaimana rasa sakit yang kamu rasakan. Tapi, aku yakin rasanya sangat sakit,’’ kata Fani lirih.Aku membenarkan ucapannya dalam hati. Kini tak ada sahutan dariku, aku hanya fokus menyetir. Karena sebentar lagi akan sampai juga di rumah. Lebih baik aku bercerita di rumah saja bersama Fani.Tak berselang lama si roda empat sudah tiba di depan rumahku. Tampak pagar besi tertutup. Langsung kubunyikan klakson dan menurunkan kaca mobil.‘’Wah, rumah kamu bagus banget, Nel,’’ pujinya yang terus memandangi rumahku.‘’Alhamdulillah. Iya, Fan. Tapi kan nggak selamanya jadi milik kita. Ini hanya titipan, bukan?’’Aku tersenyum memandangi sahabatku yang tak berkedip netranya memandangi rumahku. Hingga si Bibi Sumi tampak tergopoh-gopoh, bergegas membuka pagar.‘’Kamu selalu saja begitu, Nel. Nggak pernah berubah. Kata-katamu itu nggak bisa aku bantah,’’ ungkap Fani sambil tersenyum lebar beralih m