Mayang memandang nanar Bu Fatma. Ada pengertian samar yang perlahan masuk dalam benaknya. Hal pertama yang ingin ia lakukannya segera adalah kabur! Mayang berlari ke arah pintu. Herannya tidak ada seorang pun yang menahannya. Mereka semua malah tertawa. Padahal tidak ada hal lucu yang perlu mereka tertawakan. Dengan tangan gemetaran, Mayang memutar gagang pintu. Terkunci! Pantas saja mereka semua tertawa. Karena mereka sudah tau kalau perbuatannya itu sia-sia belaka.
"Sudahlah, Mayang. Terima saja takdirmu. Mulai hari ini, pintar-pintarlah kamu membawa diri. Bahagia atau sengsaramu di sini, kamulah yang menentukannya. Ibu pergi dulu." Bu Fatma melenggang pergi begitu saja, setelah salah seorang pengawal si ibu menor mengeluarkan serenceng kunci. Saat pintu dibuka dan Bu Fatma keluar, Mayang ikut menghambur ke arah pintu. Namun usahanya sia-sia. Secepat pintu dibuka, secepat itu pula pintu ditutup. Kini hanya tinggal lima orang saja di dalam ruangan. Si ibu menor pemiliknya. Empat orang pengawal si ibu menor, dan dirinya sendiri. Mayang mengkeret saat si ibu menor mendekatinya.
"Kamu tidak usah ketakutan begitu, Mayang. Nama kamu Mayang 'kan? Santai saja. Seperti yang telah kamu dengar tadi, saya adalah pemilikmu. Bahasa gampangnya adalah mucikarimu. Panggil saja saya dengan sebutan Mami Elsye." Wanita menor yang bernama Elsye tersebut, menghampiri Mayang. Mata tajamnya yang diberi celak hitam, memandang Mayang dingin.
"Mulai hari ini, apartemen ini adalah rumahmu. Di sini, kamu akan tinggal dengan tujuh orang wanita penghibur lainnya. Khusus hari ini kamu boleh libur. Karena hari ini kamu akan ditatar khusus oleh para seniormu tentang tata cara memuaskan tamu. Tetapi besok kamu sudah harus bekerja. Mengerti?"
"Tidak mau! Saya ingin pulang! Saya bukan milik siapa-siapa. Buka pintunya. Buka!" Mayang panik. Ia memutar-mutar gagang pintu sekuat tenaga. Ia tidak mempedulikan kata-kata Mami Elsye. Mami Elsye itu bukan siapa-siapanya. Ia tidak harus mendengarkan perkataannya.
"Jaya, Abdul, beri anak ini sedikit pelajaran. Kalau setelahnya ia masih membangkang, kurung dia di ruang khusus sampai dia menyerah. Ingat, jangan beri dia apapun sampai besok pagi. Saya ingin melihat. Sampai berapa lama ia sanggup membangkang."
Mami Elsye mendekati pintu. Seperti saat Bu Fatma keluar tadi, salah seorang pengawal dengan segera membuka pintu. Dengan cepat Mayang bergerak. Ia ingin ikut keluar. Namun seorang pengawal yang dipanggil Jaya, menahan laju tubuhnya. Mayang tidak mau menyerah. Dengan beringas ia berusaha melepaskan diri dari sang pengawal. Sang pengawal yang marah, membopongnya di punggung seperti sekarung beras. Mayang yang tidak mau menyerah, memukuli punggung si pengawal. Ia berteriak, memukul sembarang, hingga menggigit keras tangan si pengawal. Si pengawal yang kesakitan menurunkan Mayang dari punggungnya. Sebagai balasan atas kenekadannya, sang pengawal menamparnya keras bolak balik. Mayang terbatuk. Ia merasa kedua pipinya nyeri dan panas. Selain itu, ia mencecap rasa asin darah. Namun Mayang masih belum mau menyerah. Ia kembali menerjang ke depan, saat bayangan Mami Elsye berkelebat melewati ambang pintu.
"Tunggu! Jangan tinggalkan saya di sini! Saya mau pulang!" Mayang kembali berteriak histeris. Ia ketakutan. Bagaimana nasibnya jika ia terkurung di sini? Lebih dari itu, ia sedang hamil. Akan jadi apa kandungannya nanti saat ia harus bekerja? Senaif-naifnya dirinya, ia tahu akan dijadikan apa ia di sini. Namun teriakannya sia-sia. Mami Elsye dan dua orang pengawalnya telah pergi. Meninggalkannya di apartemen dengan Jaya dan Abdul yang sadis. Ketakutan memikirkan nasibnya, Mayang kembali menjerit-jerit histeris seraya menggedor-gedor daun pintu. Ia putus asa dan tidak tahu harus mencari bantuan ke mana.
"Lo bisa diem nggak hah?" Sebuah tamparan keras kembali melayang ke pipi Mayang. Kali ini kuatnya tamparan, menghempaskan kepala Mayang hingga ke sisi kanan. Seketika Mayang merasa kepalanya mendadak ringan. Detik berikutnya ia seperti tersedot ke dalam pusaran hitam yang menggulungnya kejam. Ia sudah tidak ingat apa-apa lagi.
***
Jakarta, 10 Januari 2014.
Mayang berjalan tergesa menghampiri Mami Elsye. Di belakangnya, Abdul, sang pengawal membayangi dalam diam. Air muka Mayang begitu masam. Berbanding terbalik dengan Mami Elsye yang tersenyum bahagia di sudut club. Mayang tahu, Mami Elsye sedang girang bukan kepalang karena para kupu-kupu kertasnya banyak mendapat bookingan. Mami Elsye bahkan tidak malu-malu menjemur gigi, sambil membuat gerakan mengipas-ngipas dengan lembaran uang. Mami Elsye puas karena anak didiknya laris manis semua. Mayang geram. Mereka semua yang sibuk bekerja tanpa kenal malu apalagi lelah, tetapi Mami Elsyelah yang menikmati hasil jerih payah mereka semua. Dasar germo keparat! Setelah langkahnya sampai di depan Mami Elsye, Mayang memuntahkan kekesalannya. Saat ini ia sudah tidak peduli pada apapun lagi. Mentalnya sudah jauh berbeda dengan mentalnya dua tahun lalu.
"Mengapa Mami ingkar janji?" tuntut Mayang tanpa tedeng aling-aling. Mami Elsye meliriknya sesaat. Namun germo keparat itu tidak menanggapi pertanyaannya sama sekali. Mami Elsye hanya menganggapnya seperti seekor lalat.
"Maksud kamu apa, Mayang? Mami tidak mengerti? Sudah sana kerja. Masalah lainnya nanti kita bicarakan saja di apartemen." Mami Elsye mengibaskan tangan. Tanpa mempedulikan Mayang lagi, Mami Elsye berjalan menghampiri seorang pemuda gagah tattoan yang baru masuk ke dalam club. Walau muda, tetapi Mami Elsye tampak sangat menghormati sang pemuda. Sepertinya Mami Elsye memang sudah menanti-nantikan kedatangan sang pemuda.
Mayang tidak mau kalah. Ia mengekori langkah Mami Elsye nekad. Ia sudah terlalu lama dimanfaatkan oleh germo keparat ini. Kini ia ingin bebas!
"Saya tidak mau bekerja lagi. Karena itulah saya mencari Mami di jam bebas saya ini." Kalimat Mayang sukses membuat Mami Elsye menyurutkan langkah. Mami Elsye kini berbalik menghadap Mayang dengan air muka bengis.
"Tidak mau bekerja lagi kamu bilang? Coba ulangi sekali lagi kata-katamu?"
"Saya tidak mau bekerja lagi," eja Mayang tegas. Ia tidak mempedulikan ekspresi Mami Elsye yang mendadak berubah beringas. Terlalu lama ditekan, bisa membuat seseorang nekad. Begitu juga dengan dirinya.
"Dulu Mami bilang saya bisa bebas dari tempat ini, kalau saya bisa membayar 100 juta rupiah. Karena sejumlah itulah Mami dulu membayar Bu Fatma. Dan hari ini, tepat setelah dua tahun saya berada di sini, saya baru mampu mengumpulkan uang sejumlah yang Mami minta. Uang simpanan saya tersebut, tadi sudah saya berikan pada Abdul. Itu artinya saya sudah bebas bukan? Tapi kata Abdul, Mami tidak mengizinkan saya keluar dari apartemen. Mengapa Mami ingkar?" Mayang meradang.
Mayang meluapkan segenap emosinya. Sejak hari pertama tinggal di apartemen, ia telah dipaksa bekerja. Akibatnya ia mengalami pendarahan dan keguguran di hari itu juga.
Saat memohon untuk dipulangkan ke Banjarnegara, Mami Elsye meminta satu syarat. Yaitu ia harus membayar 100 juta yang tentu saja tidak mampu ia bayar. Kala ia menolak bekerja, Abdul dan Jaya akan mengurungnya di ruangan khusus dan membiarkannya kelaparan. Kedua pengawal Mami Elsye tersebut juga tidak segan-segan memukulinya. Masalah perut sejengkal membuatnya menyerah. Dengan keluguan seorang remaja tujuh belas tahun, ia terpaksa menjalani profesi sebagai seorang wanita penghibur.
Begitulah, selama dua tahun penuh ia terkurung di dalam apartemen. Ia hanya boleh keluar apartemen untuk bekerja. Artinya melayani para laki-laki hidung belang di club. Dalam kurun dua tahun itu, ia diperlakukam bagai budak pemuas nafsu tamu-tamu club oleh Mami Elsye, yang letaknya tidak jauh dari apartemen. Mayang sadar. Tanpa membayar, mustahil ia bisa keluar dari pekerjaannya ini. Oleh karena itulah, siang dan malam ia terus bekerja. Ia menyisihkan 5 juta rupiah setiap bulan, untuk dibayarkan pada Mami Elsye. Ia juga mengirim sejumlah uang pada keluarganya di Banjarnegara. Kepada mereka, ia mengaku kalau telah mendapat pekerjaan tetap di Jakarta. Begitulah, selama dua tahun ia menjalani hidupnya di ibukota.
"100 juta itu hutang pokok Mayang. Bunganya adalah 10% setiap bulannya, yaitu 10 juta tiap bulan. Kalikan 2 tahun. Jadi kamu harus membayar membayar sejumlah 240 juta lagi kalau kamu ingin bebas hari ini. Tapi kalau besok-besok, lain lagi perhitungannya. Ngerti kamu?"
Bunganya 10% tiap bulan? Dasar germo lintah darat!
"Mami tidak mengatakan soal bunga pada saya dua tahun lalu! Mami hanya mengatakan 100 juta." Mayang mengkertakan geraham. Betapa ia putus harapan sekarang. Kemarin ia telah membusungkan dada dengan gembira. Berharap agar ia bisa secepatnya terbebas dari tempat ini. Namun kini semua harapannya buyar! Sepertinya ia akan terus membusuk di tempat ini.
"Kamu pikir kamu bisa makan, tidur, dan bera* gratis di Jakarta ini? Tidak bisa, Shay! Bunganya adalah biaya kompensasi kamu selama tinggal 2 tahun di apartemen saya! Sekarang kita sudahi omong kosong ini, dan kembalilah bekerja. Nanti malam pasti akan ramai. Banyak pejabat-pejabat dari luar kota yang meeting di Jakarta hari ini. Bersiaplah mendapat tangkapan ikan besar. Sana, dandan yang cantik!" Mami Elsye mengibaskan tangan ke udara. Ia menganggap pembicaraan konyol ini sudah selesai.
"Tidak mau! Mami boleh memerintahkan Abdul dan Jaya untuk memukuli, bahkan membunuh saya. Saya tidak takut. Toh saya memang sudah mati sejak dua tahun lalu," tantang Mayang nekad. Ia sudah tidak mempedulikan apapun sekarang. Mati hanya sekali. Sungguh, ia memang sudah seputus asa ini sekarang.
"Mati itu gampang, Mayang. Tapi apa kamu sampai hati membuat keluargamu di kampung menanggung malu berkali-kali lipat. Anak gadis tulang punggung keluarga, yang digadang-gadang sukses di ibukota mati dengan nista. Mati dalam profesi sebagai pelacu*. Tega kamu melemparkan setumpuk kotoran di wajah kedua orang tuamu? Lantas, mau jadi apa kedua adikmu yang masih sekolah dan ayahmu yang sakit-sakitan? Kamu mau kalau ayahmu mati juga? Mau kamu?" Mami Elsye menoyor kening Mayang dengan jari telunjuknya.
Mayang adalah primadona di clubnya. Mana mungkin ia akan melepaskan Mayang semudah itu? Dari pertama kali melihat Mayang, ia tahu kalau gadis ini kelak akan menjadi bintang. Wajahnya yang sendu namun seksi, mempunyai daya jual tinggi. Kecantikan Mayang menguras emosi laki-laki. Mayang tampak rapuh sekaligus menggairahkan. Perpaduan mematikannya selalu tidak pernah gagal dalam menjerat pelanggan. Hati laki-laki mana yang tidak bergetar melihat sendunya air muka Mayang? Ditambah dengan rambut ikal sepinggangnya, Mayang seperti hasrat terlarang yang diimpi-impikan semua kaum adam. Lihatlah, dalam busana tertutup dan wajah pucat seperti ini pun, aura seksi Mayang tidak terbantahkan.
Mendengar kalimat demi kalimat bernada provokasi dari Mami Elsye, Mayang meradang. Mami Elsye menyerang sisi emosionalnya. Topik tentang keluarganya itu terlarang baginya. Ia sanggup melakukan apapun demi keluarganya. Membawa-bawa nama keluarganya dalam masalah mereka, membuat Mayang kalap. Dengan membabi buta ia menjambak rambut panjang Mami Elsye dan membantingnya ke lantai club. Mami Elsye yang tidak menyangka kalau Mayang akan menyerang, tidak siap. Ia terjatuh dengan posisi Mayang yang kini menduduki perutnya.
"Dasar germo bejat! Lintah darat! Karena Mami lah, saya sekarang jadi seperti ini. Mami pikir Mami ini siapa hah? Sampai-sampai Mami berani menyumpahi ayah saya? Siapa?" Mayang yang kalap memukuli Mami Elsye yang terlentang di bawah tubuhnya. Namun aksinya tidak bertahan lama. Abdul dan dua pengawal lainnya muncul dan gantian menggampari Mayang. Mami Elsye dan sudah berdiri kembali, menyumpahi Mayang dengan rambut awut-awutan.
"Sudah berani kamu dengan saya, Mayang? Berani? Sekarang rasakan pembalasan saya melalui Abdul dan Jaya. Lihat, apa kamu besok masih bisa berdiri? Dasar lont* sialan!" Mami Elsye menyempatkan menghajar wajah Mayang yang sudah berdarah-darah. Abdul dan Jaya, memang terkenal sadis saat marah.
"Sudah pertunjukannya?" Sebuah suara menyela dari arah belakang Mami Elsye. Dengan mata yang sudah tertutup separuh karena bengkak, Mayang memandang si pemilik suara. Ternyata si pemuda gagah tattoan yang tadi ingin ditemui Mami Elsye.
"Maaf ya, Xander. Kamu sampai harus melihat drama-drama murahan seperti ini. Ayo Mami akan segera membayar minuman yang sudah papamu kirimkan. Uangnya sudah Mami siapkan kok." Mami Elsye buru-buru menghadap Xander. Anak Axel ini memang tidak banyak bicara. Karena itulah, setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya berbahaya. Ia harus segera mengurus pembayaran minuman yang dipasok oleh papa Xander.
"Tidak perlu. Uang itu adalah pengganti kebebasan perempuan ini," Xander menunjuk Mayang dengan dagunya. Mami Elsye tercekat. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Xander akan memberi Mayang kebebasan. Padahal tadi ia hanya menggertak. Rugi besar kalau ia melepaskan Mayang. Mayang adalah investasinya dalam jangka panjang.
Akan halnya Mayang, ia takut kalau pendengarannya salah. Makanya sekarang telinganya berusaha ia buka lebar-lebar. Tadi telinganya memang terasa berdenging akibat pukulan-pukulan Abdul dan Jaya.
"Maksudnya?" Mami Elsye berusaha mengelak. Otaknya dengan cepat berputar. Berusaha mencari alasan yang tepat untuk menggagalkan niat Xander.
"Anda mengerti sekali maksud saya. Tidak usah belagak pilon di depan saya. Jumlah yang harus ia bayar 240 juta rupiah bukan? Tagihan Anda adalah 250 juta. Ambil sepuluh juta kembaliannya. Dan urusan Anda dengan perempuan ini usai sudah," ucap si pemuda santai. Namun sorot matanya menjanjikan ancaman.
"Jangan main-main dengan saya. Saat saya katakan usai. Itu artinya usai. Paham?" Mami Elsye menahan kalimat yang sudah gatal, ingin ia ucapkan diujung lidah. Masalahnya ia tidak berani membantah Xander. Bukan rahasia umum lagi, kalau anak sulung Axel ini bahkan lebih sadis dari papanya. Sudahlah, ia relakan saja Mayang. Namun ia masih sedikit menekan mantan anak didiknya ini. Kala Mayang melewatinya di belakang Xander, ia membisikan sepenggal kalimat.
"Kamu pikir kamu sudah bisa jadi perempuan baik-baik? Kamu itu perempuan kotor. Kalau kamu kembali ke kampung, itu artinya kamu mengotori kampungmu dengan segala kekotoranmu. Bisa-bisa kampungmu terkena bencana alam karena didatangi manusia nista sepertimu. Cuih!"
"Terima kasih, Pak. Bapak sangat baik karena telah menolong saya," Mayang memandang laki-laki gagah tattoan yang berdiri acuh tak acuh di sampingnya."Saya bukan orang baik. Saya hanya tidak suka melihat penindasan emosional di depan mata saya.""Apapun, terima kasih." Mayang menundukkan kepalanya sekali lagi. Air muka penuh hormat ia tunjukkan pada laki-laki baik yang tidak mau dibilang baik ini. Laki-laki itu hanya menaikkan bahunya acuh. Gayanya begitu cuek hingga terkesan angkuh."Sekarang kamu mau ke mana? Pulang kampung? Kamu punya uang untuk pegangan?"Mayang terdiam. Tidak! Ia tidak bisa kembali ke sana. Selain ia malu karena merasa telah begitu kotor, ia juga harus menghasilkan uang. Ayahnya sekarang sudah tidak bekerja karena sakit-sakitan. Kedua adiknya juga membutuhkan biaya besar karena masih sekolah. Sementara ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Keluarganya di kampung
"Wah Pak Sena sudah sampai ya? Mengapa Bapak tidak menghubungi saya?"Danu bangkit dari kursi. Ia segera menyalami boss besar yang digadang-gadang sebagai pengganti Candra Dananjaya. Konglomerat paling tersohor negeri ini. Nawasena Dananjaya ini adalah putra tunggal Pak Candra yang baru diperkenalkan pada publik sekitar delapan tahun lalu. Sebelumnya Pak Candra diketahui hanya memiliki dua orang putri. Yaitu Amaya Dananjaya almarhum dan Amanda Dananjaya. Kedua putrinya itu selalu bergaya sosialita. Mereka berdua juga diketahui enggan membantu Pak Candra dalam berbisnis. Amaya dan Amanda tidak suka memikirkan hal yang susah-susah. Untungnya almarhumah Amaya, mempunyai suami yang cerdas dan pekerja keras. Suami almarhumah Amayalah yang membantu Pak Candra, sebelum putra tunggalnya ini muncul. Dan di tangan putra tunggalnya inilah, usaha-usaha Pak Candra kian meroket. Siapa yang tidak mengenal Tri Dananjaya Group saat ini? Semua bidang usaha, telah mereka kua
Mayang melongo saat Xander benar-benar membeli asuransi jiwa seumur hidup, atau whole life insurance yang ia tawarkan. Jujur tadinya Mayang mengira kalau Xander hanya berpura-pura ingin ia prospek, untuk memberi pelajaran pada ketiga laki-laki tidak beretika di depannya itu. Khususnya Sena. Siapa yang mengira kalau Xander ternyata benar-benar mendengarkan hingga selesai apa yang ia jelaskan tentang produk-produk asuransinya. Xander bahkan meminta bantuannya untuk memilihkan asuransi jenis apa yang paling cocok untuk dirinya. Hebatnya lagi, Xander langsung meminta closing saat itu juga. Dengan mata berkaca-kaca, Mayang berkali-kali mengucapkan kata terima kasih dengan bibir bergetar."Kamu tidak perlu terus menerus mengucapkan terima kasih setiap bertemu dengan saya, Mayang. Kita berdua memang sama-sama membutuhkan. Kamu butuh menjual produk, dan saya butuh proteksi dari asuransi. Kedudukan kita equal."L
Mayang berusaha merapatkan pintu begitu ia mengetahui siapa tamunya. Sungguh, setitik debu pun ia tidak menduga kalau Mahesa bisa muncul di depan pintu rumahnya. Namun Mahesa lebih gesit. Ia mengganjal pintu dengan kaki kirinya."Jangan menutup pintu dulu, Mayang. Mari kita bicara baik-baik. Mas mohon.""Saya tidak tertarik mendengar puisi pembelaanmu, Mas. Karena apapun yang Mas ucapkan, tidak akan membawa pengaruh lagi dalam kehidupan saya sekarang. Pulanglah, Mas." Mayang bersikeras mendorong pintu. Tetapi ia kalah tenaga. Mahesa dengan mudah melebarkan daun pintu. Pintu akhirnya terbuka, dan Mahesa melangkah masuk.Menyadari kalau penampilannya tidak pantas dalam menerima tamu, Mayang bergegas ke kamar. Mayang melepas daster pudarnya. Menggantinya dengan kemeja bercorak polkadot dan bawahan kulot lebar. Tidak lupa, Mayang juga mengenakan penutup dadanya. Mayang menatap cermin di meja rias. Pantulan di cer
Sena berkali-kali memindai jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul delapan pagi kurang lima belas menit. Syukurlah. Ia bisa tiba tepat waktu. Kalau ia terlambat lima menit saja dari waktu yang biasa, bisa dipastikan ibunya pasti mengamuk. Sembari berkendara, lamunan Sena mengembara. Dimulai dari kedatangan ayah kandungnya, sampai betapa marahnya ibunya saat dirinya memutuskan menjadi bagian dari keluarga Dananjaya. Ibunya merasa ia tinggalkan karena miskin. Padahal ia memutuskan untuk menerima nama belakang Dananjaya, justru untuk membahagiakan ibunya. Seumur hidupnya, ibunya tidak pernah senang.Saat pandangan Sena membentur gedung Rumah Sakit Jiwa yang lima tahun belakangan ini rutin ia kunjungi, ia segera membelokkan mobilnya.Setelah memarkirkan mobil, ia bergegas turun. Dengan langkah tergesa ia melintasi koridor rumah sakit. Beberapa petugas rumah sakit yang berpapasan dengannya menyapa ramah. Seluruh dokter, petugas
"Eh Mbak, jangan. Ini, ambil saja jam tangan saya sebagai jaminan. Saya akan pulang sekarang untuk mengambil sisa uangnya. Bisa?"Mayang membuka kaitan jam tangan bermereknya. Meletakkan jam yang dulunya juga hadiah dari Miguel di meja kasir. Dengan raut wajah menyesal, sang kasir menggeleng."Maaf ya, Mbak. Tidak bisa. Semua transaksi di sini harus dalam bentuk uang. Tidak boleh dalam bentuk barang," ucap sang kasir tegas."Begitu? Semua transaksi di sini harus dalam bentuk uang. Tapi pengembalian untuk konsumen, boleh dalam bentuk permen sebagai pengganti uang kecil? Mengapa kalian tidak adil sekali?" sembur Mayang. Terlalu ditekan ternyata bisa membuatnya meledak.Pertanyaan Mayang tidak bisa dijawab oleh sang kasir. Ia hanya diam, karena bukan dirinyalah yang membuat peraturan. Ia hanya seorang pekerja di supermaket ini."Eh, Mbak. Yang mau membayar bukan Mbak seorang saja ya
Mayang duduk termangu di kursi dapur. Secangkir teh hangat berada di tangannya. Gerombolan ibu-ibu di depan rumahnya telah dibubarkan oleh Sena. Mayang tidak ingat persis kejadiannya seperti apa. Karena waktu itu ia nyaris kehilangan kesadarannya. Yang ia ingat, dadanya sangat sesak saat para ibu-ibu itu mencaci makinya. Sena membawanya masuk ke dalam rumah dan meminta nomor RT di lingkungannya.Selanjutnya Sena yang menghadapi kericuhan di luar sana. Mayang sudah tidak mampu lagi menjawab tuduhan-tuduhan para ibu-ibu muda itu. Lagi pula, apa yang harus ia jawab? Mayang yakin, apapun jawaban yang akan ia berikan, tidak akan dipercaya oleh mereka. Karena mereka telah mempunyai asumsi sendiri."Mbak Mayang, tehnya diminum dong. 'Kan mubazir kalau cuma dipegang aja.""Eh iya. Ini Mbak minum kok." Teguran Nia membuat lamunan Mayang terhenti. Mayang dengan cepat meneguk minumannya. Karena terburu-buru, Mayang ters
"Mas, ini kenapa uang saya dikembalikan semua? Kata Mas tadi hanya ada kelebihan uang?""Saya mengembalikannya padamu, supaya kamu bisa makan. Kembalikan pada saya beserta bunganya kalau kamu telah mempunyai uang banyak."Klik.Mayang memandangi ponsel saat Sena menutup panggilannya begitu saja. Air muka Mayang berubah ngeri saat teringat akan kalimat soal bunga uang. Kata bunga uang itu identik dengan Mami Elsye. Hutang dan bunga uanglah yang telah membuat hidupnya hancur seperti ini. Tidak bisa! Hutangnya bisa beranak dan bercucu kalau terus dihitung bunga. Apalagi ia belum tau Sena menetapkan suku bunga berapa. Dengan cepat Mayang kembali menghubungi ponsel Sena. Namun sayangnya ponsel Sena sudah tidak bisa lagi dihubungi. Nada ponselnya selalu sibuk. Ketika Mayang kembali mencoba menghubungi lagi, ponsel telah dalam keadaan tidak aktif.Mayang kelabakan. Ia takut sekali setiap berhubungan dengan