Mayang yang sedang tidur-tidur ayam, terbangun saat bus Sinar Jaya memasuki terminal bus Kampung Rambutan. Sejenak Mayang termangu. Jakarta. Inilah tempat yang ia tuju. Masa depannya seperti apa, akan ditentukan di sini. Sebenarnya ia gentar. Sewaktu di kampung dulu, ia belum pernah ke kota sendirian. Ia takut dijahati orang. Dan kini, hanya karena seorang laki-laki, ia bahkan berani keluar kota sendirian. Betapa menakjubkan.
Ketika para penumpang lainnya turun dari bus, Mayang pun bergegas membuntuti. Ia berusaha mengingat-ingat cerita Tanti dulu tentang kota Jakarta. Menurut Tanti, pertama sekali ia ke Jakarta dulu, ia juga tidak tahu jalan. Ia hanya memberikan secarik alamat pada supir taksi, dan langsung diantarkan hingga ke depan pintu rumah yang dituju. Menurut Tanti, di Jakarta transportasi itu mudah. Asalkan kita punya uang untuk membayar taksi, pasti kita akan diantarkan sampai alamat yang dituju. Satu hal yang penting. Pilihlah taksi yang berargo. Berbekal cerita Tanti, Mayang telah merencanakan perjalanan selanjutnya. Ia tinggal mencari taksi saja.
Setelah Mayang keluar dari bus, ia kebingungan. Terminal bus Kampung Rambutan ini ramai sekali. Tidak seperti terminal bus di Banjarnegara sana. Selain jumlah manusianya lebih banyak, bahasa yang mereka gunakan juga tidak familiar di telinganya. Di kampungnya sana, bahasa yang lazim ia dengar adalah bahasa Jawa. Sementara di Kampung Rambutan ini adalah campuran antara bahasa betawi dan beberapa bahasa daerah lainnya. Dialek yang mereka ucapkan, sangat asing di telinganya. Saat mendengar orang-orang berbicara saja, Mayang langsung merasa kalau ia telah berada jauh dari kampungnya. Ia juga diserbu oleh para calo yang terus menanyakan tujuannya. Sesuai apa yang diingatnya saat Tanti bercerita dulu, ia pun menolak para calo-calo itu dengan sopan. Demi menghindari para calo yang seperti tidak bosan-bosannya mengikuti, Mayang mempercepat langkah menuju jajaran taksi yang terparkir.
"Mau ke mana, Dek?" Seorang bapak berkemeja batik biru muda menyapa ramah. Melihat ada beberapa bapak-bapak lainnya yang juga berkemeja yang sama, Mayang berasumsi kalau mereka adalah para supir taksi. Berarti tujuannya sudah benar.
"Saya mau ke alamat ini, Pak. Ongkosnya mahal tidak?" Mayang menyerahkan secarik kertas lusuh pada bapak supir taksi. Kertas lusuh itu adalah alamat rumah Mahesa di Jakarta ini. Kertasnya sampai lusuh, karena ia berulang kali membacanya saat masih di rumah ataupun di dalam bus.
"Waduh, alamat ini jauh banget dari sini, Dek. Ongkosnya mahal. Seratus ribuan bakalan habis ini," imbuh sang supir. Mayang membelalakkan mata. Seratus ribuan itu artinya seratus ribu lebih. Sementara ongkosnya dari Banjarnegara ke Jakarta ini saja hanya sembilan puluh ribu rupiah. Uang yang tersisa di sakunya hanya tinggal seratus lima puluh ribu rupiah. Apakah cukup untuk membayar ongkos taksi? Mayang ragu.
"Jadi tidak naik taksinya ini, Dek?" tanya sang supir tidak sabar.
"Uang saya hanya ada seratus lima puluh ribu rupiah, Pak. Saya takut kalau uang saya tidak cukup untuk membayar ongkos," terang Mayang jujur.
"Gampang kalau masalah itu, Dek. Saya rasa kalau seratus lima puluh ribu itu cukup. Tapi kalaupun kurang, 'kan Adek bisa minta sama yang punya rumah nanti." Mendengar usul sang supir, Mayang seperti menemukan titik terang. Iya juga. Tidak mungkin Mahesa tidak mau membayar kekurangan ongkos taksinya.
"Kalau begitu, ayo kita berangkat sekarang, Pak," seru Mayang semangat. Memikirkan Mahesa, selalu membuatnya bahagia. Terkadang ia tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Suasana hatinya naik turun jika berhubungan dengan nama Mahesa. Ia bisa gembira sekaligus sedih di saat yang bersamaan. Cinta telah membuat hatinya jungkir balik dan logikanya tumpul. Beberapa menit kemudian ia telah berada di dalam taksi yang dingin dan empuk. Penumpangnya pun hanya dirinya seorang. Ia tidak harus berdesak-desakan seperti angkot omprengan di kampungnya. Pantas saja harga taksi ini mahal.
Di sepanjang jalan, Mayang tidak henti-hentinya memandangi gedung-gedung pencakar langit. Ia heran, bagaimana orang bisa tinggal di gedung setinggi itu. Apa mereka semua tidak kelelahan harus menaiki tangga setinggi itu setiap hari? Pak supir tertawa saat mendengarnya berbicara sendiri. Ternyata tanpa Mayang sadari, ia telah menyuarakan suara hatinya. Pak supir menjelaskan kalau gedung-gedung setinggi itu menggunakan lift. Pak supir yang baik hati itu juga menasehatinya, agar pintar-pintar menjaga diri di Jakarta. Mayang mengingatkannya pada sosok putrinya sendiri katanya.
Sekitar satu jam kemudian, mereka telah tiba di tempat tujuan. Perkiraan pak supir taksi memang benar. Argonya hanya mencatat angka seratus dua puluh ribu rupiah. Uangnya masih bersisa tiga puluh ribu rupiah, beserta uang receh empat ribuan. Alhamdullilah.
"Itu rumahnya, Dek. Yang berpagar coklat. Tapi Bapak rasa kok rumahnya kayak kosong ya?" Pak supir taksi memandang rumah Mahesa dengan tatapan skeptis. Sepertinya pak supir ragu kalau rumah Mahesa berpenghuni.
"Nggak mungkin kosong, Pak. Kalau Mas Esa pindah, pasti Mas Esa memberitahukannya pada saya," bantah Mayang yakin. Mahesa tidak mungkin sejahat itu.
"Ya, semoga saja ada orangnya ya, Dek? Tapi Bapak ingatkan. Kalau sekiranya orang yang kamu cari tidak ada, sebaiknya Adek pulang ke kampung saja. Jakarta ini keras, Dek. Kamu ini masih bisa dibilang anak-anak," nasehat pak supir lagi.
Anak-anak yang akan segera punya anak. Batin Mayang miris.
Mayang mengangguk seraya membayar ongkos taksi. Saat ia memberikan uang sejumlah seratus dua puluh ribu rupiah, pak supir menarik napas kasar. Pak supir mengembalikan uang dua puluh ribu rupiahnya. Katanya korting karena Mayang msngingatkannya pada putrinya sendiri. Mayang sangat bersyukur. Hari pertamanya di Jakarta, ia telah bertemu dengan orang baik. Setelah taksi menjauh, Mayang segera mendekati rumah Mahesa. Ia tidak peduli kalau pintu pagar telah tergembok. Ia akan mencoba memanggil Mahesa. Kalaupun tidak ada orang, ia tidak keberatan untuk menunggu. Paling Mahesa sedang bekerja. Sore atau malam hari Mahesa pasti akan pulang juga 'kan?
"Assalamualaikum. Apakah ada orang di rumah?" Mayang berteriak dari luar pagar.
"Assalamualaikum Mas Esa. Ini Mayang, Mas. Mas ada di rumah?" seru Mayang lagi. Sepi. Tidak terdengar jawaban apapun dari dalam rumah. Mayang mendekati pagar. Ia mengetuk-ngetuk gembok pada besi pagar. Ia berharap keributan yang ia timbulkan, akan membuat penghuni rumah keluar. Sepuluh menit ia memanggil Mahesa dengan diiringi gedoran besi gembok. Namun tidak juga membuahkan hasil.
"Eh lo nggak ada kerjaan apa ngegedor-gedor rumah kosong?" Tetangga di samping rumah Mahesa membuka pintu. Seorang ibu muda dengan anak balita yang sedang menangis dalam gendongannya, berkacak pinggang.
"Ko--kosong? Bukannya ini rumah Mahesa Heryanto ya?" Mayang merasa darahnya tersirap. Ternyata apa yang diduga oleh pak supir taksi itu benar. Rumah Mahesa kosong!
"Bener, emang ini rumahnya si Esa. Tapi Esanya udah kagak tinggal di sini. Esa udah kawin sama anak atasan bokapnya bulan lalu. Esa udah tinggal di rumah gedongan."
"Ni--nikah? Mas Esa sudah menikah? Tidak mungkin!" Mayang merasa bumi yang dipijaknya amblas ke dalam tanah. Kalau Esa sudah menikah, bagaimana dengan nasibnya? Istimewa nasib bayi dalam kandungannya.
"Kagak mungkin bagaimana? Gue juga diundang kok. Makanya lo jangan teriak-teriak di mari nungguin Esa. Sampai lebaran kuda juga si Esa kagak bakalan keluar. Orang rumahnya kosong. Yang ada lo gangguin anak gue tidur. Berisik tau! Nih anak gue sampai terbangun. Awas lo ya, kalau berisik lagi!" Si ibu muda mengomelinya sebelum masuk kembali ke dalam rumah. Mayang masih terpaku di tempatnya berdiri. Ia kehilangan fokus. Ia masih tidak percaya kalau Mahesa telah menikah. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus ia lakukan? Perutnya makin hari akan semakin membesar, sementara ia tidak mempunyai suami. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan, Mayang jongkok memeluk lututnya sendiri di depan pagar. Rasa lelah dan lapar yang tadi ia rasakan, hilang sudah. Ia kini mati rasa. Bahkan saat hujan turun dan tubuhnya basah kuyub, Mayang sama sekali tidak merasakannya. Pikirannya kosong. Ia tidak tahu harus bagaimana sekarang. Ia tidak menyadari berapa jam telah berlalu. Ia malas melihat jam. Hanya saja langit yang tadinya biru cerah, kini telah menjadi kelabu. Dan ia masih setia berjongkok di depan pagar rumah Mahesa. Ketika memindai jam di pergelangan tangannya, waktu telah menunjukkan pukul 17.30 WIB.
"Etdah ini bocah kagak percaya kalo si Esa udah pindah! Eh bocah, lo mau sampai kapan ngejogrok di sono? Udah gue bilangin kalo si Esa kagak bakalan pulang. Lo batu amat yak? Sono pulang! Ntar lo dicariin emak lo." Sang tetangga menggeleng-gelengkan kepala melihat kedegilan Mayang. Anak abege siapa yang sampai sedemikian gigihnya mencari suami orang? Atau jangan... jangan...
"Eh bocah, lo siapanya si Esa? Pacarnya? Atau jangan-jangan lo bunting ya? Makanya lo nekad banget nyariin si Esa?" Mayang kaget saat tetangga Esa bisa menebak tujuannya. Susah payah karena kakinya kesemutan, Mayang mencoba berdiri. Sebaiknya ia pergi saja dari sini. Tidak ada gunanya juga ia menunggu Esa. Seandainya pun mereka bertemu, status Esa telah berubah. Esa telah menjadi suami orang. Tanpa menjawab pertanyaan tetangga Esa, Mayang melangkahkan kaki menuju jalan raya. Saat ini yang ada di pikirannya hanyalah pulang ke Banjarnegara. Nasi sudah menjadi bubur. Akan ia hadapi saya segala konsekuensi dari kebodohannya sendiri.
Karena sisa uangnya tidak cukup untuk naik taksi ke terminal Kampung Rambutan, Mayang memutuskan untuk mencari angkutan umum saja. Karena tidak mengetahui trayek angkot, Mayang terus bertanya-tanya pada orang-orang yang ia temui di sepanjang jalan. Ia menanyakan angkot mana yang sekiranya lewat ke terminal Kampung Rambutan. Satu jam empat puluh menit kemudian, barulah ia sampai di tempat tujuan. Ia berkali-kali salah menaiki angkot, makanya ia lama di jalan. Selain waktunya yang habis di jalan, uangnya juga ikut ludes. Berkali-kali salah menaiki angkot membuatnya harus berkali-kali membayar juga.
Sesampai di terminal, Mayang bingung. Ia tidak mempunyai uang yang cukup untuk kembali ke kampung. Sisa uang yang ia punya hanya cukup untuk membeli mie instant cup dan air mineral saja. Sisanya hanya berupa uang recehan. Sementara bus terakhir yang akan berangkat ke Banjarnegara baru saja meninggalkan terminal. Mayang hanya bisa menatap nanar bus terakhir, dengan mulut masih mengunyah mie instan. Sementara bajunya yang tadinya basah kuyub karena hujan, kini menyisakan rasa lembab. Ia mulai merasa kedinginan.
"Neng ini mau ke mana? Ibu perhatikan dari tadi, si Eneng kok kayak orang bingung?" Mayang yang sedang duduk di kursi tunggu, menoleh samping tempat duduknya. Ada seorang ibu-ibu yang duduk tidak jauh darinya.
"Saya... saya mau pulang ke Banjarnegara, Bu," jawab Mayang lesu.
"Lho, itu tadi 'kan busnya baru saja jalan. Kok si Eneng tidak naik?" Si ibu mengernyitkan kening.
"Saya tidak punya ongkos, Bu," ucap Mayang malu. Saat ini sesungguhnya ia bingung dan ketakutan. Ia tidak tau harus meminta tolong kepada siapa. Tidak ada seorang pun yang ia kenal di ibu kota ini.
"Aduh, kasihan banget si Eneng. Ibu anterin pulang besok mau? Tapi malam ini Eneng tidur aja dulu di rumah Ibu. Besok pagi-pagi sekali Ibu anterin pulang ke Banjarnegara. Mau?" tanya si ibu ramah. Mayang bimbang. Di satu sisi, ia memang ingin sekali pulang. Ia tidak tahu, akan jadi apa ia di sini tanpa uang dan pekerjaan. Namun ia juga sungkan kalau merepotkan si ibu.
"Mau tidak, Neng? Tidak usah takut. Nama Ibu, Fatma. Nama Eneng siapa?" sapa si ibu ramah. Ragu-ragu Mayang mengulurkan tangannya. "Saya Mayang, Bu. Mayang Kania Putri lengkapnya."
"Wah, nama Eneng bagus. Ibu panggilnya Mayang saja ya?" Mayang mengangguk. "Kamu mau tidak ikut dengan Ibu hari ini. Kamu tidak usah khawatir. Ibu tinggal sendiri kok. Pokoknya besok pagi-pagi, kamu akan ibu antar naik mobil pribadi ke Banjarnegara. Jadi lebih cepat sampainya. Mau ya, May?" bujuk Bu Fatma lagi. Mayang yang memang sudah kelelahan sedari pagi setelah melalui perjalanan jauh, akhirnya menganggukkan kepala. Di pikirannya saat ini adalah pulang ke kampung halamannya.
Dengan langkah tertatih, ia mengikuti Bu Fatma masuk ke dalam mobil mewah. Mayang sama sekali tidak menyangka, kalau Bu Fatma yang berpenampilan sederhana ini ternyata sangat kaya. Mobilnya saja, mewahnya luar biasa. Mayang duduk di belakang, sementara Bu Fatma duduk di depan dengan supir. Tubuh lelah, sementara perut baru saja diisi, seketika membuat Mayang mengantuk. Beberapa menit kemudian, Mayang jatuh tertidur dan Bu Fatma tersenyum gembira. Mangsa telah masuk dalam perangkapnya. Dengan segera ia meraih ponsel dan menelepon seseorang. Ia mendapat rezeki besar hari ini.
Mayang terbangun saat seseorang menepuk-nepuk bahunya. Ia gelagapan dan membuka mata seketika. Ia tertidur pulas rupanya.
"Ayo, May. Kita turun," perintah Bu Fatma. Mayang yang baru terbangun, memayungi mata dengan jemari karena silau. Mayang memandang sekeliling. Ia bingung melihat suasana tempat mobil Bu Fatma berhenti. Alih-alih melihat rumah Bu Fatma, ia malah melihat jejeran mobil yang terpakir rapi.
"Kita sudah sampai ya, Bu?" Rumah Ibu yang mana? Kok di sini mobil semua?"
"Rumah Ibu ada di dalam gedung, May. Ayo, kamu ikuti saja langkah Ibu." Mayang yang baru saja bangun tidur, melangkah tersaruk-saruk mengikuti Bu Fatma. Saat Bu Fatma masuk ke dalam kotak kecil, yang Bu Fatma sebut dengan nama lift, ia pun ikut masuk. Saat lift bergerak naik, jantung Mayang mencelos. Ia merasa tubuhnya mendadak ringan. Setelah pintu lift terbuka, ia kembali mengikuti langkah Bu Fatma menelusuri lorong-lorong berkarpet tebal. Di kanan kirinya terdapat pintu-pintu dengan angka-angka di depannya. Saat tiba di pintu bernomor 263, Bu Fatma berhenti.
"Ini rumah Ibu ya?" tanya Mayang penasaran. Bu Fatma tidak menjawab. Si ibu menekan bell. Sejurus kemudian pintu pun terbuka. Mayang merasa tubuhnya didorong masuk oleh Bu Fatma. Pintu pun kemudian segera terkunci rapat.
"Ini bukan rumah Ibu. Tapi rumah kamu, Mayang," sahut Bu Fatma dingin. Air mukanya berubah datar.
"Kok rumah Mayang, Bu? 'Kan rumah Mayang di Banjarnegara sana," bantah Mayang makin bingung.
"Sekarang bukan lagi. Rumahmu adalah di sini. Bu Fatma telah menjual kamu kepada saya."
"Apa?!" Mayang kaget saat seorang wanita berwajah menor keluar dari dalam kamar. Sementara itu, empat orang laki-laki bertubuh kekar, berjalan di belakang wanita menor yang konon katanya telah membelinya.
Cobaan apalagi ini, ya Allah?"
Mayang memandang nanar Bu Fatma. Ada pengertian samar yang perlahan masuk dalam benaknya. Hal pertama yang ingin ia lakukannya segera adalah kabur! Mayang berlari ke arah pintu. Herannya tidak ada seorang pun yang menahannya. Mereka semua malah tertawa. Padahal tidak ada hal lucu yang perlu mereka tertawakan. Dengan tangan gemetaran, Mayang memutar gagang pintu. Terkunci! Pantas saja mereka semua tertawa. Karena mereka sudah tau kalau perbuatannya itu sia-sia belaka."Sudahlah, Mayang. Terima saja takdirmu. Mulai hari ini, pintar-pintarlah kamu membawa diri. Bahagia atau sengsaramu di sini, kamulah yang menentukannya. Ibu pergi dulu." Bu Fatma melenggang pergi begitu saja, setelah salah seorang pengawal si ibu menor mengeluarkan serenceng kunci. Saat pintu dibuka dan Bu Fatma keluar, Mayang ikut menghambur ke arah pintu. Namun usahanya sia-sia. Secepat pintu dibuka, secepat itu pula pintu ditutup. Kini hanya tinggal lima orang saja di dalam ruangan. Si ibu menor
"Terima kasih, Pak. Bapak sangat baik karena telah menolong saya," Mayang memandang laki-laki gagah tattoan yang berdiri acuh tak acuh di sampingnya."Saya bukan orang baik. Saya hanya tidak suka melihat penindasan emosional di depan mata saya.""Apapun, terima kasih." Mayang menundukkan kepalanya sekali lagi. Air muka penuh hormat ia tunjukkan pada laki-laki baik yang tidak mau dibilang baik ini. Laki-laki itu hanya menaikkan bahunya acuh. Gayanya begitu cuek hingga terkesan angkuh."Sekarang kamu mau ke mana? Pulang kampung? Kamu punya uang untuk pegangan?"Mayang terdiam. Tidak! Ia tidak bisa kembali ke sana. Selain ia malu karena merasa telah begitu kotor, ia juga harus menghasilkan uang. Ayahnya sekarang sudah tidak bekerja karena sakit-sakitan. Kedua adiknya juga membutuhkan biaya besar karena masih sekolah. Sementara ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Keluarganya di kampung
"Wah Pak Sena sudah sampai ya? Mengapa Bapak tidak menghubungi saya?"Danu bangkit dari kursi. Ia segera menyalami boss besar yang digadang-gadang sebagai pengganti Candra Dananjaya. Konglomerat paling tersohor negeri ini. Nawasena Dananjaya ini adalah putra tunggal Pak Candra yang baru diperkenalkan pada publik sekitar delapan tahun lalu. Sebelumnya Pak Candra diketahui hanya memiliki dua orang putri. Yaitu Amaya Dananjaya almarhum dan Amanda Dananjaya. Kedua putrinya itu selalu bergaya sosialita. Mereka berdua juga diketahui enggan membantu Pak Candra dalam berbisnis. Amaya dan Amanda tidak suka memikirkan hal yang susah-susah. Untungnya almarhumah Amaya, mempunyai suami yang cerdas dan pekerja keras. Suami almarhumah Amayalah yang membantu Pak Candra, sebelum putra tunggalnya ini muncul. Dan di tangan putra tunggalnya inilah, usaha-usaha Pak Candra kian meroket. Siapa yang tidak mengenal Tri Dananjaya Group saat ini? Semua bidang usaha, telah mereka kua
Mayang melongo saat Xander benar-benar membeli asuransi jiwa seumur hidup, atau whole life insurance yang ia tawarkan. Jujur tadinya Mayang mengira kalau Xander hanya berpura-pura ingin ia prospek, untuk memberi pelajaran pada ketiga laki-laki tidak beretika di depannya itu. Khususnya Sena. Siapa yang mengira kalau Xander ternyata benar-benar mendengarkan hingga selesai apa yang ia jelaskan tentang produk-produk asuransinya. Xander bahkan meminta bantuannya untuk memilihkan asuransi jenis apa yang paling cocok untuk dirinya. Hebatnya lagi, Xander langsung meminta closing saat itu juga. Dengan mata berkaca-kaca, Mayang berkali-kali mengucapkan kata terima kasih dengan bibir bergetar."Kamu tidak perlu terus menerus mengucapkan terima kasih setiap bertemu dengan saya, Mayang. Kita berdua memang sama-sama membutuhkan. Kamu butuh menjual produk, dan saya butuh proteksi dari asuransi. Kedudukan kita equal."L
Mayang berusaha merapatkan pintu begitu ia mengetahui siapa tamunya. Sungguh, setitik debu pun ia tidak menduga kalau Mahesa bisa muncul di depan pintu rumahnya. Namun Mahesa lebih gesit. Ia mengganjal pintu dengan kaki kirinya."Jangan menutup pintu dulu, Mayang. Mari kita bicara baik-baik. Mas mohon.""Saya tidak tertarik mendengar puisi pembelaanmu, Mas. Karena apapun yang Mas ucapkan, tidak akan membawa pengaruh lagi dalam kehidupan saya sekarang. Pulanglah, Mas." Mayang bersikeras mendorong pintu. Tetapi ia kalah tenaga. Mahesa dengan mudah melebarkan daun pintu. Pintu akhirnya terbuka, dan Mahesa melangkah masuk.Menyadari kalau penampilannya tidak pantas dalam menerima tamu, Mayang bergegas ke kamar. Mayang melepas daster pudarnya. Menggantinya dengan kemeja bercorak polkadot dan bawahan kulot lebar. Tidak lupa, Mayang juga mengenakan penutup dadanya. Mayang menatap cermin di meja rias. Pantulan di cer
Sena berkali-kali memindai jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul delapan pagi kurang lima belas menit. Syukurlah. Ia bisa tiba tepat waktu. Kalau ia terlambat lima menit saja dari waktu yang biasa, bisa dipastikan ibunya pasti mengamuk. Sembari berkendara, lamunan Sena mengembara. Dimulai dari kedatangan ayah kandungnya, sampai betapa marahnya ibunya saat dirinya memutuskan menjadi bagian dari keluarga Dananjaya. Ibunya merasa ia tinggalkan karena miskin. Padahal ia memutuskan untuk menerima nama belakang Dananjaya, justru untuk membahagiakan ibunya. Seumur hidupnya, ibunya tidak pernah senang.Saat pandangan Sena membentur gedung Rumah Sakit Jiwa yang lima tahun belakangan ini rutin ia kunjungi, ia segera membelokkan mobilnya.Setelah memarkirkan mobil, ia bergegas turun. Dengan langkah tergesa ia melintasi koridor rumah sakit. Beberapa petugas rumah sakit yang berpapasan dengannya menyapa ramah. Seluruh dokter, petugas
"Eh Mbak, jangan. Ini, ambil saja jam tangan saya sebagai jaminan. Saya akan pulang sekarang untuk mengambil sisa uangnya. Bisa?"Mayang membuka kaitan jam tangan bermereknya. Meletakkan jam yang dulunya juga hadiah dari Miguel di meja kasir. Dengan raut wajah menyesal, sang kasir menggeleng."Maaf ya, Mbak. Tidak bisa. Semua transaksi di sini harus dalam bentuk uang. Tidak boleh dalam bentuk barang," ucap sang kasir tegas."Begitu? Semua transaksi di sini harus dalam bentuk uang. Tapi pengembalian untuk konsumen, boleh dalam bentuk permen sebagai pengganti uang kecil? Mengapa kalian tidak adil sekali?" sembur Mayang. Terlalu ditekan ternyata bisa membuatnya meledak.Pertanyaan Mayang tidak bisa dijawab oleh sang kasir. Ia hanya diam, karena bukan dirinyalah yang membuat peraturan. Ia hanya seorang pekerja di supermaket ini."Eh, Mbak. Yang mau membayar bukan Mbak seorang saja ya
Mayang duduk termangu di kursi dapur. Secangkir teh hangat berada di tangannya. Gerombolan ibu-ibu di depan rumahnya telah dibubarkan oleh Sena. Mayang tidak ingat persis kejadiannya seperti apa. Karena waktu itu ia nyaris kehilangan kesadarannya. Yang ia ingat, dadanya sangat sesak saat para ibu-ibu itu mencaci makinya. Sena membawanya masuk ke dalam rumah dan meminta nomor RT di lingkungannya.Selanjutnya Sena yang menghadapi kericuhan di luar sana. Mayang sudah tidak mampu lagi menjawab tuduhan-tuduhan para ibu-ibu muda itu. Lagi pula, apa yang harus ia jawab? Mayang yakin, apapun jawaban yang akan ia berikan, tidak akan dipercaya oleh mereka. Karena mereka telah mempunyai asumsi sendiri."Mbak Mayang, tehnya diminum dong. 'Kan mubazir kalau cuma dipegang aja.""Eh iya. Ini Mbak minum kok." Teguran Nia membuat lamunan Mayang terhenti. Mayang dengan cepat meneguk minumannya. Karena terburu-buru, Mayang ters