"Terima kasih, Pak. Bapak sangat baik karena telah menolong saya," Mayang memandang laki-laki gagah tattoan yang berdiri acuh tak acuh di sampingnya.
"Saya bukan orang baik. Saya hanya tidak suka melihat penindasan emosional di depan mata saya."
"Apapun, terima kasih." Mayang menundukkan kepalanya sekali lagi. Air muka penuh hormat ia tunjukkan pada laki-laki baik yang tidak mau dibilang baik ini. Laki-laki itu hanya menaikkan bahunya acuh. Gayanya begitu cuek hingga terkesan angkuh.
"Sekarang kamu mau ke mana? Pulang kampung? Kamu punya uang untuk pegangan?"
Mayang terdiam. Tidak! Ia tidak bisa kembali ke sana. Selain ia malu karena merasa telah begitu kotor, ia juga harus menghasilkan uang. Ayahnya sekarang sudah tidak bekerja karena sakit-sakitan. Kedua adiknya juga membutuhkan biaya besar karena masih sekolah. Sementara ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Keluarganya di kampung hanya mengandalkan kiriman uang darinya untuk bertahan hidup. Akan jadi apa keluarganya kalau ia pulang, dan kembali menjadi buruh pabrik? Gajinya pasti tidak akan cukup untuk membiayai kebutuhan keluarganya. Belum lagi biaya obat-obatan ayahnya yang sangat mahal. Memikirkan semua itu membuat Mayang menggeleng tegas. Ia harus tetap bekerja demi masa depan adik-adiknya. Biarlah dirinya seperti ini. Toh ia memang sudah terlanjur kotor. Kepalang basah, mandi saja sekalian. Setelah pendidikan adik-adiknya selesai, barulah ia akan berhenti.
"Kalau saya tidak salah informasi, saya pernah mendengar dari salah seorang rekan kerja saya, kalau Bapak adalah anak pemilik club nomor satu di ibukota ini," ucap Mayang hati-hati. Sang pemuda tattoan mengernyit. Tangannya yang tadinya lurus di sisi tubuh, kini bersedekap. Pemuda itu kini menatapnya lurus-lurus.
"Jangan bilang kalau kamu mau melacu* di club saya. Kalau memang seperti itu keinginanmu, lantas untuk apa saya membebaskan kamu dari Mami Elsye tadi? Satu hal lagi. Saya membebaskan kamu, bukan karena maksud-maksud tertentu. Seperti ingin merekrutmu bekerja pada saya, atau mengincar tubuhmu misalnya. Tidak sama sekali. Seperti yang saya katakan sebelumnya. Saya hanya tidak suka melihat penindasan saja. Paham kamu?"
"Paham sekali, Pak. Kalau menuruti keinginan hati, sudah pasti saya ingin pulang ke kampung halaman. Tetapi saya sadar, kalau itu saya lakukan, cita-cita saya yang ingin mengubah nasib keluarga akan gagal. Keluarga saya di kampung mengandalkan kiriman uang tiap bulan dari saya, untuk bertahan hidup. Makanya saya tidak bisa pulang. Kadung separuh jalan, saya ingin memperjuangkan nasib orang-orang terkasih saya." Jawabannya sejenak membuat sang pemuda berpikir.
"Saya tidak mengenalmu. Saya juga tidak suka menghakimi orang. Kamu sekarang adalah orang bebas, yang artinya kamu bebas menentukan pilihanmu sendiri. Tapi kalau kamu ingin menganggap kata-kata saya ini sebagai nasehat, boleh kamu terapkan. Tetapi jika pun tidak, bukan masalah," sang pemuda kini berkacak pinggang.
"Dengar Mayang, jika kita sudah terperosok dalam suatu lubang, maka berhentilah menggali. Cari cara untuk keluar dari lubang itu. Kemudian hindari jalan itu, untuk mencegah kemungkinan jatuh lagi ke lubang yang sama." Mayang lagi-lagi mengangguk takzim.
"Saya mengerti, Pak. Saya akan berhenti menggali. Saya sekarang sudah ditarik keluar dari lubang oleh tangan Bapak. Saya tidak ingin masuk ke lubang itu lagi. Hanya saja, saya belum bisa meninggalkan jalan itu sekarang. Tapi saya berjanji, bahwa saya tidak akan masuk ke lubang yang sama. Saya hanya akan mengitari lubang itu, untuk mengumpulkan serpihan-serpihan demi masa depan dan perut sejengkal. Setelah tugas saya selesai, saya akan meninggalkan jalan itu sejauh-jauhnya. Saya bersumpah!"
"Simpan sumpahmu untuk dirimu sendiri. Saya tidak butuh. Masalah kamu mau bekerja di club saya, nanti bisa kamu bicarakan dengan pihak pengelola. Semua ada jalurnya. Tapi saran saya, pikir dulu baik-baik. Jangan memutuskan sesuatu di saat pikiranmu sedang kacau. Kalau pikiran kamu sudah mantap, datanglah ke mess Astronomix Girls. Nanti akan ada orang-orang khusus yang akan mengurusmu di sana."
Pemuda tattoan yang dipanggil Xander itu, melenggang pergi begitu saja, setelah mengucapkan beberapa patah kata. Langkah-langkah tegapnya meninggalkan club dengan gaya ogah-ogahan yang menyebalkan. Siapa yang menyangka kalau sesungguhnya pemuda ini memiliki hati yang baik.
Tanpa membuang waktu, Mayang segera keluar dari club. Ia ingin secepatnya kembali ke apartemen untuk mengambil barang-barangnya. Setelah itu ia akan ke mess Astronomix Girls. Ia sudah bertekad bekerja di sana. Seperti janjinya pada Xander tadi, ia tidak akan masuk ke lubang yang sama. Ia hanya mengitari tempat itu saja, demi rupiah. Ia tidak akan lagi melacurkan tubuhnya. Ia berencana hanya akan menjadi penari streapsease dan teman minum-minum para pengunjung saja. Walau dua pekerjaan itu tetap sama rendahnya, tetapi setidaknya ia tidak lagi membiarkan tubuhnya menjadi tempat membuang hasrat laki-laki di luar sana.
Dua jam kemudian, Mayang telah berada di mess Astronomix Girls. Dirinya tahu, tempat ini sama kotornya dengan apartemen para anak didik Mami Elsye. Ia tidak mau munafik kalau mengatakan bahwa mess ini baik. Apapun alasan mencari rezeki dengan melacurkan diri itu salah. Tempat ini hanya lebih manusiawi. Para Astro girls, julukan untuk wanita penghibur Astronomix Girls, tidak ada yang datang dengan dipaksa apa lagi dijebak. Mereka semua datang atas kemauan sendiri dan semuanya juga sudah cukup umur. Mereka juga boleh keluar sewaktu-waktu, jika ingin berdikari sendiri, bertobat ataupun menikah. Mereka semua bebas menentukan pilihan. Pimpinan Astronomix Girls juga mempunyai sejumlah peraturan-peraturan yang tidak boleh dilanggar. Misalnya, mereka tidak boleh menyapa pelanggan di luar club. Tidak boleh menghubungi pelanggan melalui komunikasi media apapun di luar club. Dan yang paling penting adalah, mereka tidak boleh ada dalam kehidupan pribadi pelanggan. Apalagi merusak hubungan pelanggan dengan pasangan. Tugas mereka adalah menghibur pelanggan secara profesional. Hubungan emosional tidak dibenarkan di sini. Pimpinan Astronomix Girls benar-benar profesional. Mereka hanya menjual jasa, bukan cinta. Titik.
Hari ini Mayang berjanji, bahwa ia akan bekerja demi keluarganya. Ia akan berusaha mengumpulkan lembaran-lembaran kertas bergambar pahlawan nasional itu, untuk mengubah masa depan keluarganya. Ia menyembah berhala yang disebut uang? Semua orang juga begitu bukan? Masalah orang-orang menghinanya? Mayang tidak menyalahkan mereka. Mereka 'kan tidak tau bagaimana ceritanya hingga ia sampai terjebak di situasi seperti ini. Orang-orang yang hanya melihat dari luar memang cenderung suka menghakimi. Tetapi Mayang tidak membenci para penghujatnya. Mayang memahami pemikiran mereka. Karena baik buruknya dirinya, hanya dirinyalah yang tau. Mayang sudah lama selesai dengan dirinya sendiri. Oleh karenanya ia jadi tidak mudah membenci. Mayang berprinsip, jika orang-orang tidak memahaminya, maka dirinyalah yang akan memahami orang tersebut. Titik.
***
Tujuh tahun kemudian.
Sudah hampir satu jam Mayang duduk sabar di sebuah lobby hotel. Ia memang mempunyai janji dengan Pak Danu Hermawan di hotel ini. Pak Danu adalah teman Citra. Rekan sesama mantan Astronomix Girls yang baru saja menikah. Pak Danu adalah relasi suami Citra. Citra mengatakan kalau Pak Danu ingin membeli asuransi pendidikan untuk dua orang anaknya yang masih kecil-kecil. Oleh karena itulah dirinya ada di sini. Ia akan mencoba menawarkan asuransi yang cocok dengan kebutuhan pada Pak Danu.
Pak Danu jualah yang memilih lobby hotel ini untuk bertemu. Karena Pak Danu juga mempunyai janji dengan salah seorang rekannya di hotel ini. Sekalian jalan, kalau menurut istilah Pak Danu tadi.
Namun satu jam telah berlalu dari waktu yang dijanjikan. Sementara Pak Danu sama sekali belum menghubunginya. Pak Danu hanya menitipkan pesan, kalau ia tengah meeting dengan clientnya. Beliau juga belum tahu, sampai jam berapa meetingnya usai. Namun Mayang tetap setia menunggu. Ia berharap siapa tahu kesabarannya akan berbuah manis. Sudah sebulan ini ia keluar dari Astronomix Girls, dan mencoba mencari nafkah halal dengan cara menjadi agen asuransi.
Sementara menunggu, Mayang kembali membaca buku-buku digital tentang kiat-kiat menjadi agen asuransi yang sukses. Di antaranya adalah tentang menempatkan kebutuhan nasabah terlebih dahulu. Itu artinya langkahnya ini sudah benar. Yaitu membiarkan Pak Danu menyelesaikan urusannya terlebih dahulu. Ketika ia membaca poin tentang kecerdasan emosional, termasuk tentang kemampuan bersabar dan menahan diri, seseorang memanggil namanya. Firdha, upline sekaligus mantan Astronomix Girls yang paling senior. Karena dukungan dari Firdha lah Mayang jadi bertekad untuk keluar dari dunia malam. Firdha sekarang telah menjadi salah seorang petinggi asuransi yang paling disegani. Firdha berhasil mengubah nasib dan jalan hidupnya ke arah yang lurus. Oleh karena itulah, Mayang bertekad untuk berubah juga. Kalau Firdha bisa, seharusnya ia juga bisa bukan?
Firdha berjalan menghampiri tempat duduknya. Sepertinya Firdha akan menemui beberapa nasabah di tempat ini juga.
"Kenapa lo nggak jadi closing kemarin, May? Bukannya lo bilang kalo calon konsumen lo itu tertarik banget sama prospekan lo? Malah mau closing bareng istrinya juga?" Firdha menghempaskan pinggul di kursi sebelahnya.
Mayang hanya bisa tersenyum sedih. Masih terbayang dalam ingatannya, bagaimana ia kemarin sudah yakin sekali akan berhasil. Nasabahnya bahkan telah melengkapi semua dokumen-dokumennya. Hanya tinggal closing saja. Kalau saja Sena tidak merusuhinya kemarin, semua pasti akan berjalan sesuai dengan rencana.
"Hantu masa lalu gue tiba-tiba muncul lagi, Fir. Profesi kita dulu 'kan memang rawan fitnah."
Firdha menarik napas panjang. Kalau sudah masalah masa lalu yang dibahas, dirinya sendiri pun masih suka trauma sesekali. Padahal ia telah keluar dari dunia hitam, lima tahun yang lalu. Borok lama mereka memang sangat rentan dikorek-korek. Makanya terkadang para pendosa yang ingin tobat seperti Mayang, sering tidak berhasil karena selalu saja dijegal. Firdha terkadang heran melihat manusia-manusia munafik yang merasa paling suci sedunia. Katanya orang baik-baik. Tapi mulut-mulut mereka begitu kejam menyumpahi orang. Lebih dari itu, bukannya mendukung orang yang mau bertobat, mereka malah menjengkali niat baik mereka. Mereka-mereka inilah sesungguhnya iblis yang menyamar menjadi manusia.
"Ya sudah. Sabar ya, May? Kalau memang rezeki, tidak akan ke mana. Satu calon nasabah hilang, mudah-mudahan akan datang nasabah baru lagi. Jangan bosan-bosan mencari calon-calon nasabah baru ya, May? Berbaik sangka saja. Semua pasti ada hikmahnya." Mayang mengangguk. Ia memang sudah bertekad tidak akan menyerah. Selagi ia mempunyai sepasang tangan dan kaki yang kuat, ia akan terus berjuang. Firdha saja bisa berhasil, masa dirinya tidak?
"Gue lanjut dulu ya, May? Ada calon nasabah yang harus gue temui. Semoga kali ini lo beruntung. Syukur-syukur kalo lo bisa langsung closing sekalian. Good luck, May." Firdha mengacungkan jempolnya. Mayang membalas dengan mengacungkan jempolnya juga. Melihat Firdha begitu bersemangat, membuatnya ikut bersemangat juga.
Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar. Saat melihat nama Pak Danu sebagai pemanggilnya Mayang sangat gembira. Penantiannya berbuah manis juga. Mayang buru-buru mengucap salam dengan sopan. Senyum di bibirnya kian lebar, saat Pak Danu mengatakan tengah berjalan menuju lobby. Mayang memperhatikan penampilannya sekali lagi. Rambutnya sudah disanggul rapi. Kemeja putihnya terkancing hingga ke kerahnya. Mayang tidak ingin dianggap menggoda calon nasabahnya. Rok pensil sebetisnya tampak rapi dan sopan. Secara keseluruhan ia terlihat profesional. Selama menunggu Pak Danu, Mayang sangat nervous. Ia terus meremas-remas buku agendanya cemas. Semoga saja kali ini ia berhasil memprospek calon nasabah.
"Selamat siang, apakah Anda adalah Ibu Mayang Kania Putri?" Mayang memandangi sosok perlente di depannya ragu. Ia tidak langsung menjawab. Karena ia tidak merasa mengenali sosok eksekutif muda ini. Kalau banyak laki-laki mengenalinya. Itu adalah hal yang lumrah. Mengingat profesinya dulu adalah menemani kaum adam nyaris sembilan tahun lamanya. Dua tahun ia terjebak dalam bisnis prostitusi Mami Elsye. Dan hampir tujuh tahun ia menjadi penari dan menemani para tamu minum-minum ganteng di Astronomix. Jadi bukan hal aneh kalau ia dikenal oleh banyak laki-laki.
"Anda siapa?" tanya Mayang hati-hati.
"Saya Danu Hermawan. Teman sekaligus relasi Adam, suami Citra." Mendengar nama Danu Hermawan, Mayang langsung berdiri. Ia segera menyalami Pak Danu sopan. Ia memang tidak begitu jelas saat melihat photo profil Pak Danu di aplikasi percakapan. Karena di sana Pak Danu memakai kacamata hitam.
"Iya benar, Pak. Saya Mayang Kania Putri. Maaf saya tidak langsung mengenali Bapak." Mayang membungkukkan tubuhnya sedikit. Ia berusaha bersikap sesopan dan seprofesional mungkin. Tanpa membuang waktu, Mayang mulai menjelaskan tentang asuransi dwiguna. Mayang menjelaskan bahwa asuransi dwiguna sebenarnya adalah asuransi jiwa dalam jangka waktu tertentu. Asuransi ini bisa meng-cover uang santunan untuk anak, jika terjadi kematian pada orang tua. Dan ada juga tambahan nilai tunai atau nilai tabungan yang dapat digunakan sebagai biaya pendidikan anak di kemudian hari.
"Baik. Sepertinya penjelasan Bu Mayang cukup menarik. Dan yang paling penting, masuk akal,"
Alhamdullilah. Mayang tidak henti-hentinya mengucap syukur dalam hati. Semoga saja, Pak Danu Hermawan adalah nasabah pertamanya untuk closing di hari ini. Aamiin.
"Jadi bagaimana? Apa bisa kita closing hari ini? Dokumen-dokumen Bapak bisa menyusul kemudian." Mayang berusaha membuat Pak Danu menyetujui pembelian asuransinya dulu. Ia ingin main aman. Firdha selalu menekankan agar segera terjadi closing. Karena apabila nasabah pulang dulu, berpikir ini itu, bisa-bisa mereka masuk angin dan akhirnya batal. Makanya Mayang ingin mengikat Pak Danu secara langsung.
"Baiklah. Saya setuju untuk--"
"Wah... wah... wah.. kamu main-mainnya jauh juga ya, Mayang?"
Nawasena Sudirja!
"Wah Pak Sena sudah sampai ya? Mengapa Bapak tidak menghubungi saya?"Danu bangkit dari kursi. Ia segera menyalami boss besar yang digadang-gadang sebagai pengganti Candra Dananjaya. Konglomerat paling tersohor negeri ini. Nawasena Dananjaya ini adalah putra tunggal Pak Candra yang baru diperkenalkan pada publik sekitar delapan tahun lalu. Sebelumnya Pak Candra diketahui hanya memiliki dua orang putri. Yaitu Amaya Dananjaya almarhum dan Amanda Dananjaya. Kedua putrinya itu selalu bergaya sosialita. Mereka berdua juga diketahui enggan membantu Pak Candra dalam berbisnis. Amaya dan Amanda tidak suka memikirkan hal yang susah-susah. Untungnya almarhumah Amaya, mempunyai suami yang cerdas dan pekerja keras. Suami almarhumah Amayalah yang membantu Pak Candra, sebelum putra tunggalnya ini muncul. Dan di tangan putra tunggalnya inilah, usaha-usaha Pak Candra kian meroket. Siapa yang tidak mengenal Tri Dananjaya Group saat ini? Semua bidang usaha, telah mereka kua
Mayang melongo saat Xander benar-benar membeli asuransi jiwa seumur hidup, atau whole life insurance yang ia tawarkan. Jujur tadinya Mayang mengira kalau Xander hanya berpura-pura ingin ia prospek, untuk memberi pelajaran pada ketiga laki-laki tidak beretika di depannya itu. Khususnya Sena. Siapa yang mengira kalau Xander ternyata benar-benar mendengarkan hingga selesai apa yang ia jelaskan tentang produk-produk asuransinya. Xander bahkan meminta bantuannya untuk memilihkan asuransi jenis apa yang paling cocok untuk dirinya. Hebatnya lagi, Xander langsung meminta closing saat itu juga. Dengan mata berkaca-kaca, Mayang berkali-kali mengucapkan kata terima kasih dengan bibir bergetar."Kamu tidak perlu terus menerus mengucapkan terima kasih setiap bertemu dengan saya, Mayang. Kita berdua memang sama-sama membutuhkan. Kamu butuh menjual produk, dan saya butuh proteksi dari asuransi. Kedudukan kita equal."L
Mayang berusaha merapatkan pintu begitu ia mengetahui siapa tamunya. Sungguh, setitik debu pun ia tidak menduga kalau Mahesa bisa muncul di depan pintu rumahnya. Namun Mahesa lebih gesit. Ia mengganjal pintu dengan kaki kirinya."Jangan menutup pintu dulu, Mayang. Mari kita bicara baik-baik. Mas mohon.""Saya tidak tertarik mendengar puisi pembelaanmu, Mas. Karena apapun yang Mas ucapkan, tidak akan membawa pengaruh lagi dalam kehidupan saya sekarang. Pulanglah, Mas." Mayang bersikeras mendorong pintu. Tetapi ia kalah tenaga. Mahesa dengan mudah melebarkan daun pintu. Pintu akhirnya terbuka, dan Mahesa melangkah masuk.Menyadari kalau penampilannya tidak pantas dalam menerima tamu, Mayang bergegas ke kamar. Mayang melepas daster pudarnya. Menggantinya dengan kemeja bercorak polkadot dan bawahan kulot lebar. Tidak lupa, Mayang juga mengenakan penutup dadanya. Mayang menatap cermin di meja rias. Pantulan di cer
Sena berkali-kali memindai jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul delapan pagi kurang lima belas menit. Syukurlah. Ia bisa tiba tepat waktu. Kalau ia terlambat lima menit saja dari waktu yang biasa, bisa dipastikan ibunya pasti mengamuk. Sembari berkendara, lamunan Sena mengembara. Dimulai dari kedatangan ayah kandungnya, sampai betapa marahnya ibunya saat dirinya memutuskan menjadi bagian dari keluarga Dananjaya. Ibunya merasa ia tinggalkan karena miskin. Padahal ia memutuskan untuk menerima nama belakang Dananjaya, justru untuk membahagiakan ibunya. Seumur hidupnya, ibunya tidak pernah senang.Saat pandangan Sena membentur gedung Rumah Sakit Jiwa yang lima tahun belakangan ini rutin ia kunjungi, ia segera membelokkan mobilnya.Setelah memarkirkan mobil, ia bergegas turun. Dengan langkah tergesa ia melintasi koridor rumah sakit. Beberapa petugas rumah sakit yang berpapasan dengannya menyapa ramah. Seluruh dokter, petugas
"Eh Mbak, jangan. Ini, ambil saja jam tangan saya sebagai jaminan. Saya akan pulang sekarang untuk mengambil sisa uangnya. Bisa?"Mayang membuka kaitan jam tangan bermereknya. Meletakkan jam yang dulunya juga hadiah dari Miguel di meja kasir. Dengan raut wajah menyesal, sang kasir menggeleng."Maaf ya, Mbak. Tidak bisa. Semua transaksi di sini harus dalam bentuk uang. Tidak boleh dalam bentuk barang," ucap sang kasir tegas."Begitu? Semua transaksi di sini harus dalam bentuk uang. Tapi pengembalian untuk konsumen, boleh dalam bentuk permen sebagai pengganti uang kecil? Mengapa kalian tidak adil sekali?" sembur Mayang. Terlalu ditekan ternyata bisa membuatnya meledak.Pertanyaan Mayang tidak bisa dijawab oleh sang kasir. Ia hanya diam, karena bukan dirinyalah yang membuat peraturan. Ia hanya seorang pekerja di supermaket ini."Eh, Mbak. Yang mau membayar bukan Mbak seorang saja ya
Mayang duduk termangu di kursi dapur. Secangkir teh hangat berada di tangannya. Gerombolan ibu-ibu di depan rumahnya telah dibubarkan oleh Sena. Mayang tidak ingat persis kejadiannya seperti apa. Karena waktu itu ia nyaris kehilangan kesadarannya. Yang ia ingat, dadanya sangat sesak saat para ibu-ibu itu mencaci makinya. Sena membawanya masuk ke dalam rumah dan meminta nomor RT di lingkungannya.Selanjutnya Sena yang menghadapi kericuhan di luar sana. Mayang sudah tidak mampu lagi menjawab tuduhan-tuduhan para ibu-ibu muda itu. Lagi pula, apa yang harus ia jawab? Mayang yakin, apapun jawaban yang akan ia berikan, tidak akan dipercaya oleh mereka. Karena mereka telah mempunyai asumsi sendiri."Mbak Mayang, tehnya diminum dong. 'Kan mubazir kalau cuma dipegang aja.""Eh iya. Ini Mbak minum kok." Teguran Nia membuat lamunan Mayang terhenti. Mayang dengan cepat meneguk minumannya. Karena terburu-buru, Mayang ters
"Mas, ini kenapa uang saya dikembalikan semua? Kata Mas tadi hanya ada kelebihan uang?""Saya mengembalikannya padamu, supaya kamu bisa makan. Kembalikan pada saya beserta bunganya kalau kamu telah mempunyai uang banyak."Klik.Mayang memandangi ponsel saat Sena menutup panggilannya begitu saja. Air muka Mayang berubah ngeri saat teringat akan kalimat soal bunga uang. Kata bunga uang itu identik dengan Mami Elsye. Hutang dan bunga uanglah yang telah membuat hidupnya hancur seperti ini. Tidak bisa! Hutangnya bisa beranak dan bercucu kalau terus dihitung bunga. Apalagi ia belum tau Sena menetapkan suku bunga berapa. Dengan cepat Mayang kembali menghubungi ponsel Sena. Namun sayangnya ponsel Sena sudah tidak bisa lagi dihubungi. Nada ponselnya selalu sibuk. Ketika Mayang kembali mencoba menghubungi lagi, ponsel telah dalam keadaan tidak aktif.Mayang kelabakan. Ia takut sekali setiap berhubungan dengan
"Kamu tidak usah takut. Ibu saya itu hanya menggertak. Ibu saya baru terkena serangan stroke satu bulan yang lalu. Jadi Ibu saya belum bisa menerima kenyataan, bahwa ia sakit. Makanya Ibu saya marah karena dianggap sebagai orang cacat. Tugas kamulah untuk menemaninya berbicara dan membuat ibu sadar akan keadaannya sekarang."Kata-kata Manda membuat Mayang menyadari satu hal. Bu Mitha tidak suka dianggap cacat. Terbiasa melakukan kegiatan ini dan itu, pasti Bu Mitha frusrasi karena tidak bisa melakukan kebiasaan-kebiasaan seperti dulu. Wajar kalau Bu Mitha stress. Bu Mitha belum bisa beradaptasi dengan keadaannya yang sekarang."Saya mengerti Mbak Manda. Nanti pelan-pelan saya akan mencoba memberi pengertian pada Bu Mitha. Saya juga akan mencoba mencari kegiatan yang sekiranya bisa membuat Bu Mitha tidak merasa maaf, seperti orang cacat, insyaallah."Manda mengangguk. Sepertinya ia tidak salah menerima Mayang sebagai pera