Mayang melongo saat Xander benar-benar membeli asuransi jiwa seumur hidup, atau whole life insurance yang ia tawarkan. Jujur tadinya Mayang mengira kalau Xander hanya berpura-pura ingin ia prospek, untuk memberi pelajaran pada ketiga laki-laki tidak beretika di depannya itu. Khususnya Sena. Siapa yang mengira kalau Xander ternyata benar-benar mendengarkan hingga selesai apa yang ia jelaskan tentang produk-produk asuransinya. Xander bahkan meminta bantuannya untuk memilihkan asuransi jenis apa yang paling cocok untuk dirinya. Hebatnya lagi, Xander langsung meminta closing saat itu juga. Dengan mata berkaca-kaca, Mayang berkali-kali mengucapkan kata terima kasih dengan bibir bergetar.
"Kamu tidak perlu terus menerus mengucapkan terima kasih setiap bertemu dengan saya, Mayang. Kita berdua memang sama-sama membutuhkan. Kamu butuh menjual produk, dan saya butuh proteksi dari asuransi. Kedudukan kita equal."
Lihatlah, Xander ini tidak pernah ingin terlihat baik. Padahal Mayang yakin kalau sebelumnya Xander telah memiliki berpuluh-puluh jenis asuransi. Mustahil kalau orang seperti Xander ini tidak memiliki asuransi. Mayang yakin. Xander melakukan semua ini hanya karena ingin menyelamatkan mukanya.
"Kamu bukan saja sudah melewati lubang hitammu kali ini, Mayang. Tapi sudah berputar arah. Saya ingatkan. Apapun yang terjadi ke depannya, jangan pernah menyerah. Dan setiap kali rasa ingin menyerah itu muncul, ingat kembali, apa tujuan kamu saat memulai. Bakar jembatan di belakangmu, agar kamu tidak bisa kembali menoleh ke masa lalu. Percayalah Mayang, usaha tidak akan menghianati hasil."
"Iya, Pak. Saya akan selalu mengingat nasehat Bapak. Mengenai asuransi ini, Bapak tidak harus membelinya kalau Bapak tidak butuh. Saya ingin bekerja secara professional, Pak. Bukannya, maaf, mengharap belas kasihan." Terang Mayang jujur.
"Siapa bilang saya tidak butuh asuransi ini. Saya bisa saja sakit sewaktu-sewaktu. Dan asuransi yang saya beli ini, bisa untuk membayar biaya tagihan rumah sakit bukan? Selain itu ahli waris saya juga akan menerima dana santunan. Jadi saya memang butuh asuransi dari kamu. Saya bukan membeli karena rasa kasihan. Paham kamu, Mayang?"
Mayang tidak menjawab. Ia hanya menganggukkan kepala dengan mata berkaca-kaca. Mayang tahu Xander berbohong. Dan Xander juga tahu, kalau dirinya tahu telah dibohongi. Namun mereka berdua sama-sama bersikap pura-pura tidak tahu. Lihatlah, Xander yang dicap sebagai mafia berdasi yang telengas, ternyata lebih berhati daripada orang-orang yang mengaku sebagai orang baik-baik. Sampai sejauh ini, Xander tidak mau membuatnya kecil hati. Xander berusaha membuatnya berharga diri. Nuri benar-benar beruntung mendapatkan suami seperti Xander. Suara bunyi ponsel Xander memutus sementara pembicaraan mereka. Xander tampak tersenyum saat melihat pemanggil di ponselnya.
"Ya, Ri. Mas berada di lobby hotel. Bukan client, Ri. Tapi Mas menemui Mayang. Tidak ada masalah apa-apa kok. Mas membeli asuransi pada Mayang. Baik, Mas ke sana sekarang." Selama Xander berbicara, Mayang mendengarkan dengan seksama. Xander adalah type suami yang jujur. Ia tidak menutupi apapun dari Nuri. Ia menceritakan semuanya. Apa adanya, tanpa ada yang ia tutup-tutupi. Satu hal yang paling hebatnya lagi adalah, kebesaran hati Xander. Mayang tahu soal kisah cinta Xander dan Nuri. Xander bersedia menunggu Nuri moved on dari Guruh. Laki-laki yang Nuri cintai sedari abege. Sementara Xander yang juga sudah mencintai Nuri sedari abege, terus menunggu dengan sabar. Bertahun-tahun Xander memendam perasaannya sendirian. Xander dengan sabar menunggu Nuri membuka hati untuknya. Bayangkan, Xander yang gahar, ternyata begitu sabar dalam menanti cinta wanita pujaannya. Akhir kesabaran Xander pun, berbuah manis. Setelah menjalani drama cemburu karena Xander pura-pura berpacaran dengan Seruni, Nuri akhirnya berterus terang juga. Nuri tiba-tiba cemburu dan merasa tidak rela kalau Xander memberi perhatian pada perempuan lain. Gayung pun bersambut. Xander mengakui kalau semuanya itu hanya pura-pura belaka demi menguak perasaan Nuri yang sebenarnya. Tanpa membuang waktu lagi, dua sejoli itu akhirnya menikah dua bulan lalu. Mayang ikut berbahagia untuk mereka berdua. Semua cerita itu Mayang ketahui dari Seruni. Pacar pura-pura Xander.
"Kalau kamu tidak punya urusan lagi di sini, ayo kita sama-sama keluar." Kalimat Xander memutus lamunan Mayang. Xander beringsut dari kursi. Mayang mengangguk dan mengekori langkah Xander. Saat melewati kursi tiga laki-laki tidak berakhak itu, Xander dengan sengaja menempatkan tubuhnya di sisi kanan. Dengan gentle Xander memberi isyarat kalau ia akan terus menjaga Mayang.
Mereka berpisah saat Xander berjalan ke arah ballroom. Sementara Mayang sendiri, segera memesan taksi online. Mayang harus segera mentransfer sejumlah dana kepada Arfan. Karena sudah tidak mempunyai simpanan dana lagi, Mayang bermaksud menjual satu-satunya perhiasan yang masih ia miliki. Yaitu cincin berlian pemberian Miguel. Salah seorang pelanggan yang selalu ia temani minum di club. Miguel yang berkebangsaan Spanyol, adalah pelanggan pertama yang ia temani minum di Astronomix tujuh tahun lalu. Dan tiga bulan lalu, saat Mayang mengatakan ingin pensiun dari profesinya, Miguel memberi hadiah cincin berlian ini sebagai tanda terima kasih. Karena di masa lalu, Mayang selalu menemani Miguel minum semalaman, jikalau Miguel sedang banyak masalah dan mencari pelarian dengan alkohol. Di Astronomix, ia memang hanya bersedia menemani tamu-tamu minum. Ia tidak lagi bersedia menerima bookingan tamu untuk check in. Tetapi ia tetap membawa alat kontrasepsi, yang disebut Seruni dengan kotak permen, untuk berjaga-jaga. Namanya saja yang ia hadapi adalah orang mabuk, dan ia sendiri pun mabuk. Segala sesuatu bisa saja terjadi. Lebih baik mencegah daripada mengobati bukan?
Karena kebiasaannya itu, banyak orang yang salah paham dengannya. Tetapi bila ia menjelaskan dengan baik-baik pada para pelanggannya, sebagian besar pelanggan mengerti. Kalau profesinya hanyalah teman minum, penari streaptease dan SSI alias Speak-Speak Iblis. Namun sebagian lagi kadang-kadang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu. Biasanya para bouncer atau tukang pukullah yang bertindak, kalau pelanggan sudah melanggar batas kesepakatan. Para pekerja di Astronomix memang sangat dilindungi hak-haknya. Pimpinan Astronomix, Xander, memang membebaskan para Astro Girl dalam menerima job. Tidak seperti saat berada di bawah kepemimpinan Mami Elsye. Yang semua anak-anak buahnya harus bersedia diajak check in.
Sebenarnya Mayang merasa tidak enak hati, karena menjual hadiah yang telah diberikan oleh seseorang. Tetapi mau bagaimana lagi, saat ini keuangannya memang benar-benar sedang kosong. Dan dirinya sudah tidak mau lagi melakukan pekerjaan yang telah ia tinggalkan tiga bulan lalu. Tidak akan pernah!
"Ini adalah hadiah dariku, *mi amor. Saya memang sangat kehilangan kamu. Tapi dibalik rasa kehilangan itu, saya juga merasa senang. Karena kamu telah menemukan jalan kebenaran yang kamu inginkan. Hadiah ini juga dapat kamu pergunakan, apabila kamu sedang merasa kesulitan. *Adios, mi amor. Espero que siempre seas feliz."
Teringat pada kata-kata Miguel saat memberikan hadiah, Mayang merasa sedikit lega. Miguel toh membolehkannya mempergunakan hadiah itu apabila ia sedang berada dalam kesulitan bukan? Jadi seharusnya tidak apa-apa jija ia menjualnya. Pada saat taksi online yang dipesannya tiba, Mayang segera masuk dengan tergesa-gesa. Benaknya dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan Arfan yang bisa saja dilaporkan pada pihak yang berwajib sewaktu-waktu. Tanpa Mayang sadari, sebuah mobil yang baru saja keluar dari basement hotel, diam-diam membuntuti taksi online yang ditumpanginya.
Sekitar satu setengah jam kemudian Mayang keluar dari toko perhiasan dengan perasaan lega. Ia telah mentransfer sejumlah uang yang dibutuhkan Arfan, dan masih bersisa tiga juta rupiah lagi di sakunya. Cukup untuk biaya hidupnya selama satu atau dua bulan ke depan, kalau ia benar-benar berhemat tentunya. Kepada ibu di toko perhiasan tadi, Mayang sempat berpesan kalau ia akan menebus cincin itu kembali, apabila ia telah memiliki uang. Kebetulan, Mayang memang mengenal si ibu. Mayang dulu sering menemani teman-temannya di mess, apabila mereka ingin membeli perhiasan. Si ibu mengatakan boleh saja. Tetapi si ibu tidak berani berjanji. Kalau cincin itu dibeli orang sebelum Mayang menebusnya, si ibu terpaksa harus menjualnya. Mayang mengerti. Namanya juga si ibu memang pedagang. Jual beli adalah adalah mata pencaharian si ibu.
Mayang memindai jam di pergelangan tangannya. Sudah pukul empat sore. Waktu begitu cepat berlalu. Dirinya masih mempunyai janji lagi untuk bertemu dengan Seruni pada pukul setengah enam sore ini di kafe milik Miguel. Sementara fisiknya saat ini tidak begitu baik. Sampai sekarang ini pun, sisa-sisa nyeri di dadanya akibat kaget kala menerima telepon dari Arfan tadi masih belum juga hilang. Sepertinya penyakit jantungnya kembali kambuh akibat banyaknya kejutan yang ia terima sesiangan ini. Dokter jantungnya berpesan kalau ia tidak boleh terlalu capek apalagi stress. Makanya Mayang bermaksud untuk beristirahat saja di rumah hari ini. Ia tidak mau memaksakan diri bertemu dengan Seruni, dan pada akhirnya membuat khawatir sang calon pengantin itu. Mayang tau, Seruni sedang gugup menjelang hari H pernikahannya. Makanya Seruni membutuhkan teman curhat. Dan biasanya kalau Seruni curhat, pasti akan memakan waktu lama. Semakin lama berbicara, resiko ketahuan kalau dirinya kurang sehat pasti akan semakin berpeluang bukan? Mayang tidak ingin merusak kebahagiaan menjelang hari pernikahan sahabatnya itu. Sebaiknya ia membatalkan saja pertemuan mereka. Setelah dirinya baikan, barulah ia akan menemui Seruni di lain waktu.
Mayang berjalan menelusuri kompleks-kompleks pertokoan. Ia mencari tempat untuk bisa duduk sebentar dan menelepon Seruni. Jangan sampai Seruni keburu datang ke restaurant. Pandangan Mayang jatuh pada mini market yang menyediakan beberapa buah kursi di depannya. Sebaiknya ia beristirahat di sana sembari memesan secangkir minuman hangat. Sekalian ia bisa menelepon Seruni dengan keadaan yang sedikit membaik di sana. Tidak mudah untuk mengelabuhi sahabatnya itu. Setelah menghempaskan pinggul ke kursi dan memesan segelas susu coklat, Mayang mengeluarkan ponsel. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ternyata malah Seruni duluan yang menghubunginya. Mayang berdeham sejenak sebelum mengangkat telepon dari Seruni.
"Hallo, Uni. Apa kabar calon pengantin baru? Sedang merasa menjadi pemilik dunia ya, Uni? Hehehe." Mayang menyapa Seruni dengan kalimat-kalimat lucu. Ia berusaha menceria-ceriakan nada suaranya. Tanpa Mayang sadari, saat ia tengah memusatkan konsentrasi pada telepon, seseorang
yang sedari tadi mengikutinya, segera memarkirkan kendaraan dan masuk ke dalam toko perhiasan yang baru saja ia tinggalkan."Ah Mbak Mayang, menggoda Uni terus ih. Uni 'kan jadi malu. Eh, nanti jadi 'kan kita ketemuannya, Mbak?"
"Maaf ya, Uni. Kayaknya Mbak nggak bisa. Mbak sibuk. Ada beberapa aplikasi yang belum Mbak isi. Mbak sesorean ini kayaknya harus ngelembur di rumah bersama Firdha. Lain kali saja ya, Uni?" tukas Mayang hati-hati. Ia tidak mau menyinggung perasaan Seruni.
"Oh, Mbak sibuk ya? Ya udah. Nggak apa-apa. Lain kali aja kita bertemu. Tapi kalau Uni mau nyusul ke rumah Mbak, boleh nggak?"
"Boleh dong, Uni. Tapi Mbak nggak yakin, kalau Pak Anton membolehkan kamu keluar sore-sore sendirian. Hehehehe." Mayang membolehkannya saja. Tetapi Mayang yakin, Seruni tidak akan datang. Mana mungkin Antonio yang posesif itu membiarkan Seruni lepas dari pengawasannya. Istimewa saat-saat menjelang pernikahan seperti ini.
"Ya sudah. Uni nggak mau mengganggu kesibukan Mbak lagi. Tetap semangat ya, Mbak?"
"Tentu dong, Uni. Mbak nggak mau lagi kembali ke dunia yang kelam. Makanya sekarang Mbak semangat untuk mengejar target. Doakan agar Mbak sehat selalu ya, Uni?" Suara Mayang bergetar saat meminta doa untuk keselamatannya. Sungguh, ia sedih jika umurnya memang tidak panjang, sementara tanggung jawabnya masih amat besar. Ia ingin sekali bisa melihat kesuksesan adik-adiknya kelak. Kebahagian Seruni dan juga orang-orang terkasihnya.
"Tentu dong, Mbak. Dari dulu pun, Uni selalu berdoa untuk kebahagiaan Mbak. Tapi Mbak kok ngomongnya seperti itu sih? Mbak nggak sakit 'kan?"
Mendengar suara Seruni yang terdengar khawatir, Mayang berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Nggak dong, Uni. Eh, Mbak tutup dulu teleponnya ya? Mbak mau memprospek calon nasabah dulu." Mayang memutus pembicaraan. Ia takut kalau Seruni mencurigai kesehatannya. Sebaiknya ia segera pulang ke rumah dan beristirahat saja. Saat karyawan mini market menghidangkan susu coklat pesanannya, Mayang segera meneguknya beberapa kali. Saat rasa hangat dan manisnya susu coklat melewati tenggorokannya. Setelah minum secangkir susu, Mayang merasa moodnya sedikit membaik. Mayang pun segera mengorder taksi online. Saat taksi onlinenya tiba beberapa saat kemudian, Mayang meneguk sisa susu coklatnya dan bergegas masuk ke dalam taksi. Bertepatan dengan itu, sosok yang sedari tadi mengawasi gerak-geriknya dari depan pintu toko perhiasan, segera berlari menuju mobil yang ia parkir di seberang jalan. Detik berikutnya mobil itu membuntuti taksi online Mayang, sembari menatap kotak perhiasan di samping tempat duduknya. Ya, sosok itu telah membeli cincin berlian yang tadi baru saja dijual oleh Mayang.
***
Mayang masih merasa mengantuk saat mendengar suara ketukan pintu. Seraya membuka mata, Mayang bingung. Matanya sudah terbuka tetapi semua yang ia pandang masih saja gelap gulita. Sejurus kemudian kesadaran memasuki benaknya. Ia tertidur hingga malam hari rupanya. Suasana gelap, karena ia memang belum menyalakan lampu. Terseok-seok Mayang bangkit dari ranjang dan meraba-raba dinding. Mencari saklar. Setelah lampu dinyalakan, Mayang melirik jam di dinding kamar. Waktu telah menunjukkan pukul 19.30 WIB. Sudah malam rupanya. Padahal rasanya ia baru saja memejamkan mata. Mayang meregangkan tubuh. Perkiraannya ternyata salah. Seruni benar-benar menyambanginya. Mayang yakin yang mengetuk pintu adalah Seruni, karena selain Firdha, tidak ada orang lain lagi yang mengetahui alamat rumah barunya ini. Sementara Firdha, jam lima sore tadi mempunyai jadwal keluar kota. Ada calon nasabah yang potensial katanya. Jadi kalau tidak Firdha, sudah pasti Seruni, bukan?
Sembari menguap lebar, Mayang berjalan ke arah pintu. Ia hanya menggunakan daster lusuh tanpa penutup dada. Ia memang selalu tidur tanpa dalaman. Lebih leluasa rasanya.
"Sebentar Uni," teriak Mayang. Ia nyaris terjungkal saat tersandung ujung sofa. Keadaan di ruang tamu memang masih gelap. Setelah menyalakan lampu, barulah Mayang membuka pintu. Matanya masih mengerjap-ngerjap karena silau. Namanya juga baru bangun tidur. Pandangannya belum terbiasa dengan lampu yang terang benderang.
"Mayang,"
Mayang menyipitkan mata saat mendengar seseorang memanggil pelan namanya. Ketika pandangannya telah fokus, Mayang seketika berusaha kambali menutup pintu. Ternyata tamunya bukan Seruni. Tetapi Mahesa Heryanto!
Notes.
Mi Amor artinya sayang.
Espero que siempre seas feliz artinya semoga kamu bahagia selalu.
Mayang berusaha merapatkan pintu begitu ia mengetahui siapa tamunya. Sungguh, setitik debu pun ia tidak menduga kalau Mahesa bisa muncul di depan pintu rumahnya. Namun Mahesa lebih gesit. Ia mengganjal pintu dengan kaki kirinya."Jangan menutup pintu dulu, Mayang. Mari kita bicara baik-baik. Mas mohon.""Saya tidak tertarik mendengar puisi pembelaanmu, Mas. Karena apapun yang Mas ucapkan, tidak akan membawa pengaruh lagi dalam kehidupan saya sekarang. Pulanglah, Mas." Mayang bersikeras mendorong pintu. Tetapi ia kalah tenaga. Mahesa dengan mudah melebarkan daun pintu. Pintu akhirnya terbuka, dan Mahesa melangkah masuk.Menyadari kalau penampilannya tidak pantas dalam menerima tamu, Mayang bergegas ke kamar. Mayang melepas daster pudarnya. Menggantinya dengan kemeja bercorak polkadot dan bawahan kulot lebar. Tidak lupa, Mayang juga mengenakan penutup dadanya. Mayang menatap cermin di meja rias. Pantulan di cer
Sena berkali-kali memindai jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul delapan pagi kurang lima belas menit. Syukurlah. Ia bisa tiba tepat waktu. Kalau ia terlambat lima menit saja dari waktu yang biasa, bisa dipastikan ibunya pasti mengamuk. Sembari berkendara, lamunan Sena mengembara. Dimulai dari kedatangan ayah kandungnya, sampai betapa marahnya ibunya saat dirinya memutuskan menjadi bagian dari keluarga Dananjaya. Ibunya merasa ia tinggalkan karena miskin. Padahal ia memutuskan untuk menerima nama belakang Dananjaya, justru untuk membahagiakan ibunya. Seumur hidupnya, ibunya tidak pernah senang.Saat pandangan Sena membentur gedung Rumah Sakit Jiwa yang lima tahun belakangan ini rutin ia kunjungi, ia segera membelokkan mobilnya.Setelah memarkirkan mobil, ia bergegas turun. Dengan langkah tergesa ia melintasi koridor rumah sakit. Beberapa petugas rumah sakit yang berpapasan dengannya menyapa ramah. Seluruh dokter, petugas
"Eh Mbak, jangan. Ini, ambil saja jam tangan saya sebagai jaminan. Saya akan pulang sekarang untuk mengambil sisa uangnya. Bisa?"Mayang membuka kaitan jam tangan bermereknya. Meletakkan jam yang dulunya juga hadiah dari Miguel di meja kasir. Dengan raut wajah menyesal, sang kasir menggeleng."Maaf ya, Mbak. Tidak bisa. Semua transaksi di sini harus dalam bentuk uang. Tidak boleh dalam bentuk barang," ucap sang kasir tegas."Begitu? Semua transaksi di sini harus dalam bentuk uang. Tapi pengembalian untuk konsumen, boleh dalam bentuk permen sebagai pengganti uang kecil? Mengapa kalian tidak adil sekali?" sembur Mayang. Terlalu ditekan ternyata bisa membuatnya meledak.Pertanyaan Mayang tidak bisa dijawab oleh sang kasir. Ia hanya diam, karena bukan dirinyalah yang membuat peraturan. Ia hanya seorang pekerja di supermaket ini."Eh, Mbak. Yang mau membayar bukan Mbak seorang saja ya
Mayang duduk termangu di kursi dapur. Secangkir teh hangat berada di tangannya. Gerombolan ibu-ibu di depan rumahnya telah dibubarkan oleh Sena. Mayang tidak ingat persis kejadiannya seperti apa. Karena waktu itu ia nyaris kehilangan kesadarannya. Yang ia ingat, dadanya sangat sesak saat para ibu-ibu itu mencaci makinya. Sena membawanya masuk ke dalam rumah dan meminta nomor RT di lingkungannya.Selanjutnya Sena yang menghadapi kericuhan di luar sana. Mayang sudah tidak mampu lagi menjawab tuduhan-tuduhan para ibu-ibu muda itu. Lagi pula, apa yang harus ia jawab? Mayang yakin, apapun jawaban yang akan ia berikan, tidak akan dipercaya oleh mereka. Karena mereka telah mempunyai asumsi sendiri."Mbak Mayang, tehnya diminum dong. 'Kan mubazir kalau cuma dipegang aja.""Eh iya. Ini Mbak minum kok." Teguran Nia membuat lamunan Mayang terhenti. Mayang dengan cepat meneguk minumannya. Karena terburu-buru, Mayang ters
"Mas, ini kenapa uang saya dikembalikan semua? Kata Mas tadi hanya ada kelebihan uang?""Saya mengembalikannya padamu, supaya kamu bisa makan. Kembalikan pada saya beserta bunganya kalau kamu telah mempunyai uang banyak."Klik.Mayang memandangi ponsel saat Sena menutup panggilannya begitu saja. Air muka Mayang berubah ngeri saat teringat akan kalimat soal bunga uang. Kata bunga uang itu identik dengan Mami Elsye. Hutang dan bunga uanglah yang telah membuat hidupnya hancur seperti ini. Tidak bisa! Hutangnya bisa beranak dan bercucu kalau terus dihitung bunga. Apalagi ia belum tau Sena menetapkan suku bunga berapa. Dengan cepat Mayang kembali menghubungi ponsel Sena. Namun sayangnya ponsel Sena sudah tidak bisa lagi dihubungi. Nada ponselnya selalu sibuk. Ketika Mayang kembali mencoba menghubungi lagi, ponsel telah dalam keadaan tidak aktif.Mayang kelabakan. Ia takut sekali setiap berhubungan dengan
"Kamu tidak usah takut. Ibu saya itu hanya menggertak. Ibu saya baru terkena serangan stroke satu bulan yang lalu. Jadi Ibu saya belum bisa menerima kenyataan, bahwa ia sakit. Makanya Ibu saya marah karena dianggap sebagai orang cacat. Tugas kamulah untuk menemaninya berbicara dan membuat ibu sadar akan keadaannya sekarang."Kata-kata Manda membuat Mayang menyadari satu hal. Bu Mitha tidak suka dianggap cacat. Terbiasa melakukan kegiatan ini dan itu, pasti Bu Mitha frusrasi karena tidak bisa melakukan kebiasaan-kebiasaan seperti dulu. Wajar kalau Bu Mitha stress. Bu Mitha belum bisa beradaptasi dengan keadaannya yang sekarang."Saya mengerti Mbak Manda. Nanti pelan-pelan saya akan mencoba memberi pengertian pada Bu Mitha. Saya juga akan mencoba mencari kegiatan yang sekiranya bisa membuat Bu Mitha tidak merasa maaf, seperti orang cacat, insyaallah."Manda mengangguk. Sepertinya ia tidak salah menerima Mayang sebagai pera
Pagi yang tenang. Keluarga Dananjaya tengah sarapan bersama sebelum memulai aktivitas masing-masing. Sedari tadi Ceu Parni dan Yu Nah, sibuk menata menu-menu sarapan pagi. Selama menikmati sarapan, tidak terdengar percakapan sama sekali.Selama tiga hari bekerja di rumah ini, Mayang mempelajari apa-apa saja kebiasaan keluarga konglomerat ini. Salah satunya adalah tidak berbicara saat makan. Sedari tadi hanya denting peralatan makan saja yang terdengar. Sementara masing-masing orang yang duduk di sana menikmati sarapan dalam diam."Saya mau roti saya diisi selai kacang, May. Yang banyak dan tebal-tebal olesannya. Jangan kayak suster Nani. Nggak ikhlas banget dia setiap mengoles roti. Cuma dipelet-peletin sekedarnya saja.""Baik, Bu. Tapi apa Ibu tidak mau mencoba selai almond ini? Rasanya mirip dengan selai kacang kok, Bu. Biar Ibu tidak bosan selainya itu-itu terus," bujuk Mayang manis.Dokter Johan kemari
"Kamu tidak usah mengikuti kami, Sena. Sudah cukup pramuniaga-pramuniaga pakaian itu saja yang memelototi kami berdua. Kami tidak perlu kamu mandori lagi."Mitha menegur Sena yang terus mengekorinya dan Mayang selama berbelanja. Setelah menjalani sesi terapi di rumah sakit tadi, ia memang langsung minta diantar ke mall. Ia punya satu misi yang ingin ia tunaikan. Dengan adanya Sena terus memandori mereka berdua, ia jadi merasa tidak leluasa bertindak."Saya hanya berjaga-jaga, kalau-kalau Ibu memerlukan bantuan. Tapi kalau Ibu merasa tidak nyaman, saya akan menunggu di tempat lain saja. Kalau Ibu memerlukan saya, telepon saja ya, Bu?""Iya... iya... " Mitha mengibaskan tangan. Membuat gerakan mengusir pada Sena. Setelah Sena menjauh, Mitha meminta Mayang mendorong kursi rodanya keluar dari gerai pakaian berlogo huruf X berwarna merah ini. Berbelanja di tempat pilihan Mayang ini sungguh tidak menyenangkan