"Wah Pak Sena sudah sampai ya? Mengapa Bapak tidak menghubungi saya?"
Danu bangkit dari kursi. Ia segera menyalami boss besar yang digadang-gadang sebagai pengganti Candra Dananjaya. Konglomerat paling tersohor negeri ini. Nawasena Dananjaya ini adalah putra tunggal Pak Candra yang baru diperkenalkan pada publik sekitar delapan tahun lalu. Sebelumnya Pak Candra diketahui hanya memiliki dua orang putri. Yaitu Amaya Dananjaya almarhum dan Amanda Dananjaya. Kedua putrinya itu selalu bergaya sosialita. Mereka berdua juga diketahui enggan membantu Pak Candra dalam berbisnis. Amaya dan Amanda tidak suka memikirkan hal yang susah-susah. Untungnya almarhumah Amaya, mempunyai suami yang cerdas dan pekerja keras. Suami almarhumah Amayalah yang membantu Pak Candra, sebelum putra tunggalnya ini muncul. Dan di tangan putra tunggalnya inilah, usaha-usaha Pak Candra kian meroket. Siapa yang tidak mengenal Tri Dananjaya Group saat ini? Semua bidang usaha, telah mereka kuasai. Bisa dikatakan perusahaan mereka telah memonopoli berbagai sektor usaha. Untuk itulah Danu menemui Sena di sini. Ia ingin bekerja sama dengan Sena.
"Saya sudah berkali-kali menghubungi Pak Danu. Tapi mungkin Pak Danu sedang sibuk dengan salah seorang Astronomix Girls ini," sindir Sena dingin. Mayang menelan salivanya sendiri.
Kuatkanlah hatiku, ya Allah.
"Maaf, Pak Sena bilang apa tadi? Astronomix Girls?" Danu menjelingkan matanya ke arah Mayang. Memindai gadis penjual asuransi yang anggun ini dari atas ke bawah. Danu sama sekali tidak menyangka, kalau gadis cantik berparas sendu ini adalah seorang kupu-kupu malam. Penampilan bisa menipu ternyata. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sebenarnya sejak menyalami Mayang tadi, ia sudah berhasrat pada wanita ini. Ada sesuatu di diri Mayang yang menggelitik hormon kelelakiannya. Wajah ayu Mayang, sikap santunnya, bahkan caranya berbicara pun, sangat menyenangkan untuk dipandang. Ibarat kata, aura Mayang keluar begitu saja, tanpa sang empunya wajah harus bersusah payah menggoda. Wanita ini memiliki pesona sendiri. Sayang sekali wanita seanggun ini berprofesi sebagai pemuas laki-laki.
"Benar, Pak Danu. Kalau Bapak tidak percaya, silahkan Bapak tanyakan langsung pada orang yang bersangkutan. Coba tanya, sudah berapa lama wanita ini bekerja sebagai gadis bunga-bunganya Astronomix. Mayang ini sudah tahunan beroperasi di sana," imbuh Sena lagi. Tatapannya pada Mayang jelas-jelas sangat *seksis dan melecehkan. Mendengar penjelasan Sena, air muka Danu kian cerah. Sepertinya ia bisa mencicipi wanita ini. Darah kelelakiannya berdesir-desir seketika.
"Apa benar apa yang dikatakan oleh Pak Sena ini, Bu--ehm Mayang? Saya panggil Mayang saja supaya kita bisa lebih akrab ke depannya," Danu mengedipkan sebelah matanya.
Mayang terdiam. Sorot mata Pak Danu sudah berbeda. Tidak terlihat lagi rasa sungkan di sana. Rasa hormat yang ditunjukkan Pak Danu pada saat mereka pertama kali bersalaman tadi, sudah lenyap tak bersisa. Kini tatapan penuh nafsulah yang terang-terangan Pak Danu perlihatkan. Mayang muak sekali melihatnya.
Panjangkan juga sabarku, ya Allah.
"Maaf, Pak Danu. Tujuan saya ke sini adalah untuk menawarkan unit-unit asuransi seperti yang Bapak butuhkan. Bukan untuk membahas masalah di luar konteks pekerjaan saya," Mayang masih mencoba bersabar. Ia terus menerus mengingat hal-hal apa saja yang harus dimiliki oleh seorang agen asuransi. Termasuk untuk sanggup mengendalikan diri dan memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Insyaallah.
"Jadi, menyambung pembicaraan kita yang sebelumnya tadi, apakah kita bisa segera melakukan closing? Mengenai masalah dokumen dan lain-lain bisa menyusul. Bagaimana, Pak Danu?" tanya Mayang sabar. Ia berusaha bersikap seprofesional mungkin.
Belum sempat Pak Danu menjawab pertanyaannya, ponselnya bergetar. Jantung Mayang seketika berdebar kencang saat melihat nama Arfan, adik bungsunya yang menelepon. Jangan-jangan ayahnya sakit lagi.
"Sebentar ya, Pak Danu. Saya menerima telepon dulu," Mayang buru-buru menyingkir. Ia berjalan sedikit menjauh dari meja Pak Danu dan Sena. Mayang mencari tempat yang agak sepi agar lebih leluasa saat berbicara. Mayang tidak menyadari saat seseorang masuk ke dalam lobby. Sosok itu kemudian bergabung dengan Sena dan Danu.
"Ya, Fan. Ada apa? Ayah sakit lagi?" Suara Mayang bergetar. Keuangannya benar-benar sedang kosong sekarang. Semua uang dan perhiasannya yang ia punya, telah ia gunakan untuk membeli sebuah rumah sederhana. Ia memang takut untuk membeli rumah dengan cara KPR. Ia takut tidak sanggup membayar cicilan tepat waktu. Apalagi sumber penghasilannya juga belum pasti. Makanya ia ngeri saat menerima telepon Arfan. Kalau Arfan meminta uang untuk biaya perawatan ayahnya, dengan apa ia harus mentransfernya.
"Ini bukan soal ayah, Mbak. Tapi... tapi... soal Arfan."
Mendengar nada suara Arfan yang lirih, Mayang menangkap sesuatu. Jangan-jangan adik bungsunya ini menyalahgunakan uang kuliah yang baru saja ia transfer.
"Soal kamu? Jangan bilang kalau kamu menggunakan uang yang Mbak kirim untuk berfoya-foya. Mbak mencari uang di sini sampai berkeringat darah Arfan!" bentak Mayang dengan suara bergetar.
"Bu--bukan, Mbak. Uang kuliah sudah Arfan bayarkan sejak kemarin-kemarin. Arfan tahu Mbak sudah banyak berkorban untuk kami semua di kampung. Makanya Arfan bermaksud membantu. Tapi masalahnya..."
"Masalahnya? Sudah Arfan. Jangan membuat Mbak mati jantungan di sini. Ada apa sebenarnya, Arfan? Langsung saja!" Mayang menekan dadanya yang mendadak nyeri. Selalu begini. Setiap ia ketakutan, cemas atau gelisah, dadanya sakit luar biasa.
"Arfan sekarang mencoba belajar menjadi makelar motor, Mbak. Tadi ada teman kuliah yang minta dijualkan motornya, dan Arfan ada pembeli. Masalahnya saat pembeli itu mencoba mengetest motornya, pembeli itu kabur, Mbak. Ini sudah dua jam Arfan tunggu-tunggu, pembelinya tidak kembali lagi. Teman Arfan meminta ganti sepeda motornya. Harganya se--sebelas belas juta, Mbak. Kalau Arfan tidak membayar, Arfan akan dilaporkan ke polisi, Mbak."
Mayang kembali memegang dadanya. Nyerinya sampai membuatnya terbungkuk. Karena dulu kerap mengkonsumsi alkohol demi rupiah, kini jantungnya memang bermasalah.
"Jadi bagaimana, Mbak? Mbak bisa mengirim uang itu sekarang?"
"Kasih Mbak waktu, Fan. Mbak kurang begitu sehat. Nanti... nanti Mbak kabari lagi. Bilang sama temanmu. Sabar dulu beberapa j--jam." Mayang meringis saat jantungnya terasa bagai ditusuk-tusuk. Mayang meraih sudut meja dan perlahan-lahan mencoba berdiri kembali.
Kamu jangan mati dulu, May. Bebanmu masih banyak.
Mayang menarik napas panjang dua kali sebelum menjawab panggilan cemas Arfan. Adiknya terus memanggil-manggilnya cemas diujung telepon.
"Mbak Mayang kenapa? Mbak sakit? Maafin Arfan ya, Mbak? Arfan dan kami semua yang ada di kampung selalu menyusahkan, Mbak."
"Mbak nggak apa-apa Arfan. Mbak cuma minta kamu untuk berhati-hati. Nggak semua orang yang tersenyum padamu itu adalah temanmu. Jangan mudah dipedaya orang Arfan."
Cukup Mbak saja, Arfan.
"Ya sudah. Mbak akan coba mencari uang dulu. Tapi uang yang sebelas belas juta ini, akan Mbak potong dari uang sakumu tiap bulan. Mbak ingin kamu belajar menjadi orang yang bertanggung jawab. Dengan begitu, setiap kamu ingin melakukan sesuatu, kamu akan berpikir ratusan kali dulu sebelum bertindak. Mengerti Arfan?"
Mayang menutup teleponnya begitu saja. Ia ingin memberi Arfan pelajaran. Mayang menenangkan hatinya dulu beberapa saat, sebelum kembali ke meja Pak Danu. Baru saja berjalan beberapa langkah, Mayang kembali merasa akan pingsan. Bagaimana tidak, orang yaqng paling dibencinya di dunia ini, duduk di meja yang sama dengan Pak Danu dan Sena. Dan orang itu adalah Mahesa Haryanto. Setelah pertemuannya dengan Esa di restaurant beberapa bulan lalu, ia memang selalu menghindari pertemuan dengan Esa. Ia tidak ingin menjadi seorang pembunuh. Karena setiap melihat wajah Esa, yang ia bayangkan adalah betapa puasnya jika dirinya menusuk jantung Esa dengan sebilah pisau. Walau perasaannya saling berkecambuk, Mayang tetap melangkahkan kaki ke meja mereka bertiga. Ia bukanlah seorang pengecut. Dengan langkah anggun, Mayang kembali duduk ke kursinya. Ia pura-pura tidak melihat kehadiran Esa. Tatapannya lurus hanya memandang Pak Danu, calon nasabahnya.
"Maaf ya, Pak Danu. Ada sedikit insiden. Langsung saja, bagaimana dengan penawaran saya tadi, Pak? Apakah kita bisa closing hari ini?" tanya Mayang penuh harap.
"Tentu saja, Mayang cantik. Tapi ada syaratnya. Saya hanya mau closing, kalau kamu bersedia check in di hotel ini berdua dengan saya. Tarif short time kamu di luar jam kerja itu berapa Mayang? Jangan khawatir. Saya akan membayarmu dua kali lipat dari harga yang biasanya kamu terima. Bagaimana, Mayang? Deal?"
Mayang merasa matanya mendadak panas. Untuk pertama kalinya ia merasa begitu tidak berharga menjadi seorang manusia. Terlebih lagi penyebab kehancuran hidupnya tepat berada di depan matanya. Sementara orang yang terpaksa ia koyak-koyak harga dirinya, juga berada tepat di sampingnya. Sungguh Mayang tiba-tiba merasa ingin mati saja.
Betapa sulitnya untuk keluar dari neraka masa lalu, ya Allah.
Sebelum menjawab, Mayang mengosok-gosok kedua matanya. Berpura-pura kelilipan. Padahal tujuan utamanya adalah menghalau air matanya yang mengancam akan banjir. Mayang menarik napas panjang beberapa kali sebelum menjawab. Bismillah.
"Pak Danu, tolong jangan pandang saya dari masa lalu saya. Saya sudah tak hidup di sana. Sekarang saya sedang berjuang untuk meninggalkan masa lalu saya." Kali ini air mata Mayang menitik. Sungguh, hatinya begitu sakit, saat tiga orang laki-laki di depannya ini memandangnya begitu rendah.
Kalimat yang diucapkan Mayang dengan terbata-bata, membuat tiga orang eksekutif muda terkesima. Mereka sama sekali tidak menyangka akan mendapat jawaban semiris itu dari Mayang.
"Dari jawaban Pak Danu tadi, saya bisa menyimpulkan kalau Bapak tidak tertarik pada produk yang saya tawarkan. Oleh karena itu saya minta diri," Mayang beringsut dari kursi. Ia merasa tidak ada gunanya juga ia menjelaskan tentang produk-produknya lagi. Karena sampai mulutnya berbusa pun, cara pandang Pak Danu padanya sudah bergeser. Lebih baik ia mencoba memprospek calon nasabah lain saja.
"Tunggu dulu!" Mayang menghentikan langkahnya. Tetapi ia tetap memunggungi sang pemanggil. Karena ia tau, yang memanggilnya itu bukan Pak Danu. Melainkan Sena.
"Saya mewakili Pak Danu, minta maaf kalau kamu tersinggung oleh penawaran beliau. Maklum saja, ia memang orang baru untuk hal-hal seperti ini. Jadi mungkin beliau tidak tau kalau harga yang ia tawarkan itu, tidak membuatmu tertarik. Kalau saya naikkan harganya menjadi berapa pun yang kamu mau, apakah kamu tertarik? Oh ya, juga bonus janji saya. Bahwa saya akan membuatmu orgasm* dengan berbagai cara. So deal or no deal?" tantang Sena kurang ajar.
"Jangan kurang ajar, Sena!" Mayang mendengar Mahesa membentak Sena.
"Kurang ajar lo bilang? Lo nggak tau aja bagaimana kurang ajarnya dia di masa lalu. Apa yang gue omongin ini, nggak ada seujung kuku kekurang ajarannya dulu, adik iparku."
Adik ipar! Berarti almarhumah istri Mahesa adalah adik seayah Mahesa. Dunia sekecil ini ternyata. Dirinya terjebak di antara orang yang itu-itu saja.
"Saya tidak munafik. Saya memang pernah hidup bergelimang dosa di waktu lalu. Lantas apa saya tak boleh bertobat? Lagi pula apa ada manusia yang tidak berdosa di dunia ini?" Mayang membalikkan tubuh. Memandang Sena lekat-lekat. Ia ingin berbicara sambil memandang tepat di kedua mata Sena.
"Saya sudah memutuskan untuk berbenah diri. Untuk melangkah di lembaran yang bersih. Saya tegaskan sekali lagi. Saya telah memilih untuk memperbaiki hidup saya. Jadi daripada kamu sibuk menghakimi, bukankah lebih baik kalau kita sama-sama belajar dari kesalahan dan menata masa depan masing-masing?" tukas Mayang. Ia masih mencoba bersabar.
"Yang namanya lont*, tidak usah sok-sokan menasehati orang. Lebih baik, tutup saja mulut amismu itu. Saya ingin lihat, sampai berapa lama kamu tahan tidak mengangkan*, apabila kamu menghadapi kesulitan!" decih Sena sambil tertawa jahat.
Bahu Mayang gemetaran. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Sena sanggup mengatakan kalimat sekasar itu. Perasaannya, harga dirinya dan martabatnya sebagai seorang manusia luruh tak bersisa. Di meja yang sama, Mahesa dan Danu terkesima. Mereka sama sekali tidak menyangka, kalau Sena yang cerdas, intelek dan yang biasanya sangat santun dalam bertutur kata, bisa bersikap sebrutal ini. Ada pengertian baru yang hadir di benak mereka. Bahwa ada dendam masa lalu di antara mereka berdua. Khususnya Mahesa. Ia sama sekali tidak tau, kalau kakak iparnya ini juga mempunyai masa lalu dengan Mayang. Wajar saja jika ia tidak tau apa-apa mengenai masa lalu Mayang. Karena keberadaannya di kampung Mayang hanya sekitar 3 bulan. Hal yang sangat tidak ia duga adalah, mengapa orang diseterui oleh kakak iparnya ini harus Mayang? Sungguh, Mahesa tidak menyangka kalau semesta ternyata memang suka bercanda.
Ketertegunan mereka semua, menyebabkan mereka tidak menyadari, saat ada sosok tubuh gagah yang berjalan mendekati Mayang. Sosok itu sebenarnya sudah cukup lama duduk di sana. Namun karena posisi duduknya membelakangi mereka semua, membuat sosok ini luput dari pandangan.
"Ke sini Mayang. Saya ingin mendengar penjelasan tentang asuransi jiwa dari kamu." Mayang memalingkan wajah ke samping. Xander berdiri sembari berkacak pinggang. Air mukanya malas-malasan seperti biasanya. Namun sorot matanya menjanjikan dukungan.
"Dengar baik-baik, Mayang. Anjing hanya menggonggong pada orang yang tidak dia kenal. Jadi, kalau ada orang yang menggonggongimu, itu artinya dia memang tidak mengenalmu. Ah satu lagi, artinya dia memang benar-benar anjing. Habis perkara."
Mayang nyengir di antara tangisnya. Ia nyaris tersedak air matanya sendiri. Xander ini pintar sekali menyemangatinya dengan kalimat ambigu-ambigu iblis. Xander mungkin tidak akan tahu, kalau ia sudah mengaguminya sejak tujuh tahun lalu. Di mana Xander dengan gaya cuek-cuek iblis membebaskannya dari jeratan Mami Elsye. Xander adalah cerminan seorang kakak laki-laki yang tidak pernah ia miliki. Bersama Xander, ia tidak akan takut apapun lagi. Dengan gaya angkuh, Mayang menaikkan dagunya.
"Baik. Saya akan menjelaskan jenis-jenis asuransi sesuai yang sesuai dengan kebutuhan Bapak. Oh ya, ngomong-ngomong soal anjing, saya ini singa, Pak. Singa 'kan tidak membalas gonggongan anjing." Mayang puas sekali melihat wajah Sena merah padam. Jangan dia kira, semua laki-laki sama kerdilnya dengan pemikirannya. Xander mungkin bukan orang baik. Tapi dia tidak jahat. Xander itu baik dengan caranya sendiri.
Notes.
Seksisme adalah prasangka, sikap dan perilaku yang diskriminatif berdasarkan gender, khususnya terhadap kaum perempuan.
Mayang melongo saat Xander benar-benar membeli asuransi jiwa seumur hidup, atau whole life insurance yang ia tawarkan. Jujur tadinya Mayang mengira kalau Xander hanya berpura-pura ingin ia prospek, untuk memberi pelajaran pada ketiga laki-laki tidak beretika di depannya itu. Khususnya Sena. Siapa yang mengira kalau Xander ternyata benar-benar mendengarkan hingga selesai apa yang ia jelaskan tentang produk-produk asuransinya. Xander bahkan meminta bantuannya untuk memilihkan asuransi jenis apa yang paling cocok untuk dirinya. Hebatnya lagi, Xander langsung meminta closing saat itu juga. Dengan mata berkaca-kaca, Mayang berkali-kali mengucapkan kata terima kasih dengan bibir bergetar."Kamu tidak perlu terus menerus mengucapkan terima kasih setiap bertemu dengan saya, Mayang. Kita berdua memang sama-sama membutuhkan. Kamu butuh menjual produk, dan saya butuh proteksi dari asuransi. Kedudukan kita equal."L
Mayang berusaha merapatkan pintu begitu ia mengetahui siapa tamunya. Sungguh, setitik debu pun ia tidak menduga kalau Mahesa bisa muncul di depan pintu rumahnya. Namun Mahesa lebih gesit. Ia mengganjal pintu dengan kaki kirinya."Jangan menutup pintu dulu, Mayang. Mari kita bicara baik-baik. Mas mohon.""Saya tidak tertarik mendengar puisi pembelaanmu, Mas. Karena apapun yang Mas ucapkan, tidak akan membawa pengaruh lagi dalam kehidupan saya sekarang. Pulanglah, Mas." Mayang bersikeras mendorong pintu. Tetapi ia kalah tenaga. Mahesa dengan mudah melebarkan daun pintu. Pintu akhirnya terbuka, dan Mahesa melangkah masuk.Menyadari kalau penampilannya tidak pantas dalam menerima tamu, Mayang bergegas ke kamar. Mayang melepas daster pudarnya. Menggantinya dengan kemeja bercorak polkadot dan bawahan kulot lebar. Tidak lupa, Mayang juga mengenakan penutup dadanya. Mayang menatap cermin di meja rias. Pantulan di cer
Sena berkali-kali memindai jam di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul delapan pagi kurang lima belas menit. Syukurlah. Ia bisa tiba tepat waktu. Kalau ia terlambat lima menit saja dari waktu yang biasa, bisa dipastikan ibunya pasti mengamuk. Sembari berkendara, lamunan Sena mengembara. Dimulai dari kedatangan ayah kandungnya, sampai betapa marahnya ibunya saat dirinya memutuskan menjadi bagian dari keluarga Dananjaya. Ibunya merasa ia tinggalkan karena miskin. Padahal ia memutuskan untuk menerima nama belakang Dananjaya, justru untuk membahagiakan ibunya. Seumur hidupnya, ibunya tidak pernah senang.Saat pandangan Sena membentur gedung Rumah Sakit Jiwa yang lima tahun belakangan ini rutin ia kunjungi, ia segera membelokkan mobilnya.Setelah memarkirkan mobil, ia bergegas turun. Dengan langkah tergesa ia melintasi koridor rumah sakit. Beberapa petugas rumah sakit yang berpapasan dengannya menyapa ramah. Seluruh dokter, petugas
"Eh Mbak, jangan. Ini, ambil saja jam tangan saya sebagai jaminan. Saya akan pulang sekarang untuk mengambil sisa uangnya. Bisa?"Mayang membuka kaitan jam tangan bermereknya. Meletakkan jam yang dulunya juga hadiah dari Miguel di meja kasir. Dengan raut wajah menyesal, sang kasir menggeleng."Maaf ya, Mbak. Tidak bisa. Semua transaksi di sini harus dalam bentuk uang. Tidak boleh dalam bentuk barang," ucap sang kasir tegas."Begitu? Semua transaksi di sini harus dalam bentuk uang. Tapi pengembalian untuk konsumen, boleh dalam bentuk permen sebagai pengganti uang kecil? Mengapa kalian tidak adil sekali?" sembur Mayang. Terlalu ditekan ternyata bisa membuatnya meledak.Pertanyaan Mayang tidak bisa dijawab oleh sang kasir. Ia hanya diam, karena bukan dirinyalah yang membuat peraturan. Ia hanya seorang pekerja di supermaket ini."Eh, Mbak. Yang mau membayar bukan Mbak seorang saja ya
Mayang duduk termangu di kursi dapur. Secangkir teh hangat berada di tangannya. Gerombolan ibu-ibu di depan rumahnya telah dibubarkan oleh Sena. Mayang tidak ingat persis kejadiannya seperti apa. Karena waktu itu ia nyaris kehilangan kesadarannya. Yang ia ingat, dadanya sangat sesak saat para ibu-ibu itu mencaci makinya. Sena membawanya masuk ke dalam rumah dan meminta nomor RT di lingkungannya.Selanjutnya Sena yang menghadapi kericuhan di luar sana. Mayang sudah tidak mampu lagi menjawab tuduhan-tuduhan para ibu-ibu muda itu. Lagi pula, apa yang harus ia jawab? Mayang yakin, apapun jawaban yang akan ia berikan, tidak akan dipercaya oleh mereka. Karena mereka telah mempunyai asumsi sendiri."Mbak Mayang, tehnya diminum dong. 'Kan mubazir kalau cuma dipegang aja.""Eh iya. Ini Mbak minum kok." Teguran Nia membuat lamunan Mayang terhenti. Mayang dengan cepat meneguk minumannya. Karena terburu-buru, Mayang ters
"Mas, ini kenapa uang saya dikembalikan semua? Kata Mas tadi hanya ada kelebihan uang?""Saya mengembalikannya padamu, supaya kamu bisa makan. Kembalikan pada saya beserta bunganya kalau kamu telah mempunyai uang banyak."Klik.Mayang memandangi ponsel saat Sena menutup panggilannya begitu saja. Air muka Mayang berubah ngeri saat teringat akan kalimat soal bunga uang. Kata bunga uang itu identik dengan Mami Elsye. Hutang dan bunga uanglah yang telah membuat hidupnya hancur seperti ini. Tidak bisa! Hutangnya bisa beranak dan bercucu kalau terus dihitung bunga. Apalagi ia belum tau Sena menetapkan suku bunga berapa. Dengan cepat Mayang kembali menghubungi ponsel Sena. Namun sayangnya ponsel Sena sudah tidak bisa lagi dihubungi. Nada ponselnya selalu sibuk. Ketika Mayang kembali mencoba menghubungi lagi, ponsel telah dalam keadaan tidak aktif.Mayang kelabakan. Ia takut sekali setiap berhubungan dengan
"Kamu tidak usah takut. Ibu saya itu hanya menggertak. Ibu saya baru terkena serangan stroke satu bulan yang lalu. Jadi Ibu saya belum bisa menerima kenyataan, bahwa ia sakit. Makanya Ibu saya marah karena dianggap sebagai orang cacat. Tugas kamulah untuk menemaninya berbicara dan membuat ibu sadar akan keadaannya sekarang."Kata-kata Manda membuat Mayang menyadari satu hal. Bu Mitha tidak suka dianggap cacat. Terbiasa melakukan kegiatan ini dan itu, pasti Bu Mitha frusrasi karena tidak bisa melakukan kebiasaan-kebiasaan seperti dulu. Wajar kalau Bu Mitha stress. Bu Mitha belum bisa beradaptasi dengan keadaannya yang sekarang."Saya mengerti Mbak Manda. Nanti pelan-pelan saya akan mencoba memberi pengertian pada Bu Mitha. Saya juga akan mencoba mencari kegiatan yang sekiranya bisa membuat Bu Mitha tidak merasa maaf, seperti orang cacat, insyaallah."Manda mengangguk. Sepertinya ia tidak salah menerima Mayang sebagai pera
Pagi yang tenang. Keluarga Dananjaya tengah sarapan bersama sebelum memulai aktivitas masing-masing. Sedari tadi Ceu Parni dan Yu Nah, sibuk menata menu-menu sarapan pagi. Selama menikmati sarapan, tidak terdengar percakapan sama sekali.Selama tiga hari bekerja di rumah ini, Mayang mempelajari apa-apa saja kebiasaan keluarga konglomerat ini. Salah satunya adalah tidak berbicara saat makan. Sedari tadi hanya denting peralatan makan saja yang terdengar. Sementara masing-masing orang yang duduk di sana menikmati sarapan dalam diam."Saya mau roti saya diisi selai kacang, May. Yang banyak dan tebal-tebal olesannya. Jangan kayak suster Nani. Nggak ikhlas banget dia setiap mengoles roti. Cuma dipelet-peletin sekedarnya saja.""Baik, Bu. Tapi apa Ibu tidak mau mencoba selai almond ini? Rasanya mirip dengan selai kacang kok, Bu. Biar Ibu tidak bosan selainya itu-itu terus," bujuk Mayang manis.Dokter Johan kemari