Share

Chapter 5

"Wah Pak Sena sudah sampai ya? Mengapa Bapak tidak menghubungi saya?" 

Danu bangkit dari kursi. Ia segera menyalami boss besar yang digadang-gadang sebagai pengganti Candra Dananjaya. Konglomerat paling tersohor negeri ini. Nawasena Dananjaya ini adalah putra tunggal Pak Candra yang baru diperkenalkan pada publik sekitar delapan tahun lalu. Sebelumnya Pak Candra diketahui hanya memiliki dua orang putri. Yaitu Amaya Dananjaya almarhum dan Amanda Dananjaya. Kedua putrinya itu selalu bergaya sosialita. Mereka berdua juga diketahui enggan membantu Pak Candra dalam berbisnis. Amaya dan Amanda tidak suka memikirkan hal yang susah-susah. Untungnya almarhumah Amaya, mempunyai suami yang cerdas dan pekerja keras. Suami almarhumah Amayalah yang membantu Pak Candra, sebelum putra tunggalnya ini muncul. Dan di tangan putra tunggalnya inilah, usaha-usaha Pak Candra kian meroket. Siapa yang tidak mengenal Tri Dananjaya Group saat ini? Semua bidang usaha, telah mereka kuasai. Bisa dikatakan perusahaan mereka telah memonopoli berbagai sektor usaha. Untuk itulah Danu menemui Sena di sini. Ia ingin bekerja sama dengan Sena.

"Saya sudah berkali-kali menghubungi Pak Danu. Tapi mungkin Pak Danu sedang sibuk dengan salah seorang Astronomix Girls ini," sindir Sena dingin. Mayang menelan salivanya sendiri. 

Kuatkanlah hatiku, ya Allah.

"Maaf, Pak Sena bilang apa tadi? Astronomix Girls?" Danu menjelingkan matanya ke arah Mayang. Memindai gadis penjual asuransi yang anggun ini dari atas ke bawah. Danu sama sekali tidak menyangka, kalau gadis cantik berparas sendu ini adalah seorang kupu-kupu malam. Penampilan bisa menipu ternyata. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sebenarnya sejak menyalami Mayang tadi, ia sudah berhasrat pada wanita ini. Ada sesuatu di diri Mayang yang menggelitik hormon kelelakiannya. Wajah ayu Mayang, sikap santunnya, bahkan caranya berbicara pun, sangat menyenangkan untuk dipandang. Ibarat kata, aura Mayang keluar begitu saja, tanpa sang empunya wajah harus bersusah payah menggoda. Wanita ini memiliki pesona sendiri. Sayang sekali wanita seanggun ini berprofesi sebagai pemuas laki-laki. 

"Benar, Pak Danu. Kalau Bapak tidak percaya, silahkan Bapak tanyakan langsung pada orang yang bersangkutan. Coba tanya, sudah berapa lama wanita ini bekerja sebagai gadis bunga-bunganya Astronomix. Mayang ini sudah tahunan beroperasi di sana," imbuh Sena lagi. Tatapannya pada Mayang jelas-jelas sangat *seksis dan melecehkan. Mendengar penjelasan Sena, air muka Danu kian cerah. Sepertinya ia bisa mencicipi wanita ini. Darah kelelakiannya berdesir-desir seketika.

"Apa benar apa yang dikatakan oleh Pak Sena ini, Bu--ehm Mayang? Saya panggil Mayang saja supaya kita bisa lebih akrab ke depannya," Danu mengedipkan sebelah matanya. 

Mayang terdiam. Sorot mata Pak Danu sudah berbeda. Tidak terlihat lagi rasa sungkan di sana. Rasa hormat yang ditunjukkan Pak Danu pada saat mereka pertama kali bersalaman tadi, sudah lenyap tak bersisa. Kini tatapan penuh nafsulah yang terang-terangan Pak Danu perlihatkan. Mayang muak sekali melihatnya.

Panjangkan juga sabarku, ya Allah.

"Maaf, Pak Danu. Tujuan saya ke sini adalah untuk menawarkan unit-unit asuransi seperti yang Bapak butuhkan. Bukan untuk membahas masalah di luar konteks pekerjaan saya," Mayang masih mencoba bersabar. Ia terus menerus mengingat hal-hal apa saja yang harus dimiliki oleh seorang agen asuransi. Termasuk untuk sanggup mengendalikan diri dan memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Insyaallah.

"Jadi, menyambung pembicaraan kita yang sebelumnya tadi, apakah kita bisa segera melakukan closing? Mengenai masalah dokumen dan lain-lain bisa menyusul. Bagaimana, Pak Danu?" tanya Mayang sabar. Ia berusaha bersikap seprofesional mungkin. 

Belum sempat Pak Danu menjawab pertanyaannya, ponselnya bergetar. Jantung Mayang seketika berdebar kencang saat melihat nama Arfan, adik bungsunya yang menelepon. Jangan-jangan ayahnya sakit lagi.

"Sebentar ya, Pak Danu. Saya menerima telepon dulu," Mayang buru-buru menyingkir. Ia berjalan sedikit menjauh dari meja Pak Danu dan Sena. Mayang mencari tempat yang agak sepi agar lebih leluasa saat berbicara. Mayang tidak menyadari saat seseorang masuk ke dalam lobby. Sosok itu kemudian bergabung dengan Sena dan Danu. 

"Ya, Fan. Ada apa? Ayah sakit lagi?" Suara Mayang bergetar. Keuangannya benar-benar sedang kosong sekarang. Semua uang dan perhiasannya yang ia punya, telah ia gunakan untuk membeli sebuah rumah sederhana. Ia memang takut untuk membeli rumah dengan cara KPR. Ia takut tidak sanggup membayar cicilan tepat waktu. Apalagi sumber penghasilannya juga belum pasti. Makanya ia ngeri saat menerima telepon Arfan. Kalau Arfan meminta uang untuk biaya perawatan ayahnya, dengan apa ia harus mentransfernya.

"Ini bukan soal ayah, Mbak. Tapi... tapi... soal Arfan."

Mendengar nada suara Arfan yang lirih, Mayang menangkap sesuatu. Jangan-jangan adik bungsunya ini menyalahgunakan uang kuliah yang baru saja ia transfer.

"Soal kamu? Jangan bilang kalau kamu menggunakan uang yang Mbak kirim untuk berfoya-foya. Mbak mencari uang di sini sampai berkeringat darah Arfan!" bentak Mayang dengan suara bergetar.

"Bu--bukan, Mbak. Uang kuliah sudah Arfan bayarkan sejak kemarin-kemarin. Arfan tahu Mbak sudah banyak berkorban untuk kami semua di kampung. Makanya Arfan bermaksud membantu. Tapi masalahnya..."

"Masalahnya? Sudah Arfan. Jangan membuat Mbak mati jantungan di sini. Ada apa sebenarnya, Arfan? Langsung saja!" Mayang menekan dadanya yang mendadak nyeri. Selalu begini. Setiap ia ketakutan, cemas atau gelisah, dadanya sakit luar biasa. 

"Arfan sekarang mencoba belajar menjadi makelar motor, Mbak. Tadi ada teman kuliah yang minta dijualkan motornya, dan Arfan ada pembeli. Masalahnya saat pembeli itu mencoba mengetest motornya, pembeli itu kabur, Mbak. Ini sudah dua jam Arfan tunggu-tunggu, pembelinya tidak kembali lagi. Teman Arfan meminta ganti sepeda motornya. Harganya se--sebelas belas juta, Mbak. Kalau Arfan tidak membayar, Arfan akan dilaporkan ke polisi, Mbak."

Mayang kembali memegang dadanya. Nyerinya sampai membuatnya terbungkuk. Karena dulu kerap mengkonsumsi alkohol demi rupiah, kini jantungnya memang bermasalah.

"Jadi bagaimana, Mbak? Mbak bisa mengirim uang itu sekarang?"

"Kasih Mbak waktu, Fan. Mbak kurang begitu sehat. Nanti... nanti Mbak kabari lagi. Bilang sama temanmu. Sabar dulu beberapa j--jam." Mayang meringis saat jantungnya terasa bagai ditusuk-tusuk. Mayang meraih sudut meja dan perlahan-lahan mencoba berdiri kembali.

Kamu jangan mati dulu, May. Bebanmu masih banyak.

Mayang menarik napas panjang dua kali sebelum menjawab panggilan cemas Arfan. Adiknya terus memanggil-manggilnya cemas diujung telepon.

"Mbak Mayang kenapa? Mbak sakit? Maafin Arfan ya, Mbak? Arfan dan kami semua yang ada di kampung selalu menyusahkan, Mbak."

"Mbak nggak apa-apa Arfan. Mbak cuma minta kamu untuk berhati-hati. Nggak semua orang yang tersenyum padamu itu adalah temanmu. Jangan mudah dipedaya orang Arfan."

Cukup Mbak saja, Arfan. 

"Ya sudah. Mbak akan coba mencari uang dulu. Tapi uang yang sebelas belas juta ini, akan Mbak potong dari uang sakumu tiap bulan. Mbak ingin kamu belajar menjadi orang yang bertanggung jawab. Dengan begitu, setiap kamu ingin melakukan sesuatu, kamu akan berpikir ratusan kali dulu sebelum bertindak. Mengerti Arfan?" 

Mayang menutup teleponnya begitu saja. Ia ingin memberi Arfan pelajaran. Mayang menenangkan hatinya dulu beberapa saat, sebelum kembali ke meja Pak Danu. Baru saja berjalan beberapa langkah, Mayang kembali merasa akan pingsan. Bagaimana tidak, orang yaqng paling dibencinya di dunia ini, duduk di meja yang sama dengan Pak Danu dan Sena. Dan orang itu adalah Mahesa Haryanto. Setelah pertemuannya dengan Esa di restaurant beberapa bulan lalu, ia memang selalu menghindari pertemuan dengan Esa. Ia tidak ingin menjadi seorang pembunuh. Karena setiap melihat wajah Esa, yang ia bayangkan adalah betapa puasnya jika dirinya menusuk jantung Esa dengan sebilah pisau. Walau perasaannya saling berkecambuk, Mayang tetap melangkahkan kaki ke meja mereka bertiga. Ia bukanlah seorang pengecut. Dengan langkah anggun, Mayang kembali duduk ke kursinya. Ia pura-pura tidak melihat kehadiran Esa. Tatapannya lurus hanya memandang Pak Danu, calon nasabahnya.

"Maaf ya, Pak Danu. Ada sedikit insiden. Langsung saja, bagaimana dengan penawaran saya tadi, Pak? Apakah kita bisa closing hari ini?" tanya Mayang penuh harap.

"Tentu saja, Mayang cantik. Tapi ada syaratnya. Saya hanya mau closing, kalau kamu bersedia check in di hotel ini berdua dengan saya. Tarif short time kamu di luar jam kerja itu berapa Mayang? Jangan khawatir. Saya akan membayarmu dua kali lipat dari harga yang biasanya kamu terima. Bagaimana, Mayang? Deal?" 

Mayang merasa matanya mendadak panas. Untuk pertama kalinya ia merasa begitu tidak berharga menjadi seorang manusia. Terlebih lagi penyebab kehancuran hidupnya tepat berada di depan matanya. Sementara orang yang terpaksa ia koyak-koyak harga dirinya, juga berada tepat di sampingnya. Sungguh Mayang tiba-tiba merasa ingin mati saja. 

Betapa sulitnya untuk keluar dari neraka masa lalu, ya Allah. 

Sebelum menjawab, Mayang mengosok-gosok kedua matanya. Berpura-pura kelilipan. Padahal tujuan utamanya adalah menghalau air matanya yang mengancam akan banjir. Mayang menarik napas panjang beberapa kali sebelum menjawab. Bismillah.

"Pak Danu, tolong jangan pandang saya dari masa lalu saya. Saya sudah tak hidup di sana. Sekarang saya sedang berjuang untuk meninggalkan masa lalu saya." Kali ini air mata Mayang menitik. Sungguh, hatinya begitu sakit, saat tiga orang laki-laki di depannya ini memandangnya begitu rendah. 

Kalimat yang diucapkan Mayang dengan terbata-bata, membuat tiga orang eksekutif muda terkesima. Mereka sama sekali tidak menyangka akan mendapat jawaban semiris itu dari Mayang. 

"Dari jawaban Pak Danu tadi, saya bisa menyimpulkan kalau Bapak tidak tertarik pada produk yang saya tawarkan. Oleh karena itu saya minta diri," Mayang beringsut dari kursi. Ia merasa tidak ada gunanya juga ia menjelaskan tentang produk-produknya lagi. Karena sampai mulutnya berbusa pun, cara pandang Pak Danu padanya sudah bergeser. Lebih baik ia mencoba memprospek calon nasabah lain saja. 

"Tunggu dulu!" Mayang menghentikan langkahnya. Tetapi ia tetap memunggungi sang pemanggil. Karena ia tau, yang memanggilnya itu bukan Pak Danu. Melainkan Sena.

"Saya mewakili Pak Danu, minta maaf kalau kamu tersinggung oleh penawaran beliau. Maklum saja, ia memang orang baru untuk hal-hal seperti ini. Jadi mungkin beliau tidak tau kalau harga yang ia tawarkan itu, tidak membuatmu tertarik. Kalau saya naikkan harganya menjadi berapa pun yang kamu mau, apakah kamu tertarik? Oh ya, juga bonus janji saya. Bahwa saya akan membuatmu orgasm* dengan berbagai cara. So deal or no deal?" tantang Sena kurang ajar. 

"Jangan kurang ajar, Sena!" Mayang mendengar Mahesa membentak Sena. 

"Kurang ajar lo bilang? Lo nggak tau aja bagaimana kurang ajarnya dia di masa lalu. Apa yang gue omongin ini, nggak ada seujung kuku kekurang ajarannya dulu, adik iparku."

Adik ipar! Berarti almarhumah istri Mahesa adalah adik seayah Mahesa. Dunia sekecil ini ternyata. Dirinya terjebak di antara orang yang itu-itu saja.

"Saya tidak munafik. Saya memang pernah hidup bergelimang dosa di waktu lalu. Lantas apa saya tak boleh bertobat? Lagi pula apa ada manusia yang tidak berdosa di dunia ini?" Mayang membalikkan tubuh. Memandang Sena lekat-lekat. Ia ingin berbicara sambil memandang tepat di kedua mata Sena.

"Saya sudah memutuskan untuk berbenah diri. Untuk melangkah di lembaran yang bersih. Saya tegaskan sekali lagi. Saya telah memilih untuk memperbaiki hidup saya. Jadi daripada kamu sibuk menghakimi, bukankah lebih baik kalau kita sama-sama belajar dari kesalahan dan menata masa depan masing-masing?" tukas Mayang. Ia masih mencoba bersabar.

"Yang namanya lont*, tidak usah sok-sokan menasehati orang. Lebih baik, tutup saja mulut amismu itu. Saya ingin lihat, sampai berapa lama kamu tahan tidak mengangkan*, apabila kamu menghadapi kesulitan!" decih Sena sambil tertawa jahat. 

Bahu Mayang gemetaran. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Sena sanggup mengatakan kalimat sekasar itu. Perasaannya, harga dirinya dan martabatnya sebagai seorang manusia luruh tak bersisa. Di meja yang sama, Mahesa dan Danu terkesima. Mereka sama sekali tidak menyangka, kalau Sena yang cerdas, intelek dan yang biasanya sangat santun dalam bertutur kata, bisa bersikap sebrutal ini. Ada pengertian baru yang hadir di benak mereka. Bahwa ada dendam masa lalu di antara mereka berdua. Khususnya Mahesa. Ia sama sekali tidak tau, kalau kakak iparnya ini juga mempunyai masa lalu dengan Mayang. Wajar saja jika ia tidak tau apa-apa mengenai masa lalu Mayang. Karena keberadaannya di kampung Mayang hanya sekitar 3 bulan. Hal yang sangat tidak ia duga adalah, mengapa orang diseterui oleh kakak iparnya ini harus Mayang? Sungguh, Mahesa tidak menyangka kalau semesta ternyata memang suka bercanda. 

Ketertegunan mereka semua, menyebabkan mereka tidak menyadari, saat ada sosok tubuh gagah yang berjalan mendekati Mayang. Sosok itu sebenarnya sudah cukup lama duduk di sana. Namun karena posisi duduknya membelakangi mereka semua, membuat sosok ini luput dari pandangan.

"Ke sini Mayang. Saya ingin mendengar penjelasan tentang asuransi jiwa dari kamu." Mayang memalingkan wajah ke samping. Xander berdiri sembari berkacak pinggang. Air mukanya malas-malasan seperti biasanya. Namun sorot matanya menjanjikan dukungan. 

"Dengar baik-baik, Mayang. Anjing hanya menggonggong pada orang yang tidak dia kenal. Jadi, kalau ada orang yang menggonggongimu, itu artinya dia memang tidak mengenalmu. Ah satu lagi, artinya dia memang benar-benar anjing. Habis perkara." 

Mayang nyengir di antara tangisnya. Ia nyaris tersedak air matanya sendiri. Xander ini pintar sekali menyemangatinya dengan kalimat ambigu-ambigu iblis. Xander mungkin tidak akan tahu, kalau ia sudah mengaguminya sejak tujuh tahun lalu. Di mana Xander dengan gaya cuek-cuek iblis membebaskannya dari jeratan Mami Elsye. Xander adalah cerminan seorang kakak laki-laki yang tidak pernah ia miliki. Bersama Xander, ia tidak akan takut apapun lagi. Dengan gaya angkuh, Mayang menaikkan dagunya.

"Baik. Saya akan menjelaskan jenis-jenis asuransi sesuai yang sesuai dengan kebutuhan Bapak. Oh ya, ngomong-ngomong soal anjing, saya ini singa, Pak. Singa 'kan tidak membalas gonggongan anjing." Mayang puas sekali melihat wajah Sena merah padam. Jangan dia kira, semua laki-laki sama kerdilnya dengan pemikirannya. Xander mungkin bukan orang baik. Tapi dia tidak jahat. Xander itu baik dengan caranya sendiri.

Notes.

Seksisme adalah prasangka, sikap dan perilaku yang diskriminatif berdasarkan gender, khususnya terhadap kaum perempuan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nur Azz
gw suka bgt dgn kata kata anjing hanya menggonggong pada orang yg tidak di kenal...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status