"Kamu tidak usah takut. Ibu saya itu hanya menggertak. Ibu saya baru terkena serangan stroke satu bulan yang lalu. Jadi Ibu saya belum bisa menerima kenyataan, bahwa ia sakit. Makanya Ibu saya marah karena dianggap sebagai orang cacat. Tugas kamulah untuk menemaninya berbicara dan membuat ibu sadar akan keadaannya sekarang."
Kata-kata Manda membuat Mayang menyadari satu hal. Bu Mitha tidak suka dianggap cacat. Terbiasa melakukan kegiatan ini dan itu, pasti Bu Mitha frusrasi karena tidak bisa melakukan kebiasaan-kebiasaan seperti dulu. Wajar kalau Bu Mitha stress. Bu Mitha belum bisa beradaptasi dengan keadaannya yang sekarang.
"Saya mengerti Mbak Manda. Nanti pelan-pelan saya akan mencoba memberi pengertian pada Bu Mitha. Saya juga akan mencoba mencari kegiatan yang sekiranya bisa membuat Bu Mitha tidak merasa maaf, seperti orang cacat, insyaallah."
Manda mengangguk. Sepertinya ia tidak salah menerima Mayang sebagai pera
Pagi yang tenang. Keluarga Dananjaya tengah sarapan bersama sebelum memulai aktivitas masing-masing. Sedari tadi Ceu Parni dan Yu Nah, sibuk menata menu-menu sarapan pagi. Selama menikmati sarapan, tidak terdengar percakapan sama sekali.Selama tiga hari bekerja di rumah ini, Mayang mempelajari apa-apa saja kebiasaan keluarga konglomerat ini. Salah satunya adalah tidak berbicara saat makan. Sedari tadi hanya denting peralatan makan saja yang terdengar. Sementara masing-masing orang yang duduk di sana menikmati sarapan dalam diam."Saya mau roti saya diisi selai kacang, May. Yang banyak dan tebal-tebal olesannya. Jangan kayak suster Nani. Nggak ikhlas banget dia setiap mengoles roti. Cuma dipelet-peletin sekedarnya saja.""Baik, Bu. Tapi apa Ibu tidak mau mencoba selai almond ini? Rasanya mirip dengan selai kacang kok, Bu. Biar Ibu tidak bosan selainya itu-itu terus," bujuk Mayang manis.Dokter Johan kemari
"Kamu tidak usah mengikuti kami, Sena. Sudah cukup pramuniaga-pramuniaga pakaian itu saja yang memelototi kami berdua. Kami tidak perlu kamu mandori lagi."Mitha menegur Sena yang terus mengekorinya dan Mayang selama berbelanja. Setelah menjalani sesi terapi di rumah sakit tadi, ia memang langsung minta diantar ke mall. Ia punya satu misi yang ingin ia tunaikan. Dengan adanya Sena terus memandori mereka berdua, ia jadi merasa tidak leluasa bertindak."Saya hanya berjaga-jaga, kalau-kalau Ibu memerlukan bantuan. Tapi kalau Ibu merasa tidak nyaman, saya akan menunggu di tempat lain saja. Kalau Ibu memerlukan saya, telepon saja ya, Bu?""Iya... iya... " Mitha mengibaskan tangan. Membuat gerakan mengusir pada Sena. Setelah Sena menjauh, Mitha meminta Mayang mendorong kursi rodanya keluar dari gerai pakaian berlogo huruf X berwarna merah ini. Berbelanja di tempat pilihan Mayang ini sungguh tidak menyenangkan
"Saya tahu pekerjaan utama kamu itu apa. Tapi tolong sedikit bermorallah. Kamu sedang bekerja saat ini. Tahan dulu hasratmu!"Tanpa melihat pun, Mayang sudah tau siapa orang yang membekap sekaligus menyeretnya masuk ke dalam kamar ini. Sena!Mayang berusaha memberontak. Tetapi Sena tetap membekap mulutnya erat. Sena kemudian memaku tubuhnya di belakang pintu kamar. Menatap wajahnya dengan pandangan merendahkan terang-terangan."Dengar, saya tidak peduli kamu mau berjualan di mana dan dengan siapa saja. Tetapi tidak saat kamu masih berada di rumah ini. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Pahami itu!" desis Sena geram. Seiring emosinya suara Sena, diikuti dengan menguatnya bekapan tangan di mulutnya.Mayang tidak bisa menjawab, karena Sena belum melepaskan bekapannya. Mayang mulai megap-megap kehabisan udara. Paru-parunya serasa terbakar. Tidak kuat menahan sesak, Mayang menggigit telapak t
"Jangan begini, Mas. Yang Mas butuhkan itu psikiater, istri atau minimal pasangan. Bukan saya, Mas." Mayang mundur-mundur saat Sena kian mendekatinya."Psikiater, sudah. Istri? Pasangan? Dari mana saya bisa mendapatkannya kalau berdekatan dengan perempuan saja saya sudah berkeringat dingin?" Sena memajukan langkahnya lagi. Mayang terus mundur dan mundur, hingga kakinya menyentuh sudut ranjang. Karena gugup Mayang malah terjengkang di atasnya. Sejurus kemudian Mayang merasa ranjang melesak, karena ada beban lain di atasnya. Sena menyusul dan kini telah berada di atas tubuhnya. Memaku kedua lengannya di sisi kiri dan kanan kepalanya."Lepaskan, Mas. Jangan begini. Jangan membuat sesuatu yang akan kita berdua sesali nantinya," desis Mayang dengan suara terengah."Kamu terlalu banyak bicara. Yang saya pinta hanya janjimu tadi, bukan siraman rohani. Saya ulangi, bersediakah kamu memperbaiki kerusakan yang telah kamu bua
Mayang memandang pantulannya sendiri di depan cermin. Secara keseluruhan penampilan cukup rapi dan sopan. Ia mengenakan rok pensil hitam sebetis yang dipadukan dengan blazer putih gading berbahan tweed. Blazer bermerek chane* itu adalah hadiah dari Bu Mitha. Mayang menggelung rambutnya menjadi sanggul kecil yang anggun. Setelah memulas bibirnya dengan lipstick merah muda, ia merasa penampilannya cukup sempurna. Ia memang tidak menyukai tampil habis-habisan pada acara orang. Istimewa saat menghadiri acara pernikahan. Jangan sampai penampilannya melebihi keglamouran sang pengantin. Rasanya sangat egois jika dirinya merampas perhatian yang seharusnya menjadi milik sang ratu sehari. Setelah menyemprotkan parfum kesayangannya yang masih tersisa, Mayang meraih tas tangan dan membuka pintu kamar. Malam ini ia akan menghadiri pernikahan Seruni dan Antonio. Ia ingin menjadi saksi atas kebahagiaan teman sekampungnya itu. Seruni telah berhasil menemukan pangeran berbaju zirahnya. Sementara dir
Mayang menyisir rambutnya perlahan. Mengurai gelombang-gelomang ikal yang terbentuk karena gelungan rambutnya. Resepsi pernikahan Seruni dan Antonio telah usai. Kini ia telah berada di kamarnya. Iseng Mayang membuka ponsel. Ia ingin melihat sekali lagi photo-photonya dengan Seruni. Khusus hari ini hingga seminggu ke depan, ia mempunyai banyak waktu sendiri di malam hari. Pak Candra telah kembali dari luar kota. Dengan begitu ia tidak perlu terus mengecek keadaan Bu Mitha dari pintu penghubung. Ada Pak Candra yang menjaganya. Pintu penghubung telah ditutup oleh Pak Candra.Mayang membuka galeri. Ia memperhatikan sekali lagi ekspresi kebahagiaan Seruni, saat berphoto dengannya. Senyum Seruni merekah secerah mentari pagi. Ia juga tersenyum tak kalah lebar. Bibir bahkan nyaris membelah wajahnya menjadi dua bagian. Tetapi jelas terlihat perbedaan dalam senyum lebar mereka. Seruni tersenyum sepenuh hati. Sementara dirinya sendiri tersenyum menutupi kegundahan hati. Li
Sehari sebelumnya."Gue bukannya nggak mau memprospek lo, Dam. Walaupun udah berkecukupan, tapi mata gue masih tetep ijo kalo ngeliat duit. Cuma masalahnya, gue kesian ngeliat nasib anak buah gue. Gue terus terang aja sama lo. Anak buah gue ini dulunya mantan PSK. Tapi dia jadi PSK karena terjebak keadaan. Lo bayangin aja anak 17 taon dari Banjarnegara sono nyari-nyari orang ke Jakarta. Ujung-ujungnya ia malah terjebak di dunia hitam. Sekarang dia mau mencoba merubah diri. Makanya gue support dia habis-habisan. Dia mengingatkan gue pada diri gue sendiri bertahun lalu. Lo bersedia kan membuka jalan baginya untuk pekerjaan halal?""Gue sih mau-mau aja, Fir. Cuma masalahnya dia ini mantan PSK. Gawat ini, Fir. Mana Dewi besok ikut lagi. Lo tahu sendiri 'kan kalo bini gue itu cemburuan. Bakalan ngamuk dia kalo liat cewek seksi jalan tek tok tek tok pake high heels ketemuan sama gue. Bubar jalan ntar acara prospekannya, Fir."
Mayang membiarkan Bu Zainab menjambak rambutnya. Sungguh ia rela diperlakukan seperti ini, jika itu membuat Bu Zainab lega. Dengan Bu Zainab mengenalinya saja, itu merupakan satu pertanda baik.Artinya ingatan Bu Zainab tidak semuanya hilang. Saat Sena ingin mendekat, Mayang menggeleng cepat. Isyarat kalau ia tidak ingin diganggu."Apa Ibu mengenal saya?" Walau Mayang merasa kulit kepalanya seakan-akan terlepas, tapi ia berusaha terlihat santai saja. Ia ingin membuat Bu Zainab berbicara lebih banyak."Tentu saja saya kenal! Kamu adalah penyebab utama kekalahan saya. Kalau saja kamu tidak hadir dalam kehidupan anak saya, saya tidak akan kalah darinya. Makanya rasakan pembalasanku setan betina muda. Rasakan!" Kuatnya jambakan pada rambutnya, membuat Mayang terhuyung-huyung. Detik berikutnya ia tersungkur ke tanah lapang, karena Bu Zainab mendorongnya."Hahahaha... bagaimana rasanya? Sakit tidak? Sakit 'kan? Sakitmu in