William menarik handuk, berwarna putih, tergantung dan sudah tersedia dalam kamar hotel-- menyelimuti tubuh Nilam yang baru keluar dari bak mandi. Ia menggendongnya keluar.Aduhai beberapa kali tak sengaja menyenggol buah kenyalnya. Nilam masih terpejam, sampai Willy meletakkan nya di atas ranjang dengan hati-hati.Ia dengan telaten mengeringkan tubuh Nilam yang masih basah. Lalu perlahan mengenakan piyama yang tersedia disana.Ia hanya mampu menatap tubuh indah Nilam tanpa berani menjamahnya. Jika wanita itu belum mengizinkan-- lebih baik ia menahannya. Itu lebih baik, dari pada saat sadar, Nilam malah memotong buah terong yang bergelayut miliknya.Ia harus membangunkan wanitanya, untuk meminum minuman yang dipesannya tadi.Ia mendekati wajahnya, dan mengelus pipi Nilam, memanggil namanya dengan lembut."Sayang, bangun!" bisiknya."Aku tidak tega jika harus membangunkan istriku ini, tapi ... Ah, biar aja dia istirahat dulu, aku juga mau tidur, ngantuk!" ucapnya sendiriWilliam tidur d
Nilam melotot ke arah keduanya, secara bergiliran. Dengan bertolak pinggang. Willy bukannya takut, pria itu malah tersenyum melihat Nilam bersikap seperti itu. "Kenapa kamu malah tersenyum, kamu senang ya diperlakukan seperti itu sama Tiara?"Wajah Nilam sangat culas, menunggu mereka bicara."Maafkan saya ibu Nilam, Saya hanya kasihan pada Pak Willy. Sungguh saya tidak berniat apapun," ucap Tiada, membela diri."Ah alasan saja kau! Dasar sekretaris ganjen! Awas aja kamu, sekali lagi kau menggoda suamiku! Aku tidak akan segan-segan memecat mu! Pergi! Pergi!" ancam Nilam tidak main-main."Sekali lagi saya minta maaf Ibu Nilam," Tiara menundukkan kepala lalu segera keluar dari ruangan William.Nilam melihat ke arah Willy yang masih senyum tanpa dosa. Wajah wanita itu sangat buruk sekarang."Apa maksudnya kamu tersenyum seperti itu, Mas? Hah? Kamu senang ya disuapin sama Tiara?" tanya Nilam tanpa memandang Willy.Sett ..William tiba-tiba menarik tubuh Nilam hingga ia jatuh di pangkuan
Keesokan harinya ...Brak!"Apa-apaan ini! Kenapa beberapa klien mendadak memutuskan sepihak, hubungan kerja sama antar perusahaan. Harusnya mereka memberi alasan yang detail!" Pagi-pagi Daffa sudah di suguhkan dengan problematika perusahaannya. Belum selesai pikirannya kacau balau karena ulah istri barunya itu. Sekarang menambah satu lagi masalah.Pria itu mengutak atik mouse, menatap ke arah layar laptop. Ia membuat surat pernyataan tentang alasan kenapa perusahaan mereka menghentikan kontrak kerjasama dengan perusahaannya secara sepihak, melalui akun email Daffa Ardiansyah miliknya.Surat resmi yang di kirimkan saat itu juga, setelah ia tinjau berulangkali.Serangkaian pertanyaan yang sudah ia buatnya, ia kirimkan pada manajer pusatnya. Dia tidak akan tenang sebelum menunggu balasan nya.Sebelumnya, ia sangat menyayangkan hal ini, Karena perusahaan raksasa tersebut, diyakini mampu mendongkrak perkembangan kemajuan perusahaannya. Semula ia yakin, jika perusahaan Ardiansyah Group me
"Pesan dari siapa, Sayang?" tanya Willy sekali lagi.Nilam masih memperhatikan layar ponsel, ia membaca satu pesan masuk. Alumni grup universitas Airlangga.Grup ini baru-baru saja di terima oleh Nilam, asal mula memang sudah lama. Tapi salah satu teman baru mendapatkan kembali nomer Nilam-- dan baru memasukkan nomernya ke daftar anggota grup.Karena ponsel lama Nilam rusak, saat kecelakaan beberapa bulan lalu . Terkadang ia dibuat bingung, harus mencari tahu satu persatu, siapa saja dari teman dekat Nilam.Terdapat sebuah acara dari sekelompok anggota grup tersebut. Tidak banyak yang mengikuti, karena akan menyangkut keselamatan.Hanya beberapa orang yang di kenal sebagai mahasiswa dan mahasiswi tangguh yang mampu melawan alam."Sayangku, kenapa kamu diam? Chat dari siapa?" tanya Willy ketiga kalinya.Ia terpaksa meraih ponsel itu, tanpa izin. Nilam biarkan saja. Kedua mata Willy melihat isi pesan grup.'AKAN DIADAKAN ACARA PENDAKIAN di GUNUNG ARJUNO JAWATIMUR ...'Dari daftar nama-na
Keduanya sudah sampai di pelataran halaman universitas Airlangga. Terlihat oleh mereka beberapa pria dan wanita yang mengenakan pakaian outbound seperti yang dipakai Nilam.Nilam dan William turun bersama dan menghampiri mereka yang berada di depan sebuah bis.Seketika mereka menyapa William dengan hormat, karena pria itu bukanlah pria sembarangan. William terkenal sebagai pebisnis sukses di kota Surabaya. Bukan itu saja Ia memiliki cabang perusahaan di Jakarta, yang dikendalikan oleh papa Nilam."Selamat pagi, Bapak William ... Suatu kehormatan sekali karena Bapak bisa hadir di sini mengantarkan Ibu Nilam," sapa salah satu pria yang akan memandu mereka.Kali ini Nilam harus lebih welcome pada mereka, Karena bagaimanapun juga mereka adalah teman-teman Nilam sesungguhnya. Ia memandang satu persatu dari wajah-wajah asing yang baru ia lihatnya ini. Ia juga harus berhati-hati dan berusaha keras untuk mengingat siapa saja nama-nama dari mereka."Ah, kamu tidak perlu memanggil saya dengan s
Matahari sudah terbit dari ufuk timur. Nilam melihat jam dengan fitur multi fungsi menunjukkan pukul 05. 30 pagi, sebelumnya jadwal keberangkatan bis dimulai pukul 05.00, agar tidak kesiangan saja--saat start pendakian.Ia menengok beberapa temannya, mereka sudah terlelap karena masih mengantuk. Bisa tidur seperti di kasur kamar hotel, kursi bus yang di desain khusus untuk penumpang kelas atas. Daftar mengikuti acara ini pun Nilam, wanita itu harus membayar uang yang lumayan, ternyata uang sebanyak itu untuk sewa bis mewah ini.Bus yang diluncurkan oleh PO. Nusantara ini dibagun di atas mesin Volvo B12M dan punya kapasitas mensin 12.000 cc serta punya power maksimal 420 HP. Uniknya bus ini punya desain interior mirip hotel berbintang 5! Kamu bisa merasakan duduk di sofa yang berlapis kulit, kursi pijat elektronik yang bisa di gunakan untuk merefleksi badan yang capek akibat perjalanan. Nggak ketinggalan pula televisi LCD 32 inchi. Namun kedua mata Nilam tidak dapat tidur seperti merek
Nilam membenarkan posisinya, entahlah sepertinya ia merasakan jika Bagas memiliki perasaan kepadanya.Terlihat dari tatapan kedua mata pria itu yang terlihat aneh saat memandangnya."Terima kasih Mas Bagas, untung saja kau menolongku," ucap Nilam. "Sama-sama, sebagai pemandu pendakian. Aku harus sigap terhadap semua anggota grup, mari kita lanjutkan! Ke-4 temanmu sudah berjalan lumayan jauh," kata Bagas, bermaksud menggandeng tangan Nilam.Sontak, Nilam terkejut. Kenapa pria itu berani memegang tangannya, gegas Nilam melepaskannya. "Maaf, aku hanya ingin membantumu, menaiki jalan terjal ini saja, tidak lebih!" jelas Bagas, ia tidak ingin Nilam memiliki pikiran macam-macam terhadapnya.Nilam buru-buru mengejar temannya yang sudah berjalan jauh darinya. "Keyla tunggu!'Keyla dari kejauhan menoleh kebelakang, dan menunggunya sampai mendekatinya. "Ya, ampun! Kamu dari mana saja? Maaf aku tidak menoleh kebelakang, Nilam." Keyla menggaruk kepala dengan cengengesan."Gak apa-apa, oh ya, t
Nilam berjalan mencari suara gemericik air tersebut, berjalan menjauhi jalan yang dipakai untuk para pendakian. Mengambil roti di bag-nya, dan memotong kecil-kecil, ia buang di jalanan yang ia lalui.Pikirnya, ia bisa kembali tanpa tersesat dengan mengikuti arah potongan roti tersebut. Ia tidak memikirkan cara lain selain itu."Sebentar saja, tidak masalah Luna. Dari pada pipis di celana, pasti malu sekali. Apalagi tidak membawa baju ganti, haish, menjijikan, siapa yang tahan dengan baunya?" mulutnya komat kamit sendiri.Kedua matanya masih mencari sumber air yang ditangkap telinganya. Ia makin berjalan jauh dari petunjuk jalan yang bisa di lewati."Dimana sih, suara itu berasal. Aku sudah tidak tahan!"Seperti yang pernah di baca sebelumnya, oleh Nilam. Lembah Kidang, seperti halnya bagian-bagian lainnya di dalam hutan dan gunung, adalah sosok seribu wajah. Bentang alam yang bergantung pada sifat waktu dan cuaca. Jika waktu terang dan cuaca bersahabat, Lembah Kidang akan terlihat cer
"Tidak, Dokter. Saya akan menemani istri saya, saya tidak akan meninggalkan dia.""Oke baiklah. Anda bisa masuk ke ruangannya. Ada ruang khusus didalam untuk Anda beristirahat. Jika Anda lapar cafe dekat dengan ruangan ini.""Terimakasih, Dokter."*****Saat yang ditunggu William telah berlalu. Ia melihat jari Luna bergerak-gerak. Terlihat kedua matanya mengerjap beberapa kali. Dan tak lama kemudian -- kedua mata itu terbuka."Luna? Kamu sudah sadar?" William bertanya dengan mata berkaca-kaca.Luna kesulitan berbicara, karena kulit wajahnya masih terasa kaku, dan perih. "Ya"Hanya jawaban singkat yang dia bisa dengar. William bergegas keluar, dan memberitahu dokter, jika istrinya telah sadar.Tak lama kemudian William kembali bersama dokter. Pria berkulit putih susu, berambut pirang itu segera mengecek kondisi Luna.Beberapa peralatan medis ia gunakan untuk mengecek keadaan Luna. "Kondisi fisik Nyonya Luna baik. Kita bisa menunggu sampai besok. Saya akan buka perban besok pagi.""Syu
Beberapa saat berlalu -- Angel telah sembuh dan diperbolehkan pulang.Wajahnya terlihat penuh dengan sukacita. Karena sebentar lagi, Anita mengatakan jika orang tuanya akan melangsungkan sebuah pernikahan.Sebenarnya gadis kecil itu merasa bingung -- meski ia masih batita, ia sempat berpikir, kenapa mereka harus menikah lagi? Bukankah mereka sudah menjadi pasangan suami istri? Ia tidak berani menanyakan hal itu pada Mama atau Papanya. Cukup melihat mereka bahagia -- ia juga merasakan kebahagiaan yang sama. Dan mamanya telah menjanjikan jika adik baby sudah sembuh -- boleh dibawa pulang. Ia telah menyiapkan nama yang indah untuk Putri Shiren itu. Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Luna dan William tampak menggendong seorang bayi mungil. Dengan riangnya Angel berlari ke arah mereka dan menyambut kedatangan bayi itu di rumahnya."Mama ... Angel telah menyiapkan sebuah nama untuk adik Baby. Bolehkah aku memberi nama Feby?" tanya Angel."Tentu boleh, dong, Sayang." Luna memberi seny
Mereka terkejut melihat mangkuk berisi bubur itu terjatuh setelah seseorang membuangnya paksa.Luna melihat siapa yang melakukan itu -- ternyata Papa Seno. Lekas ia berdiri. "Tega sekali Papa melakukan semua ini? Tidak-kah Papa tahu, jika Angel tidak mau makan? Lihatlah keadaannya sekarang?" bantah Luna.Seno mengacungkan jari telunjuknya. "Siapa kamu? Atas izin siapa kamu berani bicara lantang terhadapku, hah!""Aku minta maaf, Papa. Tapi baru saja Angel mau membuka mulutnya. Dan sekarang, bubur itu sudah dilantai.""Cukup! Aku tidak mau kamu memanggilku dengan sebutan Papa! Siapa yang mengizinkan kalian menginjakkan kaki di rumah ini?" bentak Seno -- wajahnya tampak merah padam."Aku, Mas! Sudah! Biarkan mereka disini menemani Angel." Anita meminta Seno dengan harapan."Oppa ... Kenapa Oppa kejam pada Mama dan Papa Angel? Kenapa Oppa memisahkan Angel dengan mereka?" tanya Angel dengan terisak.Anita memeluk tubuh kecil Angel. Ia tidak ingin gadis kecil itu menangis. Baru saja ia te
Sudah beberapa waktu lamanya akhirnya pintu ruang persalinan kembali terbuka. Mereka yang menunggu dari tadi segera menghampiri dokter yang baru keluar melewati pintu -- wajahnya terlihat sedih. Seperti ada sesuatu yang baru saja terjadi.Namun pikiran itu segera ditepis oleh Luna, semoga yang ia pikirkan tidak seperti yang sedang terjadi."Bagaimana keadaan istri saya, Dokter? Apakah kalian berhasil menyelamatkan keduanya?" Daffa memulai pertanyaan. Dalam beberapa saat pria yang mengenakan jas putih itu diam. Membuat semua yang berada di sana merasa tidak tenang. Diamnya dokter itu -- sudah mewakili jawabannya. Daffa yang memiliki status sebagai suami Shireen, lekas masuk begitu saja ke ruangan persalinan tersebut. Diikuti oleh Luna dan William.Langkah mereka terhenti, setelah melihat seorang perawat menutup tubuh Shireen dengan kain putih sampai atas kepala. Dan perawat lain sibuk membersihkan bayi yang tampak masih merah berlumuran darah -- Setelah beberapa saat -- mereka men
"Luna ... Perutku sakit!"Luna seketika panik. Ia lekas berteriak meminta pertolongan. Beberapa pria berseragam datang, dan memapahnya."Bawa dia kerumah sakit!" titah seorang polisi dengan pangkat tinggi."Berapa usia kandungannya? Apa dia akan melahirkan?" gumam Luna.Ia ikut mendampingi Shireen ke rumah sakit. Dengan mobil salah satu anggota polisi. "Bertahanlah Shireen ..." ucap Luna menguatkan.Ia menggenggam tangan Shireen erat. Ia tidak tahu bagaimana rasanya akan melahirkan. Banyak wanita mengatakan jika sakitnya luar biasa. Kontraksi menjelang persalinan sedikit banyak mirip dengan kram saat menstruasi. Bedanya, kontraksi ini akan terasa beberapa kali lebih berat daripada kram perut menstruasi. Rasa kontraksi juga mirip seperti perut kembung atau 'begah'.Sudah berbagai upaya Luna untuk bisa mendapatkan momongan. Namun tidak ada hasilnya. Selama tujuh tahun ia mendambakan seorang bayi, namun ia masih belum diberi kepercayaan juga.Teringat saat William melakukan dengannya.
Hari itu William sedikit sibuk. Mengurus semua kasus Luna dengan polisi. Ia telah membawa banyak bukti bersama saksi dan pengacara handalnya.Ia tidak perlu mengajak Luna ke kantor. Ia akan tangani sendiri -- tanpa melibatkan Luna. Wanita itu cukup diam saja dikontrakkan menunggu kabar dari William. Pekerjaan itu akan segera ia atasi. Namanya akan kembali bersih. Dan ia akan menikahinya. Dengan identitas aslinya 'LUNA'.Hari itu wanita yang biasanya suka menyibukkan diri dengan banyak pekerjaan rumah hanya diam saja berpangku tangan.Bingung mau melakukan pekerjaan apa. Setelah semua pekerjaan rumah sudah ia kerjakan. Tidak seperti kediaman Bhaskara -- luasnya berhektar-hektar. Ia hanya cukup membersihkan kontrakan itu dalam waktu sesaat saja.Luna berjalan keluar, dan mendaratkan bobotnya dikursi kayu bersandar dinding depan. Celingukan melihat dari kejauhan -- satu kontrakan jauh yang disewa William."Jaraknya jauh, aku tidak mampu menjangkau wajah pria tampan itu. Ah, aku rindu p
"Kamu?"Luna terkejut akan siapa yang datang malam ini. Ia mendorong Luna masuk. Seketika ia menguncinya dengan cepat."Apa yang kau lakukan? Bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?" Luna bertanya dalam keadaan takut."Kebetulan kontrakan aku juga dekat dari sini -- aku bisa mengunjungi atm-ku lebih dekat lagi," ucapnya dengan senyum menyeringai."Maksudmu?" Pria itu mendorong tubuh Luna sampai sudut tembok.Luna ingin tetap tenang, meski pikirannya ketakutan. Tubuhnya dingin dan gemetar. "Kenapa sih? Biasanya saja kamu sok jadi bos, sekarang? Uda miskin ya?" ejeknya -- belum tahu kebenaran."Tolong kamu jangan banyak bicara. To the points saja -- kau mau apa? Dan mengapa kau mengunci pintunya?" Luna mengangkat alisnya menguatkan diri. Meski sebenarnya ia paham pria itu akan melakukan apa."Sebenarnya aku mau uangmu, beberapa bulan terakhir, tidak ada job apapun darimu atau boss lain," ucapnya memberi alasan."Aku tidak ada uang!" bantahnya dengan membulatkan kedua mata ."Oh ya, ka
"Tidak! Sampai kapanpun aku tidak akan menerimanya!"Perkataan itu membuat hati Anita tersentak. Ia harus menyadarkan suaminya untuk menerima Luna.Anita tidak melanjutkan obrolan ditelpon. "Pa, kita bicarakan lagi di rumah nanti ya, Mama tutup telponnya," ujarnya -- menghentikan serangan pertanyaan dari William.Ia melihat keatas kaca spion. Terlihat jelas kedua insan yang bukan anak kandungnya itu tertawa bahagia. Ia tidak akan merusaknya. Ia sudah ikhlas menerima kenyataan jika putrinya telah meninggal dunia. "Ma, kenapa diam setelah melakukan panggilan pada Papa? Apa yang Papa katakan?" tanya William -- membuyarkan lamunannya."Ah! Tidak! Tidak ada yang Papa katakan." Anita terdengar gugup. Setelah menjawabnya.Luna merasa jika Seno tidak akan mau menerima dirinya disana. Luna sangat tahu diri. Ia pun bisa merasakan hal yang sama dengan Seno.Kehilangan seseorang yang dikasihi -- dan parahnya dia sendiri yang memanfaatkan kesempatan itu untuk memakai identitasnya. Ia lebih memil
William menciumi tangan Luna beberapa kali. Ia yakin dan sadar -- jika dia sangat mencintai Luna.Perasaan sedihnya-- berganti kebahagiaan, karena menemukan Luna di sini."Sudah lepaskan Mas, tidak enak dilihat banyak orang. Lihatlah orang-orang memperhatikan kita. Aku sangat malu sekali."Luna mencoba menyingkirkan genggaman tangan William. Tampaknya ia enggan melepasnya. Semakin Luna menyuruh melepaskan, ia semakin erat menggenggamnya.Dua sudut bibir Willy mengembang selalu. Terpancar kebahagiaan di kedua matanya. Luna tidak pernah melihat pria itu sebahagia ini."Aku tidak mau melepaskan tanganmu, apa lagi melepaskan dirimu untuk pergi. Sungguh aku tidak akan bisa bertahan tanpamu, Luna." Perkataan William membuat air mata Luna berlinang.Jemari Willy mengusap air mata yang tiba-tiba bergulir. Ia tidak tahu -- Apa yang menyebabkan dia menjatuhkan air hangat dari kedua bola matanya?"Kenapa kamu menangis? Apa kamu tidak bahagia jika akan hidup bersamaku? Hem?" tanya William mengan