Daffa segera menangkapnya, ia tidak sampai jatuh ke lantai. Pria itu bingung dibuatnya. Melihat wanita itu membutuhkan oksigen. Namun sudah beberapa menit lamanya, pintu belum juga terbuka juga.Daffa mencoba menghubungi kembali beberapa nomer di kontaknya, panggilan gagal. Tidak ada satupun signal dalam ruang lift tersebut.Ia coba menggebrak pintu lift berulang kali ini, nihil tidak ada siapapun yang mendengar. Jarum jam sudah berputar satu satu langkah.Ia juga merasa sangat sesak. Menunggu mekanik tidak kunjung membukanya.Sementara diluar terdengar suara beberapa orang menggebrak pintu lift. "Apa ada orang di dalam sana?""Ya, tolong kami! Kami sudah satu jam disini!"Daffa juga mengeluarkan suara kerasnya."Apa kalian masih baik-baik saja?" lagi, teriak mereka."Salah satu penumpang lift seorang wanita sudah pingsan!" kata Daffa.William berada di hotel itu juga, ia mengikuti Nilam sampai sana, karena pikirannya gelisah saat itu.Ia melihat kerumunan di lantai 3 didepan pintu l
Beberapa waktu kemudian, Nilam Tersadar. Ia melihat selang infus menyatu dengan tubuhnya. Batinnya sudah yakin jika ia tengah berada di rumah sakit.Saat akan melepaskan alat tersebut, lengan Nilam terasa berat. Ia melihat ke arah bawah. Terlihat disana William disana tertidur.Nilam menitihkan air mata, begitu perhatiannya pria itu sampai harus tertidur seperti ini. Ia baru mendapatkan kasih sayang yang sangat tulus dari pria lain.Ia menyeka air matanya agar tidak ketahuan Willy. Saat ia menggerakkan sedikit tubuhnya, Willy terbangun.Willy melihat Nilam sudah sadar. Ia bergegas membenarkan posisi duduknya. "Sayang, kamu sudah sadar? Sejak kapan? Maaf aku ketiduran," kata Willy.Nilam melepas alat bantu pernafasannya, dibantu William. "Kenapa dilepaskan?"Aku sudah tidak apa-apa, Mas!" jawabnya. Ia berusaha bangun, dan duduk bersandar di dinding ranjang."Tidur saja, keadaanmu masih lemas!" suruhnya."Siapa yang menghubungi kamu, Mas?" tanya Nilam memperhatikan gerak bibirnya yang t
Hari itu huru hara perusahaan Bhaskara Group sudah terselesaikan, masalah dana perusahaan yang beberapa kali raib di atasi oleh William. Semua kembali normal. Perselisihan Nilam dengan Renata sebelumnya clear.Meski demikian mereka tetap harus berhati-hati, karena Santoso mungkin saja tidak terima dengan keputusan yang di berikan Willy terhadapnya."Mas, apa tidak apa-apa kamu memecat, Paman? Aku takutkan nanti akan berimbas buruk pada perusahaan kita!" ucap Nilam sedikit cemas."Sudahlah, kau jangan pikirkan itu, pikirkan saja kemajuan perusahaan kita! Perusahaan tidak akan berkembang jika ada benalu yang masih dipelihara!" jelas Willy.William memperhatikan Nilam dengan seksama. Mengerutkan kedua alisnya. "Kenapa kamu melihatku seperti itu, Mas? Ada perkataan aku yang salah?""Nilam tidak pernah perduli pada orang lain, apalagi telah merugikan perusahaan," ucap Willy.'Ah, lagi-lagi aku salah menunjukkan sikap,' batin Nilam.*****Sore itu mereka pulang lebih cepat, karena pekerjaa
William melepaskan dekapan tangannya, ia melihat genangan air membasahi bola mata Nilam."Ada apa dengan-mu, wahai istriku?" tanya Willy dengan mengusap bulir air mata yang tergelincir di pipinya.Nilam diam tidak bersuara, bibirnya berat untuk mengatakan kebenaran itu.Raut wajahnya berubah menjadi sedih, William tidak menemukan kebahagiaan di matanya. Sebenarnya apa yang terjadi kepada Nilam?Sosok Nilam yang sekarang ia kenal asing, Bahkan ia tidak bisa menggapai hatinya apalagi menjamah tubuhnya.Kemanakah Nilam istrinya dulu? Ia tidak menemukannya kembali pada sosok wanita yang berada di hadapannya ini.William menelusuri setiap inchi dari wajah wanita yang penuh misteri ini, tidak ada perbedaan di fisiknya. Kemanakah istrinya yang ganas dulu saat ia meminta, ia sudah bersiap di atas ranjang?Dan saat ia mencium bibirnya, tidak ada respon sedikitpun darinya untuk membalas. Keraguan demi keraguan kini mencuat di pikiran Willy.Senja sudah berganti malam, terlihat dari luar jendela,
Daffa yang khawatir, segera mengikuti Shireen dan menanyakan keadaannya, ia membantu Shireen kembali beristirahat di ranjang. Dengan membopongnya. Ia menciumi pipinya dengan lembut.Mendapat perlakuan demikian--hati Shireen menjadi lunak, karena Daffa memperhatikannya. Ia tersenyum. "Terimakasih kamu telah perhatian padaku, Daffa!"Daffa membelai pipi Shireen dengan lembut, dan meminta untuk menjaga kesehatannya baik-baik. Bak seperti sedang bermimpi ia melihat perlakuan Daffa yang berbanding terbalik dari biasanya.Ia melihat pria itu begitu tampan, memakai setelan jas hitam kegemarannya, dada bidang, kulit yang eksotis, rahang kokoh, namun kapan pria itu akan memperistrinya?Kali ini ia menginginkan pria itu benar-benar menjadi suaminya. Ia sudah lelah menjadi wanita simpanan dirumah ini.Telinga terasa panas, tiap hari menangkap umpatan orang disekitarnya--membuatnya harus menutup diri. Ia sudah bosan pada kehidupan seperti ini.Semenjak Bram meninggalkannya, kehidupan liarnya ingi
"Apa maksud semua ini Shireen? Maaf aku tidak paham--bisakah kau menjelaskannya padaku?" Wajah pria itu terlihat sedikit tak percaya.Shireen perlahan menjelaskannya pada Daffa, namun Daffa masih ingin mendengarkan kejelasannya. Meski sudah jelas tertera jika Shireen positif hamil."Aku hamil, Daffa!" ucap Shireen dengan mata berbinar-binar. Kedua sudut bibirnya mengembang."Apa? Hamil? Tidak! Tidak mungkin kau hamil! Katakan padaku Itu anak siapa? Hah?" Ia masih tidak percaya apa yang baru didengarnya.Shireen terkejut mendengar respon Daffa, harusnya pria tersebut senang, karena ia hamil anaknya. Bukankah ia menunggu seorang anak hadir dalam hidupnya. "Kenapa kamu bertanya hal demikian? Kita sudah melakukannya sepanjang malam, bukan? Apa salahnya aku bisa hamil?" Shireen tampak murung, jangan sampai ketakutannya untuk--tidak di nikahi Daffa terjadi."Ta-tapi. Setelah kita melakukan--aku minta kamu minum obat, bukan?" Nada suara Daffa terdengar berat, hampir ia tidak bisa berkata-k
Setelah Daffa pikirkan beberapa kali, akhirnya ia memutuskan satu hal, jika ia akan menikahi Shireen. Meski sedikit berat, tapi satu keputusan itu sudah diambilnya.Diruang yang hening, ditemani secangkir coklat panas, Daffa duduk bersilang. Ia menatap lekat Shireen yang duduk bersebrangan dengan kursinya.Cahaya wajahnya terpancar jelas kebahagiaan disana, setelah ia menentukan statusnya. Ya, ia akan menjadi suami Shireen.Meski ini pilihan sulit--beberapa faktor yang membuat ia tidak lagi menyukainya.Daffa memang lelaki yang mudah menyukai wanita, hingga sampai akhirnya ia tidak dapat menjaga keutuhan keluarganya sendiri."Aku sudah menghubungi beberapa anak buahku untuk menyiapkan semua kebutuhan pasca pernikahan kita nanti, kamu tidak perlu memikirkannya," ucap Daffa memulai pembicaraan.Malam ini ia tampak tenang, Shireen harus bisa berhati-hati, jangan sampai ia harus memutar lidahnya, untuk proses pembatalan. Sungguh sifat Daffa sering cepat berubah saat emosi."Ya, Sayang. Te
Luna membuka pintu ruangan Daffa, tidak terlihat siapapun disana. Ia tidak berhenti begitu saja.Kaki Luna melangkah memasuki ruangan Daffa--disana terdapat ruang khusus untuk ia beristirahat.Tepat didepan pintu, kedua kakinya berhenti, tubuhnya bergetar hebat. Saat mendengarkan suara desahan seorang wanita seketika membuat darahnya mendidih. Pikiran Luna hanya satu, 'Perselingkuhan'.Tidak perlu banyak waktu untuk ia berpikir, gegas ia berjalan dan memutar handle pintu. 'klek'.Luna diam terpaku, melihat pemandangan dari kegiatan menjijikan yang mereka perbuat.Apa mau dikata, Luna sudah melihat mereka dalam posisi ini. Kedua tangan mengepal kuat.Shireen dan Daffa gelagapan, hingga terlihat kocar-kacir segera memakai pakaian mereka yang berserakan di lantai."Luna?""Maaf!"Daffa tidak dapat menjelaskan apapun pada Luna, apa yang mau dijelaskan. Akan jadi percuma saja.Luna tersenyum getir, ia membalik tubuh dan meninggalkan ruangan Daffa Ardiansyah. Dengan menghantamkan kepalan ta