Hari itu huru hara perusahaan Bhaskara Group sudah terselesaikan, masalah dana perusahaan yang beberapa kali raib di atasi oleh William. Semua kembali normal. Perselisihan Nilam dengan Renata sebelumnya clear.Meski demikian mereka tetap harus berhati-hati, karena Santoso mungkin saja tidak terima dengan keputusan yang di berikan Willy terhadapnya."Mas, apa tidak apa-apa kamu memecat, Paman? Aku takutkan nanti akan berimbas buruk pada perusahaan kita!" ucap Nilam sedikit cemas."Sudahlah, kau jangan pikirkan itu, pikirkan saja kemajuan perusahaan kita! Perusahaan tidak akan berkembang jika ada benalu yang masih dipelihara!" jelas Willy.William memperhatikan Nilam dengan seksama. Mengerutkan kedua alisnya. "Kenapa kamu melihatku seperti itu, Mas? Ada perkataan aku yang salah?""Nilam tidak pernah perduli pada orang lain, apalagi telah merugikan perusahaan," ucap Willy.'Ah, lagi-lagi aku salah menunjukkan sikap,' batin Nilam.*****Sore itu mereka pulang lebih cepat, karena pekerjaa
William melepaskan dekapan tangannya, ia melihat genangan air membasahi bola mata Nilam."Ada apa dengan-mu, wahai istriku?" tanya Willy dengan mengusap bulir air mata yang tergelincir di pipinya.Nilam diam tidak bersuara, bibirnya berat untuk mengatakan kebenaran itu.Raut wajahnya berubah menjadi sedih, William tidak menemukan kebahagiaan di matanya. Sebenarnya apa yang terjadi kepada Nilam?Sosok Nilam yang sekarang ia kenal asing, Bahkan ia tidak bisa menggapai hatinya apalagi menjamah tubuhnya.Kemanakah Nilam istrinya dulu? Ia tidak menemukannya kembali pada sosok wanita yang berada di hadapannya ini.William menelusuri setiap inchi dari wajah wanita yang penuh misteri ini, tidak ada perbedaan di fisiknya. Kemanakah istrinya yang ganas dulu saat ia meminta, ia sudah bersiap di atas ranjang?Dan saat ia mencium bibirnya, tidak ada respon sedikitpun darinya untuk membalas. Keraguan demi keraguan kini mencuat di pikiran Willy.Senja sudah berganti malam, terlihat dari luar jendela,
Daffa yang khawatir, segera mengikuti Shireen dan menanyakan keadaannya, ia membantu Shireen kembali beristirahat di ranjang. Dengan membopongnya. Ia menciumi pipinya dengan lembut.Mendapat perlakuan demikian--hati Shireen menjadi lunak, karena Daffa memperhatikannya. Ia tersenyum. "Terimakasih kamu telah perhatian padaku, Daffa!"Daffa membelai pipi Shireen dengan lembut, dan meminta untuk menjaga kesehatannya baik-baik. Bak seperti sedang bermimpi ia melihat perlakuan Daffa yang berbanding terbalik dari biasanya.Ia melihat pria itu begitu tampan, memakai setelan jas hitam kegemarannya, dada bidang, kulit yang eksotis, rahang kokoh, namun kapan pria itu akan memperistrinya?Kali ini ia menginginkan pria itu benar-benar menjadi suaminya. Ia sudah lelah menjadi wanita simpanan dirumah ini.Telinga terasa panas, tiap hari menangkap umpatan orang disekitarnya--membuatnya harus menutup diri. Ia sudah bosan pada kehidupan seperti ini.Semenjak Bram meninggalkannya, kehidupan liarnya ingi
"Apa maksud semua ini Shireen? Maaf aku tidak paham--bisakah kau menjelaskannya padaku?" Wajah pria itu terlihat sedikit tak percaya.Shireen perlahan menjelaskannya pada Daffa, namun Daffa masih ingin mendengarkan kejelasannya. Meski sudah jelas tertera jika Shireen positif hamil."Aku hamil, Daffa!" ucap Shireen dengan mata berbinar-binar. Kedua sudut bibirnya mengembang."Apa? Hamil? Tidak! Tidak mungkin kau hamil! Katakan padaku Itu anak siapa? Hah?" Ia masih tidak percaya apa yang baru didengarnya.Shireen terkejut mendengar respon Daffa, harusnya pria tersebut senang, karena ia hamil anaknya. Bukankah ia menunggu seorang anak hadir dalam hidupnya. "Kenapa kamu bertanya hal demikian? Kita sudah melakukannya sepanjang malam, bukan? Apa salahnya aku bisa hamil?" Shireen tampak murung, jangan sampai ketakutannya untuk--tidak di nikahi Daffa terjadi."Ta-tapi. Setelah kita melakukan--aku minta kamu minum obat, bukan?" Nada suara Daffa terdengar berat, hampir ia tidak bisa berkata-k
Setelah Daffa pikirkan beberapa kali, akhirnya ia memutuskan satu hal, jika ia akan menikahi Shireen. Meski sedikit berat, tapi satu keputusan itu sudah diambilnya.Diruang yang hening, ditemani secangkir coklat panas, Daffa duduk bersilang. Ia menatap lekat Shireen yang duduk bersebrangan dengan kursinya.Cahaya wajahnya terpancar jelas kebahagiaan disana, setelah ia menentukan statusnya. Ya, ia akan menjadi suami Shireen.Meski ini pilihan sulit--beberapa faktor yang membuat ia tidak lagi menyukainya.Daffa memang lelaki yang mudah menyukai wanita, hingga sampai akhirnya ia tidak dapat menjaga keutuhan keluarganya sendiri."Aku sudah menghubungi beberapa anak buahku untuk menyiapkan semua kebutuhan pasca pernikahan kita nanti, kamu tidak perlu memikirkannya," ucap Daffa memulai pembicaraan.Malam ini ia tampak tenang, Shireen harus bisa berhati-hati, jangan sampai ia harus memutar lidahnya, untuk proses pembatalan. Sungguh sifat Daffa sering cepat berubah saat emosi."Ya, Sayang. Te
Luna membuka pintu ruangan Daffa, tidak terlihat siapapun disana. Ia tidak berhenti begitu saja.Kaki Luna melangkah memasuki ruangan Daffa--disana terdapat ruang khusus untuk ia beristirahat.Tepat didepan pintu, kedua kakinya berhenti, tubuhnya bergetar hebat. Saat mendengarkan suara desahan seorang wanita seketika membuat darahnya mendidih. Pikiran Luna hanya satu, 'Perselingkuhan'.Tidak perlu banyak waktu untuk ia berpikir, gegas ia berjalan dan memutar handle pintu. 'klek'.Luna diam terpaku, melihat pemandangan dari kegiatan menjijikan yang mereka perbuat.Apa mau dikata, Luna sudah melihat mereka dalam posisi ini. Kedua tangan mengepal kuat.Shireen dan Daffa gelagapan, hingga terlihat kocar-kacir segera memakai pakaian mereka yang berserakan di lantai."Luna?""Maaf!"Daffa tidak dapat menjelaskan apapun pada Luna, apa yang mau dijelaskan. Akan jadi percuma saja.Luna tersenyum getir, ia membalik tubuh dan meninggalkan ruangan Daffa Ardiansyah. Dengan menghantamkan kepalan ta
Seseorang dengan tangan kokoh, berotot menahan tubuhnya. Mata Nilam melihat ke arahnya."Mas Daffa?" ucapnya lirih. "Mas?" Daffa mendengarnya dengan tidak percaya. Wanita itu memanggilnya dengan sebutan Mas."Maaf-maaf, maksud saya Bapak Daffa," Nilam membenarkan ucapnya.Keduanya saling berpandangan dalam waktu yang tak singkat. Nilam tanpa sengaja memeluk tubuh Daffa.'Mas, aku Luna. Aku Luna mantan istrimu. Benarkah kamu akan segera menikahi Shireen? Rasanya aku tak kuasa untuk menerima semua ini.' Hanya bisa bergumam sembari memandang wajah tampan yang tak pernah berubah itu.'Astaga, aku bisa memandang kembali wajah cantik wanita ini, sungguh jantungku makin berdebar saat bersamanya seperti sekarang ini. Jika ia sendiri, aku tidak segan membawa tubuhnya ke atas ranjang.' gumam Daffa.Ia menatap--menelusuri tiap inchi wajah Nilam yang sangat cantik, dan terlihat sangat muda. Terlihat berbeda jauh Nilam dan Shireen."Sayang!"Daffa terkejut ketika wanita yang ia antar memilih baju
'Apa yang terjadi pada pria itu? Ah! Apapun yang terjadi padanya aku tidaklah perduli!'Saat setelah keduanya jauh dari sana, William mengajak Nilam beristirahat. Sembari menunggu Angel yang sedang asyik bermain di tempat permainan. William menatap lekat Nilam."Jangan melihat aku seperti itu!"Wanita itu takut, melihat tatapan Willy terlihat berbeda. Tajam seperti akan menyergapnya. Akhirnya Nilam lebih memilih diam tidak bersuara.Segelas es jeruk ia teguknya perlahan. Ia mengatur nafasnya pelan. Tidak bisa membayangkan apa yang akan ditanyakan oleh suaminya itu."Kenapa?" tanya Willy singkat. Nilam tidak dapat menangkapnya."Apanya yang kenapa?" tanya Nilam balik."Sudahlah lupakan saja, kamu sudah lebih baik?" Nilam mengangguk kepala, "Mas! Jangan katakan pada siapapun, please!"William mengelus pipi Nilam lembut, dan mengangguk. "Lain kali, jangan kau lakukan itu, sangat membahayakan. Sebaiknya kamu beritahu padaku, jika akan berbuat sesuatu. Semoga saja tidak ada masalah setela
"Tidak, Dokter. Saya akan menemani istri saya, saya tidak akan meninggalkan dia.""Oke baiklah. Anda bisa masuk ke ruangannya. Ada ruang khusus didalam untuk Anda beristirahat. Jika Anda lapar cafe dekat dengan ruangan ini.""Terimakasih, Dokter."*****Saat yang ditunggu William telah berlalu. Ia melihat jari Luna bergerak-gerak. Terlihat kedua matanya mengerjap beberapa kali. Dan tak lama kemudian -- kedua mata itu terbuka."Luna? Kamu sudah sadar?" William bertanya dengan mata berkaca-kaca.Luna kesulitan berbicara, karena kulit wajahnya masih terasa kaku, dan perih. "Ya"Hanya jawaban singkat yang dia bisa dengar. William bergegas keluar, dan memberitahu dokter, jika istrinya telah sadar.Tak lama kemudian William kembali bersama dokter. Pria berkulit putih susu, berambut pirang itu segera mengecek kondisi Luna.Beberapa peralatan medis ia gunakan untuk mengecek keadaan Luna. "Kondisi fisik Nyonya Luna baik. Kita bisa menunggu sampai besok. Saya akan buka perban besok pagi.""Syu
Beberapa saat berlalu -- Angel telah sembuh dan diperbolehkan pulang.Wajahnya terlihat penuh dengan sukacita. Karena sebentar lagi, Anita mengatakan jika orang tuanya akan melangsungkan sebuah pernikahan.Sebenarnya gadis kecil itu merasa bingung -- meski ia masih batita, ia sempat berpikir, kenapa mereka harus menikah lagi? Bukankah mereka sudah menjadi pasangan suami istri? Ia tidak berani menanyakan hal itu pada Mama atau Papanya. Cukup melihat mereka bahagia -- ia juga merasakan kebahagiaan yang sama. Dan mamanya telah menjanjikan jika adik baby sudah sembuh -- boleh dibawa pulang. Ia telah menyiapkan nama yang indah untuk Putri Shiren itu. Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Luna dan William tampak menggendong seorang bayi mungil. Dengan riangnya Angel berlari ke arah mereka dan menyambut kedatangan bayi itu di rumahnya."Mama ... Angel telah menyiapkan sebuah nama untuk adik Baby. Bolehkah aku memberi nama Feby?" tanya Angel."Tentu boleh, dong, Sayang." Luna memberi seny
Mereka terkejut melihat mangkuk berisi bubur itu terjatuh setelah seseorang membuangnya paksa.Luna melihat siapa yang melakukan itu -- ternyata Papa Seno. Lekas ia berdiri. "Tega sekali Papa melakukan semua ini? Tidak-kah Papa tahu, jika Angel tidak mau makan? Lihatlah keadaannya sekarang?" bantah Luna.Seno mengacungkan jari telunjuknya. "Siapa kamu? Atas izin siapa kamu berani bicara lantang terhadapku, hah!""Aku minta maaf, Papa. Tapi baru saja Angel mau membuka mulutnya. Dan sekarang, bubur itu sudah dilantai.""Cukup! Aku tidak mau kamu memanggilku dengan sebutan Papa! Siapa yang mengizinkan kalian menginjakkan kaki di rumah ini?" bentak Seno -- wajahnya tampak merah padam."Aku, Mas! Sudah! Biarkan mereka disini menemani Angel." Anita meminta Seno dengan harapan."Oppa ... Kenapa Oppa kejam pada Mama dan Papa Angel? Kenapa Oppa memisahkan Angel dengan mereka?" tanya Angel dengan terisak.Anita memeluk tubuh kecil Angel. Ia tidak ingin gadis kecil itu menangis. Baru saja ia te
Sudah beberapa waktu lamanya akhirnya pintu ruang persalinan kembali terbuka. Mereka yang menunggu dari tadi segera menghampiri dokter yang baru keluar melewati pintu -- wajahnya terlihat sedih. Seperti ada sesuatu yang baru saja terjadi.Namun pikiran itu segera ditepis oleh Luna, semoga yang ia pikirkan tidak seperti yang sedang terjadi."Bagaimana keadaan istri saya, Dokter? Apakah kalian berhasil menyelamatkan keduanya?" Daffa memulai pertanyaan. Dalam beberapa saat pria yang mengenakan jas putih itu diam. Membuat semua yang berada di sana merasa tidak tenang. Diamnya dokter itu -- sudah mewakili jawabannya. Daffa yang memiliki status sebagai suami Shireen, lekas masuk begitu saja ke ruangan persalinan tersebut. Diikuti oleh Luna dan William.Langkah mereka terhenti, setelah melihat seorang perawat menutup tubuh Shireen dengan kain putih sampai atas kepala. Dan perawat lain sibuk membersihkan bayi yang tampak masih merah berlumuran darah -- Setelah beberapa saat -- mereka men
"Luna ... Perutku sakit!"Luna seketika panik. Ia lekas berteriak meminta pertolongan. Beberapa pria berseragam datang, dan memapahnya."Bawa dia kerumah sakit!" titah seorang polisi dengan pangkat tinggi."Berapa usia kandungannya? Apa dia akan melahirkan?" gumam Luna.Ia ikut mendampingi Shireen ke rumah sakit. Dengan mobil salah satu anggota polisi. "Bertahanlah Shireen ..." ucap Luna menguatkan.Ia menggenggam tangan Shireen erat. Ia tidak tahu bagaimana rasanya akan melahirkan. Banyak wanita mengatakan jika sakitnya luar biasa. Kontraksi menjelang persalinan sedikit banyak mirip dengan kram saat menstruasi. Bedanya, kontraksi ini akan terasa beberapa kali lebih berat daripada kram perut menstruasi. Rasa kontraksi juga mirip seperti perut kembung atau 'begah'.Sudah berbagai upaya Luna untuk bisa mendapatkan momongan. Namun tidak ada hasilnya. Selama tujuh tahun ia mendambakan seorang bayi, namun ia masih belum diberi kepercayaan juga.Teringat saat William melakukan dengannya.
Hari itu William sedikit sibuk. Mengurus semua kasus Luna dengan polisi. Ia telah membawa banyak bukti bersama saksi dan pengacara handalnya.Ia tidak perlu mengajak Luna ke kantor. Ia akan tangani sendiri -- tanpa melibatkan Luna. Wanita itu cukup diam saja dikontrakkan menunggu kabar dari William. Pekerjaan itu akan segera ia atasi. Namanya akan kembali bersih. Dan ia akan menikahinya. Dengan identitas aslinya 'LUNA'.Hari itu wanita yang biasanya suka menyibukkan diri dengan banyak pekerjaan rumah hanya diam saja berpangku tangan.Bingung mau melakukan pekerjaan apa. Setelah semua pekerjaan rumah sudah ia kerjakan. Tidak seperti kediaman Bhaskara -- luasnya berhektar-hektar. Ia hanya cukup membersihkan kontrakan itu dalam waktu sesaat saja.Luna berjalan keluar, dan mendaratkan bobotnya dikursi kayu bersandar dinding depan. Celingukan melihat dari kejauhan -- satu kontrakan jauh yang disewa William."Jaraknya jauh, aku tidak mampu menjangkau wajah pria tampan itu. Ah, aku rindu p
"Kamu?"Luna terkejut akan siapa yang datang malam ini. Ia mendorong Luna masuk. Seketika ia menguncinya dengan cepat."Apa yang kau lakukan? Bagaimana kau tahu aku tinggal di sini?" Luna bertanya dalam keadaan takut."Kebetulan kontrakan aku juga dekat dari sini -- aku bisa mengunjungi atm-ku lebih dekat lagi," ucapnya dengan senyum menyeringai."Maksudmu?" Pria itu mendorong tubuh Luna sampai sudut tembok.Luna ingin tetap tenang, meski pikirannya ketakutan. Tubuhnya dingin dan gemetar. "Kenapa sih? Biasanya saja kamu sok jadi bos, sekarang? Uda miskin ya?" ejeknya -- belum tahu kebenaran."Tolong kamu jangan banyak bicara. To the points saja -- kau mau apa? Dan mengapa kau mengunci pintunya?" Luna mengangkat alisnya menguatkan diri. Meski sebenarnya ia paham pria itu akan melakukan apa."Sebenarnya aku mau uangmu, beberapa bulan terakhir, tidak ada job apapun darimu atau boss lain," ucapnya memberi alasan."Aku tidak ada uang!" bantahnya dengan membulatkan kedua mata ."Oh ya, ka
"Tidak! Sampai kapanpun aku tidak akan menerimanya!"Perkataan itu membuat hati Anita tersentak. Ia harus menyadarkan suaminya untuk menerima Luna.Anita tidak melanjutkan obrolan ditelpon. "Pa, kita bicarakan lagi di rumah nanti ya, Mama tutup telponnya," ujarnya -- menghentikan serangan pertanyaan dari William.Ia melihat keatas kaca spion. Terlihat jelas kedua insan yang bukan anak kandungnya itu tertawa bahagia. Ia tidak akan merusaknya. Ia sudah ikhlas menerima kenyataan jika putrinya telah meninggal dunia. "Ma, kenapa diam setelah melakukan panggilan pada Papa? Apa yang Papa katakan?" tanya William -- membuyarkan lamunannya."Ah! Tidak! Tidak ada yang Papa katakan." Anita terdengar gugup. Setelah menjawabnya.Luna merasa jika Seno tidak akan mau menerima dirinya disana. Luna sangat tahu diri. Ia pun bisa merasakan hal yang sama dengan Seno.Kehilangan seseorang yang dikasihi -- dan parahnya dia sendiri yang memanfaatkan kesempatan itu untuk memakai identitasnya. Ia lebih memil
William menciumi tangan Luna beberapa kali. Ia yakin dan sadar -- jika dia sangat mencintai Luna.Perasaan sedihnya-- berganti kebahagiaan, karena menemukan Luna di sini."Sudah lepaskan Mas, tidak enak dilihat banyak orang. Lihatlah orang-orang memperhatikan kita. Aku sangat malu sekali."Luna mencoba menyingkirkan genggaman tangan William. Tampaknya ia enggan melepasnya. Semakin Luna menyuruh melepaskan, ia semakin erat menggenggamnya.Dua sudut bibir Willy mengembang selalu. Terpancar kebahagiaan di kedua matanya. Luna tidak pernah melihat pria itu sebahagia ini."Aku tidak mau melepaskan tanganmu, apa lagi melepaskan dirimu untuk pergi. Sungguh aku tidak akan bisa bertahan tanpamu, Luna." Perkataan William membuat air mata Luna berlinang.Jemari Willy mengusap air mata yang tiba-tiba bergulir. Ia tidak tahu -- Apa yang menyebabkan dia menjatuhkan air hangat dari kedua bola matanya?"Kenapa kamu menangis? Apa kamu tidak bahagia jika akan hidup bersamaku? Hem?" tanya William mengan