Daffa yang khawatir, segera mengikuti Shireen dan menanyakan keadaannya, ia membantu Shireen kembali beristirahat di ranjang. Dengan membopongnya. Ia menciumi pipinya dengan lembut.Mendapat perlakuan demikian--hati Shireen menjadi lunak, karena Daffa memperhatikannya. Ia tersenyum. "Terimakasih kamu telah perhatian padaku, Daffa!"Daffa membelai pipi Shireen dengan lembut, dan meminta untuk menjaga kesehatannya baik-baik. Bak seperti sedang bermimpi ia melihat perlakuan Daffa yang berbanding terbalik dari biasanya.Ia melihat pria itu begitu tampan, memakai setelan jas hitam kegemarannya, dada bidang, kulit yang eksotis, rahang kokoh, namun kapan pria itu akan memperistrinya?Kali ini ia menginginkan pria itu benar-benar menjadi suaminya. Ia sudah lelah menjadi wanita simpanan dirumah ini.Telinga terasa panas, tiap hari menangkap umpatan orang disekitarnya--membuatnya harus menutup diri. Ia sudah bosan pada kehidupan seperti ini.Semenjak Bram meninggalkannya, kehidupan liarnya ingi
"Apa maksud semua ini Shireen? Maaf aku tidak paham--bisakah kau menjelaskannya padaku?" Wajah pria itu terlihat sedikit tak percaya.Shireen perlahan menjelaskannya pada Daffa, namun Daffa masih ingin mendengarkan kejelasannya. Meski sudah jelas tertera jika Shireen positif hamil."Aku hamil, Daffa!" ucap Shireen dengan mata berbinar-binar. Kedua sudut bibirnya mengembang."Apa? Hamil? Tidak! Tidak mungkin kau hamil! Katakan padaku Itu anak siapa? Hah?" Ia masih tidak percaya apa yang baru didengarnya.Shireen terkejut mendengar respon Daffa, harusnya pria tersebut senang, karena ia hamil anaknya. Bukankah ia menunggu seorang anak hadir dalam hidupnya. "Kenapa kamu bertanya hal demikian? Kita sudah melakukannya sepanjang malam, bukan? Apa salahnya aku bisa hamil?" Shireen tampak murung, jangan sampai ketakutannya untuk--tidak di nikahi Daffa terjadi."Ta-tapi. Setelah kita melakukan--aku minta kamu minum obat, bukan?" Nada suara Daffa terdengar berat, hampir ia tidak bisa berkata-k
Setelah Daffa pikirkan beberapa kali, akhirnya ia memutuskan satu hal, jika ia akan menikahi Shireen. Meski sedikit berat, tapi satu keputusan itu sudah diambilnya.Diruang yang hening, ditemani secangkir coklat panas, Daffa duduk bersilang. Ia menatap lekat Shireen yang duduk bersebrangan dengan kursinya.Cahaya wajahnya terpancar jelas kebahagiaan disana, setelah ia menentukan statusnya. Ya, ia akan menjadi suami Shireen.Meski ini pilihan sulit--beberapa faktor yang membuat ia tidak lagi menyukainya.Daffa memang lelaki yang mudah menyukai wanita, hingga sampai akhirnya ia tidak dapat menjaga keutuhan keluarganya sendiri."Aku sudah menghubungi beberapa anak buahku untuk menyiapkan semua kebutuhan pasca pernikahan kita nanti, kamu tidak perlu memikirkannya," ucap Daffa memulai pembicaraan.Malam ini ia tampak tenang, Shireen harus bisa berhati-hati, jangan sampai ia harus memutar lidahnya, untuk proses pembatalan. Sungguh sifat Daffa sering cepat berubah saat emosi."Ya, Sayang. Te
Luna membuka pintu ruangan Daffa, tidak terlihat siapapun disana. Ia tidak berhenti begitu saja.Kaki Luna melangkah memasuki ruangan Daffa--disana terdapat ruang khusus untuk ia beristirahat.Tepat didepan pintu, kedua kakinya berhenti, tubuhnya bergetar hebat. Saat mendengarkan suara desahan seorang wanita seketika membuat darahnya mendidih. Pikiran Luna hanya satu, 'Perselingkuhan'.Tidak perlu banyak waktu untuk ia berpikir, gegas ia berjalan dan memutar handle pintu. 'klek'.Luna diam terpaku, melihat pemandangan dari kegiatan menjijikan yang mereka perbuat.Apa mau dikata, Luna sudah melihat mereka dalam posisi ini. Kedua tangan mengepal kuat.Shireen dan Daffa gelagapan, hingga terlihat kocar-kacir segera memakai pakaian mereka yang berserakan di lantai."Luna?""Maaf!"Daffa tidak dapat menjelaskan apapun pada Luna, apa yang mau dijelaskan. Akan jadi percuma saja.Luna tersenyum getir, ia membalik tubuh dan meninggalkan ruangan Daffa Ardiansyah. Dengan menghantamkan kepalan ta
Seseorang dengan tangan kokoh, berotot menahan tubuhnya. Mata Nilam melihat ke arahnya."Mas Daffa?" ucapnya lirih. "Mas?" Daffa mendengarnya dengan tidak percaya. Wanita itu memanggilnya dengan sebutan Mas."Maaf-maaf, maksud saya Bapak Daffa," Nilam membenarkan ucapnya.Keduanya saling berpandangan dalam waktu yang tak singkat. Nilam tanpa sengaja memeluk tubuh Daffa.'Mas, aku Luna. Aku Luna mantan istrimu. Benarkah kamu akan segera menikahi Shireen? Rasanya aku tak kuasa untuk menerima semua ini.' Hanya bisa bergumam sembari memandang wajah tampan yang tak pernah berubah itu.'Astaga, aku bisa memandang kembali wajah cantik wanita ini, sungguh jantungku makin berdebar saat bersamanya seperti sekarang ini. Jika ia sendiri, aku tidak segan membawa tubuhnya ke atas ranjang.' gumam Daffa.Ia menatap--menelusuri tiap inchi wajah Nilam yang sangat cantik, dan terlihat sangat muda. Terlihat berbeda jauh Nilam dan Shireen."Sayang!"Daffa terkejut ketika wanita yang ia antar memilih baju
'Apa yang terjadi pada pria itu? Ah! Apapun yang terjadi padanya aku tidaklah perduli!'Saat setelah keduanya jauh dari sana, William mengajak Nilam beristirahat. Sembari menunggu Angel yang sedang asyik bermain di tempat permainan. William menatap lekat Nilam."Jangan melihat aku seperti itu!"Wanita itu takut, melihat tatapan Willy terlihat berbeda. Tajam seperti akan menyergapnya. Akhirnya Nilam lebih memilih diam tidak bersuara.Segelas es jeruk ia teguknya perlahan. Ia mengatur nafasnya pelan. Tidak bisa membayangkan apa yang akan ditanyakan oleh suaminya itu."Kenapa?" tanya Willy singkat. Nilam tidak dapat menangkapnya."Apanya yang kenapa?" tanya Nilam balik."Sudahlah lupakan saja, kamu sudah lebih baik?" Nilam mengangguk kepala, "Mas! Jangan katakan pada siapapun, please!"William mengelus pipi Nilam lembut, dan mengangguk. "Lain kali, jangan kau lakukan itu, sangat membahayakan. Sebaiknya kamu beritahu padaku, jika akan berbuat sesuatu. Semoga saja tidak ada masalah setela
Nilam tidak membalas senyum Daffa, ia merasa seperti tatapan itu membunuhnya. Bila merasa bahwa Daffa mengetahui perbuatannya pada hari itu.Iya menggenggam tangan William dengan erat, sementara satu tangan William menggendong Angel."Papa, kenapa pesta pernikahannya sepi sekali sih, Pa?" tanya Angel kecil nyeletuk."Ya sayang, karena yang diundang hanya beberapa tamu saja, ini namanya undangan pesta pernikahan tertutup," tutur William menciumi pipi putri tunggalnya."Berarti kita adalah tamu penting Pa, Karena Om Daffa mengundang kita?" Pertanyaan Angel buat Willy dan Nilam geleng kepala, pikiran mereka sama: pertanyaan sang putri sangat bijak."Bisa dibilang begitu Sayang, Yuk kita duduk! Mengikuti acara ini dengan hikmat acara pernikahan ini hingga usai," suruh William lagi.Mereka sengaja memakai seragam couple, berwarna putih. Nilam dan Angel sengaja menggerai rambutnya dan memberikan aksesoris pita di ujung rambut, membuat keduanya seperti bidadari milik Willy.Satu dompet hita
Plak!Nilam menamparnya keras. Mendengar ucapannya yang menjijikan. Daffa memegang pipinya erat. "Lumayan juga tamparanmu."Bug!"Ah! Sakit!"Sebuah tendangan mengenai sarang wallet nya. Hingga pria itu mundur beberapa langkah seraya memegangi benda pusakanya--yang seakan patah.Terlihat ia meringis kesakitan. Selang beberapa saat itu, terdengar suara William berteriak. "Sayang! Kamu masih di dalam?" teriak William dari luar pintu.Gegas, Nilam mencoba membuka slot kunci 0pintu. Saat pintu berhasil terbuka, Daffa bersembunyi di belakang pintu. Ia menutup mulut dengan jarinya sendiri. Menyuruh Nilam tutup mulut. Nilam pun patuh, ia juga takut, kesalahan di mall saat itu, berimbas buruk pada dirinya ataupun keluarga nya nanti. Akan dipikirkan kembali saat situasinya lebih tenang."Sayang! Kamu lama sekali di toilet! Tidak terjadi apapun kan, padamu?" Nilam tidak segera menjawab, ia cepat keluar bersama William dan Angel dalam gendongan sang ayah."Maaf Mas, perut aku sakit tadi, jad