Langit sore tampak murung. Mendung menggantung rendah, seolah menahan tangis yang belum sempat jatuh.
Di ruang tamu rumah minimalis bercat abu muda itu, Aira tengah menyusun bunga mawar putih di vas kaca bening. Tangannya bergerak tenang, namun pikirannya jauh melayang.
Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ketujuh.
Tujuh tahun. Bukan waktu yang singkat untuk mempertahankan rumah tangga. Tujuh tahun membesarkan dua anak, melewati suka duka, jatuh bangun bersama Revan, lelaki yang dulu ia pilih dengan seluruh hatinya.
Ia masih ingat saat pertama kali Revan melamarnya dengan sederhana tapi penuh keyakinan. Tidak ada pesta mewah, hanya dua hati yang saling percaya bahwa mereka akan saling menjaga.
Aira melirik jam dinding. Hampir pukul lima sore. Revan bilang akan pulang lebih awal hari ini. Ada rencana makan malam bersama, katanya.
Aira tak banyak berharap Revan memang bukan tipe romantis, tapi perhatian kecilnya selama ini sudah cukup membuat Aira yakin bahwa rumah tangga mereka baik-baik saja.
Ia menghela napas, menyentuh lembut kelopak mawar yang baru ia susun. Di balik senyumnya yang hangat, Aira adalah perempuan yang selalu belajar menerima.
Bukan karena ia tak punya pilihan, tapi karena ia percaya, cinta butuh pengorbanan. Dan Aira sudah mengorbankan banyak hal untuk pernikahan ini, mimpinya, pekerjaannya, dan sebagian dirinya sendiri.
Suara deru mobil di depan rumah membuatnya menoleh. Ia tersenyum tipis lalu berjalan ke arah pintu.
“Revan pulang,” gumamnya.
Namun senyumnya hilang begitu pintu terbuka.
Bukan hanya Revan yang berdiri di sana. Tapi juga seorang wanita tinggi semampai, rambut panjang bergelombang, dan mata yang dulu sangat Aira kenal.
Tania.
Sahabat lamanya. Sahabat yang menghilang lima tahun lalu tanpa kabar. Sahabat yang dulu ia anggap lebih dari saudara.
“Ta–nia?” suara Aira tercekat.
Tania tersenyum. “Hai, Aira. Lama nggak ketemu ya.”
Aira menoleh pada Revan, menunggu penjelasan. Tapi lelaki itu hanya menunduk, terlihat gelisah. Ada sesuatu yang salah. Nalurinya berteriak. Tapi otaknya menolak menyimpulkan apa pun.
“Aku… kita perlu bicara,” ucap Revan akhirnya.
“Ayo masuk dulu,” Aira berusaha tetap tenang, meski jantungnya berdebar hebat.
Ketiganya duduk di ruang tamu. Tania duduk di sisi Revan, terlalu dekat untuk ukuran seorang tamu. Aira duduk di seberang mereka, merasa asing di rumahnya sendiri.
“Aku minta maaf karena nggak bilang dari awal,” Revan memulai. “Tapi aku harus jujur sekarang. Tania… dia sekarang istriku.”
Sunyi. Detik terasa seperti jam.
Aira mengerjap, seolah telinganya salah dengar.
“Istrimu?” ulangnya lirih.
Revan mengangguk. “Aku menikahinya dua bulan lalu.”
Kata-kata itu menghantam Aira seperti palu godam. Ia menatap Tania yang hanya tersenyum tipis tanpa rasa bersalah. Dunia Aira runtuh dalam sekejap.
“Aku... sahabatmu, Tan,” bisik Aira. “Kenapa?”
Tania tak menjawab. Revan yang kembali bersuara.
“Awalnya aku nggak pernah berniat, tapi semuanya terjadi begitu saja. Aku butuh seseorang yang mengisi rasa bosanku padamu, dan Tania datang waktu itu... dan semuanya mengalir.”
Aira menatap suaminya tak percaya. “Mengalir? Seperti itu saja kamu menikahi sahabatku?”
“Ini nggak adil buatku juga, Ra. Aku tetap sayang kamu. Aku masih suamimu. Tapi sekarang… aku juga punya tanggung jawab sama Tania.”
Tawa kecil meluncur dari mulut Aira. Bukan tawa bahagia tapi tawa getir, kejam, dan hampa.
“Sayang? Kamu menyebut ini sayang?”
Ia berdiri, matanya berair tapi tak ada air mata yang jatuh. Luka itu terlalu dalam untuk ditangisi. Terlalu membingungkan untuk dimengerti.
“Aku akan masuk ke kamar. Kalau kalian masih ingin tinggal di sini malam ini, silakan. Aku terlalu lelah untuk marah.”
Dengan langkah pelan tapi tegas, Aira meninggalkan ruang tamu dan masuk ke dalam kamar. Di balik pintu, ia bersandar, menahan tubuhnya yang gemetar.
Tangannya menutupi mulut, menahan isak yang akhirnya pecah juga. Tapi air mata itu tak hanya karena dikhianati oleh suaminya lebih dari itu, ia merasa kehilangan dirinya sendiri.
Dikhianati oleh sahabat, oleh orang yang ia percayai, adalah luka yang tak punya nama. Tak bisa digambarkan. Tak bisa disembuhkan dengan kata maaf.
Malam itu, Aira tidur dalam keheningan. Anak-anaknya sudah menginap di rumah ibu Aira.
Rumah yang biasanya hangat itu kini terasa asing. Sunyi. Dingin. Dan ia tahu, setelah hari ini, tidak ada yang akan sama lagi.
Matahari pagi menyelinap malu-malu di balik tirai kamar. Aira terbangun bukan karena tidur yang nyenyak, tapi karena rasa perih yang masih mengendap di dadanya.
Bekas tangis semalam masih terasa di kelopak mata. Ia menatap langit-langit kamar, kosong. Hampa.
Perlahan ia bangkit. Di luar kamar, suara-suara samar terdengar dari dapur. Aira tahu betul suara itu suara tawa kecil dari ibu Revan.
Mertua yang dulu begitu ia hormati. Yang dulu memanggilnya “nak” dengan hangat.
Dengan langkah ringan, ia mendekati dapur. Dan di sana, ia melihat pemandangan yang membuat hatinya mencelos.
Tania masih dengan wajah tenang dan senyum tipisnya tengah mengobrol akrab dengan Ibu Revan, sambil menyiapkan sarapan.
“Aku bikin kesukaan Revan, Bu. Telur dadar gulung dan sup ayam jahe. Dia pasti senang,” ucap Tania riang.
Ibu Revan mengangguk. “Bagus, Tan. Revan memang butuh perempuan yang bisa ngurus dia dengan baik. Maafkan Aira ya… dia terlalu fokus sama anak-anak dan rumah. Kadang lupa kalau suaminya juga butuh diperhatikan.”
Aira berdiri membeku di ambang pintu. Tenggorokannya tercekat. Napasnya sesak.
Jadi ini sudah direncanakan? Sudah disetujui? Mereka semua tahu?
Tak sengaja, ia menyentuh sisi meja, menimbulkan bunyi kecil. Dua pasang mata itu langsung menoleh ke arahnya.
“Oh… Aira,” Ibu Revan berkata, cepat mengganti ekspresi. “Kamu sudah bangun, Nak?”
Aira hanya diam. Menatap bergantian antara wanita yang dulu ia panggil sahabat dan wanita yang dulu ia panggil ibu.
“Kamu pasti kaget, ya,” Tania membuka suara, dengan nada yang terdengar seperti simpati tapi terasa seperti racun.
“Tapi aku dan Revan… kami memang sudah saling merasa cocok. Dan Ibu tahu soal ini sejak awal. Kami cuma belum tahu cara ngomongnya ke kamu.”
“Cara ngomongnya?” Aira tertawa pelan, getir. “Kalian semua sepakat diam dan pura-pura demi apa? Menjaga perasaan aku?”
Ibu Revan menghela napas. “Aira… kamu perempuan baik. Tapi kadang dalam rumah tangga, cinta saja nggak cukup. Revan butuh ketenangan, dan kamu terlalu keras pada diri sendiri. Kami cuma ingin yang terbaik buat dia.”
“Kalian?” Aira menatap mereka dengan mata berkaca-kaca.
“Kalian ingin yang terbaik untuk Revan? Tapi bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan anak-anak? Kami ini apa?”
Tania membuka mulut, tapi Aira mengangkat tangan, menghentikannya.
“Jangan,” ucapnya lirih. “Jangan beri aku penjelasan seolah semua ini logis dan bisa diterima. Karena tidak.”
Air mata menetes perlahan, akhirnya jatuh juga setelah semalam tertahan. Tapi kini bukan hanya karena patah hati tapi karena dikhianati oleh orang-orang yang selama ini ia jaga, ia sayangi, ia percaya.
Aira melangkah mundur, meninggalkan dapur, meninggalkan kebohongan yang mendidih di balik wajah-wajah penuh kepura-puraan.
Ia menuju kamar, meraih ponselnya, dan menekan nomor satu nama yang paling ia hindari selama bertahun-tahun Fikar, kakak kandungnya. Satu-satunya yang pernah memperingatkannya tentang Revan sejak awal.
Suara di seberang terdengar kaget.
“Aira? Kamu… akhirnya nelepon juga.”
Butuh waktu beberapa detik sebelum Aira bisa bersuara.
“Aku butuh bantuanmu, Kak.”
Hening. Lalu suara lembut itu menjawab, penuh ketegasan.
“Aku akan jemput kamu sekarang.”
Aira menatap ke luar jendela. Langit tak lagi murung, tapi hatinya masih berawan.
Pagi itu, Aira duduk di kursi teras belakang, ditemani secangkir teh melati hangat. Asap tipis mengepul dari bibir cangkir, melayang seperti sisa-sisa luka semalam yang belum menguap sepenuhnya.Matanya tenang. Tapi hatinya tak lagi sama.Ia tidak akan pergi. Belum.Bukan karena ia lemah. Tapi karena ia ingin tahu: sampai sejauh mana mereka akan menari di atas bara sebelum terbakar sendiri.Ketika suara mobil terdengar di depan rumah, Aira hanya mengangkat wajah sedikit. Ia tahu itu suara mobil Fikar. Dan seperti yang ia duga, tak lama kemudian, suara bel berbunyi.“Biar aku yang bukain,” ucap Revan dari ruang tengah. Dengan langkah cepat, ia menuju pintu depan.Saat pintu dibuka, wajah Revan sedikit kaku melihat siapa yang berdiri di sana. Pria bertubuh tegap, mengenakan kemeja hitam dan celana bahan abu gelap tatapannya tajam, penuh evaluasi. Kakak kandung Aira. Fikar.“Oh… Mas Fikar.” Revan tersenyum kaku. “Silakan masuk.”Fikar hanya membalas dengan anggukan kecil. “Nggak usah. Ak
Pagi itu langit mendung, dan suasana di dalam rumah pun terasa serupa. Aroma sarapan menyebar dari dapur, tapi tidak ada kehangatan di meja makan.Aira duduk di ujung meja, mengikat tali sepatu Raka yang terus merengek ingin berangkat sekolah bersama.Aluna, yang biasanya tenang, hari ini ikut gelisah. Tangannya terus menggenggam ujung baju Aira, seolah takut dipisahkan.“Mama, anterin aku ya, please,” kata Aluna dengan mata berkaca-kaca. “Hari ini aku ada pentas kecil di kelas... Aku pengen Mama yang lihat.”“Iya, sayang. Mama ikut, ya,” ucap Aira lembut, meski hatinya sedang bergetar. Ia tahu, keberadaannya sudah tak dianggap. Tapi anak-anak… adalah satu-satunya alasan ia tetap berdiri.Revan turun dari lantai atas, rapi dengan jas kerjanya. Tatapannya jatuh ke arah Aira tak ada kelembutan di sana. Hanya sinis yang tak disembunyikan.Ia lalu duduk di meja makan terlihat santai. Tania berdiri di dapur, sibuk menyiapkan kotak bekal.Ia tampak terlalu akrab dengan rumah itu. Terlalu ny
Begitu pulang kerumah siang harinya. Semua pekerjaan rumah langsung dikerjakan sendiri oleh Aira dari mencuci, memasak, menyapu, hingga membereskan kamar mertuanya.Tapi bukan soal pekerjaan yang membuat dadanya sesak, melainkan tatapan-tatapan itu… terutama dari ibu Revan.Sikap ibu mertuanya semakin dingin, nyaris beku. Tidak ada lagi teguran ramah di pagi hari, tidak ada lagi “Aira, makan dulu” seperti dulu.Kini yang ada hanya pandangan singkat, senyuman canggung, dan langkah-langkah cepat menjauh setiap kali Aira masuk ke ruangan yang sama.Sore harinya rumah kembali ramai oleh ibu-ibu berkalung emas dan aroma parfum mahal.Aira yang biasa menyiapkan camilan dan teh hangat untuk tamu-tamu itu kali ini hanya berdiri di dapur, seperti bayangan tak penting di rumahnya sendiri.Tidak seorang pun memanggilnya. Tak seorang pun bertanya di mana Aira.Ia mendengar suara tawa dari ruang tamu, suara kursi digeser, gelas-gelas beradu pelan. Lalu terdengar suara ibu Revan, lantang dan penuh
Begitu pulang kerumah siang harinya. Semua pekerjaan rumah langsung dikerjakan sendiri oleh Aira dari mencuci, memasak, menyapu, hingga membereskan kamar mertuanya.Tapi bukan soal pekerjaan yang membuat dadanya sesak, melainkan tatapan-tatapan itu… terutama dari ibu Revan.Sikap ibu mertuanya semakin dingin, nyaris beku. Tidak ada lagi teguran ramah di pagi hari, tidak ada lagi “Aira, makan dulu” seperti dulu.Kini yang ada hanya pandangan singkat, senyuman canggung, dan langkah-langkah cepat menjauh setiap kali Aira masuk ke ruangan yang sama.Sore harinya rumah kembali ramai oleh ibu-ibu berkalung emas dan aroma parfum mahal.Aira yang biasa menyiapkan camilan dan teh hangat untuk tamu-tamu itu kali ini hanya berdiri di dapur, seperti bayangan tak penting di rumahnya sendiri.Tidak seorang pun memanggilnya. Tak seorang pun bertanya di mana Aira.Ia mendengar suara tawa dari ruang tamu, suara kursi digeser, gelas-gelas beradu pelan. Lalu terdengar suara ibu Revan, lantang dan penuh
Pagi itu langit mendung, dan suasana di dalam rumah pun terasa serupa. Aroma sarapan menyebar dari dapur, tapi tidak ada kehangatan di meja makan.Aira duduk di ujung meja, mengikat tali sepatu Raka yang terus merengek ingin berangkat sekolah bersama.Aluna, yang biasanya tenang, hari ini ikut gelisah. Tangannya terus menggenggam ujung baju Aira, seolah takut dipisahkan.“Mama, anterin aku ya, please,” kata Aluna dengan mata berkaca-kaca. “Hari ini aku ada pentas kecil di kelas... Aku pengen Mama yang lihat.”“Iya, sayang. Mama ikut, ya,” ucap Aira lembut, meski hatinya sedang bergetar. Ia tahu, keberadaannya sudah tak dianggap. Tapi anak-anak… adalah satu-satunya alasan ia tetap berdiri.Revan turun dari lantai atas, rapi dengan jas kerjanya. Tatapannya jatuh ke arah Aira tak ada kelembutan di sana. Hanya sinis yang tak disembunyikan.Ia lalu duduk di meja makan terlihat santai. Tania berdiri di dapur, sibuk menyiapkan kotak bekal.Ia tampak terlalu akrab dengan rumah itu. Terlalu ny
Pagi itu, Aira duduk di kursi teras belakang, ditemani secangkir teh melati hangat. Asap tipis mengepul dari bibir cangkir, melayang seperti sisa-sisa luka semalam yang belum menguap sepenuhnya.Matanya tenang. Tapi hatinya tak lagi sama.Ia tidak akan pergi. Belum.Bukan karena ia lemah. Tapi karena ia ingin tahu: sampai sejauh mana mereka akan menari di atas bara sebelum terbakar sendiri.Ketika suara mobil terdengar di depan rumah, Aira hanya mengangkat wajah sedikit. Ia tahu itu suara mobil Fikar. Dan seperti yang ia duga, tak lama kemudian, suara bel berbunyi.“Biar aku yang bukain,” ucap Revan dari ruang tengah. Dengan langkah cepat, ia menuju pintu depan.Saat pintu dibuka, wajah Revan sedikit kaku melihat siapa yang berdiri di sana. Pria bertubuh tegap, mengenakan kemeja hitam dan celana bahan abu gelap tatapannya tajam, penuh evaluasi. Kakak kandung Aira. Fikar.“Oh… Mas Fikar.” Revan tersenyum kaku. “Silakan masuk.”Fikar hanya membalas dengan anggukan kecil. “Nggak usah. Ak
Langit sore tampak murung. Mendung menggantung rendah, seolah menahan tangis yang belum sempat jatuh.Di ruang tamu rumah minimalis bercat abu muda itu, Aira tengah menyusun bunga mawar putih di vas kaca bening. Tangannya bergerak tenang, namun pikirannya jauh melayang.Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ketujuh.Tujuh tahun. Bukan waktu yang singkat untuk mempertahankan rumah tangga. Tujuh tahun membesarkan dua anak, melewati suka duka, jatuh bangun bersama Revan, lelaki yang dulu ia pilih dengan seluruh hatinya.Ia masih ingat saat pertama kali Revan melamarnya dengan sederhana tapi penuh keyakinan. Tidak ada pesta mewah, hanya dua hati yang saling percaya bahwa mereka akan saling menjaga.Aira melirik jam dinding. Hampir pukul lima sore. Revan bilang akan pulang lebih awal hari ini. Ada rencana makan malam bersama, katanya.Aira tak banyak berharap Revan memang bukan tipe romantis, tapi perhatian kecilnya selama ini sudah cukup membuat Aira yakin bahwa rumah tangga