Begitu pulang kerumah siang harinya. Semua pekerjaan rumah langsung dikerjakan sendiri oleh Aira dari mencuci, memasak, menyapu, hingga membereskan kamar mertuanya.
Tapi bukan soal pekerjaan yang membuat dadanya sesak, melainkan tatapan-tatapan itu… terutama dari ibu Revan.
Sikap ibu mertuanya semakin dingin, nyaris beku. Tidak ada lagi teguran ramah di pagi hari, tidak ada lagi “Aira, makan dulu” seperti dulu.
Kini yang ada hanya pandangan singkat, senyuman canggung, dan langkah-langkah cepat menjauh setiap kali Aira masuk ke ruangan yang sama.
Sore harinya rumah kembali ramai oleh ibu-ibu berkalung emas dan aroma parfum mahal.
Aira yang biasa menyiapkan camilan dan teh hangat untuk tamu-tamu itu kali ini hanya berdiri di dapur, seperti bayangan tak penting di rumahnya sendiri.
Tidak seorang pun memanggilnya. Tak seorang pun bertanya di mana Aira.
Ia mendengar suara tawa dari ruang tamu, suara kursi digeser, gelas-gelas beradu pelan. Lalu terdengar suara ibu Revan, lantang dan penuh semangat.
“Saya tuh sebenarnya selalu ingin Revan punya pasangan yang benar-benar bisa jadi mitra hidup. Bukan cuma istri di KTP.”
Suara tamu-tamunya tertawa kecil.Lalu ibu Revan melanjutkan, “Tania ini... luar biasa. Dia perhatian, rapi, pintar ngatur keuangan, dan yang paling penting dia sayang banget sama anak-anak Revan. Saya sih... kalau boleh jujur, andai Aira itu ya, maaf ya, amit-amit misalnya meninggal atau apa saya akan jodohin Revan sama Tania tanpa pikir panjang.”
Tawa para ibu teredam, berganti bisikan penuh penasaran.
Di balik dinding dapur, Aira berdiri kaku. Matanya tak berkedip menatap piring-piring di wastafel. Tangannya gemetar, tapi ia tak menjatuhkan satu pun cangkir.
Napasnya berat. Tidak ada air mata yang turun. Hanya dada yang serasa terbakar oleh kata-kata yang terlalu kejam untuk disebut "andaikan".
Tania muncul di ambang pintu dapur, membawa gelas kosong, senyum puas mengembang di wajahnya.
“Maaf, teh habis. Bisa tolong isiin lagi, Ra?” katanya santai, menahan tawa yang hampir pecah.
Aira mengambil gelas itu dengan tenang. Ia menuang teh ke dalamnya, lalu menatap Tania tajam.
“Kamu menikmati ini semua, ya?” tanyanya pelan.
Tania menyandarkan tubuh ke kusen pintu, bermain dengan kukunya. “Apa yang harus disesali, Ra? Aku cuma menerima kesempatan yang aku dapatkan sendiri.”
Aira tersenyum kecil, getir.
“Kalau kamu pikir aku akan pergi karena ini semua, kamu salah, Tan. Aku nggak bertahan demi Revan. Aku bertahan... demi anak-anak. Dan satu hal lagi,” katanya sambil menyerahkan teh itu ke tangan Tania, suaranya nyaris seperti bisikan menusuk.
“Kamu boleh ambil rumah ini. Kamu boleh ambil laki-laki itu. Tapi jangan pernah anggap kamu bisa jadi aku di mata Aluna dan Raka.”
Tania terdiam. Tatapannya berubah. Tapi Aira sudah melangkah keluar, membelakangi kekacauan yang tak dia ciptakan, tapi kini harus dia hadapi.
Dan di luar, di halaman, Aluna sedang duduk sambil menggambar rumah. Di tengah-tengah gambarnya ada gambar seorang ibu, dua anak kecil, dan sosok pria yang berdiri agak jauh.
Aira duduk di sampingnya, dan Aluna berkata, “Rumah kita jangan ganti, ya Ma. Tetap rumah Mama.”
Aira menunduk, memeluk Aluna erat, anak perempuannya sangat peka dengan perasaan Aira.
Menjelang malam, rumah mulai lengang setelah arisan bubar. Suara tawa para ibu yang tadi ramai kini menguap, menyisakan sisa gelas teh dan piring kue yang belum dibereskan.
Tak ada pembantu di rumah itu, Aira yang biasanya membersihkan semua, kini masih duduk di ruang tengah, menyulam baju sobek milik Raka sambil mendengarkan tawa kecil anak-anak dari lantai atas.
Tak jauh darinya, suara langkah ibu Revan terdengar turun dari tangga. Beliau tak menyapa, hanya melirik Aira dingin lalu berlalu ke arah kamar, seolah Aira adalah bagian dari furnitur rumah yang tak penting lagi.
Tak lama, suara pintu depan terbuka. Revan baru pulang dan seperti biasa belakangan ini, ia tidak sendiri selalu di sambut seseorang.
Tania masuk bersamanya, menggandeng tangan Revan sambil tertawa kecil.
“Mas, kamu tau ga ada tadi itu, ada ibu siapa ya? Yang bajunya ngejreng banget tapi keteknya basah?” Revan ikut tertawa, santai. “Udah jangan julid. Tapi iya sih, agak parah kalau kayak gitu…”Mereka melewati ruang tengah, lalu berhenti begitu melihat Aira duduk sendiri.
Tania pura-pura kaget.
“Lho, Aira… kok sendirian aja sih? Nggak ikut ngumpul sama ibu-ibu tadi? Biasanya tuh, arisan tempat pamer skill bersosialisasi loh.”
Ia duduk di sofa dekat Revan dan menyilangkan kaki anggun, senyum puas di wajahnya.
Aira menoleh sebentar, tenang.
“Aku lebih suka temani anak-anak.”
Tania tertawa kecil, nada meremehkan.
“Iya sih… kadang memang susah nyambung kalau nggak biasa ngobrol kelas atas, ya.”
Ia menepuk-nepuk tangan Revan manja.“Tapi tenang, Mas. Tadi ibu-ibu arisan bilang aku cocok banget jadi nyonya rumah di sini. Bahkan Ibu—”
Ia menoleh ke arah tangga, memastikan ibu Revan tidak jauh, lalu berbisik pelan, “—sempat bilang, kalau andai Aira… amit-amit nggak ada, dia udah tahu siapa yang cocok dijodohin sama Mas Revan.”
Revan tidak menimpali. Tapi ia tidak pula menegur. Diamnya adalah pembenaran yang menyakitkan.
Aira meletakkan baju yang ia sulam di meja. Ia berdiri perlahan.
“Mati… ya?” gumamnya. “Kalian bahkan sudah siapkan skenario andai aku mati?”
Tania pura-pura salah tingkah, tapi jelas senang dengan efek ucapannya.
“Eh, maksud aku bukan gitu lho, Ra. Tapi yaa… kita harus realistis. Siapa pun bisa pergi kapan aja. Dan Mas Revan… terlalu berharga untuk sendiri, kan?”
Revan berdiri, meraih gelas air di meja. Ia tak menatap Aira.
“Udah lah, Ra. Jangan baper. Tania cuma bercanda.”
Aira menatap mereka lama. Wajahnya tetap tenang.
“Canda kalian terlalu mirip kenyataan. Sampai rasanya bukan lucu, tapi menjijikkan.”
Tania hanya tersenyum, lalu dengan santainya berdiri, berjalan ke dapur.
“Mas, aku bikin es buah ya, buat seger-seger. Tadi abis makan enak, sekarang manis-manis…”
Revan mengangguk dan duduk kembali, seolah tak terjadi apa-apa.
Aira memandangi punggung Tania yang hilang di balik dapur, lalu menatap suaminya yang kini benar-benar terasa asing.
Aira mengabaikan dan langsung menuju kamar anak-anak.
Beberapa saat kemudian, di sudut ruangan, Tania mulai sibuk mengelap meja, mengganti taplak dengan yang baru, lalu menyapu remah-remah kue arisan tadi.
"Ibu, toples ini ditaruh di lemari ya?" tanya Tania sambil menunjukkan toples kaca berisi keripik sisa arisan.
Ibu Revan yang sedang melipat taplak bekas hanya mengangguk. “Iya, Tan. Kamu memang paling sigap. Enak kalau rumah ada kamu.”
Tania tersenyum manis, mengikat rambutnya ke belakang. “Saya suka aja, Bu, beres-beres begini. Rumah jadi adem kalau rapi.”
Ibu Revan melirik ke arah lantai atas, nada bicaranya berubah pelan tapi menusuk. “Nggak kayak yang di atas itu.
Dari tadi cuma ngumpet di kamar. Main sama anak-anak terus. Nggak ngerti diri, padahal dia yang tinggal di rumah ini.”
Tania ikut melirik, lalu tertawa kecil. “Mungkin Aira lelah, Bu. Kan tugasnya banyak: ngatur drama, bukan rumah tangga.”
Mereka tertawa kecil berdua. Tawa yang terasa seperti duri tajam bila terdengar oleh orang yang sedang terluka.
Sementara itu, di lantai atas, Aira duduk bersila di lantai kamar anak-anak. Rambutnya dibiarkan terurai ke belakang, dan senyum kecil terpulas di wajahnya saat melihat Raka dan Aluna berebut membacakan buku cerita.
“Mama, aku dulu ya bacanya!” Aluna menepuk-nepuk lutut ibunya.
“Enggak, aku dulu! Mama janji aku duluan,” protes Raka.
Aira memeluk keduanya erat. “Sini, sini. Kalian duduk di kiri-kanan Mama, kita baca bareng, ya?”
Mereka tertawa kecil, dunia kecil mereka hanya berisi tiga orang mereka yang saling menggenggam dalam sunyi yang menyesakkan.
Namun di balik pelukannya, dada Aira terasa berat. Ia tahu, di bawah sana, Tania sedang kembali membangun citra yang semakin menyingkirkan dirinya. Menghimpitnya perlahan, seolah rumah itu bukan miliknya lagi.
Lalu, terdengar suara langkah di tangga. Revan muncul, melihat ke arah kamar anak-anak dengan dahi sedikit berkerut.
“Ra, kamu nggak bantu-bantu di bawah?” tanyanya, nada suaranya menggantung.
Aira menoleh pelan. “Tania sudah sangat ahli Mas. Aku pikir, lebih baik aku habiskan waktu dengan anak-anak. Lagipula, aku ibu mereka.”
Revan tak menjawab. Tatapannya tajam sejenak, sebelum berbalik turun kembali.
Di ruang bawah, ia langsung disambut Tania yang mengelap peluh di keningnya, seolah habis bekerja keras mengurus rumah.
“Mas capek? Sini duduk, aku buatin teh manis ya,” ucapnya lembut, lalu merapikan kerah baju Revan di depan ibu mertuanya.
Revan duduk dan menerima perlakuan itu begitu saja.
Tania lalu berkata manja, cukup keras agar ibu Revan mendengar, “Capek juga ya, Bu, bersihin rumah segede ini. Tapi senang, karena rumah jadi hidup kalau beres dan bersih.”
Ibu Revan menimpali cepat. “Iya, Tan. Ibu memang paling cocok punya menantu seperti kamu. Kalau dulu Revan pilih kamu, mungkin sekarang rumah ini lebih terurus.”
Tania hanya tersenyum, lalu berjalan ke dapur.
Namun di tangga atas, Aira mendengar semuanya. Ia berdiri diam, memeluk dinding, matanya menatap kosong. Tapi di belakangnya, Raka menarik tangan ibunya.
“Mama kenapa?” tanya Raka pelan.
Aira menatap anak bungsunya, lalu tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, Sayang. Mama cuma ingat sesuatu.”
Langit sore tampak murung. Mendung menggantung rendah, seolah menahan tangis yang belum sempat jatuh.Di ruang tamu rumah minimalis bercat abu muda itu, Aira tengah menyusun bunga mawar putih di vas kaca bening. Tangannya bergerak tenang, namun pikirannya jauh melayang.Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ketujuh.Tujuh tahun. Bukan waktu yang singkat untuk mempertahankan rumah tangga. Tujuh tahun membesarkan dua anak, melewati suka duka, jatuh bangun bersama Revan, lelaki yang dulu ia pilih dengan seluruh hatinya.Ia masih ingat saat pertama kali Revan melamarnya dengan sederhana tapi penuh keyakinan. Tidak ada pesta mewah, hanya dua hati yang saling percaya bahwa mereka akan saling menjaga.Aira melirik jam dinding. Hampir pukul lima sore. Revan bilang akan pulang lebih awal hari ini. Ada rencana makan malam bersama, katanya.Aira tak banyak berharap Revan memang bukan tipe romantis, tapi perhatian kecilnya selama ini sudah cukup membuat Aira yakin bahwa rumah tangga
Pagi itu, Aira duduk di kursi teras belakang, ditemani secangkir teh melati hangat. Asap tipis mengepul dari bibir cangkir, melayang seperti sisa-sisa luka semalam yang belum menguap sepenuhnya.Matanya tenang. Tapi hatinya tak lagi sama.Ia tidak akan pergi. Belum.Bukan karena ia lemah. Tapi karena ia ingin tahu: sampai sejauh mana mereka akan menari di atas bara sebelum terbakar sendiri.Ketika suara mobil terdengar di depan rumah, Aira hanya mengangkat wajah sedikit. Ia tahu itu suara mobil Fikar. Dan seperti yang ia duga, tak lama kemudian, suara bel berbunyi.“Biar aku yang bukain,” ucap Revan dari ruang tengah. Dengan langkah cepat, ia menuju pintu depan.Saat pintu dibuka, wajah Revan sedikit kaku melihat siapa yang berdiri di sana. Pria bertubuh tegap, mengenakan kemeja hitam dan celana bahan abu gelap tatapannya tajam, penuh evaluasi. Kakak kandung Aira. Fikar.“Oh… Mas Fikar.” Revan tersenyum kaku. “Silakan masuk.”Fikar hanya membalas dengan anggukan kecil. “Nggak usah. Ak
Pagi itu langit mendung, dan suasana di dalam rumah pun terasa serupa. Aroma sarapan menyebar dari dapur, tapi tidak ada kehangatan di meja makan.Aira duduk di ujung meja, mengikat tali sepatu Raka yang terus merengek ingin berangkat sekolah bersama.Aluna, yang biasanya tenang, hari ini ikut gelisah. Tangannya terus menggenggam ujung baju Aira, seolah takut dipisahkan.“Mama, anterin aku ya, please,” kata Aluna dengan mata berkaca-kaca. “Hari ini aku ada pentas kecil di kelas... Aku pengen Mama yang lihat.”“Iya, sayang. Mama ikut, ya,” ucap Aira lembut, meski hatinya sedang bergetar. Ia tahu, keberadaannya sudah tak dianggap. Tapi anak-anak… adalah satu-satunya alasan ia tetap berdiri.Revan turun dari lantai atas, rapi dengan jas kerjanya. Tatapannya jatuh ke arah Aira tak ada kelembutan di sana. Hanya sinis yang tak disembunyikan.Ia lalu duduk di meja makan terlihat santai. Tania berdiri di dapur, sibuk menyiapkan kotak bekal.Ia tampak terlalu akrab dengan rumah itu. Terlalu ny
Begitu pulang kerumah siang harinya. Semua pekerjaan rumah langsung dikerjakan sendiri oleh Aira dari mencuci, memasak, menyapu, hingga membereskan kamar mertuanya.Tapi bukan soal pekerjaan yang membuat dadanya sesak, melainkan tatapan-tatapan itu… terutama dari ibu Revan.Sikap ibu mertuanya semakin dingin, nyaris beku. Tidak ada lagi teguran ramah di pagi hari, tidak ada lagi “Aira, makan dulu” seperti dulu.Kini yang ada hanya pandangan singkat, senyuman canggung, dan langkah-langkah cepat menjauh setiap kali Aira masuk ke ruangan yang sama.Sore harinya rumah kembali ramai oleh ibu-ibu berkalung emas dan aroma parfum mahal.Aira yang biasa menyiapkan camilan dan teh hangat untuk tamu-tamu itu kali ini hanya berdiri di dapur, seperti bayangan tak penting di rumahnya sendiri.Tidak seorang pun memanggilnya. Tak seorang pun bertanya di mana Aira.Ia mendengar suara tawa dari ruang tamu, suara kursi digeser, gelas-gelas beradu pelan. Lalu terdengar suara ibu Revan, lantang dan penuh
Pagi itu langit mendung, dan suasana di dalam rumah pun terasa serupa. Aroma sarapan menyebar dari dapur, tapi tidak ada kehangatan di meja makan.Aira duduk di ujung meja, mengikat tali sepatu Raka yang terus merengek ingin berangkat sekolah bersama.Aluna, yang biasanya tenang, hari ini ikut gelisah. Tangannya terus menggenggam ujung baju Aira, seolah takut dipisahkan.“Mama, anterin aku ya, please,” kata Aluna dengan mata berkaca-kaca. “Hari ini aku ada pentas kecil di kelas... Aku pengen Mama yang lihat.”“Iya, sayang. Mama ikut, ya,” ucap Aira lembut, meski hatinya sedang bergetar. Ia tahu, keberadaannya sudah tak dianggap. Tapi anak-anak… adalah satu-satunya alasan ia tetap berdiri.Revan turun dari lantai atas, rapi dengan jas kerjanya. Tatapannya jatuh ke arah Aira tak ada kelembutan di sana. Hanya sinis yang tak disembunyikan.Ia lalu duduk di meja makan terlihat santai. Tania berdiri di dapur, sibuk menyiapkan kotak bekal.Ia tampak terlalu akrab dengan rumah itu. Terlalu ny
Pagi itu, Aira duduk di kursi teras belakang, ditemani secangkir teh melati hangat. Asap tipis mengepul dari bibir cangkir, melayang seperti sisa-sisa luka semalam yang belum menguap sepenuhnya.Matanya tenang. Tapi hatinya tak lagi sama.Ia tidak akan pergi. Belum.Bukan karena ia lemah. Tapi karena ia ingin tahu: sampai sejauh mana mereka akan menari di atas bara sebelum terbakar sendiri.Ketika suara mobil terdengar di depan rumah, Aira hanya mengangkat wajah sedikit. Ia tahu itu suara mobil Fikar. Dan seperti yang ia duga, tak lama kemudian, suara bel berbunyi.“Biar aku yang bukain,” ucap Revan dari ruang tengah. Dengan langkah cepat, ia menuju pintu depan.Saat pintu dibuka, wajah Revan sedikit kaku melihat siapa yang berdiri di sana. Pria bertubuh tegap, mengenakan kemeja hitam dan celana bahan abu gelap tatapannya tajam, penuh evaluasi. Kakak kandung Aira. Fikar.“Oh… Mas Fikar.” Revan tersenyum kaku. “Silakan masuk.”Fikar hanya membalas dengan anggukan kecil. “Nggak usah. Ak
Langit sore tampak murung. Mendung menggantung rendah, seolah menahan tangis yang belum sempat jatuh.Di ruang tamu rumah minimalis bercat abu muda itu, Aira tengah menyusun bunga mawar putih di vas kaca bening. Tangannya bergerak tenang, namun pikirannya jauh melayang.Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ketujuh.Tujuh tahun. Bukan waktu yang singkat untuk mempertahankan rumah tangga. Tujuh tahun membesarkan dua anak, melewati suka duka, jatuh bangun bersama Revan, lelaki yang dulu ia pilih dengan seluruh hatinya.Ia masih ingat saat pertama kali Revan melamarnya dengan sederhana tapi penuh keyakinan. Tidak ada pesta mewah, hanya dua hati yang saling percaya bahwa mereka akan saling menjaga.Aira melirik jam dinding. Hampir pukul lima sore. Revan bilang akan pulang lebih awal hari ini. Ada rencana makan malam bersama, katanya.Aira tak banyak berharap Revan memang bukan tipe romantis, tapi perhatian kecilnya selama ini sudah cukup membuat Aira yakin bahwa rumah tangga