Share

Tersingkir Perlahan

Author: Phoenixclaa
last update Last Updated: 2025-04-22 01:33:57

Pagi itu langit mendung, dan suasana di dalam rumah pun terasa serupa. Aroma sarapan menyebar dari dapur, tapi tidak ada kehangatan di meja makan.

Aira duduk di ujung meja, mengikat tali sepatu Raka yang terus merengek ingin berangkat sekolah bersama.

Aluna, yang biasanya tenang, hari ini ikut gelisah. Tangannya terus menggenggam ujung baju Aira, seolah takut dipisahkan.

“Mama, anterin aku ya, please,” kata Aluna dengan mata berkaca-kaca. “Hari ini aku ada pentas kecil di kelas... Aku pengen Mama yang lihat.”

“Iya, sayang. Mama ikut, ya,” ucap Aira lembut, meski hatinya sedang bergetar. Ia tahu, keberadaannya sudah tak dianggap. Tapi anak-anak… adalah satu-satunya alasan ia tetap berdiri.

Revan turun dari lantai atas, rapi dengan jas kerjanya. Tatapannya jatuh ke arah Aira tak ada kelembutan di sana. Hanya sinis yang tak disembunyikan.

Ia lalu duduk di meja makan terlihat santai. Tania berdiri di dapur, sibuk menyiapkan kotak bekal.

Ia tampak terlalu akrab dengan rumah itu. Terlalu nyaman, seolah memang sudah tinggal di sana sejak awal.

“Ma, tante itu ngapain di dapur?” tanya Raka polos, membuat suasana sesaat membeku.

Aira hanya tersenyum tipis. “Tante itu bantu-bantu sebentar, Nak.”

Tania menoleh, seolah tak terganggu. “Aku masak bekal buat Ayah kalian, biar nggak jajan sembarangan.”

Aira tak menjawab. Tapi matanya melototi Tania.

Tak lama Ibu Revan menyusul dari belakang, mengenakan daster bermotif bunga besar, dan langsung menuju meja makan sambil mengeluh pelan setelah melihat sepatu baru Aira yang masih belum keluar dari kotaknya.

“Pantes aja gaji Revan sering habis nggak jelas. Kalau semuanya diturunin ke kamu, Ra, ya begini. Boros. Terlalu banyak gaya.”

Aira menoleh pelan. Matanya bertemu dengan mata mertuanya, namun ia tak menjawab. Ia sudah belajar bahwa membela diri di rumah ini hanyalah bahan tertawaan selanjutnya.

Revan duduk di samping ibunya, menyeruput teh hangat.

“Ibu ada benarnya,” katanya datar. “Aku kerja siang malam, tapi pengeluaran rumah makin nggak jelas.”

Aira menggigit bibirnya. Ujung hatinya menjerit, tapi wajahnya tetap tenang.

Revan lalu kembali bicara.

“Ra, mulai bulan ini kamu nggak usah repot urus pengeluaran rumah. Aku sebaiknya serahin semua ke Tania. Dia yang ngatur belanja, tagihan, dan lain-lain.”

Aira yang sedang membereskan serbet berhenti sejenak. Menoleh pelan.

“Semua Mas?” tanyanya lirih.

“Iya. Kamu fokus aja ke Aluna dan Raka. Semua kebutuhan mereka tetap aku kasih ke kamu, tapi sisanya… Tania yang urus. Aku percaya dia lebih ngerti cara ngatur rumah sekarang.”

"Sekarang." Kata itu menampar Aira lebih keras daripada yang Revan sadari.

Ibu Revan yang duduk di ujung meja ikut angkat bicara, suaranya tenang tapi tajam.

“Memang seharusnya begitu. Tania itu luwes, pintar ngatur keuangan. Biar kamu nggak terlalu terbebani. Kamu itu capek ngurus anak aja, udah cukup.”

Aira mengangguk pelan, seolah menerima. Tapi dalam hatinya, ia mendengar suara kaca yang retak sedikit demi sedikit.

Bukan karena soal uang. Tapi karena mereka baru saja mencabut salah satu hal paling berharga yang ia perjuangkan selama tujuh tahun: posisinya sebagai tiang rumah itu.

Tania menatapnya dengan senyum kecil. “Aku akan pastikan rumah ini jalan dengan baik. Tenang aja, Aira.”

Aira menelan napasnya. Lalu berkata pelan, hampir seperti bisikan.

“Tenang... ya?”

Ia menoleh ke arah Revan. Tatapannya lembut tapi membunuh.

Tania lalu kembali ke daput dan muncul membawa satu kotak bekal besar. Ia tampak segar, dengan blouse putih bersih dan senyum yang terlalu lebar.

“Aku udah siapin bekal buat Revan, Bu. Ada salad dan ayam panggang kesukaan dia. Makan di luar tuh mahal, kan sayang uangnya,” ujarnya sambil melirik Aira.

Ibu Revan terkekeh. “Iya, Tan, kamu paham betul. Gimana ya, ada perempuan yang memang cuma bisa ngabisin, ada yang bisa ngatur.”

Aira tetap diam. Tapi jemarinya mengencang di gagang tas kecil milik Raka.

Ibu Revan tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan yang menggantung di udara.

“Aira, kamu jangan baper gitu lah. Ini demi kebaikan bersama. Kamu juga enak, kan? Bisa lebih fokus ke anak-anak. Udah saatnya kamu ngerti juga, jadi ibu rumh tangga itu nggak cuma soal gengsi.”

Melihat Aira tetap diam. Revan berdiri dari kursi, suaranya sedikit mengeluh. “Ra, jangan drama. Kita cuma bagi peran. Kamu tetap istri aku.”

Aira menatapnya lama. Bibirnya bergetar sedikit, lalu membentuk senyum yang sangat tipis.

“Istri. Tapi tidak cukup sebagai nyonya rumah. Tidak cukup dipercaya untuk memegang rumah tangga yang aku bangun. Dan tidak cukup untuk jadi satu-satunya.”

Ia menoleh ke arah Raka, dan bersamaan dengan suara Aluna yang menggema.

“Mama, kita berangkat sekarang?” tanya Aluna, matanya memelas.

Aira mengangguk. Lalu, ia menatap Revan.

“Aluna minta aku temani. Hari ini penting buat dia.”

Revan menatap penampilan Aira dari atas ke bawah. Wajah tanpa riasan, rambut disanggul sederhana, kaus polos dan celana panjang longgar.

Bukan penampilan yang akan ia banggakan di depan orang tua murid lain.

Tania mengerutkan alis, berbisik pada Revan, “Nggak usah lah Mas. Lihat itu dandanan Aira”

Tapi Revan mengabaikan saran Tania. Meskipun wajahnya masam, ia tetap mengangguk. “Terserah. Tapi jangan lama-lama. Ada jadwal arisan ibu nanti.”

Aira hanya menjawab dengan tatapan tajam yang cepat disembunyikan. Ia menggandeng tangan Aluna dan Raka, melangkah keluar.

Di ambang pintu, ia menoleh sejenak.

“Terima kasih… untuk semua pelajaran pagi ini,” ucapnya pelan.

Tania tertawa samar. “Jangan baper, Ra.”

Tapi Aira hanya tersenyum. Senyum yang berbeda.

Anak-anak mengikuti Aira dengan langkah kecil. Di belakang mereka, Tania mendekat ke Revan dan menyentuh lengannya lembut, penuh kepemilikan.

“Biar nanti aku yang urus rumah Mas,” ucapnya manis. “Kamu fokus kerja aja, Sayang.”

Revan mengangguk, seolah lupa perempuan yang barusan berjalan di sampingnya adalah istri sahnya. Ibu Revan memandangi keduanya dengan senyum tipis bangga.

Setelah Aira dan Revan berangkat mengantar anak-anak ke sekolah, rumah kembali sepi. Tania sengaja tak langsung beres-beres dapur.

 Ia menyeduh kopi untuk Ibu Revan dan duduk di ruang tamu bersamanya, mengenakan daster lembut warna pastel, tampil seperti menantu ideal.

“Aira dan Revan lama juga ya ngantar anak-anak?” tanyanya ringan, sambil menyodorkan cangkir ke ibu Revan.

“Biasanya mampir sarapan atau beliin jajanan anak-anak,” jawab Ibu Revan.

Tania tersenyum tipis, matanya mengamati raut wajah sang mertua yang sibuk merapikan meja.

“Bu, istirahat dulu aja. Biar saya yang beresin nanti.”

“Ah, kamu memang rajin, Tan. Ibu bersyukur Revan punya kamu sekarang.”

Mendengar itu, Tania hanya tersenyum. Tapi dalam hatinya, ia mencibir. "Bersyukur? Harusnya sudah dari dulu." pikirnya. Dan seperti sudah terjadwal, ia mulai lagi menyusupkan racun.

“Bu… saya tuh dulu satu sekolah sama Aira. Ibu tahu kan?” katanya pelan, suaranya seperti kabut tipis yang menutupi niat buruk.

“Iya, Aira pernah cerita.”

Tania menatap ke cangkirnya, lalu berkata dengan nada rendah dan penuh pura-pura kesal.

“Saya tuh dulu sering bingung, Bu… kenapa Revan bisa milih Aira. Maksud saya, Aira itu… dulu dikenal agak ‘ramai’ sama cowok-cowok.”

Ibu Revan mengerutkan dahi. “Ramai gimana maksudmu?”

Tania menunduk seolah berat bicara, lalu perlahan membuka mulut.

“Bu… Aira itu dulu sebenarnya bukan perempuan baik-baik seperti yang Ibu lihat sekarang. Waktu sekolah… dia itu sering deketin cowok-cowok, gonta-ganti pacar, bahkan sempat digosipin dekat sama salah satu guru.”

Mata Ibu Revan membulat. “Guru?”

Tania pura-pura menyesal telah membuka topik itu. “Saya nggak tahu itu bener atau nggak, Bu. Tapi waktu itu ramai banget dibicarain. Dan anehnya, semua cowok yang didekati Aira tuh selalu... nurut. Bahkan ninggalin pacarnya demi Aira.”

“Ya ampun… Ibu nggak pernah dengar itu.”

“Saya dulu diem, Bu. Soalnya saya sahabatnya. Tapi sekarang saya ngerti… Aira itu pintar bersandiwara. Di depan Revan keliatan kalem, keibuan. Tapi siapa tahu apa yang sebenarnya dia sembunyikan?”

Ibu Revan menghela napas panjang. Ada keraguan yang mulai menyusup ke matanya.

“Dan... Bu, saya juga nggak enak bilang ini, tapi saya curiga Aira pakai anak-anak buat jaga posisi dia di rumah ini. Dia tahu Revan nggak bisa jauh dari anak-anak, makanya dia selalu pakai Aluna dan Raka sebagai tameng.”

Tania menatap Ibu Revan dengan ekspresi terluka yang dibuat-buat.

“Saya cuma nggak mau Revan dibutakan terus sama masa lalu. Dia berhak bahagia, Bu. Dengan perempuan yang benar-benar jujur sama dia.”

Ibu Revan tak menjawab. Tapi diamnya adalah tanda tanda bahwa racun itu mulai bekerja.

Dan saat Tania melangkah ke dapur dengan langkah ringan, ia tak bisa menahan senyum kecil di sudut bibirnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Arisan Ibu

    Begitu pulang kerumah siang harinya. Semua pekerjaan rumah langsung dikerjakan sendiri oleh Aira dari mencuci, memasak, menyapu, hingga membereskan kamar mertuanya.Tapi bukan soal pekerjaan yang membuat dadanya sesak, melainkan tatapan-tatapan itu… terutama dari ibu Revan.Sikap ibu mertuanya semakin dingin, nyaris beku. Tidak ada lagi teguran ramah di pagi hari, tidak ada lagi “Aira, makan dulu” seperti dulu.Kini yang ada hanya pandangan singkat, senyuman canggung, dan langkah-langkah cepat menjauh setiap kali Aira masuk ke ruangan yang sama.Sore harinya rumah kembali ramai oleh ibu-ibu berkalung emas dan aroma parfum mahal.Aira yang biasa menyiapkan camilan dan teh hangat untuk tamu-tamu itu kali ini hanya berdiri di dapur, seperti bayangan tak penting di rumahnya sendiri.Tidak seorang pun memanggilnya. Tak seorang pun bertanya di mana Aira.Ia mendengar suara tawa dari ruang tamu, suara kursi digeser, gelas-gelas beradu pelan. Lalu terdengar suara ibu Revan, lantang dan penuh

    Last Updated : 2025-04-22
  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Tragedi Menyakitkan

    Langit sore tampak murung. Mendung menggantung rendah, seolah menahan tangis yang belum sempat jatuh.Di ruang tamu rumah minimalis bercat abu muda itu, Aira tengah menyusun bunga mawar putih di vas kaca bening. Tangannya bergerak tenang, namun pikirannya jauh melayang.Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ketujuh.Tujuh tahun. Bukan waktu yang singkat untuk mempertahankan rumah tangga. Tujuh tahun membesarkan dua anak, melewati suka duka, jatuh bangun bersama Revan, lelaki yang dulu ia pilih dengan seluruh hatinya.Ia masih ingat saat pertama kali Revan melamarnya dengan sederhana tapi penuh keyakinan. Tidak ada pesta mewah, hanya dua hati yang saling percaya bahwa mereka akan saling menjaga.Aira melirik jam dinding. Hampir pukul lima sore. Revan bilang akan pulang lebih awal hari ini. Ada rencana makan malam bersama, katanya.Aira tak banyak berharap Revan memang bukan tipe romantis, tapi perhatian kecilnya selama ini sudah cukup membuat Aira yakin bahwa rumah tangga

    Last Updated : 2025-04-16
  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Dia Siapa Ma?

    Pagi itu, Aira duduk di kursi teras belakang, ditemani secangkir teh melati hangat. Asap tipis mengepul dari bibir cangkir, melayang seperti sisa-sisa luka semalam yang belum menguap sepenuhnya.Matanya tenang. Tapi hatinya tak lagi sama.Ia tidak akan pergi. Belum.Bukan karena ia lemah. Tapi karena ia ingin tahu: sampai sejauh mana mereka akan menari di atas bara sebelum terbakar sendiri.Ketika suara mobil terdengar di depan rumah, Aira hanya mengangkat wajah sedikit. Ia tahu itu suara mobil Fikar. Dan seperti yang ia duga, tak lama kemudian, suara bel berbunyi.“Biar aku yang bukain,” ucap Revan dari ruang tengah. Dengan langkah cepat, ia menuju pintu depan.Saat pintu dibuka, wajah Revan sedikit kaku melihat siapa yang berdiri di sana. Pria bertubuh tegap, mengenakan kemeja hitam dan celana bahan abu gelap tatapannya tajam, penuh evaluasi. Kakak kandung Aira. Fikar.“Oh… Mas Fikar.” Revan tersenyum kaku. “Silakan masuk.”Fikar hanya membalas dengan anggukan kecil. “Nggak usah. Ak

    Last Updated : 2025-04-21

Latest chapter

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Arisan Ibu

    Begitu pulang kerumah siang harinya. Semua pekerjaan rumah langsung dikerjakan sendiri oleh Aira dari mencuci, memasak, menyapu, hingga membereskan kamar mertuanya.Tapi bukan soal pekerjaan yang membuat dadanya sesak, melainkan tatapan-tatapan itu… terutama dari ibu Revan.Sikap ibu mertuanya semakin dingin, nyaris beku. Tidak ada lagi teguran ramah di pagi hari, tidak ada lagi “Aira, makan dulu” seperti dulu.Kini yang ada hanya pandangan singkat, senyuman canggung, dan langkah-langkah cepat menjauh setiap kali Aira masuk ke ruangan yang sama.Sore harinya rumah kembali ramai oleh ibu-ibu berkalung emas dan aroma parfum mahal.Aira yang biasa menyiapkan camilan dan teh hangat untuk tamu-tamu itu kali ini hanya berdiri di dapur, seperti bayangan tak penting di rumahnya sendiri.Tidak seorang pun memanggilnya. Tak seorang pun bertanya di mana Aira.Ia mendengar suara tawa dari ruang tamu, suara kursi digeser, gelas-gelas beradu pelan. Lalu terdengar suara ibu Revan, lantang dan penuh

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Tersingkir Perlahan

    Pagi itu langit mendung, dan suasana di dalam rumah pun terasa serupa. Aroma sarapan menyebar dari dapur, tapi tidak ada kehangatan di meja makan.Aira duduk di ujung meja, mengikat tali sepatu Raka yang terus merengek ingin berangkat sekolah bersama.Aluna, yang biasanya tenang, hari ini ikut gelisah. Tangannya terus menggenggam ujung baju Aira, seolah takut dipisahkan.“Mama, anterin aku ya, please,” kata Aluna dengan mata berkaca-kaca. “Hari ini aku ada pentas kecil di kelas... Aku pengen Mama yang lihat.”“Iya, sayang. Mama ikut, ya,” ucap Aira lembut, meski hatinya sedang bergetar. Ia tahu, keberadaannya sudah tak dianggap. Tapi anak-anak… adalah satu-satunya alasan ia tetap berdiri.Revan turun dari lantai atas, rapi dengan jas kerjanya. Tatapannya jatuh ke arah Aira tak ada kelembutan di sana. Hanya sinis yang tak disembunyikan.Ia lalu duduk di meja makan terlihat santai. Tania berdiri di dapur, sibuk menyiapkan kotak bekal.Ia tampak terlalu akrab dengan rumah itu. Terlalu ny

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Dia Siapa Ma?

    Pagi itu, Aira duduk di kursi teras belakang, ditemani secangkir teh melati hangat. Asap tipis mengepul dari bibir cangkir, melayang seperti sisa-sisa luka semalam yang belum menguap sepenuhnya.Matanya tenang. Tapi hatinya tak lagi sama.Ia tidak akan pergi. Belum.Bukan karena ia lemah. Tapi karena ia ingin tahu: sampai sejauh mana mereka akan menari di atas bara sebelum terbakar sendiri.Ketika suara mobil terdengar di depan rumah, Aira hanya mengangkat wajah sedikit. Ia tahu itu suara mobil Fikar. Dan seperti yang ia duga, tak lama kemudian, suara bel berbunyi.“Biar aku yang bukain,” ucap Revan dari ruang tengah. Dengan langkah cepat, ia menuju pintu depan.Saat pintu dibuka, wajah Revan sedikit kaku melihat siapa yang berdiri di sana. Pria bertubuh tegap, mengenakan kemeja hitam dan celana bahan abu gelap tatapannya tajam, penuh evaluasi. Kakak kandung Aira. Fikar.“Oh… Mas Fikar.” Revan tersenyum kaku. “Silakan masuk.”Fikar hanya membalas dengan anggukan kecil. “Nggak usah. Ak

  • Kupelihara Gundik yang Suamiku Cintai   Tragedi Menyakitkan

    Langit sore tampak murung. Mendung menggantung rendah, seolah menahan tangis yang belum sempat jatuh.Di ruang tamu rumah minimalis bercat abu muda itu, Aira tengah menyusun bunga mawar putih di vas kaca bening. Tangannya bergerak tenang, namun pikirannya jauh melayang.Hari ini adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ketujuh.Tujuh tahun. Bukan waktu yang singkat untuk mempertahankan rumah tangga. Tujuh tahun membesarkan dua anak, melewati suka duka, jatuh bangun bersama Revan, lelaki yang dulu ia pilih dengan seluruh hatinya.Ia masih ingat saat pertama kali Revan melamarnya dengan sederhana tapi penuh keyakinan. Tidak ada pesta mewah, hanya dua hati yang saling percaya bahwa mereka akan saling menjaga.Aira melirik jam dinding. Hampir pukul lima sore. Revan bilang akan pulang lebih awal hari ini. Ada rencana makan malam bersama, katanya.Aira tak banyak berharap Revan memang bukan tipe romantis, tapi perhatian kecilnya selama ini sudah cukup membuat Aira yakin bahwa rumah tangga

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status