"Loh, Marisa. Kamu kenapa nangis?" Sebuah tangan yang kuat memegang tubuh Marisa yang sempat oleng. Marisa mengangkat wajahnya. Dari pandangannya yang memburam dia bisa melihat bahwa dirinya mengenal orang yang ditabraknya saat berlari tadi. "Mas Rian?" Marisa bertanya untuk memastikan bahwa dia tidak salah mengenali seseorang yang ada di depannya ini."Iya, ini aku. Kamu kenapa lari sambil nangis? Apa yang terjadi? Katakan, Risa," desak Rian. "Ma-mas I-ra-wan …." Marisa menjawab terbata-bata. "Kenapa dengan Irawan? Kondisinya gawat? Dia kritis?" tanya Rian beruntun. Marisa menggeleng.Rian jadi bingung melihat respon Marisa. Tiba-tiba jantungnya berdetak lebih cepat. Pikiran buruk langsung menghampirinya. Matanya memindai wajah adik sepupu itu yang berurai air mata. Dia bertanya dengan hati-hati, "Apa Irawan meninggal dunia?"Marisa kembali menggeleng dan membuat Rian semakin kebingungan. "Lantas, kenapa? Apa yang membuat kamu menangis?" "Mas Irawan sudah sadar," ucap Marisa s
"Apa kamu bilang, Ris? Irawan benar-benar sudah gila menuduh istrinya sendiri seperti itu! Kalau tahu hidupmu menderita seperti ini, aku nggak bakalan ngelepasin kamu ke Irawan. Lebih baik aku berjuang agar kamu terus ada di sisiku."Marisa menautkan alisnya mendengar ucapan kakak sepupunya yang terdengar aneh itu. "Apa maksudmu, Mas?""Kamu itu nggak layak bersanding dengan Irawan, Ris!""Bukan itu, Mas! Apa maksud Mas Rian dengan kata-kata 'Lebih baik aku berjuang agar kamu terus ada di sisiku'? Bukankah meski Risa sudah menikah, tetapi Risa tidak pernah meninggalkan Mas Rian? Bagi Risa Mas Rian itu bukan hanya kakak sepupu, tapi juga sahabat terbaik Risa. Jadi mana mungkin Risa menjauh dari sisi Mas Rian?"Bola mata Rian memindai wajah Marisa. Lelaki itu seperti mencari sebuah tanda di raut muka adik sepupunya. Namun, tatapannya berubah muram manakala dia tidak menemukan pertanda itu. "Apa kamu selama ini tidak pernah merasakannya, Ris?" tanya Rian, dengan suara bergetar."Merasaka
"Ma! Jangan asal tuduh!" Secepat kilat Marisa menoleh dan membantah suara bentakan dari Bu Santi itu."Siapa yang asal tuduh? Ternyata firasat anakku itu benar. Sekarang kamu harus mengaku! Katakan kepada Mama apa yang kamu lakukan kepada Irawan sehingga suami kamu itu lupa kepadamu?" Mata Marisa mengembun mendengar tuduhan Bu Santi. Dia menatap ibu mertuanya itu dengan tatapan yang penuh emosi. Hatinya terasa dicabik-cabik antara marah dan terluka. Baru beberapa hari lalu mereka berbaikan dan hidup bahagia sebagai mertua dan menantu. Sekarang dengan mudahnya ibu mertuanya itu kembali melontarkan tuduhan yang tidak berdasar. "Harus berapa kali Risa katakan, Ma? Risa tidak melakukan apa pun kepada Mas Irawan. Risa pun bingung dan sedih karena Mas Irawan lupa bahwa Risa adalah istrinya." "Orang itu biasanya melupakan sesuatu yang membuatnya marah atau terluka. Jadi kalau anakku melupakan kamu, itu artinya kamu sudah melakukan sesuatu yang membuatnya marah dan kecewa." Bu Santi kemba
"Untuk apa kamu mengurusku? Bukankah lebih baik aku tetap koma atau kalaupun sadar pasti kamu lebih suka melihatku lumpuh." Terdengar suara bernada ketus dari arah kasur Irawan. Selama lima tahun usia pernikahannya dengan Irawan, suaminya itu tidak pernah berkata kasar. Jadi, ketika pertama kali mendengar tuduhan dengan nada kasar dari suaminya membuat hati Marisa bak disayat sembilu. "Kenapa kamu berkata seperti itu, Mas?" tanya Marisa dengan suara bergetar. Dia melangkah perlahan menghampiri suaminya."Tidak cukupkah kamu tadi menuduhku jadi penyebab kecelakaan? Kenapa sekarang kamu menambah dengan tuduhan lain? Aku ini istrimu, Mas. Mana mungkin aku menginginkan kamu celaka? Sebaliknya aku sangat ingin melihatmu kembali sehat." Marisa menghela napas dan menatap Irawan yang masih mengabaikannya. "Jadi, tolong aku, Mas. Kamu sekarang ini boleh melupakan aku, tapi jangan menuduhku yang tidak-tidak. Tuduhan itu membuat hatiku sakit." Air mata menggenangi pelupuk mata Marisa setela
"Pak Irawan mengamuk, Bu!""Loh kenapa? Nggak mungkin, kan tiba-tiba suami saya mengamuk?" Marisa bertanya dengan panik."Bapak memaksa untuk keluar dari rumah sakit sekarang juga, Bu. Gimana nih, Bu?" Suara Laila yang gemetar menandakan dia pun tak kalah paniknya dengan Marisa. "Belum boleh! Kan nggak ada izin dokter," sahut Marisa. Dalam hati dia bingung juga sikap suaminya yang jadi seperti anak kecil. "Saya juga sudah bilang seperti itu, Bu, tapi Bapak nggak mau ngerti. Makanya saya telpon Ibu karena saya bingung. Saya tidak tahu harus melakukan apa lagi sekarang.""Hubungi suster aja. Saya tidak mungkin balik ke rumah sakit lagi." Lama-lama Marisa merasa kesal dengan ulah suaminya. Belum hilang rasa sakit hatinya karena tuduhan Irawan, sekarang suaminya itu bertingkah layaknya anak kecil sedang ngambek. "Iya, Bu. Tadi saya sudah tekan tombol memanggil perawat. Ini perawatnya baru datang. Ada Dokter Harun juga mau visit. Sudah dulu,vya, Bu." Suara panik Laila tadi sekarang mula
"Halah … alasan saja! Kenyataannya sampai sekarang aku masih belum bisa mengingatmu. Itu artinya kamu sudah melakukan kesalahan!" sentak Irawan. Marisa menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Dia sudah tidak tahu lagi mesti berkata apa. Semua yang dia katakan dan lakukan selalu salah di mata Irawan. Pendar harap yang dulunya masih menyala di mata perempuan itu sekarang makin meredup seiring sakit hati dan kecewa yang menumpuk di hatinya."Ya sudahlah, Mas. Terserah saja kamu mau beranggapan apa. Percuma saja usahaku selama ini untuk menjelaskan bahwa aku tidak bersalah, toh kamu tetap menganggap aku salah. Jadi, sesuka kamu saja." Marisa berdiri dari kursi di sebelah kasur Irawan dan berjalan menuju sofa bed. Dia memutuskan untuk tidak memedulikan Irawan lagi. Hatinya yang makin kacau membuat tubuhnya semakin mudah lelah. Jadi, lebih baik saat ini dia merebahkan diri di sofa bed, meski jam dinding masih menunjukkan pukul delapan malam. Tubuh Marisa sudah terbaring sempurna di so
"Sepertinya ada …," Marisa membuka pintu ruangan VVIP dengan perlahan sambil bersiap menyapa tamunya. Namun, ucapannya terputus ketika dia melihat apa yang terjadi di dalam kamar. "Apa-apaan ini! Apa yang kalian lakukan?!" bentak Marisa sambil memelototi pemandangan di depannya.Marisa terbelalak. Dia sama sekali tidak menduga akan menyaksikan Irawan yang berada di ranjang tengah memeluk seorang wanita yang berpakaian sangat seksi. Dia sangat yakin kalau suaminya memeluk bukan dipeluk, karena tangan suaminya lah yang melingkari tubuh wanita itu. Kalau wanita seksi itu yang memeluk dan Irawan tidak mau, pasti tangan Irawan tergeletak di samping tubuhnya. Sementara ini justru tangan suaminya yang meraih pinggang wanita itu dengan erat sehingga tubuh langsing perempuan seksi itu menempel erat di badan kekar Irawan. "Apa yang kalian lakukan?!" Sekali lagi Marisa berteriak sambil menghampiri kasur suaminya. Suara sepatu pantofelnya yang menghentak lantai ruangan VVIP terdengar kera
"Kalau begitu kenapa kamu tetap merawatku kalau sudah tahu kelemahanku?" selidik Irawan. Mendengar pertanyaan Irawan, Marisa mengubah langkahnya dan tidak jadi menuju sofa bed. Sebaliknya sekarang dia berjalan ke arah kasur suaminya lagi. Dia menatap Irawan lekat sampai suaminya itu merasa jengah dan memalingkan wajahnya. "Kamu benar-benar mau tahu jawabannya?" Marisa balik bertanya kepada Irawan. "Ya." Irawan menjawab singkat. Namun, matanya yang menatap Marisa menunjukkan rasa ingin tahunya yang tinggi. "Berarti kamu sudah mengakui bahwa aku adalah istrimu?" desak Marisa. Irawan kembali salah tingkah mendengar pertanyaan Marisa. Namun, dia tidak menjawab persoalan yang ingin diketahui istrinya itu."Ya sudahlah terserah Mas Irawan menganggapku sebagai istri atau tidak. Tapi sampai saat ini aku masih menganggapmu sebagai suami. Jadi sebagai istri aku ingin menjadi istri salihah yang tetap berada di sisi suaminya apa pun kondisinya. Dalam keadaan susah maupun senang." Irawan ter