Haaai ... terima kasih sudah mengikuti kisah Marisa sampai saat ini. Ikuti terus, ya karena cerita ini sudah mulai memasuki klimaks dan pastinya semakin seru. Tetap dukung Marusa dengan memberi vote dan gem. Terima kasih. I love you all 🥰🥰🥰
"Halah … alasan saja! Kenyataannya sampai sekarang aku masih belum bisa mengingatmu. Itu artinya kamu sudah melakukan kesalahan!" sentak Irawan. Marisa menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Dia sudah tidak tahu lagi mesti berkata apa. Semua yang dia katakan dan lakukan selalu salah di mata Irawan. Pendar harap yang dulunya masih menyala di mata perempuan itu sekarang makin meredup seiring sakit hati dan kecewa yang menumpuk di hatinya."Ya sudahlah, Mas. Terserah saja kamu mau beranggapan apa. Percuma saja usahaku selama ini untuk menjelaskan bahwa aku tidak bersalah, toh kamu tetap menganggap aku salah. Jadi, sesuka kamu saja." Marisa berdiri dari kursi di sebelah kasur Irawan dan berjalan menuju sofa bed. Dia memutuskan untuk tidak memedulikan Irawan lagi. Hatinya yang makin kacau membuat tubuhnya semakin mudah lelah. Jadi, lebih baik saat ini dia merebahkan diri di sofa bed, meski jam dinding masih menunjukkan pukul delapan malam. Tubuh Marisa sudah terbaring sempurna di so
"Sepertinya ada …," Marisa membuka pintu ruangan VVIP dengan perlahan sambil bersiap menyapa tamunya. Namun, ucapannya terputus ketika dia melihat apa yang terjadi di dalam kamar. "Apa-apaan ini! Apa yang kalian lakukan?!" bentak Marisa sambil memelototi pemandangan di depannya.Marisa terbelalak. Dia sama sekali tidak menduga akan menyaksikan Irawan yang berada di ranjang tengah memeluk seorang wanita yang berpakaian sangat seksi. Dia sangat yakin kalau suaminya memeluk bukan dipeluk, karena tangan suaminya lah yang melingkari tubuh wanita itu. Kalau wanita seksi itu yang memeluk dan Irawan tidak mau, pasti tangan Irawan tergeletak di samping tubuhnya. Sementara ini justru tangan suaminya yang meraih pinggang wanita itu dengan erat sehingga tubuh langsing perempuan seksi itu menempel erat di badan kekar Irawan. "Apa yang kalian lakukan?!" Sekali lagi Marisa berteriak sambil menghampiri kasur suaminya. Suara sepatu pantofelnya yang menghentak lantai ruangan VVIP terdengar kera
"Kalau begitu kenapa kamu tetap merawatku kalau sudah tahu kelemahanku?" selidik Irawan. Mendengar pertanyaan Irawan, Marisa mengubah langkahnya dan tidak jadi menuju sofa bed. Sebaliknya sekarang dia berjalan ke arah kasur suaminya lagi. Dia menatap Irawan lekat sampai suaminya itu merasa jengah dan memalingkan wajahnya. "Kamu benar-benar mau tahu jawabannya?" Marisa balik bertanya kepada Irawan. "Ya." Irawan menjawab singkat. Namun, matanya yang menatap Marisa menunjukkan rasa ingin tahunya yang tinggi. "Berarti kamu sudah mengakui bahwa aku adalah istrimu?" desak Marisa. Irawan kembali salah tingkah mendengar pertanyaan Marisa. Namun, dia tidak menjawab persoalan yang ingin diketahui istrinya itu."Ya sudahlah terserah Mas Irawan menganggapku sebagai istri atau tidak. Tapi sampai saat ini aku masih menganggapmu sebagai suami. Jadi sebagai istri aku ingin menjadi istri salihah yang tetap berada di sisi suaminya apa pun kondisinya. Dalam keadaan susah maupun senang." Irawan ter
"Bu Marisa yakin akan mengambil jalan itu?"Mata Ustazah Kamila menatap tepat di pupil Marisa. Guru mengaji berusia akhir tiga puluhan itu mengamati perubahan wajah Marisa. Dia ingin tahu sejauh mana keseriusan Marisa dalam mengambil keputusan itu. Dia tidak ingin Marisa kecewa dan menyesal setelah semua sudah terlambat. "Saya yakin, Ustazah. Banyak hal yang menjadi dasar saya ingin berpisah dengan suami saya. Kalau sekadar tidak ingin dimadu atau tidak mau terus dimusuhi ibu mertua, saya masih bisa bersabar dan bertahan." "Jadi masih ada alasan lainnya?" "Iya. Salah satunya adalah suami saya tidak mau salat. Dulu saya memang tidak pernah keberatan, karena saya pun juga sering meninggalkan salat.""Astaghfirullah." Meski lirih, tetapi istighfar yang dibaca Ustazah Kamila masih bisa ditangkap oleh telinga Marisa. "Namun, sekarang ceritanya berbeda. Alhamdulillah semenjak suami saya mengalami kecelakaan dan koma, saya sudah tidak pernah lagi meninggalkan salat. Sekarang saya menya
"Mas, saya mau ngomong sesuatu yang penting. Tolong jangan potong dulu ucapan saya," pinta Marisa.Irawan menatap Marisa dengan penasaran, tetapi tidak berkata apa pun juga. Dia hanya memberi isyarat dengan matanya agar istrinya itu melanjutkan ucapannya. "Besok saya mau ganti penampilan, Mas!""Ganti penampilan? Apa maksudmu?" sergah Irawan."Kan, sudah saya bilang jangan potong dulu!" omel Marisa. "Aku penasaran. Makanya cepetan jelaskan maksudmu!""Mulai besok saya akan mengenakan hijab. Saya harap Mas tidak menghalangi niat saya ini?" Irawan tertegun mendengar kata-kata Marisa. "Sejak kapan istrinya ini berubah makin religius?" batinnya.Irawan menatap istrinya yang masih berselimut mukena setelah pulang dari masjid. "Kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba mau berhijab? Memangnya ada yang salah dengan bajumu selama ini? Bukankah bajumu tidak pernah terbuka dan seksi?" "Sebagai muslimah iya … ada yang salah dengan pakaianku, Mas. Bagi orang lain mungkin baju yang kupakai selama ini sud
"Sepertinya Mas Irawan sulit berubah. Apakah itu artinya aku benar-benar harus mengajukan gugatan perceraian?" gumam Marisa. "Atau apakah aku harus cerita ke ibu sebelum mengambil keputusan? Barangkali Ibu mempunyai sudut pandang lain," batin Marisa lagi.Satu jam kemudian Marisa sudah dalam perjalanan menuju ke rumah ibunya. Hari ini kebetulan jam mengajarnya hanya sampai pukul dua dan tidak ada agenda penting, jadi dia bisa izin pulang lebih cepat. "Loh, Marisa … tumben kamu ke sini tanpa ngabarin Ibu lebih dulu." Bu Rahmi mengerutkan keningnya ketika membuka pintu dan melihat putri sulungnya berdiri di teras. Matanya menelusuri penampilan Marisa yang berbeda. "Kamu sekarang pakai hijab?""Iya, Bu. Tadi mendadak Marisa kepikiran mau ke sini. Alhamdulillah mulai hari ini Marisa berhijab." Bu Rahmi membuka pintu lebih lebar dan meminta Marisa masuk. Setelah menutup pintu Bu Rahmi mengekori anaknya sambil berkata, "Kamu makan malam di sini, ya, temani Ibu. Adikmu pulang agak malam k
"Seorang anak itu bukan hanya tanda bukti cinta kasih sepasang lelaki dan perempuan yang menjadi kedua orang tuanya, tetapi anak adalah penerus garis keturunan. Jadi, benarkah kamu rela tidak bisa meneruskan garis keturunan kami?" Bu Marisa memindai mata putri sulungnya dan meminta kepastian. Marisa tergeragap mendapat pertanyaan tersebut dari ibunya. Marisa baru sadar bahwa penerus garis keturunan kedua orang tuanya terletak di pundak dia dan adiknya. Jadi, tentu saja menjadi sebuah pukulan berat untuk ibunya seandainya Marisa tetap memilih menjadi istri Irawan yang mandul. "Marisa belum tahu, Bu. Marisa masih bingung." "Ya sudah … kalau begitu salatlah dan minta petunjuk. Semoga kamu segera mendapatkan jawaban," ucap Bu Rahmi penuh harap yang diaminkan oleh Marisa. Setelah menemani ibunya makan malam, Marisa pun kembali ke rumah sakit. Selama dalam perjalanan, Marisa berulangkali melihat pergelangan tangannya. Matanya yang menatap nanar jam yang melingkar di pergelangan tanganny
l"Apa itu tadi? Kalian menjalin hubungan selama aku koma?" tuduh Irawan. Wajahnya memerah dan napasnya memburu. Dia menatap Marisa yang tengah memperhatikan pintu yang baru saja menutup. Marisa menoleh mendengar seruan suaminya. Wajahnya menatap Irawan dengan keheranan. "Maksud kamu apa, Mas?" "Ada hubungan apa kamu dengan Dokter Harun? Kenapa dia berkomentar seperti itu? Dia juga tampak terpesona dengan penampilan barumu," selidik Irawan. "Hubungan? Aku dan Dokter Harun? Hubungan apa? Kamu ngomong apa, sih, Mas?" Memangnya ada yang salah dengan komentarnya tadi? Marisa menatap Irawan dengan kesal. Sementara itu Irawan ganti menatap Marisa dengan mata melotot. "Memangnya kamu nggak sadar bagaimana cara dia ngeliatin kamu?""Dokter Harun itu lelaki saleh. Dia tidak akan menatap perempuan yang bukan mahramnya. Dia hanya akan melihat sewajarnya lantas menundukkan pandangan. Bukan seperti lelaki lain yang menatap penuh nafsu. Apalagi kalau perempuan yang ditemui berpakaian terbu