"Sepertinya Mas Irawan sulit berubah. Apakah itu artinya aku benar-benar harus mengajukan gugatan perceraian?" gumam Marisa. "Atau apakah aku harus cerita ke ibu sebelum mengambil keputusan? Barangkali Ibu mempunyai sudut pandang lain," batin Marisa lagi.Satu jam kemudian Marisa sudah dalam perjalanan menuju ke rumah ibunya. Hari ini kebetulan jam mengajarnya hanya sampai pukul dua dan tidak ada agenda penting, jadi dia bisa izin pulang lebih cepat. "Loh, Marisa … tumben kamu ke sini tanpa ngabarin Ibu lebih dulu." Bu Rahmi mengerutkan keningnya ketika membuka pintu dan melihat putri sulungnya berdiri di teras. Matanya menelusuri penampilan Marisa yang berbeda. "Kamu sekarang pakai hijab?""Iya, Bu. Tadi mendadak Marisa kepikiran mau ke sini. Alhamdulillah mulai hari ini Marisa berhijab." Bu Rahmi membuka pintu lebih lebar dan meminta Marisa masuk. Setelah menutup pintu Bu Rahmi mengekori anaknya sambil berkata, "Kamu makan malam di sini, ya, temani Ibu. Adikmu pulang agak malam k
"Seorang anak itu bukan hanya tanda bukti cinta kasih sepasang lelaki dan perempuan yang menjadi kedua orang tuanya, tetapi anak adalah penerus garis keturunan. Jadi, benarkah kamu rela tidak bisa meneruskan garis keturunan kami?" Bu Marisa memindai mata putri sulungnya dan meminta kepastian. Marisa tergeragap mendapat pertanyaan tersebut dari ibunya. Marisa baru sadar bahwa penerus garis keturunan kedua orang tuanya terletak di pundak dia dan adiknya. Jadi, tentu saja menjadi sebuah pukulan berat untuk ibunya seandainya Marisa tetap memilih menjadi istri Irawan yang mandul. "Marisa belum tahu, Bu. Marisa masih bingung." "Ya sudah … kalau begitu salatlah dan minta petunjuk. Semoga kamu segera mendapatkan jawaban," ucap Bu Rahmi penuh harap yang diaminkan oleh Marisa. Setelah menemani ibunya makan malam, Marisa pun kembali ke rumah sakit. Selama dalam perjalanan, Marisa berulangkali melihat pergelangan tangannya. Matanya yang menatap nanar jam yang melingkar di pergelangan tanganny
l"Apa itu tadi? Kalian menjalin hubungan selama aku koma?" tuduh Irawan. Wajahnya memerah dan napasnya memburu. Dia menatap Marisa yang tengah memperhatikan pintu yang baru saja menutup. Marisa menoleh mendengar seruan suaminya. Wajahnya menatap Irawan dengan keheranan. "Maksud kamu apa, Mas?" "Ada hubungan apa kamu dengan Dokter Harun? Kenapa dia berkomentar seperti itu? Dia juga tampak terpesona dengan penampilan barumu," selidik Irawan. "Hubungan? Aku dan Dokter Harun? Hubungan apa? Kamu ngomong apa, sih, Mas?" Memangnya ada yang salah dengan komentarnya tadi? Marisa menatap Irawan dengan kesal. Sementara itu Irawan ganti menatap Marisa dengan mata melotot. "Memangnya kamu nggak sadar bagaimana cara dia ngeliatin kamu?""Dokter Harun itu lelaki saleh. Dia tidak akan menatap perempuan yang bukan mahramnya. Dia hanya akan melihat sewajarnya lantas menundukkan pandangan. Bukan seperti lelaki lain yang menatap penuh nafsu. Apalagi kalau perempuan yang ditemui berpakaian terbu
"Astaghfirullah … aku ketiduran." Marisa tergeragap dari tidurnya ketika dia mendengar alarm ponselnya yang berbunyi tepat pukul empat. Setelah membaca doa bangun tidur yang baru dihafalnya, Marisa memilih segera bangun dan duduk di pinggir sofa bed. "Enak sekali tidurku hari ini. Padahal cuma tidur satu setengah jam, tapi badanku rasanya segar. Mungkin ini yang disebut dengan tidur berkualitas," gumam Marisa, sambil meregangkan tubuhnya."Rasanya baru tadi malam aku bisa tidur senyenyak itu. Setelah masalah demi masalah menderaku, bisa tidur berkualitas adalah impian yang selama ini sulit kuraih. Rupanya melakukan garpu tala membuat hatiku merasa tenang dan bisa tidur nyenyak."Marisa tersenyum dan bergegas bangkit. "Lebih baik aku segera berwudhu dan mendirikan Salat Subuh." Perempuan berkulit kuning langsat itu pun lalu melangkah menuju kamar mandi. Dia sempat menengok ke arah suaminya sebelum masuk ke toilet. Irawan tampak tertidur pulas seperti biasanya. Marisa mendecih ke
"Mas, tolong ceraikan aku." Irawan terbelalak mendengar permintaan Marisa. Dia tidak menyangka istrinya yang selama ini penurut berani meminta cerai. Lelaki itu membuka mulutnya tapi urung berbicara dan memilih mengatupkan bibirnya kembali. "Mas … Mas Irawan dengar ucapanku barusan?" tanya Marisa sekali lagi. "Iya. Aku dengar." "Terus … kenapa diam aja, Mas? Jangan pura-pura lupa kalau aku ini istrimu, karena aku tahu kamu sudah ingat siapa aku. Jangan juga pura-pura nggak ngerti apa yang aku minta tadi." Marisa berkata dengan tegas. Terdengar helaan napas berat meluncur dari mulut Irawan sebelum dia berkata, "Nggak. Aku nggak pura-pura. Aku ingat siapa kamu dan ngerti apa yang kamu minta. Aku hanya sedang berpikir." Marisa menatap tajam Irawan. Dia menunggu kata-kata selanjutnya dari lelaki yang sudah mendampinginya selama lima tahun itu. Irawan balas menatap wajah perempuan yang selalu ada di sisinya selama lima tahun ini. Dia menemukan aura yang berbeda dari biasanya. Dul
"Bu … ini ditaruh di mana, ya?" "O itu taruh di koper merah kotak-kotak aja, Bi," jawab Marisa ke Bik Siti. Saat ini Marisa dibantu asisten rumah tangganya tengah mengemasi barang-barangnya. Mereka akan pindah ke rumah ibu marisa. Sementara rumah yang pernah ditempati Marisa ini akan dijual beserta perabotnya. Sejak enam bulan lalu ditalak oleh Irawan, Marisa memang memutuskan untuk tinggal dengan ibunya. Jadi, ketika Bu Rahmi menjemputnya di rumah sakit sampai dengan sekarang ini, dia kembali ke kamarnya semasa masih belum menikah. Setelah melewati proses perceraian yang tidak berbelit-belit, Irawan memberikan sejumlah harta gono-gini kepada mantan istrinya itu. Meskipun ditentang oleh Bu Santi dan ditolak oleh Marisa, Irawan tetap kukuh untuk memberikan harta gono-gini. Alasannya itu adalah hadiah sekaligus tanda permohonan maaf dari Irawan. Salah satu harta gono-gini yang diberikan Irawan adalah rumah mewah yang selama lima tahun pernikahan ditempatinya bersama Marisa. Awaln
"Loh, Bu … itu kayak mobil Bapak, ya? Kenapa Bapak kok cuma parkir di luar dan nggak minta masuk?" Bik Siti mengintip dari balik gorden dan menunjuk ke arah luar. Ucapan Bik Siti membuat kening Marisa mengernyit. Sambil berjalan mendekati asisten rumah tangganya, dia membatin, "Ternyata telinga Bik Siti juga menangkap derum mobil Mas Irawan. Berarti aku tadi tidak berhalusinasi mendengar suara fortuner Mas Irawan. Buktinya Bik Siti bahkan melihat mobil mantan suami majikannya itu terparkir di luar rumah." "Bapak bikin saya ingat cerita yang ada di film-film detektif. Biasanya di film itu ada mobil parkir di luar rumah …. terus orang-orang di dalam mobil memata-matai penghuni rumah." Bik Siti terkekeh selesai dia berbicara. "Loh, Bu Marisa mau kemana?" tanya Bik Siti. Dia keheranan melihat majikannya bergegas melintasi ruang tamu dan berjalan melewatinya. "Mau lihat apa benar mobil Mas Irawan ada di depan, Bik.""Apa mau diajak masuk, Bu?""Ya enggak lah, Bik. Cuma heran aja
"Maksud ibu rencana kamu lainnya. Masa iddahmu kan sudah selesai. Apa kamu nggak kepikiran untuk mencari pengganti Irawan?" Bu Rahmi menatap wajah Marisa. Marisa terdiam. Matanya memang masih menatap deretan bunga di depannya. Namun, angan perempuan itu sudah melintasi jajaran aneka tanaman yang ada di taman rumah ibunya. "Kok kamu diam saja. Ibu tanya serius loh ini." Bu Rahmi menepuk pelan lengan putri pertamanya yang duduk di sebelahnya. Sang putri menoleh sebentar sambil menarik sedikit bibirnya membentuk senyum sedih. "Risa masih berpikir, Bu. Terus terang saja pertanyaan Ibu itu sama sekali tidak pernah terlintas di benak Risa." "Kenapa? Apa kamu nggak pengen menikah lagi?" "Kalau ibu tanya sekarang jawaban risa sudah pasti tidak … Risa tidak ingin nikah lagi. Entah kalau beberapa tahun lagi ibu baru bertanya. Karena hati bisa berubah. Takdir Allah nantinya juga risa tidak tahu. Hanya saja untuk sekarang ini hati risa masih belum pulih, Bu." Marisa menarik napas dan menghe
"Mas Rian … jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Bangun, Mas! Aku membutuhkanmu!" ratap Marisa. Namun, lelaki yang dipeluk dan ditangisinya masih tetap mengatupkan matanya. Rapat. "Sudah, Mbak jangan nangis terus. Lebih baik kita doakan Mas Rian agar diberikan kesehatan." Marisa mengangguk mendengar saran Dokter Harun. Memang tangis tidak akan membuat Rian sembuh. "Alhamdulillah Allah masih melindunginya. Tusukan pisau itu tidak mengenai organ vital. Geser satu centi aja akan sangat berbahaya. Namun, mengingat dia ditusuk tiga kali dan mengeluarkan banyak darah, kondisinya belum terbilang stabil. Perlu banyak kantong darah untuk transfusi. Sementara stok golongan darah O di PMI menipis."Marisa mengusap wajah lega. "Ambil darah saya saja, Dok. Golongan darah saya O." "Jangan. Kamu butuh istirahat, Mbak. Darah saya saja, Dok. Saya juga bergolongan darah O," ucap Dokter Harun."Baiklah … nanti kita periksa dulu untuk melihat kecocokannya."Marisa menelepon ibunya untuk mengabarkan di
"Ada apa dengan Marisa?" sambar Rian.Dokter Harun menatap Bu Rahmi dengan prihatin. "Sabar, ya, Bu. Mbak Marisa mengalami penculikan di dekat sekolah. Kasusnya sedang dalam penyelidikan polisi." "Apa diculik?" teriak Rian."Tidak! Jangan polisi. Nanti Marisa tidak selamat!" seru Bu Rahmi yang kemudian menangis. "Kenapa tidak selamat? Ibu tahu kalau Mbak Marisa diculik?" desak Dokter Harun. "Iya." Bu Rahmi mengusap wajahnya dan terduduk lemas di sofa. "Itu sebabnya tadi Bulek telepon kamu." Tatapan Bu Rahmi terarah ke Rian."Sebenarnya Bulek berharap itu cuma bercanda, tapi kabar yang dibawa Dokter Harun membuat Bulek tahu kalau orang itu sungguh-sungguh menculik Marisa." Air mata Bu Rahmi pun menderas di kedua pipinya. "Orang itu? Siapa?" "Siapa orang itu, Bu?"Dokter Harun dan Rian bertanya bersamaan. "Tadi ada telepon. Ngaku temannya Marisa ke Bik Siti. Setelah ibu angkat dia bilang sudah menculik Marisa dan melarang untuk melapor ke polisi kalau mau anak ibu selamat. Tapi ta
"Apa-apaan ini? Siapa mereka?" tanya Marisa ketika melihat tiga orang lelaki turun dari mobil yang menghadangnya.Salah satu lelaki yang turun dari mobil penghadang itu kemudian menggedor jendela di samping Marisa. "Buka pintunya! Cepat!" Marisa terlonjak kaget dan mundur dari jendela. Untuk beberapa saat dia hanya diam dan memandang ketiga lelaki berwajah menyeramkan itu. Marisa tidak mau membuka pintunya. Berada di dalam mobil dengan pintu yang terkunci membuatnya sedikit merasa aman. Sayangnya rasa aman itu hanya bertahan sebentar, karena tak lama kemudian kaca jendela mobilnya pecah berhamburan. Salah satu lelaki menyeramkan itu memegang semacam palu yang besar dan berhasil memecah kaca. Belum hilang rasa kaget Marisa, lelaki yang sama berhasil membuka pintu mobilnya dari dalam dan menarik Marisa keluar. Kemudian dia diseret memasuki mobil milik ketiga lelaki itu. Meski Marisa meronta dan berteriak, tetapi itu tidak ada artinya. Karena tenaga Marisa jelas kalah dibanding ketig
"Iya betul, Bu. Dan kedatangan saya sekarang ini untuk meminta restu dari Ibu. Saya ingin melamar putri Ibu yang bernama Marisa." Bu Rahmi terpana melihat keterusterangan Dokter Harun. Dia tidak menyangka lelaki di hadapannya ini akan mengatakan hal tersebut di pertemuan pertama. "Alhamdulillah. Saya, sih, terserah kepada Marisa, saja, Nak Dokter. Tapi … kenapa terburu-buru? Apakah Nak Dokter nggak mau kenalan dulu dengan Marisa? Atau jangan-jangan kalian sudah kenal lama?" "Tidak, Bu. Saya baru bertemu dengan Mbak Marisa ketika saya merawat mantan suaminya. Saat itu tidak ada perasaan apa pun kecuali simpati seorang dokter kepada keluarga pasiennya." Bu Rahmi mendengarkan penjelasan Dokter Harun. "Lantas kapan mulai berubah?" Marisa mendelik mendengar pertanyaan ibunya. Dia menyenggol tubuh ibunya dengan siku untuk memintanya diam. Namun, Bu Rahmi tidak mempedulikannya. Sebenarnya Marisa juga penasaran seperti ibunya, tetapi dia terlalu malu untuk bertanya. Jadi, ketika Bu Rahm
Marisa berjalan mendekat. Mungkin karena mendengar suara langkah Marisa, lelaki itu mengangkat wajahnya dan Marisa pun berseru, "Kamu?"Lelaki itu kemudian bangkit dari kursinya dan berdiri dengan sikap sopan ala abdi kerajaan yang menunggu sang putri datang. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Mata hitam yang dinaungi sepasang alis yang melengkung sempurna itu menatap Marisa lekat. Namun, ketika tatapan dua insan berlawanan jenis itu bertemu, keduanya sama-sama segera mengalihkan tatapannya. "Maaf kalau saya datang tanpa kabar lebih dulu, Bu Marisa," ucap lelaki itu. "Iya. Tidak apa-apa. Silakan duduk, Dok." Marisa pun duduk di seberang sofa yang ditempati Dokter Harun. "Ada yang bisa saya bantu, Dok? Ada apa dengan Amanda?" "Kedatangan saya kemari nggak ada hubungannya dengan Amanda, Bu."Marisa mengangkat wajahnya dan menatap mata Dokter Harun. Ada tatapan bertanya di mata Marisa.Melihat pandangan bertanya di mata hazel Marisa, tiba-tiba saja Dokter Harun menjadi gugup. "B
Tiba-tiba Marisa berhenti melangkah. Raut wajahnya tampak seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu. Dia kemudian berbisik, "Kenapa aku merasa senang mengetahui fakta terbaru tentang Suster Ratri? Apakah ini artinya aku mulai membuka hati untuk Dokter Harun?"Untuk beberapa saat Marisa berdiri termangu, lalu dia menghela napas dan kembali berbisik, "Aku nggak boleh linglung di sini. Lebih baik sekarang aku segera pulang. Tentang bagaimana perasaanku sebenarnya bisa aku pikirkan nanti saja kalau sudah di rumah."Lantas, Marisa pun memutar tubuh dan kembali ke halaman sekolah. Dia segera memasuki mobil kesayangannya dan memacunya menuju rumah. "Loh … katanya mau ke toko buku. Kok sudah pulang? Nggak jadi?" tegur Bu Rahmi ketika melihat Marisa turun dari mobil. "Enggak, Bu," jawab Marisa sambil melangkah menuju teras. Lalu dia duduk di salah satu kursi yang ada di teras. Marisa menyelonjorkan kaki dan memandang ibunya yang tengah merapikan rumpun mawar.Tidak adanya penjelasan atas
Mata Marisa terbelalak mendengar ucapan Dokter Harun. "Sudah sedekat itukah hubungan mereka hingga Suster Ratri membawakan bekal untuk makan siang Dokter Harun?" batinnya."Suster Ratri itu seperti seorang ibu sekaligus kakak buat saya. Cerewetnya sama," lanjut Dokter Harun sambil menatap Marisa."Seperti ibu? Cerewet?" Marisa mengulangi kata-kata Dokter Harun dengan nada kebingungan. "Iya. Kalau Suster Ratri lagi ngomelin saya bisa dua puluh ribu kata per jam dia lontarkan." Dokter Harun terkekeh sambil matanya menerawang. Dia mengenang saat-saat Suster Ratri mengomelinya. "Suster Ratri berani ngomelin Dokter?" Marisa bertanya dengan heran. Dia semakin kebingungan mendengar fakta terbaru tentang sosok suster luar biasa yang menjadi kesayangan keluarga Dokter Harun itu."Loh kenapa nggak berani? Kan dia juga sudah saya anggap seperti kakak tertua," jawab Dokter Harun. Marisa melongo mendengar jawaban Dokter Harun yang semakin membuatnya bingung. Benaknya sibuk merangkai semua fa
"Bu Marisa … apa kabar? Lama kita tidak ketemu. Kapan kita bisa mengobrol lagi seperti beberapa bulan lalu, ya, Bu? Saya kangen kepada Ibu."Marisa mengangkat kepalanya. Dia melihat seorang siswi mendekatinya yang tengah asyik membaca di perpustakaan sekolah. "Amanda? Alhamdulillah kabar ibu baik dan sehat. Semoga Amanda juga sehat. Iya, kita lama nggak ketemu, ya. Soalnya tahun ajaran baru ini ibu nggak mengajar di kelasmu lagi. Ayo sini duduk di sebelah Ibu, mumpung lagi jam istirahat." Amanda menurut dan menarik kursi kosong di sebelah Marisa. Setelah duduk, dia lalu berkata,"Alhamdulillah … syukurlah kalau ibu baik-baik saja. Manda juga Alhamdulillah baik, Bu. Cuma kangen aja karena jarang ngelihat Ibu." "Iya, loh. Ibu juga baru sadar kalau sudah lama nggak lihat kamu nunggu jemputan di bangku halaman sekolah." "Iya, Bu. Sekarang ini Manda nggak perlu nunggu jemputan lagi."Marisa terkesiap. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, apakah ini ada hubungannya dengan kemarahan Dokter
"Iya, Mas. Aku baru saja memberi tahu dia kalau aku menolak lamarannya." "O pantas saja mukanya ditekuk seperti itu. Terus apa rencana kamu selanjutnya?""Rencana? Rencana apa maksudmu, Mas?" tanya Marisa dengan wajah kebingungan."Ya rencana masa depan kamu. Misalnya … apa kamu akan kembali menutup diri atau mau membuka hati lagi? Apa kamu mau terima perjodohan yang kemarin diatur ibuku? Atau bagaimana? Kamu pasti sudah memikirkannya, kan?" selidik Rian."Sepertinya aku ngalir aja, Mas. Aku ikut takdir Allah. Maksudku … aku nggak siapin waktu secara khusus untuk cari pasangan hidup, tapi kalau Allah takdirkan aku ketemu seseorang, ya, aku terima." "Meskipun itu aku?""Maksudnya gimana, Mas?""Kalau Allah takdirkan aku adalah jodohmu gimana?" Rian tidak menjawab pertanyaan Marisa, tetapi justru bertanya balik. Tatapan mata Rian menghujam tepat ke bola mata Marisa. Dia menatap penuh harap kepada perempuan yang sudah dikenalnya sejak kecil itu."Kalau memang Allah takdirkan, ya,