Halo sahabat marisa, terima kasih sudah mengikuti cerita ini. InsyaAllah mulai sekarang saya usahakan mengetik lebih panjang biar kalian senang. Jangan lupa terus dukung Marisa dengan vote dan gem. I love you all 🥰🥰🥰
"Ma! Jangan asal tuduh!" Secepat kilat Marisa menoleh dan membantah suara bentakan dari Bu Santi itu."Siapa yang asal tuduh? Ternyata firasat anakku itu benar. Sekarang kamu harus mengaku! Katakan kepada Mama apa yang kamu lakukan kepada Irawan sehingga suami kamu itu lupa kepadamu?" Mata Marisa mengembun mendengar tuduhan Bu Santi. Dia menatap ibu mertuanya itu dengan tatapan yang penuh emosi. Hatinya terasa dicabik-cabik antara marah dan terluka. Baru beberapa hari lalu mereka berbaikan dan hidup bahagia sebagai mertua dan menantu. Sekarang dengan mudahnya ibu mertuanya itu kembali melontarkan tuduhan yang tidak berdasar. "Harus berapa kali Risa katakan, Ma? Risa tidak melakukan apa pun kepada Mas Irawan. Risa pun bingung dan sedih karena Mas Irawan lupa bahwa Risa adalah istrinya." "Orang itu biasanya melupakan sesuatu yang membuatnya marah atau terluka. Jadi kalau anakku melupakan kamu, itu artinya kamu sudah melakukan sesuatu yang membuatnya marah dan kecewa." Bu Santi kemba
"Untuk apa kamu mengurusku? Bukankah lebih baik aku tetap koma atau kalaupun sadar pasti kamu lebih suka melihatku lumpuh." Terdengar suara bernada ketus dari arah kasur Irawan. Selama lima tahun usia pernikahannya dengan Irawan, suaminya itu tidak pernah berkata kasar. Jadi, ketika pertama kali mendengar tuduhan dengan nada kasar dari suaminya membuat hati Marisa bak disayat sembilu. "Kenapa kamu berkata seperti itu, Mas?" tanya Marisa dengan suara bergetar. Dia melangkah perlahan menghampiri suaminya."Tidak cukupkah kamu tadi menuduhku jadi penyebab kecelakaan? Kenapa sekarang kamu menambah dengan tuduhan lain? Aku ini istrimu, Mas. Mana mungkin aku menginginkan kamu celaka? Sebaliknya aku sangat ingin melihatmu kembali sehat." Marisa menghela napas dan menatap Irawan yang masih mengabaikannya. "Jadi, tolong aku, Mas. Kamu sekarang ini boleh melupakan aku, tapi jangan menuduhku yang tidak-tidak. Tuduhan itu membuat hatiku sakit." Air mata menggenangi pelupuk mata Marisa setela
"Pak Irawan mengamuk, Bu!""Loh kenapa? Nggak mungkin, kan tiba-tiba suami saya mengamuk?" Marisa bertanya dengan panik."Bapak memaksa untuk keluar dari rumah sakit sekarang juga, Bu. Gimana nih, Bu?" Suara Laila yang gemetar menandakan dia pun tak kalah paniknya dengan Marisa. "Belum boleh! Kan nggak ada izin dokter," sahut Marisa. Dalam hati dia bingung juga sikap suaminya yang jadi seperti anak kecil. "Saya juga sudah bilang seperti itu, Bu, tapi Bapak nggak mau ngerti. Makanya saya telpon Ibu karena saya bingung. Saya tidak tahu harus melakukan apa lagi sekarang.""Hubungi suster aja. Saya tidak mungkin balik ke rumah sakit lagi." Lama-lama Marisa merasa kesal dengan ulah suaminya. Belum hilang rasa sakit hatinya karena tuduhan Irawan, sekarang suaminya itu bertingkah layaknya anak kecil sedang ngambek. "Iya, Bu. Tadi saya sudah tekan tombol memanggil perawat. Ini perawatnya baru datang. Ada Dokter Harun juga mau visit. Sudah dulu,vya, Bu." Suara panik Laila tadi sekarang mula
"Halah … alasan saja! Kenyataannya sampai sekarang aku masih belum bisa mengingatmu. Itu artinya kamu sudah melakukan kesalahan!" sentak Irawan. Marisa menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Dia sudah tidak tahu lagi mesti berkata apa. Semua yang dia katakan dan lakukan selalu salah di mata Irawan. Pendar harap yang dulunya masih menyala di mata perempuan itu sekarang makin meredup seiring sakit hati dan kecewa yang menumpuk di hatinya."Ya sudahlah, Mas. Terserah saja kamu mau beranggapan apa. Percuma saja usahaku selama ini untuk menjelaskan bahwa aku tidak bersalah, toh kamu tetap menganggap aku salah. Jadi, sesuka kamu saja." Marisa berdiri dari kursi di sebelah kasur Irawan dan berjalan menuju sofa bed. Dia memutuskan untuk tidak memedulikan Irawan lagi. Hatinya yang makin kacau membuat tubuhnya semakin mudah lelah. Jadi, lebih baik saat ini dia merebahkan diri di sofa bed, meski jam dinding masih menunjukkan pukul delapan malam. Tubuh Marisa sudah terbaring sempurna di so
"Sepertinya ada …," Marisa membuka pintu ruangan VVIP dengan perlahan sambil bersiap menyapa tamunya. Namun, ucapannya terputus ketika dia melihat apa yang terjadi di dalam kamar. "Apa-apaan ini! Apa yang kalian lakukan?!" bentak Marisa sambil memelototi pemandangan di depannya.Marisa terbelalak. Dia sama sekali tidak menduga akan menyaksikan Irawan yang berada di ranjang tengah memeluk seorang wanita yang berpakaian sangat seksi. Dia sangat yakin kalau suaminya memeluk bukan dipeluk, karena tangan suaminya lah yang melingkari tubuh wanita itu. Kalau wanita seksi itu yang memeluk dan Irawan tidak mau, pasti tangan Irawan tergeletak di samping tubuhnya. Sementara ini justru tangan suaminya yang meraih pinggang wanita itu dengan erat sehingga tubuh langsing perempuan seksi itu menempel erat di badan kekar Irawan. "Apa yang kalian lakukan?!" Sekali lagi Marisa berteriak sambil menghampiri kasur suaminya. Suara sepatu pantofelnya yang menghentak lantai ruangan VVIP terdengar kera
"Kalau begitu kenapa kamu tetap merawatku kalau sudah tahu kelemahanku?" selidik Irawan. Mendengar pertanyaan Irawan, Marisa mengubah langkahnya dan tidak jadi menuju sofa bed. Sebaliknya sekarang dia berjalan ke arah kasur suaminya lagi. Dia menatap Irawan lekat sampai suaminya itu merasa jengah dan memalingkan wajahnya. "Kamu benar-benar mau tahu jawabannya?" Marisa balik bertanya kepada Irawan. "Ya." Irawan menjawab singkat. Namun, matanya yang menatap Marisa menunjukkan rasa ingin tahunya yang tinggi. "Berarti kamu sudah mengakui bahwa aku adalah istrimu?" desak Marisa. Irawan kembali salah tingkah mendengar pertanyaan Marisa. Namun, dia tidak menjawab persoalan yang ingin diketahui istrinya itu."Ya sudahlah terserah Mas Irawan menganggapku sebagai istri atau tidak. Tapi sampai saat ini aku masih menganggapmu sebagai suami. Jadi sebagai istri aku ingin menjadi istri salihah yang tetap berada di sisi suaminya apa pun kondisinya. Dalam keadaan susah maupun senang." Irawan ter
"Bu Marisa yakin akan mengambil jalan itu?"Mata Ustazah Kamila menatap tepat di pupil Marisa. Guru mengaji berusia akhir tiga puluhan itu mengamati perubahan wajah Marisa. Dia ingin tahu sejauh mana keseriusan Marisa dalam mengambil keputusan itu. Dia tidak ingin Marisa kecewa dan menyesal setelah semua sudah terlambat. "Saya yakin, Ustazah. Banyak hal yang menjadi dasar saya ingin berpisah dengan suami saya. Kalau sekadar tidak ingin dimadu atau tidak mau terus dimusuhi ibu mertua, saya masih bisa bersabar dan bertahan." "Jadi masih ada alasan lainnya?" "Iya. Salah satunya adalah suami saya tidak mau salat. Dulu saya memang tidak pernah keberatan, karena saya pun juga sering meninggalkan salat.""Astaghfirullah." Meski lirih, tetapi istighfar yang dibaca Ustazah Kamila masih bisa ditangkap oleh telinga Marisa. "Namun, sekarang ceritanya berbeda. Alhamdulillah semenjak suami saya mengalami kecelakaan dan koma, saya sudah tidak pernah lagi meninggalkan salat. Sekarang saya menya
"Mas, saya mau ngomong sesuatu yang penting. Tolong jangan potong dulu ucapan saya," pinta Marisa.Irawan menatap Marisa dengan penasaran, tetapi tidak berkata apa pun juga. Dia hanya memberi isyarat dengan matanya agar istrinya itu melanjutkan ucapannya. "Besok saya mau ganti penampilan, Mas!""Ganti penampilan? Apa maksudmu?" sergah Irawan."Kan, sudah saya bilang jangan potong dulu!" omel Marisa. "Aku penasaran. Makanya cepetan jelaskan maksudmu!""Mulai besok saya akan mengenakan hijab. Saya harap Mas tidak menghalangi niat saya ini?" Irawan tertegun mendengar kata-kata Marisa. "Sejak kapan istrinya ini berubah makin religius?" batinnya.Irawan menatap istrinya yang masih berselimut mukena setelah pulang dari masjid. "Kenapa? Kenapa kamu tiba-tiba mau berhijab? Memangnya ada yang salah dengan bajumu selama ini? Bukankah bajumu tidak pernah terbuka dan seksi?" "Sebagai muslimah iya … ada yang salah dengan pakaianku, Mas. Bagi orang lain mungkin baju yang kupakai selama ini sud
"Mas Rian … jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Bangun, Mas! Aku membutuhkanmu!" ratap Marisa. Namun, lelaki yang dipeluk dan ditangisinya masih tetap mengatupkan matanya. Rapat. "Sudah, Mbak jangan nangis terus. Lebih baik kita doakan Mas Rian agar diberikan kesehatan." Marisa mengangguk mendengar saran Dokter Harun. Memang tangis tidak akan membuat Rian sembuh. "Alhamdulillah Allah masih melindunginya. Tusukan pisau itu tidak mengenai organ vital. Geser satu centi aja akan sangat berbahaya. Namun, mengingat dia ditusuk tiga kali dan mengeluarkan banyak darah, kondisinya belum terbilang stabil. Perlu banyak kantong darah untuk transfusi. Sementara stok golongan darah O di PMI menipis."Marisa mengusap wajah lega. "Ambil darah saya saja, Dok. Golongan darah saya O." "Jangan. Kamu butuh istirahat, Mbak. Darah saya saja, Dok. Saya juga bergolongan darah O," ucap Dokter Harun."Baiklah … nanti kita periksa dulu untuk melihat kecocokannya."Marisa menelepon ibunya untuk mengabarkan di
"Ada apa dengan Marisa?" sambar Rian.Dokter Harun menatap Bu Rahmi dengan prihatin. "Sabar, ya, Bu. Mbak Marisa mengalami penculikan di dekat sekolah. Kasusnya sedang dalam penyelidikan polisi." "Apa diculik?" teriak Rian."Tidak! Jangan polisi. Nanti Marisa tidak selamat!" seru Bu Rahmi yang kemudian menangis. "Kenapa tidak selamat? Ibu tahu kalau Mbak Marisa diculik?" desak Dokter Harun. "Iya." Bu Rahmi mengusap wajahnya dan terduduk lemas di sofa. "Itu sebabnya tadi Bulek telepon kamu." Tatapan Bu Rahmi terarah ke Rian."Sebenarnya Bulek berharap itu cuma bercanda, tapi kabar yang dibawa Dokter Harun membuat Bulek tahu kalau orang itu sungguh-sungguh menculik Marisa." Air mata Bu Rahmi pun menderas di kedua pipinya. "Orang itu? Siapa?" "Siapa orang itu, Bu?"Dokter Harun dan Rian bertanya bersamaan. "Tadi ada telepon. Ngaku temannya Marisa ke Bik Siti. Setelah ibu angkat dia bilang sudah menculik Marisa dan melarang untuk melapor ke polisi kalau mau anak ibu selamat. Tapi ta
"Apa-apaan ini? Siapa mereka?" tanya Marisa ketika melihat tiga orang lelaki turun dari mobil yang menghadangnya.Salah satu lelaki yang turun dari mobil penghadang itu kemudian menggedor jendela di samping Marisa. "Buka pintunya! Cepat!" Marisa terlonjak kaget dan mundur dari jendela. Untuk beberapa saat dia hanya diam dan memandang ketiga lelaki berwajah menyeramkan itu. Marisa tidak mau membuka pintunya. Berada di dalam mobil dengan pintu yang terkunci membuatnya sedikit merasa aman. Sayangnya rasa aman itu hanya bertahan sebentar, karena tak lama kemudian kaca jendela mobilnya pecah berhamburan. Salah satu lelaki menyeramkan itu memegang semacam palu yang besar dan berhasil memecah kaca. Belum hilang rasa kaget Marisa, lelaki yang sama berhasil membuka pintu mobilnya dari dalam dan menarik Marisa keluar. Kemudian dia diseret memasuki mobil milik ketiga lelaki itu. Meski Marisa meronta dan berteriak, tetapi itu tidak ada artinya. Karena tenaga Marisa jelas kalah dibanding ketig
"Iya betul, Bu. Dan kedatangan saya sekarang ini untuk meminta restu dari Ibu. Saya ingin melamar putri Ibu yang bernama Marisa." Bu Rahmi terpana melihat keterusterangan Dokter Harun. Dia tidak menyangka lelaki di hadapannya ini akan mengatakan hal tersebut di pertemuan pertama. "Alhamdulillah. Saya, sih, terserah kepada Marisa, saja, Nak Dokter. Tapi … kenapa terburu-buru? Apakah Nak Dokter nggak mau kenalan dulu dengan Marisa? Atau jangan-jangan kalian sudah kenal lama?" "Tidak, Bu. Saya baru bertemu dengan Mbak Marisa ketika saya merawat mantan suaminya. Saat itu tidak ada perasaan apa pun kecuali simpati seorang dokter kepada keluarga pasiennya." Bu Rahmi mendengarkan penjelasan Dokter Harun. "Lantas kapan mulai berubah?" Marisa mendelik mendengar pertanyaan ibunya. Dia menyenggol tubuh ibunya dengan siku untuk memintanya diam. Namun, Bu Rahmi tidak mempedulikannya. Sebenarnya Marisa juga penasaran seperti ibunya, tetapi dia terlalu malu untuk bertanya. Jadi, ketika Bu Rahm
Marisa berjalan mendekat. Mungkin karena mendengar suara langkah Marisa, lelaki itu mengangkat wajahnya dan Marisa pun berseru, "Kamu?"Lelaki itu kemudian bangkit dari kursinya dan berdiri dengan sikap sopan ala abdi kerajaan yang menunggu sang putri datang. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Mata hitam yang dinaungi sepasang alis yang melengkung sempurna itu menatap Marisa lekat. Namun, ketika tatapan dua insan berlawanan jenis itu bertemu, keduanya sama-sama segera mengalihkan tatapannya. "Maaf kalau saya datang tanpa kabar lebih dulu, Bu Marisa," ucap lelaki itu. "Iya. Tidak apa-apa. Silakan duduk, Dok." Marisa pun duduk di seberang sofa yang ditempati Dokter Harun. "Ada yang bisa saya bantu, Dok? Ada apa dengan Amanda?" "Kedatangan saya kemari nggak ada hubungannya dengan Amanda, Bu."Marisa mengangkat wajahnya dan menatap mata Dokter Harun. Ada tatapan bertanya di mata Marisa.Melihat pandangan bertanya di mata hazel Marisa, tiba-tiba saja Dokter Harun menjadi gugup. "B
Tiba-tiba Marisa berhenti melangkah. Raut wajahnya tampak seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu. Dia kemudian berbisik, "Kenapa aku merasa senang mengetahui fakta terbaru tentang Suster Ratri? Apakah ini artinya aku mulai membuka hati untuk Dokter Harun?"Untuk beberapa saat Marisa berdiri termangu, lalu dia menghela napas dan kembali berbisik, "Aku nggak boleh linglung di sini. Lebih baik sekarang aku segera pulang. Tentang bagaimana perasaanku sebenarnya bisa aku pikirkan nanti saja kalau sudah di rumah."Lantas, Marisa pun memutar tubuh dan kembali ke halaman sekolah. Dia segera memasuki mobil kesayangannya dan memacunya menuju rumah. "Loh … katanya mau ke toko buku. Kok sudah pulang? Nggak jadi?" tegur Bu Rahmi ketika melihat Marisa turun dari mobil. "Enggak, Bu," jawab Marisa sambil melangkah menuju teras. Lalu dia duduk di salah satu kursi yang ada di teras. Marisa menyelonjorkan kaki dan memandang ibunya yang tengah merapikan rumpun mawar.Tidak adanya penjelasan atas
Mata Marisa terbelalak mendengar ucapan Dokter Harun. "Sudah sedekat itukah hubungan mereka hingga Suster Ratri membawakan bekal untuk makan siang Dokter Harun?" batinnya."Suster Ratri itu seperti seorang ibu sekaligus kakak buat saya. Cerewetnya sama," lanjut Dokter Harun sambil menatap Marisa."Seperti ibu? Cerewet?" Marisa mengulangi kata-kata Dokter Harun dengan nada kebingungan. "Iya. Kalau Suster Ratri lagi ngomelin saya bisa dua puluh ribu kata per jam dia lontarkan." Dokter Harun terkekeh sambil matanya menerawang. Dia mengenang saat-saat Suster Ratri mengomelinya. "Suster Ratri berani ngomelin Dokter?" Marisa bertanya dengan heran. Dia semakin kebingungan mendengar fakta terbaru tentang sosok suster luar biasa yang menjadi kesayangan keluarga Dokter Harun itu."Loh kenapa nggak berani? Kan dia juga sudah saya anggap seperti kakak tertua," jawab Dokter Harun. Marisa melongo mendengar jawaban Dokter Harun yang semakin membuatnya bingung. Benaknya sibuk merangkai semua fa
"Bu Marisa … apa kabar? Lama kita tidak ketemu. Kapan kita bisa mengobrol lagi seperti beberapa bulan lalu, ya, Bu? Saya kangen kepada Ibu."Marisa mengangkat kepalanya. Dia melihat seorang siswi mendekatinya yang tengah asyik membaca di perpustakaan sekolah. "Amanda? Alhamdulillah kabar ibu baik dan sehat. Semoga Amanda juga sehat. Iya, kita lama nggak ketemu, ya. Soalnya tahun ajaran baru ini ibu nggak mengajar di kelasmu lagi. Ayo sini duduk di sebelah Ibu, mumpung lagi jam istirahat." Amanda menurut dan menarik kursi kosong di sebelah Marisa. Setelah duduk, dia lalu berkata,"Alhamdulillah … syukurlah kalau ibu baik-baik saja. Manda juga Alhamdulillah baik, Bu. Cuma kangen aja karena jarang ngelihat Ibu." "Iya, loh. Ibu juga baru sadar kalau sudah lama nggak lihat kamu nunggu jemputan di bangku halaman sekolah." "Iya, Bu. Sekarang ini Manda nggak perlu nunggu jemputan lagi."Marisa terkesiap. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, apakah ini ada hubungannya dengan kemarahan Dokter
"Iya, Mas. Aku baru saja memberi tahu dia kalau aku menolak lamarannya." "O pantas saja mukanya ditekuk seperti itu. Terus apa rencana kamu selanjutnya?""Rencana? Rencana apa maksudmu, Mas?" tanya Marisa dengan wajah kebingungan."Ya rencana masa depan kamu. Misalnya … apa kamu akan kembali menutup diri atau mau membuka hati lagi? Apa kamu mau terima perjodohan yang kemarin diatur ibuku? Atau bagaimana? Kamu pasti sudah memikirkannya, kan?" selidik Rian."Sepertinya aku ngalir aja, Mas. Aku ikut takdir Allah. Maksudku … aku nggak siapin waktu secara khusus untuk cari pasangan hidup, tapi kalau Allah takdirkan aku ketemu seseorang, ya, aku terima." "Meskipun itu aku?""Maksudnya gimana, Mas?""Kalau Allah takdirkan aku adalah jodohmu gimana?" Rian tidak menjawab pertanyaan Marisa, tetapi justru bertanya balik. Tatapan mata Rian menghujam tepat ke bola mata Marisa. Dia menatap penuh harap kepada perempuan yang sudah dikenalnya sejak kecil itu."Kalau memang Allah takdirkan, ya,