Halo sahabat Marisa. Sehat semuanya, kan? Terima kasih sudah mengikuti terus cerita Marisa sampai saat ini. Mohon dukungannya ya untuk memberikan ulasan, vote . Terima kasih🥰🥰🥰
"Jadi … benar-benar tidak ada harapan lagi untuk kalian memiliki anak? Vonis mandul itu apakah benar-benar tidak dapat diatasi?" tanya Pak Hartawan dengan nada sedih. Belum sempat Marisa menjawab pertanyaan ayah mertuanya, Bu Santi menyahut, "Tidak mungkin, Pa. Mama tetap tidak percaya kalau anak kita itu mandul. Besok Mama akan cek hasil lab yang Marisa bawa. Kalau perlu Mama akan minta cek ulang!"Marisa hanya tersenyum mendengar ucapan ibu mertuanya yang dikatakan dengan sengit. Dengan tenang Marisa berkata, "Silakan, Ma semoga sudah ada perkembangan. Karena hasil cek lab Mas Irawan bulan lalu juga masih belum menunjukkan ada kemajuan dari terapinya." Melihat Bu Santi tidak menanggapi ucapannya, Marisa kembali berkata, "O ya, Ma, kalau bisa sekalian ajak Clara untuk tes DNA saja. Bukankah lebih cepat ketahuan janinnya anak siapa itu lebih baik lagi?" Bu Santi mendengkus mendengar ucapan Marisa. Meski dia tahu apa yang dikatakan oleh menantunya itu benar, tetapi dia tidak suka di
"Risa, kemarin Mama temani Clara tes DNA. Hasilnya belum keluar. Tapi … feeling Mama tidak enak."Marisa terdiam mendengar cerita Bu Santi di telepon. Setelah berdamai dengan ibu mertuanya beberapa hari lalu, baru sekarang dia menerima telepon Bu Santi. Ada rasa canggung tapi Marisa mencoba menepisnya. "Kenapa tidak enak, Ma? Memangnya ada sesuatu yang dikatakan oleh Clara?" tanya Marisa."Enggak, sih. Justru karena dia gak mau menjawab semua pertanyaan Mama makanya perasaan Mama jadi tidak enak." "Maaf Ma Risa nggak paham maksud Mama." "Ah kamu ini diajak ngomong kok selalu gak nyambung," kata Bu Santi dengan nada kesal. "Maaf, Ma." Meskipun sebenarnya bukan salahnya tetapi Marisa memutuskan meminta maaf agar hubungannya dengan ibu mertuanya itu tetap baik-baik saja. Terdengar suara helaan nafas dari seberang. Marisa menduga Bu Santi pun tengah mencoba mengatur emosinya yang biasanya meledak-ledak. "Ya sudah gak apa-apa." "Mungkin Mama bisa cerita gimana awalnya kok Mama bisa a
"Marisa … Mama sudah tahu hasilnya!"Tanpa mengucapkan salam Bu Santi langsung saja menyampaikan maksudnya. "Hasilnya bagaimana, Ma?""Sepertinya kita harus bahas ini barengan dengan Papa. Tadi Mama izin sebentar ke toilet kalau terlalu lama, Clara bisa curiga." "Ya sudah kalau begitu, Ma. Marisa tunggu nanti sore." Marisa memandangi ponsel yang masih ada di tangannya setelah ibu mertuanya memutus sambungan telepon. Sebenarnya dia sangat ingin segera mengetahui hasilnya. Namun, dia juga menghormati keputusan ibu mertuanya yang ingin menyampaikannya di depan ayah mertua marisa. "Semoga saja janin yang ada dalam kandungan Clara bukan anak Mas Irawan," gumam Marisa. Meskipun Marisa hampir yakin janin itu bukan anak suaminya karena kondisi Irawan, tetapi masih ada kekhawatiran di dalam hatinya. "Tapi seandainya itu anaknya Mas Irawan sikap apa yang harus aku ambil? Akankah aku menerima anak itu? Lantas bagaimana posisi Clara? Itu berarti dia adalah maduku meski belum dinikahi o
"Kok kamu bisa bilang seperti itu! Kalau kamu mengandung anak lelaki lain. Itu artinya kamu berhubungan dengan banyak lelaki bukan hanya dengan Irawan. Jadi kamu bukan korban! Kamu juga pelaku yang melakukan dengan suka rela dan senang hati. Saya kecewa karena ternyata kamu betul-betul perempuan yang tidak punya martabat!" Bu Santi meradang. Matanya menatap Clara nyalang. Wajah Clara memerah mendengar kata-kata Bu Santi. Meski merasa marah, tetapi dia tidak berani membantah ucapan Bu Santi. Sebagai gantinya tubuhnya berbalik dan matanya menatap nyalang Marisa. Tangannya terangkat lalu menuding Marisa. "Kamu yang menyebabkan semua ini terjadi! Kamu harus bertanggung jawab atau kamu akan tahu rasa!"Marisa terkesiap mendapat tuduhan seperti itu dari Clara. "Hei … apa maksud kamu? Kenapa aku harus bertanggung jawab untuk ulahmu sendiri? Harusnya sebagai orang dewasa yang bisa berpikir kamu tahu resikonya pergaulan bebas! Jadi kalau kamu hamil di luar nikah itu salahmu sendiri!" Clara
"Maaf," ucap Dokter Harun kepada perempuan yang menabraknya. Dibesarkan dalam lingkungan agamis dan menjunjung tinggi adab membuat dokter berdarah Timur Tengah itu tetap meminta maaf meski sebenarnya perempuan seksi itulah yang menabraknya.Saat Dokter Harun ditabrak oleh Clara, mata mereka berdua sempat bersirobok. Namun, sang dokter segera mengalihkan pandangannya. Tatapan lekat perempuan itu yang menggoda membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi ketika melihat pakaian perempuan itu yang terbuka. Sang dokter pun mundur dan menundukkan pandangan, meski terdengar suara cemooh dari bibir merah perempuan itu. Setelah perempuan itu berlalu, mata Dokter Harun kembali terarah kepada keluarga pasiennya. Sempat mendengar ancaman dari perempuan tadi membuat Dokter Harun tidak merasa heran melihat wajah-wajah mereka terutama Marisa. Justru dia kagum dengan istri pasiennya itu yang tampak tegar, meski dia tidak bisa menutupi bulu matanya yang bergetar.Maaf … apa saya mengganggu? Atau sebai
"Kok aneh, sih. Mama jangan mulai lagi. Jangan suka menghakimi orang lain," tegur Pak Hartawan."Memang aneh, kok, dokter itu." Bu Santi tetap bersikeras dengan pendapatnya. Marisa menatap ibu mertuanya dengan heran. Dia tidak merasa Dokter Harun itu aneh. Namun, dia tidak berani bertanya. "Anehnya di mana? Coba Mama jelaskan karena Papa tidak melihat keanehan pada dokter itu," tanya Pak Hartawan.Bola mata Marisa membulat tak percaya mendengar kata-kata Pak Hartawan. Ternyata ayah mertuanya itu punya pemikiran yang sama dengan dia. Pertanyaannya pun mewakili rasa penasaran Marisa. Tatapan Marisa pun beralih kepada Bu Santi. Dia penasaran menunggu jawaban ibu mertuanya. "Masa sih Papa gak merasa aneh? Setahu Mama kalau dokter itu visit pasien ya menjelaskan kondisi pasien kepada keluarganya yang sedang menunggu. Langsung saat itu juga bukan malah disuruh datang ke ruangan praktiknya," jelas Bu Santi. Terdengar nada kesal dalam suaranya."Loh kan Dokter Harun sudah bilang kalau mal
"Itu kan menurut kamu. Menurut dokter itu tidak. Mama yakin dia tertarik kepadamu. Meski dia tahu kamu istri orang, dia tidak peduli dan tetap menyukai kamu!" Marisa terkesiap mendengar kata-kata Bu Santi. Dia tidak percaya dengan kesimpulan yang diambil oleh ibu mertuanya itu. "Kamu jangan mengada-ada, Ma. Mana mungkin Dokter Harun tertarik kepada menantu kita. Mestinya di usianya ini dia sudah menikah. Jadi pasti tidak mungkin pria beristri menyukai istri orang lain," bantah Pak Hartawan "Siapa bilang tidak mungkin? Banyak kok kejadian seperti itu. Lagipula dari mana Papa ambil kesimpulan dokter itu sudah menikah? Kalau dia masih lajang bagaimana? Karena kalau tidak salah dengar para perawat menggosipkan dia sebagai high quality jomlo." Marisa terbelalak mendengar informasi yang dibawa oleh ibu mertuanya itu. Dia kembali dibuat terkejut oleh fakta yang muncul tentang Dokter Harun. Benaknya bertanya-tanya manakah berita yang dapat dia percaya? "Maaf, Ma, Marisa tidak perca
"Ada apa sebenarnya? Kenapa Dokter Harun terkesan mengusir semua orang hanya untuk berbicara denganku? Begitu pentingnya kah isi pembicaraan kami hingga dia melakukan hal itu?" gumam Marisa. Wajar saja Marisa tidak bisa menyembunyikan rasa herannya. Baru saja dia mendengar perawat Dokter Harun memberitahukan kepada kedua lelaki yang duduk tak jauh darinya bahwa dokter spesialis jantung itu tidak bisa menemui mereka. Padahal mereka sudah lebih dahulu ada di ruang tunggu dokter daripada Marisa. Saat ini mata Marisa tidak lepas mengamati kedua lelaki yang dia duga adalah detailer obat. Mereka terlihat berusaha memprotes pemberitahuan dadakan tersebut dengan menunjukkan beberapa brosur obat yang sudah disiapkan. Namun sayangnya protes mereka sia-sia. Pada akhirnya kedua lelaki itu terpaksa pasrah menerima keputusan sang dokter. "Ibu Marisa, silakan masuk. Sudah ditunggu oleh Dokter Harun," pinta perawat. Marisa berdiri dari kursi dan melangkah menuju pintu ruang praktik. Dia mele
"Mas Rian … jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Bangun, Mas! Aku membutuhkanmu!" ratap Marisa. Namun, lelaki yang dipeluk dan ditangisinya masih tetap mengatupkan matanya. Rapat. "Sudah, Mbak jangan nangis terus. Lebih baik kita doakan Mas Rian agar diberikan kesehatan." Marisa mengangguk mendengar saran Dokter Harun. Memang tangis tidak akan membuat Rian sembuh. "Alhamdulillah Allah masih melindunginya. Tusukan pisau itu tidak mengenai organ vital. Geser satu centi aja akan sangat berbahaya. Namun, mengingat dia ditusuk tiga kali dan mengeluarkan banyak darah, kondisinya belum terbilang stabil. Perlu banyak kantong darah untuk transfusi. Sementara stok golongan darah O di PMI menipis."Marisa mengusap wajah lega. "Ambil darah saya saja, Dok. Golongan darah saya O." "Jangan. Kamu butuh istirahat, Mbak. Darah saya saja, Dok. Saya juga bergolongan darah O," ucap Dokter Harun."Baiklah … nanti kita periksa dulu untuk melihat kecocokannya."Marisa menelepon ibunya untuk mengabarkan di
"Ada apa dengan Marisa?" sambar Rian.Dokter Harun menatap Bu Rahmi dengan prihatin. "Sabar, ya, Bu. Mbak Marisa mengalami penculikan di dekat sekolah. Kasusnya sedang dalam penyelidikan polisi." "Apa diculik?" teriak Rian."Tidak! Jangan polisi. Nanti Marisa tidak selamat!" seru Bu Rahmi yang kemudian menangis. "Kenapa tidak selamat? Ibu tahu kalau Mbak Marisa diculik?" desak Dokter Harun. "Iya." Bu Rahmi mengusap wajahnya dan terduduk lemas di sofa. "Itu sebabnya tadi Bulek telepon kamu." Tatapan Bu Rahmi terarah ke Rian."Sebenarnya Bulek berharap itu cuma bercanda, tapi kabar yang dibawa Dokter Harun membuat Bulek tahu kalau orang itu sungguh-sungguh menculik Marisa." Air mata Bu Rahmi pun menderas di kedua pipinya. "Orang itu? Siapa?" "Siapa orang itu, Bu?"Dokter Harun dan Rian bertanya bersamaan. "Tadi ada telepon. Ngaku temannya Marisa ke Bik Siti. Setelah ibu angkat dia bilang sudah menculik Marisa dan melarang untuk melapor ke polisi kalau mau anak ibu selamat. Tapi ta
"Apa-apaan ini? Siapa mereka?" tanya Marisa ketika melihat tiga orang lelaki turun dari mobil yang menghadangnya.Salah satu lelaki yang turun dari mobil penghadang itu kemudian menggedor jendela di samping Marisa. "Buka pintunya! Cepat!" Marisa terlonjak kaget dan mundur dari jendela. Untuk beberapa saat dia hanya diam dan memandang ketiga lelaki berwajah menyeramkan itu. Marisa tidak mau membuka pintunya. Berada di dalam mobil dengan pintu yang terkunci membuatnya sedikit merasa aman. Sayangnya rasa aman itu hanya bertahan sebentar, karena tak lama kemudian kaca jendela mobilnya pecah berhamburan. Salah satu lelaki menyeramkan itu memegang semacam palu yang besar dan berhasil memecah kaca. Belum hilang rasa kaget Marisa, lelaki yang sama berhasil membuka pintu mobilnya dari dalam dan menarik Marisa keluar. Kemudian dia diseret memasuki mobil milik ketiga lelaki itu. Meski Marisa meronta dan berteriak, tetapi itu tidak ada artinya. Karena tenaga Marisa jelas kalah dibanding ketig
"Iya betul, Bu. Dan kedatangan saya sekarang ini untuk meminta restu dari Ibu. Saya ingin melamar putri Ibu yang bernama Marisa." Bu Rahmi terpana melihat keterusterangan Dokter Harun. Dia tidak menyangka lelaki di hadapannya ini akan mengatakan hal tersebut di pertemuan pertama. "Alhamdulillah. Saya, sih, terserah kepada Marisa, saja, Nak Dokter. Tapi … kenapa terburu-buru? Apakah Nak Dokter nggak mau kenalan dulu dengan Marisa? Atau jangan-jangan kalian sudah kenal lama?" "Tidak, Bu. Saya baru bertemu dengan Mbak Marisa ketika saya merawat mantan suaminya. Saat itu tidak ada perasaan apa pun kecuali simpati seorang dokter kepada keluarga pasiennya." Bu Rahmi mendengarkan penjelasan Dokter Harun. "Lantas kapan mulai berubah?" Marisa mendelik mendengar pertanyaan ibunya. Dia menyenggol tubuh ibunya dengan siku untuk memintanya diam. Namun, Bu Rahmi tidak mempedulikannya. Sebenarnya Marisa juga penasaran seperti ibunya, tetapi dia terlalu malu untuk bertanya. Jadi, ketika Bu Rahm
Marisa berjalan mendekat. Mungkin karena mendengar suara langkah Marisa, lelaki itu mengangkat wajahnya dan Marisa pun berseru, "Kamu?"Lelaki itu kemudian bangkit dari kursinya dan berdiri dengan sikap sopan ala abdi kerajaan yang menunggu sang putri datang. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Mata hitam yang dinaungi sepasang alis yang melengkung sempurna itu menatap Marisa lekat. Namun, ketika tatapan dua insan berlawanan jenis itu bertemu, keduanya sama-sama segera mengalihkan tatapannya. "Maaf kalau saya datang tanpa kabar lebih dulu, Bu Marisa," ucap lelaki itu. "Iya. Tidak apa-apa. Silakan duduk, Dok." Marisa pun duduk di seberang sofa yang ditempati Dokter Harun. "Ada yang bisa saya bantu, Dok? Ada apa dengan Amanda?" "Kedatangan saya kemari nggak ada hubungannya dengan Amanda, Bu."Marisa mengangkat wajahnya dan menatap mata Dokter Harun. Ada tatapan bertanya di mata Marisa.Melihat pandangan bertanya di mata hazel Marisa, tiba-tiba saja Dokter Harun menjadi gugup. "B
Tiba-tiba Marisa berhenti melangkah. Raut wajahnya tampak seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu. Dia kemudian berbisik, "Kenapa aku merasa senang mengetahui fakta terbaru tentang Suster Ratri? Apakah ini artinya aku mulai membuka hati untuk Dokter Harun?"Untuk beberapa saat Marisa berdiri termangu, lalu dia menghela napas dan kembali berbisik, "Aku nggak boleh linglung di sini. Lebih baik sekarang aku segera pulang. Tentang bagaimana perasaanku sebenarnya bisa aku pikirkan nanti saja kalau sudah di rumah."Lantas, Marisa pun memutar tubuh dan kembali ke halaman sekolah. Dia segera memasuki mobil kesayangannya dan memacunya menuju rumah. "Loh … katanya mau ke toko buku. Kok sudah pulang? Nggak jadi?" tegur Bu Rahmi ketika melihat Marisa turun dari mobil. "Enggak, Bu," jawab Marisa sambil melangkah menuju teras. Lalu dia duduk di salah satu kursi yang ada di teras. Marisa menyelonjorkan kaki dan memandang ibunya yang tengah merapikan rumpun mawar.Tidak adanya penjelasan atas
Mata Marisa terbelalak mendengar ucapan Dokter Harun. "Sudah sedekat itukah hubungan mereka hingga Suster Ratri membawakan bekal untuk makan siang Dokter Harun?" batinnya."Suster Ratri itu seperti seorang ibu sekaligus kakak buat saya. Cerewetnya sama," lanjut Dokter Harun sambil menatap Marisa."Seperti ibu? Cerewet?" Marisa mengulangi kata-kata Dokter Harun dengan nada kebingungan. "Iya. Kalau Suster Ratri lagi ngomelin saya bisa dua puluh ribu kata per jam dia lontarkan." Dokter Harun terkekeh sambil matanya menerawang. Dia mengenang saat-saat Suster Ratri mengomelinya. "Suster Ratri berani ngomelin Dokter?" Marisa bertanya dengan heran. Dia semakin kebingungan mendengar fakta terbaru tentang sosok suster luar biasa yang menjadi kesayangan keluarga Dokter Harun itu."Loh kenapa nggak berani? Kan dia juga sudah saya anggap seperti kakak tertua," jawab Dokter Harun. Marisa melongo mendengar jawaban Dokter Harun yang semakin membuatnya bingung. Benaknya sibuk merangkai semua fa
"Bu Marisa … apa kabar? Lama kita tidak ketemu. Kapan kita bisa mengobrol lagi seperti beberapa bulan lalu, ya, Bu? Saya kangen kepada Ibu."Marisa mengangkat kepalanya. Dia melihat seorang siswi mendekatinya yang tengah asyik membaca di perpustakaan sekolah. "Amanda? Alhamdulillah kabar ibu baik dan sehat. Semoga Amanda juga sehat. Iya, kita lama nggak ketemu, ya. Soalnya tahun ajaran baru ini ibu nggak mengajar di kelasmu lagi. Ayo sini duduk di sebelah Ibu, mumpung lagi jam istirahat." Amanda menurut dan menarik kursi kosong di sebelah Marisa. Setelah duduk, dia lalu berkata,"Alhamdulillah … syukurlah kalau ibu baik-baik saja. Manda juga Alhamdulillah baik, Bu. Cuma kangen aja karena jarang ngelihat Ibu." "Iya, loh. Ibu juga baru sadar kalau sudah lama nggak lihat kamu nunggu jemputan di bangku halaman sekolah." "Iya, Bu. Sekarang ini Manda nggak perlu nunggu jemputan lagi."Marisa terkesiap. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, apakah ini ada hubungannya dengan kemarahan Dokter
"Iya, Mas. Aku baru saja memberi tahu dia kalau aku menolak lamarannya." "O pantas saja mukanya ditekuk seperti itu. Terus apa rencana kamu selanjutnya?""Rencana? Rencana apa maksudmu, Mas?" tanya Marisa dengan wajah kebingungan."Ya rencana masa depan kamu. Misalnya … apa kamu akan kembali menutup diri atau mau membuka hati lagi? Apa kamu mau terima perjodohan yang kemarin diatur ibuku? Atau bagaimana? Kamu pasti sudah memikirkannya, kan?" selidik Rian."Sepertinya aku ngalir aja, Mas. Aku ikut takdir Allah. Maksudku … aku nggak siapin waktu secara khusus untuk cari pasangan hidup, tapi kalau Allah takdirkan aku ketemu seseorang, ya, aku terima." "Meskipun itu aku?""Maksudnya gimana, Mas?""Kalau Allah takdirkan aku adalah jodohmu gimana?" Rian tidak menjawab pertanyaan Marisa, tetapi justru bertanya balik. Tatapan mata Rian menghujam tepat ke bola mata Marisa. Dia menatap penuh harap kepada perempuan yang sudah dikenalnya sejak kecil itu."Kalau memang Allah takdirkan, ya,