"Ada apa sebenarnya? Kenapa Dokter Harun terkesan mengusir semua orang hanya untuk berbicara denganku? Begitu pentingnya kah isi pembicaraan kami hingga dia melakukan hal itu?" gumam Marisa. Wajar saja Marisa tidak bisa menyembunyikan rasa herannya. Baru saja dia mendengar perawat Dokter Harun memberitahukan kepada kedua lelaki yang duduk tak jauh darinya bahwa dokter spesialis jantung itu tidak bisa menemui mereka. Padahal mereka sudah lebih dahulu ada di ruang tunggu dokter daripada Marisa. Saat ini mata Marisa tidak lepas mengamati kedua lelaki yang dia duga adalah detailer obat. Mereka terlihat berusaha memprotes pemberitahuan dadakan tersebut dengan menunjukkan beberapa brosur obat yang sudah disiapkan. Namun sayangnya protes mereka sia-sia. Pada akhirnya kedua lelaki itu terpaksa pasrah menerima keputusan sang dokter. "Ibu Marisa, silakan masuk. Sudah ditunggu oleh Dokter Harun," pinta perawat. Marisa berdiri dari kursi dan melangkah menuju pintu ruang praktik. Dia mele
"Maksud dokter … keluarga saya berbeda dengan keluarga pasien dokter lainnya itu bagaimana, ya, Dok?" Marisa menatap mata Dokter Harun yang hitam pekat. Tatapannya lekat yang mengisyaratkan permintaan yang tak ingin dibantah. "Sekali lagi maaf, Bu Marisa. Sejak saya bertemu dengan kedua orang tua Pak Irawan selalu ada drama di sekitar mereka. Tidak pernah saya jumpai suasana tenang dan tidak ada drama. Pertengkaran dan keributan selalu mewarnai kedua mertua Bu Marisa itu. Terakhir kemarin sewaktu saya bertabrakan dengan tamu perempuan di pintu ruang VVIP. Saya merasakan aura ketegangan di ruangan. Saya juga mendengar ancaman yang tamu itu lontarkan ketika dia pergi." Dokter Harun menghentikan ucapannya. Doktwr Harun lalu menghela napas sambil mengamati reaksi Marisa. Namun, melihat perempuan yang duduk di depannya itu hanya diam, dia kembali melanjutkan kata-katanya, "Saya khawatir drama-drama itu mempengaruhi kondisi psikologis Pak Irawan dan membuatnya tidak punya keinginan untuk
"Kenapa Dokter punya pemikiran bahwa saya menjadi korban bullying mertua?" Marisa menatap tajam Dokter Harun. Dia penasaran darimana dokter itu tahu apa yang dialaminya. "Bu Marisa masih ingat pertemuan pertama kita?" Dokter Harun bertanya balik.Marisa tertegun. Dia sedikit lupa dengan peristiwa itu. "Sepertinya Bu Marisa lupa, tetapi saya tidak pernah lupa tatapan kosong itu. Juga bagaimana tubuh gemetar Ibu yang mencoba meredam isak tangis ketika menabrak saya." Dokter Harun menjelaskan sambil memandang Marisa. Sepasang mata Marisa yang berwarna hazel itu terbelalak mendengar penjelasan dokter berusia pertengahan tiga puluh itu. Raut wajah bulat telur Marisa tampak sedikit lucu ketika bibirnya yang berwarna merah muda terbuka sebentar kemudian terkatup lagi. Rupanya dia ingin mengomentari ucapan Dokter Harun, tetapi kemudian membatalkannya. "Bagaimana? Sudah ingat, kan?" tanya Dokter Harun ketika melihat ekspresi Marisa.Marisa mengangguk. Bagaimana mungkin dia lupa pada har
"Saya tidak bilang Pak Irawan berpura-pura. Akan tetapi memang cukup mengherankan di saat kondisi vitalnya semakin membaik, tetapi Pak Irawan belum sadar juga dari koma." "Lantas kalau begitu apa maksud kata-kata Dokter tadi?" Marisa menatap tajam Dokter Harun. Dia meradang mendengar ucapan dokter yang selama ini dianggapnya orang baik. Sekarang barulah dia merasa telah salah menilai. "Sekali lagi maaf, Bu. Saya tidak bermaksud membuat Bu Marisa salah paham dengan ucapan saya. Apa yang saya lakukan ini semata-mata untuk kepentingan Pak Irawan. Sebagai dokter tentu saya menginginkan pasien saya lekas sembuh." Dokter Harun menjelaskan secara perlahan kepada Marisa. "Kalau tidak ingin saya salah paham, tolong jelaskan sekarang juga, Dok," tuntut Marisa. Sorot matanya masih menatap tajam Dokter Harun. Dokter Harun membuang napas dengan kasar. Dia jadi menyesal karena ternyata niat baiknya disalah artikan. Dia tidak menyalahkan Marisa yang salah memahami maksudnya. Justru dia menyalahk
"MasyaAlloh … pantas dokter itu menyarankan keluarga pasien untuk meminta doa. Ternyata yang jadi dokternya suami Bu Marisa adalah Dokter Harun. Bu Marisa beruntung suaminya dirawat oleh beliau. Dokter Harun dokter yang baik dan sholeh, sayangnya beliau masih diuji oleh Alloh." Ucapan Ustazah Kamila membuat Marisa tersentak dan spontan bertanya, "Dokter Harun masih diuji oleh Alloh? Diuji apa, Ustazah?" "Maaf, ya Bu Marisa saya tidak bisa menceritakannya. Saya tidak berhak bercerita tentang keadaan Dokter Harun. Kita doakan saja ujian beliau segera berakhir. Begitu pula saya akan doakan agar ujian Bu Marisa juga segera selesai. Suaminya diberikan kesembuhan kembali. Aamiin. Saya bisa minta nama lengkap suaminya?" "Bisa, Ustazah." Marisa membuka tas dan mencari selembar kertas. Setelah menemukannya dia menulis nama lengkap Irawan dan menyerahkannya ke tangan Ustazah Kamila."Baik Bu Marisa akan saya serahkan kertas ini ke suami saya. Biar suami saya bisa memimpin doa untuk suami ib
"Mas Irawan …." Marisa menyebut nama suaminya dengan suara bergetar. Dia teringat kejadian yang menimpa istri Sandhy. Saat itu perempuan yang ditemukan satu mobil dengan suaminya juga sempat mengalami henti nafas. Meski malam itu dia selamat tetapi keesokan harinya harus menghembuskan nafas terakhir.Marisa mulai sesenggukan. Dia tak lagi mampu menahan laju air mata yang semakin deras membasahi kedua pipinya. Kakinya terasa lunglai dan tidak kuat menahan bobotnya. Tubuhnya pun menjadi oleng. "Loh Ibu kenapa?" Perawat yang tadi diajak Marisa berbicara terkejut dan segera memegangi tubuhnya agar tidak merosot ke lantai. "I-itu ka-kamar su-a-mi saya, Suster!" bisik Marisa terbata-bata. "Tenang, Bu. Berdoa saja kondisinya segera stabil. Banyak kok pasien yang mengalami kondisi gawat hanya sesaat dan kemudian baik-baik saja," hibur perawat tersebut. Dia membimbing Marisa menuju deretan kursi terdekat dan membantu Marisa duduk. "Ran, kenapa kamu masih di sini? Eh Siapa itu?" Seorang pera
"Apa maksud Dokter? Bagaimana bisa masa kritis belum berlalu? Apakah kondisi anak saya bisa kembali gawat?" Bu Santi memberondong Dokter Harun. Dia bertanya dengan nada panik. Dokter Harun menghela napas berat. "Sebagai dokter, saya tentu ingin bilang kepada keluarganya bahwa masa kritis pasien sudah berlalu. Kondisinya sekarang stabil dan akan segera sembuh. Namun, sayangnya saya tidak bisa memberikan kepastian itu." Wajah Bu Santi memucat. Marisa pun menyusut air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya mendengar penjelasan Dokter Harun. Mereka menatap Dokter Harun lekat menunggu ucapan selanjutnya. "Kondisi Pak Irawan memang saat ini sudah stabil. Akan tetapi belum seratus persen. Apa pun bisa terjadi sesuai kehendakNya. Jadi sekarang yang bisa keluarga lakukan adalah doa. Karena ikhtiar sudah ditunaikan maka selanjutnya adalah memohon kesembuhan kepada Sang Pemilik Jiwa. Apakah sudah melakukan saran saya kemarin, Bu Marisa?" Dokter Harun melirik Marisa dengan pandangan b
"Laila," bisik Marisa ketika melihat layar ponselnya yang sedang berdering. Ada apa perempuan yang dia minta menjaga suaminya itu menelepon? batin Marisa yang merasa heran. Benak Marisa seketika membayangkan hal yang buruk ketika melihat nama Laila di layar ponselnya. Selama ini perempuan yang bertugas menjaga suaminya itu tidak pernah meneleponnya. Jantung Marisa mulai berdebar dengan kencang. Keringat dingin pun muncul tanpa bisa dia cegah. Marisa segera menekan tombol hijau pada ponselnya. Namun, belum sempat dia menyapa, dari seberang terdengar suara Laila. Jantung Marisa berdetak semakin kencang mendengar nada suara terbata-bata dari seberang"Bu Marisa … Pak Irawan …." "I-i-ya … ke-napa? Su-suami saya?" Tangan Marisa memegang erat pinggiran mejanya di ruang guru. Dia berusaha sekuat tenaga menahan agar tubuhnya yang gemetaran tidak merosot ke lantai. "I-iya, Bu. Sepertinya Ba-bapak mulai sadar." Suara Laila masih terbata-bata, tetapi bukan karena cemas seperti yang di