"Laila," bisik Marisa ketika melihat layar ponselnya yang sedang berdering. Ada apa perempuan yang dia minta menjaga suaminya itu menelepon? batin Marisa yang merasa heran. Benak Marisa seketika membayangkan hal yang buruk ketika melihat nama Laila di layar ponselnya. Selama ini perempuan yang bertugas menjaga suaminya itu tidak pernah meneleponnya. Jantung Marisa mulai berdebar dengan kencang. Keringat dingin pun muncul tanpa bisa dia cegah. Marisa segera menekan tombol hijau pada ponselnya. Namun, belum sempat dia menyapa, dari seberang terdengar suara Laila. Jantung Marisa berdetak semakin kencang mendengar nada suara terbata-bata dari seberang"Bu Marisa … Pak Irawan …." "I-i-ya … ke-napa? Su-suami saya?" Tangan Marisa memegang erat pinggiran mejanya di ruang guru. Dia berusaha sekuat tenaga menahan agar tubuhnya yang gemetaran tidak merosot ke lantai. "I-iya, Bu. Sepertinya Ba-bapak mulai sadar." Suara Laila masih terbata-bata, tetapi bukan karena cemas seperti yang di
"Berbeda? Maksud Dokter apa? Berbeda bagaimana, Dok?" desak Marisa menuntut jawaban. Dokter yang 5 paruh baya itu menatap Marisa. Bola matanya melebar sesaat pertanda dia kaget dengan nada suara Marisa yang sedikit tinggi. Namun, dia tidak marah dan justru tersenyum lembut. "Baik, Bu saya jelaskan. Mungkin Ibu sedikit lupa. Jadi, suami Ibu mengalami koma karena kecelakaan yang menyebabkan cedera otak. Dulu, kami sudah melakukan pemeriksaan lengkap untuk mengetahui seberapa luas area otak yang mengalami kerusakan dan seberapa luas area otak yang masih bisa berfungsi. Kami pun sudah menunjukkan hasilnya kepada Ibu, betul?" Marisa mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan dokter itu. Dokter yang duduk di depan Marisa tersenyum samar sebelum melanjutkan, "Kami pun sudah melakukan pengobatan dan perawatan sesuai SOP. Pak Irawan diberikan nutrisi yang dibutuhkan tubuhnya. Perawat melakukan upaya mencegah terjadinya infeksi dan menggerakkan tubuh pasien secara rutin demi menghindari te
"Sa-saya ada di mana? Dan kamu siapa?" Wajah Irawan terbengong-bengong menatap Marisa.Marisa menghembuskan napas keras. Meski sudah mendapatkan peringatan dari dokter, tetapi tak urung hatinya diliputi kesedihan. Sampai kapan ujian ini akan berakhir? batinnya. Dokter Andi memberi isyarat Marisa untuk menjawab apa adanya. "Kamu di rumah sakit, Mas. Waktu itu kamu mengalami kecelakaan dan koma, jadi kamu dirawat di sini." "Koma? Kecelakaanku parah, ya?" Irawan menatap lekat Marisa. Dia masih belum mengenali siapa perempuan cantik bermata hazel yang menatapnya khawatir ini. "Iya, Mas kecelakaanmu parah tapi Alhamdulillah kamu sekarang sudah sadar." Marisa tersenyum sambil mengelus lengan suaminya. "Lalu … kamu siapa?" tanya Irawan sambil memindai seluruh wajah Marisa. Dia masih berusaha mengingat wajah perempuan di depannya ini. "Aku istrimu, Mas." "Istri?" Pupil mata Irawan melebar mendengar jawaban Marisa. Dia memindai wajah Marisa untuk mencari tanda-tanda kebenaran ucapan per
"Apa maksudmu, Mas!" pekik Marisa. Perasaannya tidak enak mendengar kata-kata Irawan. Dia merasa suaminya itu sedang menuduhnya. "Coba kamu pikir! Apa alasannya aku bisa mengingat wajah kedua orang tuaku sementara aku melupakan wajahmu. Kamu itu istriku. Bukan orang lain! Harusnya wajahmu adalah wajah yang paling aku ingat bukan aku lupakan!" Irawan tampak emosional. Dia bahkan sampai terengah-engah ketika selesai berbicara. "Apa kamu melakukan kesalahan kepadaku? Atau jangan-jangan kamu yang menyebabkan aku mengalami kecelakaan?" tuduh Irawan tanpa tedeng aling-aling.Mata Marisa terbelalak mendengar tuduhan keji dari Irawan. "Mas, teganya kamu!" jeritnya. Air matanya pun mulai merebak menggenangi kelopak matanya. "Irawan! Kenapa kamu sekeji itu menuduh istrimu?" tegur Pak Hartawan. "Aku nggak nuduh, Pa. Aku tanya karena keheranan. Memangnya aku salah? Aku ini lupa ingatan, Pa. Bukan gila!" "Justru karena kamu nggak gila kenapa kamu melempar tuduhan ngawur ke istrimu?" sergah P
"Loh, Marisa. Kamu kenapa nangis?" Sebuah tangan yang kuat memegang tubuh Marisa yang sempat oleng. Marisa mengangkat wajahnya. Dari pandangannya yang memburam dia bisa melihat bahwa dirinya mengenal orang yang ditabraknya saat berlari tadi. "Mas Rian?" Marisa bertanya untuk memastikan bahwa dia tidak salah mengenali seseorang yang ada di depannya ini."Iya, ini aku. Kamu kenapa lari sambil nangis? Apa yang terjadi? Katakan, Risa," desak Rian. "Ma-mas I-ra-wan …." Marisa menjawab terbata-bata. "Kenapa dengan Irawan? Kondisinya gawat? Dia kritis?" tanya Rian beruntun. Marisa menggeleng.Rian jadi bingung melihat respon Marisa. Tiba-tiba jantungnya berdetak lebih cepat. Pikiran buruk langsung menghampirinya. Matanya memindai wajah adik sepupu itu yang berurai air mata. Dia bertanya dengan hati-hati, "Apa Irawan meninggal dunia?"Marisa kembali menggeleng dan membuat Rian semakin kebingungan. "Lantas, kenapa? Apa yang membuat kamu menangis?" "Mas Irawan sudah sadar," ucap Marisa s
"Apa kamu bilang, Ris? Irawan benar-benar sudah gila menuduh istrinya sendiri seperti itu! Kalau tahu hidupmu menderita seperti ini, aku nggak bakalan ngelepasin kamu ke Irawan. Lebih baik aku berjuang agar kamu terus ada di sisiku."Marisa menautkan alisnya mendengar ucapan kakak sepupunya yang terdengar aneh itu. "Apa maksudmu, Mas?""Kamu itu nggak layak bersanding dengan Irawan, Ris!""Bukan itu, Mas! Apa maksud Mas Rian dengan kata-kata 'Lebih baik aku berjuang agar kamu terus ada di sisiku'? Bukankah meski Risa sudah menikah, tetapi Risa tidak pernah meninggalkan Mas Rian? Bagi Risa Mas Rian itu bukan hanya kakak sepupu, tapi juga sahabat terbaik Risa. Jadi mana mungkin Risa menjauh dari sisi Mas Rian?"Bola mata Rian memindai wajah Marisa. Lelaki itu seperti mencari sebuah tanda di raut muka adik sepupunya. Namun, tatapannya berubah muram manakala dia tidak menemukan pertanda itu. "Apa kamu selama ini tidak pernah merasakannya, Ris?" tanya Rian, dengan suara bergetar."Merasaka
"Ma! Jangan asal tuduh!" Secepat kilat Marisa menoleh dan membantah suara bentakan dari Bu Santi itu."Siapa yang asal tuduh? Ternyata firasat anakku itu benar. Sekarang kamu harus mengaku! Katakan kepada Mama apa yang kamu lakukan kepada Irawan sehingga suami kamu itu lupa kepadamu?" Mata Marisa mengembun mendengar tuduhan Bu Santi. Dia menatap ibu mertuanya itu dengan tatapan yang penuh emosi. Hatinya terasa dicabik-cabik antara marah dan terluka. Baru beberapa hari lalu mereka berbaikan dan hidup bahagia sebagai mertua dan menantu. Sekarang dengan mudahnya ibu mertuanya itu kembali melontarkan tuduhan yang tidak berdasar. "Harus berapa kali Risa katakan, Ma? Risa tidak melakukan apa pun kepada Mas Irawan. Risa pun bingung dan sedih karena Mas Irawan lupa bahwa Risa adalah istrinya." "Orang itu biasanya melupakan sesuatu yang membuatnya marah atau terluka. Jadi kalau anakku melupakan kamu, itu artinya kamu sudah melakukan sesuatu yang membuatnya marah dan kecewa." Bu Santi kemba
"Untuk apa kamu mengurusku? Bukankah lebih baik aku tetap koma atau kalaupun sadar pasti kamu lebih suka melihatku lumpuh." Terdengar suara bernada ketus dari arah kasur Irawan. Selama lima tahun usia pernikahannya dengan Irawan, suaminya itu tidak pernah berkata kasar. Jadi, ketika pertama kali mendengar tuduhan dengan nada kasar dari suaminya membuat hati Marisa bak disayat sembilu. "Kenapa kamu berkata seperti itu, Mas?" tanya Marisa dengan suara bergetar. Dia melangkah perlahan menghampiri suaminya."Tidak cukupkah kamu tadi menuduhku jadi penyebab kecelakaan? Kenapa sekarang kamu menambah dengan tuduhan lain? Aku ini istrimu, Mas. Mana mungkin aku menginginkan kamu celaka? Sebaliknya aku sangat ingin melihatmu kembali sehat." Marisa menghela napas dan menatap Irawan yang masih mengabaikannya. "Jadi, tolong aku, Mas. Kamu sekarang ini boleh melupakan aku, tapi jangan menuduhku yang tidak-tidak. Tuduhan itu membuat hatiku sakit." Air mata menggenangi pelupuk mata Marisa setela
"Mas Rian … jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Bangun, Mas! Aku membutuhkanmu!" ratap Marisa. Namun, lelaki yang dipeluk dan ditangisinya masih tetap mengatupkan matanya. Rapat. "Sudah, Mbak jangan nangis terus. Lebih baik kita doakan Mas Rian agar diberikan kesehatan." Marisa mengangguk mendengar saran Dokter Harun. Memang tangis tidak akan membuat Rian sembuh. "Alhamdulillah Allah masih melindunginya. Tusukan pisau itu tidak mengenai organ vital. Geser satu centi aja akan sangat berbahaya. Namun, mengingat dia ditusuk tiga kali dan mengeluarkan banyak darah, kondisinya belum terbilang stabil. Perlu banyak kantong darah untuk transfusi. Sementara stok golongan darah O di PMI menipis."Marisa mengusap wajah lega. "Ambil darah saya saja, Dok. Golongan darah saya O." "Jangan. Kamu butuh istirahat, Mbak. Darah saya saja, Dok. Saya juga bergolongan darah O," ucap Dokter Harun."Baiklah … nanti kita periksa dulu untuk melihat kecocokannya."Marisa menelepon ibunya untuk mengabarkan di
"Ada apa dengan Marisa?" sambar Rian.Dokter Harun menatap Bu Rahmi dengan prihatin. "Sabar, ya, Bu. Mbak Marisa mengalami penculikan di dekat sekolah. Kasusnya sedang dalam penyelidikan polisi." "Apa diculik?" teriak Rian."Tidak! Jangan polisi. Nanti Marisa tidak selamat!" seru Bu Rahmi yang kemudian menangis. "Kenapa tidak selamat? Ibu tahu kalau Mbak Marisa diculik?" desak Dokter Harun. "Iya." Bu Rahmi mengusap wajahnya dan terduduk lemas di sofa. "Itu sebabnya tadi Bulek telepon kamu." Tatapan Bu Rahmi terarah ke Rian."Sebenarnya Bulek berharap itu cuma bercanda, tapi kabar yang dibawa Dokter Harun membuat Bulek tahu kalau orang itu sungguh-sungguh menculik Marisa." Air mata Bu Rahmi pun menderas di kedua pipinya. "Orang itu? Siapa?" "Siapa orang itu, Bu?"Dokter Harun dan Rian bertanya bersamaan. "Tadi ada telepon. Ngaku temannya Marisa ke Bik Siti. Setelah ibu angkat dia bilang sudah menculik Marisa dan melarang untuk melapor ke polisi kalau mau anak ibu selamat. Tapi ta
"Apa-apaan ini? Siapa mereka?" tanya Marisa ketika melihat tiga orang lelaki turun dari mobil yang menghadangnya.Salah satu lelaki yang turun dari mobil penghadang itu kemudian menggedor jendela di samping Marisa. "Buka pintunya! Cepat!" Marisa terlonjak kaget dan mundur dari jendela. Untuk beberapa saat dia hanya diam dan memandang ketiga lelaki berwajah menyeramkan itu. Marisa tidak mau membuka pintunya. Berada di dalam mobil dengan pintu yang terkunci membuatnya sedikit merasa aman. Sayangnya rasa aman itu hanya bertahan sebentar, karena tak lama kemudian kaca jendela mobilnya pecah berhamburan. Salah satu lelaki menyeramkan itu memegang semacam palu yang besar dan berhasil memecah kaca. Belum hilang rasa kaget Marisa, lelaki yang sama berhasil membuka pintu mobilnya dari dalam dan menarik Marisa keluar. Kemudian dia diseret memasuki mobil milik ketiga lelaki itu. Meski Marisa meronta dan berteriak, tetapi itu tidak ada artinya. Karena tenaga Marisa jelas kalah dibanding ketig
"Iya betul, Bu. Dan kedatangan saya sekarang ini untuk meminta restu dari Ibu. Saya ingin melamar putri Ibu yang bernama Marisa." Bu Rahmi terpana melihat keterusterangan Dokter Harun. Dia tidak menyangka lelaki di hadapannya ini akan mengatakan hal tersebut di pertemuan pertama. "Alhamdulillah. Saya, sih, terserah kepada Marisa, saja, Nak Dokter. Tapi … kenapa terburu-buru? Apakah Nak Dokter nggak mau kenalan dulu dengan Marisa? Atau jangan-jangan kalian sudah kenal lama?" "Tidak, Bu. Saya baru bertemu dengan Mbak Marisa ketika saya merawat mantan suaminya. Saat itu tidak ada perasaan apa pun kecuali simpati seorang dokter kepada keluarga pasiennya." Bu Rahmi mendengarkan penjelasan Dokter Harun. "Lantas kapan mulai berubah?" Marisa mendelik mendengar pertanyaan ibunya. Dia menyenggol tubuh ibunya dengan siku untuk memintanya diam. Namun, Bu Rahmi tidak mempedulikannya. Sebenarnya Marisa juga penasaran seperti ibunya, tetapi dia terlalu malu untuk bertanya. Jadi, ketika Bu Rahm
Marisa berjalan mendekat. Mungkin karena mendengar suara langkah Marisa, lelaki itu mengangkat wajahnya dan Marisa pun berseru, "Kamu?"Lelaki itu kemudian bangkit dari kursinya dan berdiri dengan sikap sopan ala abdi kerajaan yang menunggu sang putri datang. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Mata hitam yang dinaungi sepasang alis yang melengkung sempurna itu menatap Marisa lekat. Namun, ketika tatapan dua insan berlawanan jenis itu bertemu, keduanya sama-sama segera mengalihkan tatapannya. "Maaf kalau saya datang tanpa kabar lebih dulu, Bu Marisa," ucap lelaki itu. "Iya. Tidak apa-apa. Silakan duduk, Dok." Marisa pun duduk di seberang sofa yang ditempati Dokter Harun. "Ada yang bisa saya bantu, Dok? Ada apa dengan Amanda?" "Kedatangan saya kemari nggak ada hubungannya dengan Amanda, Bu."Marisa mengangkat wajahnya dan menatap mata Dokter Harun. Ada tatapan bertanya di mata Marisa.Melihat pandangan bertanya di mata hazel Marisa, tiba-tiba saja Dokter Harun menjadi gugup. "B
Tiba-tiba Marisa berhenti melangkah. Raut wajahnya tampak seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu. Dia kemudian berbisik, "Kenapa aku merasa senang mengetahui fakta terbaru tentang Suster Ratri? Apakah ini artinya aku mulai membuka hati untuk Dokter Harun?"Untuk beberapa saat Marisa berdiri termangu, lalu dia menghela napas dan kembali berbisik, "Aku nggak boleh linglung di sini. Lebih baik sekarang aku segera pulang. Tentang bagaimana perasaanku sebenarnya bisa aku pikirkan nanti saja kalau sudah di rumah."Lantas, Marisa pun memutar tubuh dan kembali ke halaman sekolah. Dia segera memasuki mobil kesayangannya dan memacunya menuju rumah. "Loh … katanya mau ke toko buku. Kok sudah pulang? Nggak jadi?" tegur Bu Rahmi ketika melihat Marisa turun dari mobil. "Enggak, Bu," jawab Marisa sambil melangkah menuju teras. Lalu dia duduk di salah satu kursi yang ada di teras. Marisa menyelonjorkan kaki dan memandang ibunya yang tengah merapikan rumpun mawar.Tidak adanya penjelasan atas
Mata Marisa terbelalak mendengar ucapan Dokter Harun. "Sudah sedekat itukah hubungan mereka hingga Suster Ratri membawakan bekal untuk makan siang Dokter Harun?" batinnya."Suster Ratri itu seperti seorang ibu sekaligus kakak buat saya. Cerewetnya sama," lanjut Dokter Harun sambil menatap Marisa."Seperti ibu? Cerewet?" Marisa mengulangi kata-kata Dokter Harun dengan nada kebingungan. "Iya. Kalau Suster Ratri lagi ngomelin saya bisa dua puluh ribu kata per jam dia lontarkan." Dokter Harun terkekeh sambil matanya menerawang. Dia mengenang saat-saat Suster Ratri mengomelinya. "Suster Ratri berani ngomelin Dokter?" Marisa bertanya dengan heran. Dia semakin kebingungan mendengar fakta terbaru tentang sosok suster luar biasa yang menjadi kesayangan keluarga Dokter Harun itu."Loh kenapa nggak berani? Kan dia juga sudah saya anggap seperti kakak tertua," jawab Dokter Harun. Marisa melongo mendengar jawaban Dokter Harun yang semakin membuatnya bingung. Benaknya sibuk merangkai semua fa
"Bu Marisa … apa kabar? Lama kita tidak ketemu. Kapan kita bisa mengobrol lagi seperti beberapa bulan lalu, ya, Bu? Saya kangen kepada Ibu."Marisa mengangkat kepalanya. Dia melihat seorang siswi mendekatinya yang tengah asyik membaca di perpustakaan sekolah. "Amanda? Alhamdulillah kabar ibu baik dan sehat. Semoga Amanda juga sehat. Iya, kita lama nggak ketemu, ya. Soalnya tahun ajaran baru ini ibu nggak mengajar di kelasmu lagi. Ayo sini duduk di sebelah Ibu, mumpung lagi jam istirahat." Amanda menurut dan menarik kursi kosong di sebelah Marisa. Setelah duduk, dia lalu berkata,"Alhamdulillah … syukurlah kalau ibu baik-baik saja. Manda juga Alhamdulillah baik, Bu. Cuma kangen aja karena jarang ngelihat Ibu." "Iya, loh. Ibu juga baru sadar kalau sudah lama nggak lihat kamu nunggu jemputan di bangku halaman sekolah." "Iya, Bu. Sekarang ini Manda nggak perlu nunggu jemputan lagi."Marisa terkesiap. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, apakah ini ada hubungannya dengan kemarahan Dokter
"Iya, Mas. Aku baru saja memberi tahu dia kalau aku menolak lamarannya." "O pantas saja mukanya ditekuk seperti itu. Terus apa rencana kamu selanjutnya?""Rencana? Rencana apa maksudmu, Mas?" tanya Marisa dengan wajah kebingungan."Ya rencana masa depan kamu. Misalnya … apa kamu akan kembali menutup diri atau mau membuka hati lagi? Apa kamu mau terima perjodohan yang kemarin diatur ibuku? Atau bagaimana? Kamu pasti sudah memikirkannya, kan?" selidik Rian."Sepertinya aku ngalir aja, Mas. Aku ikut takdir Allah. Maksudku … aku nggak siapin waktu secara khusus untuk cari pasangan hidup, tapi kalau Allah takdirkan aku ketemu seseorang, ya, aku terima." "Meskipun itu aku?""Maksudnya gimana, Mas?""Kalau Allah takdirkan aku adalah jodohmu gimana?" Rian tidak menjawab pertanyaan Marisa, tetapi justru bertanya balik. Tatapan mata Rian menghujam tepat ke bola mata Marisa. Dia menatap penuh harap kepada perempuan yang sudah dikenalnya sejak kecil itu."Kalau memang Allah takdirkan, ya,