"Kok kamu bisa bilang seperti itu! Kalau kamu mengandung anak lelaki lain. Itu artinya kamu berhubungan dengan banyak lelaki bukan hanya dengan Irawan. Jadi kamu bukan korban! Kamu juga pelaku yang melakukan dengan suka rela dan senang hati. Saya kecewa karena ternyata kamu betul-betul perempuan yang tidak punya martabat!" Bu Santi meradang. Matanya menatap Clara nyalang. Wajah Clara memerah mendengar kata-kata Bu Santi. Meski merasa marah, tetapi dia tidak berani membantah ucapan Bu Santi. Sebagai gantinya tubuhnya berbalik dan matanya menatap nyalang Marisa. Tangannya terangkat lalu menuding Marisa. "Kamu yang menyebabkan semua ini terjadi! Kamu harus bertanggung jawab atau kamu akan tahu rasa!"Marisa terkesiap mendapat tuduhan seperti itu dari Clara. "Hei … apa maksud kamu? Kenapa aku harus bertanggung jawab untuk ulahmu sendiri? Harusnya sebagai orang dewasa yang bisa berpikir kamu tahu resikonya pergaulan bebas! Jadi kalau kamu hamil di luar nikah itu salahmu sendiri!" Clara
"Maaf," ucap Dokter Harun kepada perempuan yang menabraknya. Dibesarkan dalam lingkungan agamis dan menjunjung tinggi adab membuat dokter berdarah Timur Tengah itu tetap meminta maaf meski sebenarnya perempuan seksi itulah yang menabraknya.Saat Dokter Harun ditabrak oleh Clara, mata mereka berdua sempat bersirobok. Namun, sang dokter segera mengalihkan pandangannya. Tatapan lekat perempuan itu yang menggoda membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi ketika melihat pakaian perempuan itu yang terbuka. Sang dokter pun mundur dan menundukkan pandangan, meski terdengar suara cemooh dari bibir merah perempuan itu. Setelah perempuan itu berlalu, mata Dokter Harun kembali terarah kepada keluarga pasiennya. Sempat mendengar ancaman dari perempuan tadi membuat Dokter Harun tidak merasa heran melihat wajah-wajah mereka terutama Marisa. Justru dia kagum dengan istri pasiennya itu yang tampak tegar, meski dia tidak bisa menutupi bulu matanya yang bergetar.Maaf … apa saya mengganggu? Atau sebai
"Kok aneh, sih. Mama jangan mulai lagi. Jangan suka menghakimi orang lain," tegur Pak Hartawan."Memang aneh, kok, dokter itu." Bu Santi tetap bersikeras dengan pendapatnya. Marisa menatap ibu mertuanya dengan heran. Dia tidak merasa Dokter Harun itu aneh. Namun, dia tidak berani bertanya. "Anehnya di mana? Coba Mama jelaskan karena Papa tidak melihat keanehan pada dokter itu," tanya Pak Hartawan.Bola mata Marisa membulat tak percaya mendengar kata-kata Pak Hartawan. Ternyata ayah mertuanya itu punya pemikiran yang sama dengan dia. Pertanyaannya pun mewakili rasa penasaran Marisa. Tatapan Marisa pun beralih kepada Bu Santi. Dia penasaran menunggu jawaban ibu mertuanya. "Masa sih Papa gak merasa aneh? Setahu Mama kalau dokter itu visit pasien ya menjelaskan kondisi pasien kepada keluarganya yang sedang menunggu. Langsung saat itu juga bukan malah disuruh datang ke ruangan praktiknya," jelas Bu Santi. Terdengar nada kesal dalam suaranya."Loh kan Dokter Harun sudah bilang kalau mal
"Itu kan menurut kamu. Menurut dokter itu tidak. Mama yakin dia tertarik kepadamu. Meski dia tahu kamu istri orang, dia tidak peduli dan tetap menyukai kamu!" Marisa terkesiap mendengar kata-kata Bu Santi. Dia tidak percaya dengan kesimpulan yang diambil oleh ibu mertuanya itu. "Kamu jangan mengada-ada, Ma. Mana mungkin Dokter Harun tertarik kepada menantu kita. Mestinya di usianya ini dia sudah menikah. Jadi pasti tidak mungkin pria beristri menyukai istri orang lain," bantah Pak Hartawan "Siapa bilang tidak mungkin? Banyak kok kejadian seperti itu. Lagipula dari mana Papa ambil kesimpulan dokter itu sudah menikah? Kalau dia masih lajang bagaimana? Karena kalau tidak salah dengar para perawat menggosipkan dia sebagai high quality jomlo." Marisa terbelalak mendengar informasi yang dibawa oleh ibu mertuanya itu. Dia kembali dibuat terkejut oleh fakta yang muncul tentang Dokter Harun. Benaknya bertanya-tanya manakah berita yang dapat dia percaya? "Maaf, Ma, Marisa tidak perca
"Ada apa sebenarnya? Kenapa Dokter Harun terkesan mengusir semua orang hanya untuk berbicara denganku? Begitu pentingnya kah isi pembicaraan kami hingga dia melakukan hal itu?" gumam Marisa. Wajar saja Marisa tidak bisa menyembunyikan rasa herannya. Baru saja dia mendengar perawat Dokter Harun memberitahukan kepada kedua lelaki yang duduk tak jauh darinya bahwa dokter spesialis jantung itu tidak bisa menemui mereka. Padahal mereka sudah lebih dahulu ada di ruang tunggu dokter daripada Marisa. Saat ini mata Marisa tidak lepas mengamati kedua lelaki yang dia duga adalah detailer obat. Mereka terlihat berusaha memprotes pemberitahuan dadakan tersebut dengan menunjukkan beberapa brosur obat yang sudah disiapkan. Namun sayangnya protes mereka sia-sia. Pada akhirnya kedua lelaki itu terpaksa pasrah menerima keputusan sang dokter. "Ibu Marisa, silakan masuk. Sudah ditunggu oleh Dokter Harun," pinta perawat. Marisa berdiri dari kursi dan melangkah menuju pintu ruang praktik. Dia mele
"Maksud dokter … keluarga saya berbeda dengan keluarga pasien dokter lainnya itu bagaimana, ya, Dok?" Marisa menatap mata Dokter Harun yang hitam pekat. Tatapannya lekat yang mengisyaratkan permintaan yang tak ingin dibantah. "Sekali lagi maaf, Bu Marisa. Sejak saya bertemu dengan kedua orang tua Pak Irawan selalu ada drama di sekitar mereka. Tidak pernah saya jumpai suasana tenang dan tidak ada drama. Pertengkaran dan keributan selalu mewarnai kedua mertua Bu Marisa itu. Terakhir kemarin sewaktu saya bertabrakan dengan tamu perempuan di pintu ruang VVIP. Saya merasakan aura ketegangan di ruangan. Saya juga mendengar ancaman yang tamu itu lontarkan ketika dia pergi." Dokter Harun menghentikan ucapannya. Doktwr Harun lalu menghela napas sambil mengamati reaksi Marisa. Namun, melihat perempuan yang duduk di depannya itu hanya diam, dia kembali melanjutkan kata-katanya, "Saya khawatir drama-drama itu mempengaruhi kondisi psikologis Pak Irawan dan membuatnya tidak punya keinginan untuk
"Kenapa Dokter punya pemikiran bahwa saya menjadi korban bullying mertua?" Marisa menatap tajam Dokter Harun. Dia penasaran darimana dokter itu tahu apa yang dialaminya. "Bu Marisa masih ingat pertemuan pertama kita?" Dokter Harun bertanya balik.Marisa tertegun. Dia sedikit lupa dengan peristiwa itu. "Sepertinya Bu Marisa lupa, tetapi saya tidak pernah lupa tatapan kosong itu. Juga bagaimana tubuh gemetar Ibu yang mencoba meredam isak tangis ketika menabrak saya." Dokter Harun menjelaskan sambil memandang Marisa. Sepasang mata Marisa yang berwarna hazel itu terbelalak mendengar penjelasan dokter berusia pertengahan tiga puluh itu. Raut wajah bulat telur Marisa tampak sedikit lucu ketika bibirnya yang berwarna merah muda terbuka sebentar kemudian terkatup lagi. Rupanya dia ingin mengomentari ucapan Dokter Harun, tetapi kemudian membatalkannya. "Bagaimana? Sudah ingat, kan?" tanya Dokter Harun ketika melihat ekspresi Marisa.Marisa mengangguk. Bagaimana mungkin dia lupa pada har
"Saya tidak bilang Pak Irawan berpura-pura. Akan tetapi memang cukup mengherankan di saat kondisi vitalnya semakin membaik, tetapi Pak Irawan belum sadar juga dari koma." "Lantas kalau begitu apa maksud kata-kata Dokter tadi?" Marisa menatap tajam Dokter Harun. Dia meradang mendengar ucapan dokter yang selama ini dianggapnya orang baik. Sekarang barulah dia merasa telah salah menilai. "Sekali lagi maaf, Bu. Saya tidak bermaksud membuat Bu Marisa salah paham dengan ucapan saya. Apa yang saya lakukan ini semata-mata untuk kepentingan Pak Irawan. Sebagai dokter tentu saya menginginkan pasien saya lekas sembuh." Dokter Harun menjelaskan secara perlahan kepada Marisa. "Kalau tidak ingin saya salah paham, tolong jelaskan sekarang juga, Dok," tuntut Marisa. Sorot matanya masih menatap tajam Dokter Harun. Dokter Harun membuang napas dengan kasar. Dia jadi menyesal karena ternyata niat baiknya disalah artikan. Dia tidak menyalahkan Marisa yang salah memahami maksudnya. Justru dia menyalahk
"Mas Rian … jangan pergi! Jangan tinggalkan aku! Bangun, Mas! Aku membutuhkanmu!" ratap Marisa. Namun, lelaki yang dipeluk dan ditangisinya masih tetap mengatupkan matanya. Rapat. "Sudah, Mbak jangan nangis terus. Lebih baik kita doakan Mas Rian agar diberikan kesehatan." Marisa mengangguk mendengar saran Dokter Harun. Memang tangis tidak akan membuat Rian sembuh. "Alhamdulillah Allah masih melindunginya. Tusukan pisau itu tidak mengenai organ vital. Geser satu centi aja akan sangat berbahaya. Namun, mengingat dia ditusuk tiga kali dan mengeluarkan banyak darah, kondisinya belum terbilang stabil. Perlu banyak kantong darah untuk transfusi. Sementara stok golongan darah O di PMI menipis."Marisa mengusap wajah lega. "Ambil darah saya saja, Dok. Golongan darah saya O." "Jangan. Kamu butuh istirahat, Mbak. Darah saya saja, Dok. Saya juga bergolongan darah O," ucap Dokter Harun."Baiklah … nanti kita periksa dulu untuk melihat kecocokannya."Marisa menelepon ibunya untuk mengabarkan di
"Ada apa dengan Marisa?" sambar Rian.Dokter Harun menatap Bu Rahmi dengan prihatin. "Sabar, ya, Bu. Mbak Marisa mengalami penculikan di dekat sekolah. Kasusnya sedang dalam penyelidikan polisi." "Apa diculik?" teriak Rian."Tidak! Jangan polisi. Nanti Marisa tidak selamat!" seru Bu Rahmi yang kemudian menangis. "Kenapa tidak selamat? Ibu tahu kalau Mbak Marisa diculik?" desak Dokter Harun. "Iya." Bu Rahmi mengusap wajahnya dan terduduk lemas di sofa. "Itu sebabnya tadi Bulek telepon kamu." Tatapan Bu Rahmi terarah ke Rian."Sebenarnya Bulek berharap itu cuma bercanda, tapi kabar yang dibawa Dokter Harun membuat Bulek tahu kalau orang itu sungguh-sungguh menculik Marisa." Air mata Bu Rahmi pun menderas di kedua pipinya. "Orang itu? Siapa?" "Siapa orang itu, Bu?"Dokter Harun dan Rian bertanya bersamaan. "Tadi ada telepon. Ngaku temannya Marisa ke Bik Siti. Setelah ibu angkat dia bilang sudah menculik Marisa dan melarang untuk melapor ke polisi kalau mau anak ibu selamat. Tapi ta
"Apa-apaan ini? Siapa mereka?" tanya Marisa ketika melihat tiga orang lelaki turun dari mobil yang menghadangnya.Salah satu lelaki yang turun dari mobil penghadang itu kemudian menggedor jendela di samping Marisa. "Buka pintunya! Cepat!" Marisa terlonjak kaget dan mundur dari jendela. Untuk beberapa saat dia hanya diam dan memandang ketiga lelaki berwajah menyeramkan itu. Marisa tidak mau membuka pintunya. Berada di dalam mobil dengan pintu yang terkunci membuatnya sedikit merasa aman. Sayangnya rasa aman itu hanya bertahan sebentar, karena tak lama kemudian kaca jendela mobilnya pecah berhamburan. Salah satu lelaki menyeramkan itu memegang semacam palu yang besar dan berhasil memecah kaca. Belum hilang rasa kaget Marisa, lelaki yang sama berhasil membuka pintu mobilnya dari dalam dan menarik Marisa keluar. Kemudian dia diseret memasuki mobil milik ketiga lelaki itu. Meski Marisa meronta dan berteriak, tetapi itu tidak ada artinya. Karena tenaga Marisa jelas kalah dibanding ketig
"Iya betul, Bu. Dan kedatangan saya sekarang ini untuk meminta restu dari Ibu. Saya ingin melamar putri Ibu yang bernama Marisa." Bu Rahmi terpana melihat keterusterangan Dokter Harun. Dia tidak menyangka lelaki di hadapannya ini akan mengatakan hal tersebut di pertemuan pertama. "Alhamdulillah. Saya, sih, terserah kepada Marisa, saja, Nak Dokter. Tapi … kenapa terburu-buru? Apakah Nak Dokter nggak mau kenalan dulu dengan Marisa? Atau jangan-jangan kalian sudah kenal lama?" "Tidak, Bu. Saya baru bertemu dengan Mbak Marisa ketika saya merawat mantan suaminya. Saat itu tidak ada perasaan apa pun kecuali simpati seorang dokter kepada keluarga pasiennya." Bu Rahmi mendengarkan penjelasan Dokter Harun. "Lantas kapan mulai berubah?" Marisa mendelik mendengar pertanyaan ibunya. Dia menyenggol tubuh ibunya dengan siku untuk memintanya diam. Namun, Bu Rahmi tidak mempedulikannya. Sebenarnya Marisa juga penasaran seperti ibunya, tetapi dia terlalu malu untuk bertanya. Jadi, ketika Bu Rahm
Marisa berjalan mendekat. Mungkin karena mendengar suara langkah Marisa, lelaki itu mengangkat wajahnya dan Marisa pun berseru, "Kamu?"Lelaki itu kemudian bangkit dari kursinya dan berdiri dengan sikap sopan ala abdi kerajaan yang menunggu sang putri datang. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Mata hitam yang dinaungi sepasang alis yang melengkung sempurna itu menatap Marisa lekat. Namun, ketika tatapan dua insan berlawanan jenis itu bertemu, keduanya sama-sama segera mengalihkan tatapannya. "Maaf kalau saya datang tanpa kabar lebih dulu, Bu Marisa," ucap lelaki itu. "Iya. Tidak apa-apa. Silakan duduk, Dok." Marisa pun duduk di seberang sofa yang ditempati Dokter Harun. "Ada yang bisa saya bantu, Dok? Ada apa dengan Amanda?" "Kedatangan saya kemari nggak ada hubungannya dengan Amanda, Bu."Marisa mengangkat wajahnya dan menatap mata Dokter Harun. Ada tatapan bertanya di mata Marisa.Melihat pandangan bertanya di mata hazel Marisa, tiba-tiba saja Dokter Harun menjadi gugup. "B
Tiba-tiba Marisa berhenti melangkah. Raut wajahnya tampak seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu. Dia kemudian berbisik, "Kenapa aku merasa senang mengetahui fakta terbaru tentang Suster Ratri? Apakah ini artinya aku mulai membuka hati untuk Dokter Harun?"Untuk beberapa saat Marisa berdiri termangu, lalu dia menghela napas dan kembali berbisik, "Aku nggak boleh linglung di sini. Lebih baik sekarang aku segera pulang. Tentang bagaimana perasaanku sebenarnya bisa aku pikirkan nanti saja kalau sudah di rumah."Lantas, Marisa pun memutar tubuh dan kembali ke halaman sekolah. Dia segera memasuki mobil kesayangannya dan memacunya menuju rumah. "Loh … katanya mau ke toko buku. Kok sudah pulang? Nggak jadi?" tegur Bu Rahmi ketika melihat Marisa turun dari mobil. "Enggak, Bu," jawab Marisa sambil melangkah menuju teras. Lalu dia duduk di salah satu kursi yang ada di teras. Marisa menyelonjorkan kaki dan memandang ibunya yang tengah merapikan rumpun mawar.Tidak adanya penjelasan atas
Mata Marisa terbelalak mendengar ucapan Dokter Harun. "Sudah sedekat itukah hubungan mereka hingga Suster Ratri membawakan bekal untuk makan siang Dokter Harun?" batinnya."Suster Ratri itu seperti seorang ibu sekaligus kakak buat saya. Cerewetnya sama," lanjut Dokter Harun sambil menatap Marisa."Seperti ibu? Cerewet?" Marisa mengulangi kata-kata Dokter Harun dengan nada kebingungan. "Iya. Kalau Suster Ratri lagi ngomelin saya bisa dua puluh ribu kata per jam dia lontarkan." Dokter Harun terkekeh sambil matanya menerawang. Dia mengenang saat-saat Suster Ratri mengomelinya. "Suster Ratri berani ngomelin Dokter?" Marisa bertanya dengan heran. Dia semakin kebingungan mendengar fakta terbaru tentang sosok suster luar biasa yang menjadi kesayangan keluarga Dokter Harun itu."Loh kenapa nggak berani? Kan dia juga sudah saya anggap seperti kakak tertua," jawab Dokter Harun. Marisa melongo mendengar jawaban Dokter Harun yang semakin membuatnya bingung. Benaknya sibuk merangkai semua fa
"Bu Marisa … apa kabar? Lama kita tidak ketemu. Kapan kita bisa mengobrol lagi seperti beberapa bulan lalu, ya, Bu? Saya kangen kepada Ibu."Marisa mengangkat kepalanya. Dia melihat seorang siswi mendekatinya yang tengah asyik membaca di perpustakaan sekolah. "Amanda? Alhamdulillah kabar ibu baik dan sehat. Semoga Amanda juga sehat. Iya, kita lama nggak ketemu, ya. Soalnya tahun ajaran baru ini ibu nggak mengajar di kelasmu lagi. Ayo sini duduk di sebelah Ibu, mumpung lagi jam istirahat." Amanda menurut dan menarik kursi kosong di sebelah Marisa. Setelah duduk, dia lalu berkata,"Alhamdulillah … syukurlah kalau ibu baik-baik saja. Manda juga Alhamdulillah baik, Bu. Cuma kangen aja karena jarang ngelihat Ibu." "Iya, loh. Ibu juga baru sadar kalau sudah lama nggak lihat kamu nunggu jemputan di bangku halaman sekolah." "Iya, Bu. Sekarang ini Manda nggak perlu nunggu jemputan lagi."Marisa terkesiap. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, apakah ini ada hubungannya dengan kemarahan Dokter
"Iya, Mas. Aku baru saja memberi tahu dia kalau aku menolak lamarannya." "O pantas saja mukanya ditekuk seperti itu. Terus apa rencana kamu selanjutnya?""Rencana? Rencana apa maksudmu, Mas?" tanya Marisa dengan wajah kebingungan."Ya rencana masa depan kamu. Misalnya … apa kamu akan kembali menutup diri atau mau membuka hati lagi? Apa kamu mau terima perjodohan yang kemarin diatur ibuku? Atau bagaimana? Kamu pasti sudah memikirkannya, kan?" selidik Rian."Sepertinya aku ngalir aja, Mas. Aku ikut takdir Allah. Maksudku … aku nggak siapin waktu secara khusus untuk cari pasangan hidup, tapi kalau Allah takdirkan aku ketemu seseorang, ya, aku terima." "Meskipun itu aku?""Maksudnya gimana, Mas?""Kalau Allah takdirkan aku adalah jodohmu gimana?" Rian tidak menjawab pertanyaan Marisa, tetapi justru bertanya balik. Tatapan mata Rian menghujam tepat ke bola mata Marisa. Dia menatap penuh harap kepada perempuan yang sudah dikenalnya sejak kecil itu."Kalau memang Allah takdirkan, ya,